Anda di halaman 1dari 16

PENDAHULUAN

Al-Qur’an merupakan kalam Allah swt yang diturunkan kepada nabi


Muhammad SAW. Dan sebagai penyempurna dari kitab-kitab Allah yang pernah
diturunkan sebelumnya, al-Qur’an memuat dasar-dasar ajaran Islam yang
didalamnya berisi tentang segala perintah dan larangan, yang halal dan haram,
baik dan buruk dan lain sebagainya. Ia memberikan petunjuk dan pedoman hidup
untuk mencapai kebahagiaan hidup dunia dan akhirat dalam bentuk ajaran akidah,
akhlak, ibadah, sejarah dan lain sebagainya. Untuk mengungkap hal tersebut,
tidaklah memadai bila seseorang hanya dengan membacanya.

Lebih dari itu, diperlukan kemampuan memahami dan mengungkap isi serta
mengetahui prinsip-prinsip yang dikandungnya. Kemampuan seperti inilah yang
diberikan suatu cabang ilmu al-Qur’an yaitu adalah ilmu tafsir. Dikatakan tafsir
karena untuk membuka gudang simpanan yang tertimbun dalam al-Qur’an.
Dengan begitu, istilah menafsirkan berarti berupaya untuk menjelaskan maksud
dan kandungan al-Qur’an. Penafsiran terhadap al-Qur’an telah tumbuh dan
berkembang sejak masa awal pertumbuhan dan perkembangan Islam. Hal ini
disebabkan oleh kenyataan adanya ayat-ayat tertentu yang maksud dan
kandungannya tidak bisa dipahami sendiri oleh para sahabat, kecuali harus
merujuk pada rasulullah saw.

Nabi SAW sebagai penerima wahyu risalah berupa al-Qur’an sudah menjadi
kewajibanya untuk menyampaikan serta menjelaskan segala apa yang telah
difirmankan oleh Allah di dalam al-Qur’an. Oleh karena itu, dalam tulisan ini
nantinya akan diterangkan mengenai bagaimana peran nabi saw sebagai seorang
“penafsir” al-Qur’an, juga bagaimana peran atau posisi hadis terhadap al-Qur’an
dan apa keistimewaan dari tafsir era nabi SAW, yang mana pada masa ini
merupakan titik tolak lahirnya penafsiran al-Qur’an untuk masa selanjutnya.

1
PEMBAHASAN

1. Rasulullah Sebagai Mufassir

Nabi Muhammad SAW selain perannya sebagai penerima wahyu berupa al-
Qur’an, ia juga seseorang yang memahami alQur’an dengan baik, yakni secara
global maupun terperinci setelah Allah memberi kekuatan hafalan dan penjelasan
pada nabi saw, al-Qur’an menyebutkan dalam surah Al-Qiyamah ayat 17-19 :

َ ‫﴾ث ُ َّم ِإ َّن‬١٨ ﴿ ُ‫﴾فَ ِإذَا قَ َرأْنَاهُ فَات َّ ِب ْع قُ ْرآنَه‬١٧ ﴿ ُ‫علَ ْينَا َج ْم َعهُ َوقُ ْرآنَه‬
﴿ ُ‫علَ ْينَا َب َيانَه‬ َ ‫ِإ َّن‬
﴾١٩

Artinya : Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di


dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai
membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, sesungguhnya atas
tanggungan Kamilah penjelasannya. (QS. Al-Qiyamah : 17-19).

Dan sudah menjadi kewajibannya untuk menyampaikan serta menjelaskan


kepada kaumnya (sahabat) tentang apa yang ada di dalam al-Qur’an :

‫اس َما نُ ِز َل إِ َل ْي ِه ْم َولَعَلَّ ُه ْم‬ ِ َ‫الزبُ ِر ۗ َوأ َ ْن َز ْل َنا إِلَ ْيك‬


ِ َّ‫الذك َْر ِلت ُ َبيِ َن ِللن‬ ُّ ‫ت َو‬ِ ‫بِا ْلبَيِ َنا‬
﴾٤٤ ﴿ ‫ون‬ َ ‫يَتَفَك َُّر‬

Artinya : keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami


turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa
yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. (QS. An-
Nahl : 44)

Terkait dengan keterlibatan Nabi SAW dalam penafsiran al-Qur’an, Ibnu


Khaldun dalam Muqaddimah nya pernah mengatakan : “Rasulullah saw
menjelaskan makna al-Qur’an secara umum, membedakan ayat-ayat yang Nasikh

2
dan Mansukh, kemudian memberitahukan kepada para shahabat, sehingga mereka
memahami sebab musabab turunnya ayat Asbab An-Nuzul dan situasi yang
mendukungnya.
Dari penjelasan dan pemahaman ayat tersebut, bisa dikatakan bahwa nabi
saw adalah orang pertama yang menafsirkan al-Qur’an dan penafsirannya
mencangkup semua ibadah-ibadah, muamalah-muamalah dan akidah-akidah yang
dibawa-Nya dan mencangkup semua yang berhubungan dengan masyarakat
manusia, dimulai dari keluarga kepada kelompok sampai kepada umat dan
hubungan antar hakim dengan terhukum serta hubungan antara umat Islam dengan
umat-umat lain dalam keadaan perang dan damai. Ini berarti awal munculnya
tafsir al-Qur’an ialah sejak al-Qur’an diturunkan, sebab begitu al-Qur’an
diturunkan kepada Nabi SAW, sejak itu pula beliau melakukan proses dan praktik
penafsiran untuk menjelaskan al-Qur’an kepada para sahabat.
Oleh karena itu, dalam hal ini dapat dipastikan bahwa beliau termasuk
dalam kategori mufassir era klasik, dan mufassir pertama dalam sejarah ulumul
qur’an , bahkan beliau bisa dianggap sebagai pencetus dasar kaidah-kaidah tafsir
(secara tidak langsung) meskipun hal tersebut memang berasal dari fitrah nabi saw
sebagai seorang Arab Quraisy yang memang terkenal akan keindahan, kemahiran
serta kefashihan bahasa arabnya, dan penafsiran beliau dianggap paling otoritatif
untuk menjelaskan kepada umatnya (terlebih pada masanya).1
Pada masa Nabi para sahabat merujuk 4 sumber dalam penafsiran Al-
Qur’an, dan sumber kedua yang menjadi rujukan para sahabat dalam penafsiran
Al-Qur’an adalah Rasulullah Saw.2

2. Tafsir Pada Masa Nabi Muhammad


Telah menjadi sunnatullah bahwa dalam menurunkan kitabnya, Allah
SWT mengutus utusannya yaitu seorang yang nabi atau rasul dengan
menggunakan bahasa kaumnya, supaya orang-orang pada masa itu mendengar dan

1
Ahmad Hariyanto, “Tafsir Era Nabi Muhammad SAW”, dalam Jurnal At-Tibyan Vol. I
No. 1 2016, 73-74.
2
Muhammad Husein Adz-Zahabi, Tafsir Wa Al-Mufassirun, (TT: Maktabah Mush’ab bin
Umair, 2004) Hal. 36

3
dapat merenungi risalah dari tuhannya yang maha pencipta. Hal ini ditegasakan
pula pada firman Allah SWT :

‫ان قَ ْو ِم ِه ِليُبَ ِي َن لَ ُه ْم‬


ِ ‫س‬ َ ‫َو َما أ َ ْر‬
ُ ‫س ْل َنا ِم ْن َر‬
َ ‫سو ٍل ِإ ََّّل ِب ِل‬
Artinya : Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa
kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka.(QS.
Ibrahim : 4)3

Beberapa ulama mengatakan : “Ketahuilah bahwa Allah berbicara kepada


ciptaan-Nya sebagaimana mereka memahami, oleh karena itu Allah swt mengirim
setiap utusan-Nya sesuai lisan kaumnya, dan menurunkan kitab-Nya dengan
bahasa mereka”4

Nabi Muhammad SAW hidup di jazirah Arab dan al-Qur’an diturunkan


dengan menggunakan bahasa mereka, yaitu Bahasa Arab. Kelebihan bahasa al-
Qur’an jauh di atas bahasa-bahasa sebelumnya, baik dari segi kosakata maupun
maknanya yang luas. Dengan demikian meskipun orang Arab sendiri bertutur
dengan menggunakan Bahasa Arab, mereka tidak memiliki pemahaman yang
sama tentang arti dan pemaknaan al-Qur’an. Kenyataan ini menunjukan bahwa al-
Qur’an bukanlah teks yang dibuat-buat oleh manusia. Akan tetapi murni dari
Allah SWT5 dan dia menjamin akan melindungi al-Qur’an sebagaimana dalam
Firmannya :

َ ‫ُظ‬
﴾٩ ﴿ ‫ون‬ ِ ‫إِنَّا نَحْ نُ نَ َّز ْلنَا‬
ُ ِ‫الذك َْر َوإِنَّا لَهُ لَ َحاف‬

Artinya : Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Qur’an, dan


sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (QS: Al-Hijr : 9 )6

3
Syaikh Manna’ Al-Qathan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar,2006)hal.421-422.
4
Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqon Fi Ulumi Al-Qur’an, (Beirut: Mu’assisah Ar-Risalah,
2008) Hal.760
5
Syaikh Manna’ Al-Qathan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, hal. 422.
6
Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002)
hal. 30

4
Ada sebuah riwayat dari pada Abu ‘Ubaid dari Jalan Mujahid dari Sahabat
Ibnu ‘Abbas berkata : dahulu aku tidak paham makna Faathir dari pada firman
Allah SWT:

ِ ‫ت َو ْاْل َ ْر‬
‫ض‬ ِ ‫اوا‬
َ ‫س َم‬ ِ َ‫ا ْل َح ْم ُد ِ َّّلِلِ ف‬
َّ ‫اط ِر ال‬
Sampai aku pernah lewat di suatu perkampungan dan mendapati ada dua
orang Arab badui sedang bertengkar memperebutkan sebuah sumur, dan berkata
salah satu dari mereka “ana fatartuha” yang dapat ku pahami maksudnya adalah :
aku pemiliknya(sumur). 7

Seperti yang ditegaskan didalam al-Qur’an, tugas utama dan pertama dari
kenabian dan kerasulan Nabi Muhammad SAW adalah untuk menyampaikan al-
Qur’an, namun berbarengan dengan itu, beradsarkan al-Qur’an pula, Nabi
Muhammad SAW diberikan wewenang untuk menerangkan makna dan lebih
tepatnnya untuk menafsirkan al-Qur’an. Maka oleh karena itu maka sungguh tepat
penobatan Nabi Muhammad SAW bagi ahli tafsir sebagai al-mufassir al-awwal
yaitu mufassir yang pertama dalam sejarah al-Qur’an. 8

Disamping itu, Allah menjamin Nabi untuk mampu menjelaskan dan


menafsirkan al-Qur’an kepada umatnya, Allah berfirman :

َ ‫اس َما نُ ِز َل ِإلَ ْي ِه ْم َولَعَلَّ ُه ْم يَتَفَك َُّر‬


﴾٤٤ ﴿ ‫ون‬ ِ َ‫َوأ َ ْن َز ْلنَا ِإ َل ْيك‬
ِ َّ‫الذك َْر ِلت ُ َب ِي َن ِللن‬
Artinya : Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan
pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka
memikirkan,(QS. An-Nahl : 44).

Ayat tersebut menjelaskan bahwa salah satu tugas Nabi Muhammad adalah
menyampaikan dan menjelaskan risalah kenabian kepada umat manusia. Oleh
karena beliau diutus sebagai rahmatan lil ‘alamin dan beliau menyampaikan

7
Manna’ Al-Qathaan, Mabahits Fi Ulum Al-Qur’an, (Kairo: Maktabah Wahbah)hal.327
8
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013)
hal. 320

5
syariat yang harus kita pegang untuk menjalani kehidupan di dunia dan
memperoleh kebahagian di akhirat. 9

Penempatan ayat dan urut-urutannya serta susunan surat-surat di dalam


Mushaf sebagaimana yang kita jumpai sekarang adalah menurut petunjuk Nabi
saw (Tawqif) dan bukan berdasarkan ijtihad sahabat10

3. Kuantitas Bayan Rasulullah Terhadap Al-Qur’an

Ulama berbeda pendapat mengenai apakah al-Qur’an dijelaskan oleh


Rasulullah secara keseluruhan atau sebagian saja. Berikut penjelasannya secara
singkat :

a. Dijelaskan Secara Keseluruhan

Menurut Ibnu Taimiyah bahwa sebagaimana lafadz-lafadz al-Qur’an yang


secara keseluruhan disampaikan kepada sahabat, demikian juga dengan
makna-maknanya (Penjelasannya). Sesuai dengan QS. Ibrahim (14) : 4.

b. Dijelaskan Sebagian

Al-Khawi dan As-Suyuthi berpendapat bahwa penjelasan Nabi terhadap


al-Qur’an tidak pada semua ayat, dasarnya adalah riwayat Aisyah r.a.
melalui Al-Bazzar :

“ Rasulullah tidak menjelaskan apapun dari al-Qur’an kecuali sejumlah


ayat yang diajarkan oleh Jibril”11

4. Sumber Rujukan Penafsiran pada Masa Nabi Muhammad

Pada masa Nabi Muhammad SAW tidak ada perbedaan dalam penafsiran
karena beliau sendiri yang menafsirkannya. Untuk ayat-ayat yang sulit dan
membutuhkan penjelasan, namun apabila penjelasan tersebut tidak kunjung
datang dari Allah, maka beliau melakukan ijtihad. Dan apabila ijtihad yang

9
Moch Tolchah, Aneka Pengkajian Studi Al-Qur’an, (Yogyakarta: LKIS Pelangi Cemara,
2016) hal. 112
10
Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur’an, hal. 32
11
Syukron Affani, Tafsir Al-Qur’an Dalam Sejarah Perkembangannya, (Jakarta:
Prenadamedia group, 2019) Hal. 70-71

6
dilakukan nabi kurang tepat menurut pandangan Allah SWT, maka teguran dan
koreksi dari Allah akan segera datang12. Maka dari sini dapat diambil bahwasanya
rujukan nabi di dalam menafsirkan al-Qur’an ada dua, yaitu:

a. Al-Qur’an

Maksudnya adalah nabi menafsirkan suatu ayat al-Qur’an dengan


mehubungkan dengan ayat-ayat yang lainnya di dalam surah yang sama ataupun
yang berbeda. Sebagai contoh adalah firman Allah SWT:

﴾٣٧ ﴿ ‫الر ِحي ُم‬ ُ ‫علَ ْي ِه إِنَّهُ ُه َو الت َّ َّو‬


َّ ‫اَب‬ َ َ ‫ت فَت‬
َ ‫اَب‬ ٍ ‫فَتَلَقَّٰى آ ََد ُُم ِم ْن َربِ ِه َك ِل َما‬
Artinya: Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka
Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha
Penyayang. (QS. Al-Baqarah : 37).13

Maka Nabi Muhammad menafsirkan makna “beberapa kalimat” dari ayat di


atas dengan merujuk ayat lain didalam al-Qur’an :

َ ُ‫ظلَ ْم َنا أ َ ْنف‬


ِ ‫سنَا َو ِإ ْن لَ ْم ت َ ْغ ِف ْر لَنَا َوت َ ْر َح ْمنَا لَ َنكُونَ َّن ِم َن ا ْل َخا‬
َ ‫س ِر‬
﴿ ‫ين‬ َ ‫قَ َاَّل َربَّنَا‬
﴾٢٣
Artinya : Keduanya berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri
kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat
kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi. (Al-
A’raf: 23)14

b. Ijtihad Nabi Muhammad

Ketika sahabat dihadapkan oleh suatu kesulitan di dalam memahami al-


Qur’an atau pun suatu permasalahan yang diadukan kepada Nabi Muhammad,
sedangkan wahyu dan penjelasan tidak kunjung turun, maka Nabi akan berijtihad
dalam menyelesaikan permasalahan tersebut. Dan jikalau ijtihad Nabi itu dinilai
12
Samsurrahman, Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta: Amzah,2014)hal :93.
13
Abdul Qadir Muhammad Soleh, At-Tafsir Wa Al-Mufassirun, (Beirut: Dar Al-
Makrifah,2003)hal.85-87
14
Muhammad Ali Ash-Shobuni, Shafwah At- Tafasir, (Beirut: Dar El Fikr, 2001) Hal. 44

7
keliru oleh Allah SWT maka akan turun langsung koresi dan teguran langsung
dari Allah SWT.15

Misalnya: koreksi nabi Muhammad SAW ketika berkumpul dengan


pemuka-pemuka dari kaum musyrik di Makkah untuk menyampaikan ajaran
islam. Tiba-tiba ada seorang tuna netra yang bernama Abdullah bin Ummi
Maktum datang sambal berseru :”Muhammad, Muhammad! Ajarkan aku sebagian
yang diajarkan Allah kepadamu”. Tentu saja kedatangannya dan suaranya yang
lantang itu menganggu nabi yang sedang menghadapi tokoh-tokoh pemuka kaum
musyrik yang diharapkan keislamannya. Melihat dan mendengar kedatangan
Abdullah bin Ummi Maktum, wajah nabi menjadi kusut. Beliau berpaling dan
tidak menghiraukan kedatangannya. Sikap ini dinilai Allah SWT tidak patut
dilakukan oleh nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu teguran Allah seketika
turun yang diabadikan di dalam al-Qur’an, Allah berfirman :

‫﴾أ َ ْو يَذَّك َُّر‬٣ ﴿ ‫﴾و َما يُد ِْريكَ لَعَلَّهُ يَ َّزكَّٰى‬َ ٢ ﴿ ‫﴾أ َ ْن َجا َءهُ ْاْل َ ْع َمٰى‬١ ﴿ ‫س َوت َ َولَّٰى‬
َ َ‫عب‬ َ
‫علَ ْيكَ أ َ ََّّل‬ َ ٦ ﴿ ‫صدَّى‬
َ ‫﴾و َما‬ َ َ‫﴾فَأ َ ْنتَ لَهُ ت‬٥ ﴿ ‫ست َ ْغنَٰى‬
ْ ‫﴾أ َ َّما َم ِن ا‬٤ ﴿ ‫الذك َْرى‬ِ ُ‫فَت َ ْنفَعَه‬
َ َ‫﴾فَأ َ ْنت‬٩ ﴿ ‫﴾و ُه َو يَ ْخشَٰى‬
‫﴾ك َََّّل‬١٠ ﴿ ‫ع ْنهُ تَلَ َّهٰى‬ ْ َ‫﴾وأ َ َّما َم ْن َجا َءكَ ي‬
َ ٨ ﴿ ‫سعَٰى‬ َ ٧ ﴿ ‫يَ َّزكَّٰى‬
﴾١٢ ﴿ ُ‫﴾فَ َم ْن شَا َء ذَك ََره‬١١ ﴿ ‫إِنَّ َها ت َ ْذ ِك َرة‬
Artinya : Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah
datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan
dirinya (dari dosa), atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu
memberi manfaat kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup,
maka kamu melayaninya. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak
membersihkan diri (beriman). Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan
bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), sedang ia takut kepada (Allah), maka
kamu mengabaikannya. Sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya ajaran-
ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan, maka barangsiapa yang menghendaki,
tentulah ia memperhatikannya, (QS. ‘Abasa : 1-12).

15
Abdul Qadir Muhammad Soleh, At-Tafsir Wa Al-Mufassirun, hal.85-87

8
Di dalam contoh lainnya, seperti yang berkaitan dengan perang uhud. Dalam
perang itu, puluhan sahabat gugur dan nabi sendiri pun terluka dangiginya patah
dan wajahnya berlumuran darah. Nabi lalu bersabda “ Bagaimana mungkin suatu
kaum akan memperoleh kebahagiaan, sedangkan mereka melukai wajah nabi
mereka hingga berlumuran darah, padahal mereka mengajak mereka kejalan tuhan
pencipta mereka.” (HR. At-Tirmidzi). Dalam kesempatan itu pula konon Nabi
memohon agar Allah mengutuk mereka. Ucapan Nabi ini ditegur Allah SWT
dalam firmannya :

﴾١٢٨ ﴿ ‫ون‬ َ ‫علَ ْي ِه ْم أ َ ْو يُعَ ِذبَ ُه ْم فَ ِإنَّ ُه ْم‬


َ ‫ظا ِل ُم‬ َ ُ ‫س لَكَ ِم َن ْاْل َ ْم ِر ش َْيء أ َ ْو يَت‬
َ ‫وَب‬ َ ‫لَ ْي‬
Artinya : Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu
atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka karena sesungguhnya
mereka itu orang-orang yang zalim.

Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa rujukan penafsiran Nabi


Muhammad SAW adalah al-Qur’an dan ijtihad Nabi sendiri yang dibimbing
langsung oleh Allah SWT, sebagaimana yang dijelaskan dalam firmannya Allah :

‫شدِي ُد‬ َ ﴾٤ ﴿ ‫﴾إِ ْن ُه َو إِ ََّّل َوحْ ي يُو َحٰى‬٣ ﴿ ‫ق ع َِن ا ْل َه َوى‬


َ ُ‫علَّ َمه‬ ُ ‫َو َما يَ ْن ِط‬
﴾٥ ﴿ ‫ا ْلقُ َوى‬
Artinya : dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Quran) menurut kemauan
hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya). yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat.

Dengan demikian, apabila dilihat dari penafsiran yang dilakukan oleh Nabi,
tidak terjadi perbedaan. Hal itu dikarenakan apa yang dijelaskan beliau selalu
diterima oleh sahabat, sementara itu, perbedaan berangkat dari asumsi sahabat
mengenai pemahaman ayat. Dikarenakan keterbatasan kemampuan dan
pemahaman mereka. 16

5. Motif Penafsiran Nabi Muhammad

16
Samsurrahman, Pengantar Ilmu Tafsir,), hal :93-96.

9
Jika dilihat dari motif penafsiran Nabi Muhammad SAW sendiri dapat
dikatergorikan menjadi tiga tujuan.

a. Al-Irsyadi (Untuk Pengarahan)

Tafsir Nabi SAW yang berupa pengarahan ini maksudnya nabi SAW
memberikan arahan yang lebih baik lagi dari pada yang sebelumnya, sebagai
contoh adalah penafsiran sehubungan dengan firman Allah SWT :

‫لَ ْن تَنَالُوا ا ْلبِ َّر َحتَّٰى ت ُ ْن ِفقُوا ِم َّما ت ُ ِحبُّون‬


Artinya: Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna),
sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai... (QS. Ali Imran:
92)

Ketika ayat itu turun, ada seorang sahabat bernama Abu Thalhah (seorang
sahabat yang memiliki kebun kurma di Madinah) menyampaikan keinginannya
untuk menyedekahkan tanah miliknya yang sangat disayanginya di daerah Yarha'
di Madinah. Maka Nabi SAW lalu bersabda: "Luar biasa, itu adalah harta yang
menguntungkan, itu adalah harta yang menguntungkan! Aku telah mendengar apa
yang telah kamu katakan, namun aku melihat sepertinya lebih baik itu engkau
sedekahkan untuk kerabat-kerabatmu. "Lalu Abu Thalhah berkata; "Wahai
Rasulullah, aku akan melakukannya. "Maka Abu Thalhah pun membagi-bagikan
kcpada kerabat dan anak-anak pamannya."

Dalam riwayat lain seperti dinukil al-Thabari dikatakan bahwa ketika turun
ayat 92 Surat Ali Imran, Abu Thalhah berkata: ya rasulullah sesungguhnya Allah
meminta kita untuk menyedekahkan sebagian harta kita, Saksikanlah, saya akan
menjadikan hartaku lebih menguntungkan di sisi Allah SWT. Maka rasulullah
bersabda, "Kalau begitu, sedekahkan hartamu itu kepada kerabatmu".

Maksud dari riwayat di atas itu tidak hanya menjelaskan bahwa sedekah itu
termasuk kebajikan (al-birr), tetapi juga mengarahkan bagaimana pemanfaatan
sedekah itu. Dan dalam hal ini nabi saw memberikan pengarahan (irsyad) kepada

10
Abu Thalhah agar mengutamakan terlebih dahulu sedekah kepada keluarga atau
kerabatnya sendiri.17

Adapun contoh lain, sebagaimana diketauhi pemahaman sahabat agak


berbeda didalam memahami al-Qur’an dan terkadang kesulitan untuk mengartikan
dengan makna sebenarnya, . seperti kisah orang Arab badui yang kesulitan
memahami ayat al-Qur’an :

َ ‫ُظ ْل ٍم أُولَئِكَ َل ُه ُم ْاْل َ ْم ُن َو ُه ْم ُم ْهتَد‬


﴾٨٢ ﴿ ‫ُون‬ ُ ِ‫ِين آ َمنُوا َولَ ْم َي ْلب‬
ُ ِ‫سوا ِإي َمانَ ُه ْم ب‬ َ ‫الَّذ‬

Artinya: Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman


mereka dengan kezaliman. mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka
itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. Al-An’am : 82)

Maka orang Arab badui itu berkata : siapakah diantara kami yang tidak
pernah berbuat zalim? Maka Nabi Muhammad pun mentafsirkan dan memberi
penjelasan bahwasanya zalim yang dimaksud adalah syirik. Sebagaimana yang
diterangkan di ayat al-Qur’an yang lain :

﴾١٣ ﴿ ‫ُظ ْلم ع َُِظيم‬


ُ َ‫إِ َّن الش ِْركَ ل‬

Artinya : sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar


kezaliman yang besar. (QS. Luqman : 13). 18

b. Al-Tatbiqi (Untuk Petunjuk Pelaksanaan)

Penafsiran nabi saw ini, termasuk dari tafsir yang motifnya berupa
penjelasan aplikatif melalui peragaan Sebagai contoh adalah ketika nabi saw
menjelaskan ayat 125 dan 157 Surat Al-Baqarah. Allah SWT berfirman:

ِ َّ‫َوإِ ْذ َجعَ ْلنَا ا ْل َبيْتَ َمثَا َبةً ِللن‬


َ ‫اس َوأ َ ْمنًا َوات َّ ِخذُوا ِم ْن َمقَ ِاُم إِ ْب َرا ِهي َم ُم‬
ۖ ‫صلًّٰى‬
‫الرك َِّع‬ َ ‫ين َوا ْلعَا ِك ِف‬
ُّ ‫ين َو‬ َ ‫طائِ ِف‬ َ ‫س َما ِعي َل أ َ ْن‬
َّ ‫ط ِه َرا بَ ْيتِ َي ِلل‬ ْ ِ‫َوع َِه ْدنَا إِلَٰى إِ ْب َرا ِهي َم َوإ‬
﴾١٢٥ ﴿ ‫س ُجو َِد‬
ُّ ‫ال‬
17
Ahmad Hariyanto, “Tafsir Era Nabi Muhammad SAW, hal.74-76
18
Khalid Abdurrahman Al-A’k “ Ushul At-Tafsir Wa Qowa’iduh, (Beirut: Dar An-
Nafis,1985)hal.32

11
Artinya : Dan (ingatlah), ketika Kami mcnjadikan rumah itu (Baitullah)
tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah scbaagian
maqam Ibrahim tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan
Ismail "Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf yang i'tikaf yang
ruku dan yang sujud" (QS AL-Baqarah: 125).

Dalam ayat lain Allah SWT berfirman:

َ ‫َّللاِ ۖ فَ َم ْن َح َّج ا ْلبَيْتَ أ َ ِو ا ْعت َ َم َر فَ ََّل ُجنَا َح‬


‫علَ ْي ِه‬ َّ ‫شعَائِ ِر‬ َ ‫صفَا َوا ْل َم ْر َوةَ ِم ْن‬
َّ ‫إِ َّن ال‬
﴾١٥٨ ﴿ ‫ع ِليم‬ َ ‫َّللا شَا ِكر‬ َ َّ ‫ع َخ ْي ًرا َف ِإ َّن‬
َ ‫ف ِب ِه َما َو َم ْن ت َ َط َّو‬ َّ ‫أ َ ْن َي‬
َ ‫ط َّو‬
Artinya : Sesungguhnya Safa dan Marwa adalah scbahagian dari syi 'ar
Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber'umrah, maka
tidak ada dosa baginya mengerjakan sa'i antara kcduanya. Dan barangsiapa yang
mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah
Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 158)

Berkaitan dengan dua ayat tersebut, nabi saw pernah memberikan


penjelasan secara aplikatif melalui peragaan bagaimana cara tawaf dan sa'i,
sebagaimana riwayat Imam Al-Tirmidzi dari Jabir bahwa Nabi SAW, jika masuk
Makkah beliau tawaf sebanyak tujuh putaran. Kemudian pergi ke Maqam dan
membaca; "Dan jadikanlah Maqam Ibrahim menjadi tempat shalat" dan shalat di
bclakang Maqam. Kemudian menyentuh Hajar Aswad seraya berkata,; "Kita
mulai dari sesuatu yang dimulai oleh Allah, beliau memulainya dari Safa dengan
membaca: Sesunguhnya Safa dan Marwa' adalah scbagian dari syi'ar Allah"

Menurut Imam Tirmizi, hadits tersebut berkualitas hasan shahih dan


berdasarkan hadits ini pula, orang yang haji harus memulai ibadah sa'inya dari
Safa. Sehingga jika ia melakukan sa'i mulai dari Marwa dulu, maka hajinya tidak
sah19

c. Al-Tashihi (Untuk Koreksi)

19
Ahmad Hariyanto, “Tafsir Era Nabi Muhammad SAW” hal:76-78.

12
Yaitu tafsir nabi yang dimaksudkan untuk mengkoreksi kesalahan dalam
memahami ayat. Diantara contoh penafsiran ini ialah ketika nabi SAW
mengkoreksi pemahaman sahabat yang salah memahami ayat berikut ini

ْ َ ‫ض ِم َن ا ْل َخ ْي ِط ْاْل‬
ۖ ‫س َو َِد ِم َن ا ْلفَجْ ِر‬ ُ َ‫ط ْاْل َ ْبي‬
ُ ‫َو ُكلُوا َواش َْربُوا َحتَّٰى يَتَبَيَّ َن لَ ُك ُم ا ْل َخ ْي‬
ِ ‫ث ُ َّم أَتِ ُّموا‬
‫الصيَا َُم إِلَٰى اللَّ ْي ِل‬
Artinya : Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari
benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang)
malam (QS. Al Baqarah: 187).

Dalam ayat tersebut ada kata-kata majaz, yaitu kata al-khaitul abyad
(benang putih) dan al-khaytul aswad (benang hitam). Adi bin Hatim rupanya
memahaminya secara apa adanya. Maka ia lalu mengambil benang yang berwarna
putih dan hitam. Pada malam harinya, benang itu ia perhatikan terus-menerus,
namun tetap saja tidak jelas perbedaanya, mana yang berwarna putih dan mana
yang hitam. Keesokan harinya, hal itu dilaporkan kepada nabi saw, maka beliau
memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud dengan khaitul abyad (benang
putih) adalah bayad al-nahar (putihnya siang) dengan datangnya waktu fajar.
Sedangkan yang dimaksud al-khaytul aswad (benang hitam) adalah sawad al-lail
(hitam atau gelapnya malam)." Intinya, maksud ayat tersebut adalah informasi
tentang kebolehan seseorang untuk makan dan minum di malam bulan Ramadhan,
hingga munculnya fajar subuh.20

20
Ahmad Hariyanto, “Tafsir Era Nabi Muhammad SAW” hal. 78

13
KESIMPULAN

Nabi saw adalah orang pertama yang menafsirkan al-Qur’an dan


penafsirannya mencangkup semua ibadah-ibadah, muamalah-muamalah dan
akidah-akidah yang dibawa-Nya dan mencangkup semua yang berhubungan
dengan masyarakat manusia, dimulai dari keluarga kepada kelompok sampai
kepada umat dan hubungan antar hakim dengan terhukum serta hubungan antara
umat Islam dengan umat-umat lain dalam keadaan perang dan damai. Ini berarti
awal munculnya tafsir al-Qur’an ialah sejak al-Qur’an diturunkan, sebab begitu al-
Qur’an diturunkan kepada Nabi SAW, sejak itu pula beliau melakukan proses dan
praktik penafsiran untuk menjelaskan al-Qur’an kepada para sahabat.

14
Adapun Rasulullah dalam menafsirkan ayat memiliki beberapa motif yaitu :

a. Al-Irsyadi (Untuk Pengarahan)


b. Al-Tatbiqi (Untuk Petunjuk Pelaksanaan)
c. Al-Tashihi (Untuk Koreksi)

Nabi pun dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an merujuk pada 2 sumber :

1. Al-Qur’an Al-Karim
2. Ijtihad Nabi Saw

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman Al-A’k, Khalid, Ushul At-Tafsir Wa Qowa’iduh, Beirut, Dar An-


Nafis,1985.
Affani, Syukron, “Tafsir Al-Qur’an Dalam Sejarah Perkembangannya”, Jakarta,
Prenadamedia group, 2019.
Al-Qathaan, Manna’, Mabahits Fi Ulum Al-Qur’an, Kairo, Maktabah Wahbah.
Al-Qathan, Syaikh Manna’, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Jakarta, Pustaka Al-
Kautsar,2006.
Ash-Shobuni , Muhammad Ali, Shafwah At- Tafasir, Beirut, Dar El Fikr, 2001.

15
As-Suyuthi , Jalaluddin, Al-Itqon Fi Ulumi Al-Qur’an, Beirut, Mu’assisah Ar-
Risalah, 2008.
Baidan, Nashruddin, Metode Penafsiran Al-Qur’an, Yogyakarta, Pustaka Pelajar,
2002.
Muhammad Husein Adz-Zahabi, Tafsir Wa Al-Mufassirun, TT, Maktabah
Mush’ab bin Umair, 2004.
Samsurrahman, Pengantar Ilmu Tafsir, Jakarta, Amzah,2014.
Soleh , Muhammad, Abdul Qadir, At-Tafsir Wa Al-Mufassiru Fi Asri Al-Hadits,
Beirut, Dar Al-Makrifah, 2003.
Suma, Muhammad Amin, Ulumul Qur’an, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada,
2013.
Tolchah, Moch, Aneka Pengkajian Studi Al-Qur’an, Yogyakarta, LKIS Pelangi
Cemara, 2016.
Hariyanto, Ahmad, “Tafsir Era Nabi Muhammad SAW”, dalam Jurnal At-Tibyan
Vol. I, No. I Januari 2016.

16

Anda mungkin juga menyukai