Anda di halaman 1dari 13

PERHATIAN PARA MUFASSIR TERHADAP PENAFSIRAN

NABI

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas perkuliahan mata kuliah Hadis Tafsir Al-Qur’an

Dosen pengampu: Dr. Ahmad Baidowi, S.Ag. M.Si.

Disusun oleh :
Mirza Miftahun Ni’amah 18105030096
Atiya Mumtazah 18105030090
Rizani Friskawati Elsya 18105030089
Muhamad Arju Shidqol Yaqin 18105030085

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Allah menurunkan Al-Qur’an untuk dijadikan petunjuk bagi manusia dalam kehidupannya.
Dalam memfungsikan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi kehidupan manusia, perlu adanya
pemahaman terhadap isi dari ayat-ayat Al-Qur’an. Hal ini disebabkan Al-Qur’an diturunkan
dengan Bahasa Arab dan menggunakan tingkat kebahasaan yang tinggi. Rasulullah diutus oleh
Allah sebagai penerjemah atau perantara komunikatif yang ingin disampaikan kepada manusia.
Sebagai utusan Allah, Nabi Muhammad menjadi manusia yang pertama kali menafsirkan
AlQur’an.

Mengacu pada fakta yang mengatakan bahwa Rasulullah merupakan orang yang pertama
kali menafsirkan Al-Qur’an, menggiring fakta lain bahwa kajian penafsiran Al-Qur’an sudah ada
sejak zaman Nabi masih hidup. Kajian penafsiran Al-Qur’an kemudian dilanjutkan estafetnya
kepada sahabat hingga para ulama kini. Terdapat perbedaan yang signifikan antara bagaimana
metode penafsiran Nabi dengan hal yang harus dilakukan oleh para mufassir selanjutnya dalam
menafsirkan Al-Qur’an.

Khazanah atau metode penafsiran Al-Qur’an memiliki dua corak, yaitu tafsir bi al-
ma’tsur dan tafsir bi al-ra’yi. Tafsir bi al-Ma’tsur dipahami sebagai corak penafsiran Al-Qur’an
yang menggunakan Al-Qur’an, sunah Nabi baik berupa perkataan, perbuatan atau ketetapan,
serta pendapat sahabat dan tabiin. Sedangkan tafsir bi al-ra’yi merupakan corak tafsir yang
menggunakan ijtihad akal. Kesesuaian Al-Qur’an dan sunnah dengan pertimbangan semua
kondisi penafsiran menggunakan akal membuat corak ini diterima dan tidak boleh diragukan.1

Melihat adanya kedua corak tersebut, dari para mufassir mengambil jalannya
masingmasing dalam menafsirkan Al-Qur’an. Akan tetapi terdapat titik temu di antara perbedaan
dari kalangan mufassir. Titik temu ini membuat tafsir yang dihasirlkan lebih kuat karena ada
pada sisi epistimologisnya. Tafsir nabawi yang memiliki otoritas penafsiran Al-Qur’an dijadikan
acuan epistimologis dari pada corak-corak tafsir yang dilakukan setelahnya. Melihat dari sisi

1 Al-Zahabi. Al-Tafsir Wa al-Mufassirun. (Cairo: Maktabah Wahbah. t.th). hlm. 112.


epistimologi, acuan tafsir nabawi sangat penting bagi para mufassir sebelum melangkah lebih
jauh dalam menafsirkan Al-Qur’an.

Dalam makalah ini akan membahas lebih banyak kepada perhatian mufassir pasca Nabi
Muhammad. Hal ini dikarenakan Nabi Muhammad adalah pemegang otoritas penafsiran dan
melihat bagaimana mufassir pasca Rasul memerhatikan penafsiran Nabi tersebut.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pentingnya mufassir dalam mengacu pada tafsir nabawi.
2. Bagaimana alasan tafsir nabawi dijadikan sebagai acuan penafsiran Al-Qur’an.
3. Bagaimana hubungan tafsir nabawi dengan metode penafsiran Al-Qur’an di kalangan
para Mufassir.
4. Bagaimana eksistensi tafsir nabawi terhadap perhatian mufassir terhadapnya.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pentingnya Merujuk Tafsir Nabi dalam Penafsiran Al-Qur’an

Rasulullah diturunkan oleh Allah sebagai wasilah atau penyampai relasi komunikatif
antara Allah dengan manusia. Wahyu yang murni dari sisi teks dan isinya adalah Al-Qur’an. Al-
Qur’an memiliki banyak makna yang tersirat dan perlu pemahaman dan penafsiran lebih untuk
mengetahuinya. Tanpa ada perbedaan pendapat dari kalangan para ulama bahwa Rasulullah
merupakan orang yang pertama kali menafsirkan Al-Qur’an, hanya saja perbedaan pendapat
tersebut ada pada jumlah ayat yang ditafsirkan oleh Nabi. Selain itu, Rasulullah Menjadi tempat
rujukan yang paling utama dalam mencari penjelasan mengenai Al-Qur’an.2

Dalam tafsir Ibnu Katsir juga menjelaskan betapa pentingnya merujuk hadis Nabi dalam
menafsirkan Al-Qur’an. Terlihat dalam penjelasannya pada surat An-Nahl ayat 44. Dalam ayat
tersebut Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Allah menurunkan Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad
agar dapat menyebarkan penjelasan dan pengetahuan mengenai wahyu yang diturunkan Allah.
Nabi Muhammad diakui sebagai makhluk terbaik yang diutus Allah ditugaskan untuk
menjelaskan hal-hal yang janggal bagi manusia pada umumnya.3

Selain dari surat An-Nahl ayat 44 tersebut, terdapat ayat lain yang menguatkan pendapat

bahwa hadis terkait penafsiran Nabi terhadap Al-Qur’an memiliki otoritas dan legalitas sebagai

acuan penafsiran. Q.S. Ibrahim: 4:

‫ي ِ ُّ للالهُ َم ْن َ َا ُُ َو َ ِْه ِ َم ْن َ َا ُُ َُو َُو للْ َ ِ َُِ للْ َ ِي ُم‬


ُ َ ۖ ‫قو ِم ِه لِيب َُِي نَ لَهُ ْم‬ ٍ ‫أر َس ْلنَا ِم ْن َرس‬
َْ ‫ُول ِإا َّل بلِ َسا ِن‬ َْ ‫َو َما‬

Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa


kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka.
Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk
kepada siapa yang dia kehendaki. Dan Dia-lah Tuhan yang Maha Kuasa lagi
Maha Bijaksana. Q.S. An-Nahl: 64:

2 Khalid al-Batili. Al-Tafsir al-Nabawi. (Dar Kunuz). hlm. 30.


3 Khalid al-Batili. Al-Tafsir al-Nabawi. hlm. 31.
َ‫ى َو َرحْ َمةً لِقَوْ ٍم َُْؤ ِمنوُن‬
ً ُ ‫لختلَف ُول َِي ِه ۙ َُو‬
ْ ‫ب ِإ ا َّل لِتبُ يَِنَ لَهُ ُم الل ِذ‬ َ ‫َو َما أنَْ َْلنَا َعلَ ْي‬
َ َ ‫ك للْ ِتا‬

Dan Kami tidak menurunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) ini,


melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka
perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.4

Ketiga ayat ini membenarkan bahwa otoritas dan legalitas penafsiran Nabi terhadap Al-
Qur’an benar adanya. Posisi Nabi Muhammad dianggap sentral dalam acuan penafsiran Al-
Qur’an. Hal ini terlepas dari kuantitas atau jumlah ayat yang ditafsirkan oleh Nabi. Hal ini juga
dikuatkan tidak hanya dari pernyataan ayat di atas, melainkan hadis-hadis dan pernyataan
sahabat tabiin mengaminkan bentuk sentral dari penafsiran Nabi.

Imam Ahmad berkata bahwa sunah merupakan jejak atau hal yang datang dari
Rasulullah, dan sunah merupakan alat penafsir Al-Qur’an dan penjelas serta penguat Al-Qur’an.
Selain itu, salah seorang dari qurro’ al-sab’ah, yaitu Abu ‘Amr menguatkan bahwa hadis
merupakan tafsir Al-Qur’an. Menurut Imam Al-Syanqiti, terdapat dua hikmah mengapa Al-
Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad;

Pertama, sebagai wasilah Allah untuk menunjukkan kepada manusia tentang perintah dan
larangan Tuhan, janji dan ancaman. Rasulullah menyampaikan penjelasan mengenai komunikasi
dari Tuhan yang ingin disampaikan kepada seluruh manusia. Kedua, untuk mengajak manusia
untuk berpikir menggunakan akal yang diberikan Allah. Nabi diberikan perangkat informasi
lebih untuk memberikan pemahaman secara ilmiah agar manusia juga dapat berpikir untuk
merenungkan ayat-ayat yang diturunkan.5

Dari sekian ayat Al-Qur’an dan beberapa hadis serta pendapat sahabat dan tabiin, telah
menunjukkan betapa pentingnya mengacu kepada penafsiran Nabi. Tafsir nabawi menjadi
pijakan acuan tafsir setelah tafsir Al-Qur’an. Walaupun pada akhirnya ada jalan yang diambil
selanjutnya pasca mengacu pada penafsiran Nabi, tetapi bentuk acuan para mufassir telah
menunjukkan betapa pentingnya dan sentralnya posisi penafsiran Nabi.

4 Miski. Kritik Atas Sunah Sebagai Bagian Tafsīr Bi Al-Ma’sūr: Menyoal Otoritas Sunah Sebagai Acuan
Penafsiran Dalam Tafsīr Al-Jalālain. (Pekalongan: Jurnal Religia, Vol. 20, No1, 2017). hlm. 51.
5 Khalid al-Batili. Al-Tafsir al-Nabawi. hlm. 32.
B. Alasan Penafsiran Nabi Sebagai Acuan Tafsir Al-Qur’an

Para mufassir dalam menafsirkan Al-Qur’an bersepakat bahwa acuan dasar sumber
penafsiran Al-Qur’an adalah langsung pada penafsiran nabi atau yang disebut dengan tafsir
nabawi. Nilai keilmiahan yang sangat besar dalam tafsir Nabawi ini menjadikannya sebagai
acuan bagi para mufassir. Nabi Muhammad diizinkan dan diberi tugas oleh Allah untuk
menjelaskan Al-
Qur’an dalam bentuk universal atau khusus dengan cara menambahkan keterangan atau
menjelaskan Al-Qur’an. Hal ini diketahui mengingat bahwa Al-Qur’an beserta penjelasannya
bersumber dari wahyu yang diwahyukan kepada Nabi. Kedudukan tafsir nabawi wajib diterima
karena itu merupakan penjelasan Nabi dan secara langsung itu merupakan wahyu dari Allah.6

Para mufassir sepakat dalam menggunakan tafsir nabi dengan beberapa alasan. Alasan ini juga
mengantarkan pada eksistensi tafsir Nabi terhadap sajian tafsir dari para mufassir.

Pertama, banyaknya mufassir yang mengutip penafsiran Nabi (Katsrotu al-Isytihad). Bagi
orang yang mempelajari kitab tafsir pasti akan mengamati dengan berhati-hati terhadap
penafsiran nabi mengenai tafsir Al-Qur’an. Mereka tidak akan mengabaikan atau melupakan
riwayat penafsiran nabi terhadap beberapa ayat. Contohnya penafsiran Nabi dalam surat al-
Fatihah ayat 7 yang berbunyi (‫ )غير للم ِغوب عليهم و َّل لاِل لين‬yang dimaksud Nabi dalam ayat ‫للمغوب‬
ِ
yaitu orang Yahudi dan dalam ayat (‫ )لاِل لين‬yaitu Nashroni. Dan ketika para mufassir seperti Imam
Thobrani, Ibn Jauzi, ar-Razi, Ibn Katsir, as-Suyuthi, as-Syaukani, dan lain lain dalam
menafsirkan al-Qur’an mereka berkewajiban menuturkan kembali terhadap riwayat nabi. Dengan
begitu metode tafsir Nabi sudah jelas seperti yang dituturkan oleh Imam Thobrani. 7

Kedua, penafsiran ayat cukup menggunakan tafsir Nabi selain dalam tafsir ayat-ayat al-
Qur’an (‫)ل َّل كتفاكتفا ُ به دون غيره َي تفسير لاََّل ت‬. Sebagian Mufassir dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an
cukup dengan ucapan Nabi, tanpa adanya pemikiran mufassir sendiri. Hal ini membawa dampak
pada tidak adanya perbedaan pendapat walaupun ucapan mufassir salafus sholih dari sahabat dan
tabi’in. Disebabkan ayat Al-Qur’an tersebut sudah jelas dengan penafsiran Nabi, maka para

6 Dr. Muhammad Abdurrahim Muhammad. At-Tafsir an-Nabawi Khashaisuhu wa Mashadiruhu. (Cairo: Maktabah
al-Zahra, 1992). hlm 87.
7 Dr. Muhammad Abdurrahim Muhammad. At-Tafsir an-Nabawi Khashaisuhu wa Mashadiruhu. hlm 88.
mufassir tidak perlu untuk menambahi pendapat dalam menafsirkan ayat. Contoh penafsiran
Nabi
sendiri terdapat dalam QS. Yasin ayat 65 yang berbunyi ( ‫للي••وم نختم على َل ولُُهم وتِلمن••ا للََِه َمهم وتَ ِه‬
‫ )لرجلهمبما كانول َِسبونِسبون‬Imam Qurthubi menafsirkan ayat ini cukup dengan mengutip perkataan
Nabi di dalam Shohih Muslim.8

Ketiga, eksistensi tafsir Nabi lebih sering digunakan sebagai rujukan dari pada tafsir bi al-
Ma’tsur (‫)تر جيهم للتفسير للنبوى على غيره من للتفسير للماُثور‬. Hal ini dilihat dari para mufassir kalangan
sahabat, tabi’in, atau lainnya ketika menyebutkan tafsir bi al-Ma’tsur lebih bersikap
menyampingkan apa yang dimaksudkan ucapan Rosulullah. Oleh karena itu, fakta ini menjadi
tolak ukur mengapa para mufassir lebih memilih tafsir Nabi dari pada tafsir bi al-Ma’tsur. 9

C. Hubungan Tafsir Nabawi dengan metode Penafsiran

Pembahasan sebelumnya telah menjelaskan bahwa bentuk atau metode penafsiran Al-
Qur’an memiliki dua corak, yaitu tafsir bi al-ma’tsur dan tafsir bi al-ra’yi. Tafsir bi al-Ma’tsur
dipahami sebagai corak penafsiran Al-Qur’an yang menggunakan Al-Qur’an, sunah Nabi baik
berupa perkataan, perbuatan atau ketetapan, serta pendapat sahabat dan Nabi. Sedangkan tafsir
bi al-ra’yi merupakan corak tafsir yang menggunakan ijtihad akal. Kesesuaian Al-Qur’an dan
sunnah dengan pertimbangan semua kondisi penafsiran menggunakan akal membuat corak ini
diterima dan tidak boleh diragukan.10

Hubungan antara tafsir nabawi dengan corak tafsir bi al-ma’tsur sudah sangat jelas. Hal
ini disebabkan ada keterkaitan antara keduanya. Selain tafsir dengan Al-Qur’an, tafsir nabawi
menjadi dasar dan asas adanya corak tafsir bi al-ma’tsur. Hampir tidak berarti apa-apa penafsiran
yang selain datang dari acuan tafsir nabawi. Hal ini disampaikan dari Imam Ahmad bahwa
“Sunnah itu menafsirkan Al-Qur’an dan juga menjelaskan isi darinya”. Sehingga para mufassir
yang mengambil jalan tafsir bi al-ma’tsur selalu mengedepankan tafsir nabawi setelaah tafsir
AlQur’an dibandingkan dengan yang disandarkan kepada sahabat atau tabiin.

8 Dr. Muhammad Abdurrahim Muhammad. At-Tafsir an-Nabawi Khashaisuhu wa Mashadiruhu. hlm 89.
9 Dr. Muhammad Abdurrahim Muhammad. At-Tafsir an-Nabawi Khashaisuhu wa Mashadiruhu. hlm 90.
10 Muhammad Muqatali. Al-Tafsir al-Nabawi Haqiqatuhu wa mashadiruhu. (Tesis Universite Batna Aljazair,
2009). hlm. 42-45.
Terdapat persamaan dalam menjadikan tafsir nabawi sebagai acuan dasar penafsiran.
Dalam hubungan antara tafsir nabawi dengan metode corak tafsir bi al-ra’yi juga memegang
tafsir nabawi sebagai acuan dasar untuk melangkah dalam berijtihad menggunakan akal. Para
mufassir kalangan ini tidak akan terburu-buru dalam menafsirkan dengan ijtihadnya. Arah yang
dilakukan
َُِ ‫ ََ ا َأ َهَا لال َِذنَ آ َمن ُول ََّل‬Ayat ini .)
seperti ini mengacu pada surat Al-Hujurat ayatۖ ‫تق ِ ُمول بَ ْينَ ََِ ِ للال ِه َو َرسُولِ ِه‬
(1

mengarahkan mufassir agar tidak mendahului dari pada penafsiran yang dihadirkan oleh
AlQur’an dan Nabi.11

D. Eksistensi Perhatian Mufassir Terhadap Penafsiran Nabi

Eksistensi penafsiran Nabi terkait penafsiran Al-Qur’an relatif sangat mudah dijumpai
dalam karya-karya tafsir Al-Qur’an. Produk penafsiran Nabi tidak hanya dapat ditemukan pada
tafsir yang bercorak tafsir bi al-Ma’tsur saja, melainkan hadir juga pada corak-corak tafsir yang
notabene tafsir bi al-ra’yi. Walaupun tafsir yang bercorak penggunaan akal secara lebih luas
menonjol pada karya tafsir tersebut, tetapi masih ditemukan adanya produk penafsiran Nabi. 12

Kalangan sahabat yang telah hidup dan merasakan dekat dengan Nabi tentunya sangat
familiar dengan penjelasan atau penafsiran Nabi terhadap Al-Qur’an. Ketergantungan sabat
terhadap apa saja yang datang dari Nabi masih sangat tinggi. Mengingat Rasulullah adalah orang
yang diwahyukan oleh Allah dan orang yang pertama kali menafsirkan Al-Qur’an serta
ditugaskan untuk memahamkan manusia, kemudian para sahabat meriwayatkanny dan dirawat
oleh orang Islam yang memerhatikannya.

Kalangan para sahabat sangat mencintai Al-Qur’an dan Rasulullah. Bahkan para sahabat
menghabiskan hidup dan waktunya untuk berusaha memahami makna yang ada di dalam Al-
Qur’an. Salah satunya adalah sahabt Abdullah bin Abbas r.a. Beliau dikenal sebagai tintanya
umat dan Imamnya para Mufassir. Beliau pernah didoakan oleh Rasulullah dengan doa ( ‫ل للهم َقهه‬

11 Muhammad Muqatali. Al-Tafsir al-Nabawi Haqiqatuhu wa mashadiruhu. hlm. 55-56.


12 Miski. Kritik Atas Sunah Sebagai Bagian Tafsīr Bi Al-Ma’sūr: Menyoal Otoritas Sunah Sebagai Acuan
Penafsiran Dalam Tafsīr Al-Jalālain.). hlm. 53.
‫) َي ل ِل َنوعلمه للتأوللتأ َُّو‬. Selain itu Ibnu Abbas juga merupakan salah satu dari empat sahabat yang
mengumpulkan Al-Qur’an pada zaman Nabi masih hidup.13

Dari kalangan tabiin juga memandang betapa pentingnya dalam menafsirkan Al-Qur’an
dengan melihat penafsiran Nabi terhadapnya. Beliau adalah Hasan ibn Athiyah yang wafat
sekitar tahun 120 H. Ibn athiyah berkata bahwa wahyu diturunkan oleh Allah kepada Rasulullah,
dan Jibril juga menghadirkan sunnah yang berisikan tentang penafsiran wahyu tersebut.
Perkataan ini juga dihadirkan dalam karya lain oleh al-Qurthubi. Dari kalangan tabiin juga
merasa betapa pentingnya merujuk pada penafsiran Nabi walaupun mereka tidak bertatap muka
langsung dengan Nabi Muhammad.14

Selain itu ada seorang ulama besar bernama Ibnu taimiyah seorang ulama besar yang juga
melahirkan seorang murid mufassir fenomenal yaitu Ibnu Katsir. Keduanya memiliki kesamaan
yang erat karena sangat memegang teguh pada riwayat hadis dalam menafsirkan Al-Qur’an. Ibnu
Taimiyah merumuskan sebuah metodologi penafsiran Al-Qur’an, yaitu sunah merupakan
instrumen penting yang harus dihadirkan dalam penafsiran Al-Qur’an. Beliau mengatakan bahwa
tafsir terbaik adalah dengan menggunakan Al-Qur’an itu sendiri seperti bagian yang bersifat
global dan dikerucutkan oleh ayat yang lain. Akan tetapi apabila tidak ditemukan ayat yang dapat
menafsirkan sebuah ayat, maka jalannya adalah sunnah karena ia merupakan penjelas dari Al-
Qur’an. Dan estafet selanjutnya kepada pendapat sahabat apabila penjelasan tidak dapat
ditemukan di dalam sunah Nabi. Dan estafet terakhir dalam metodologi yang dihadirkan oleh
Ibnu Taimiah ada pada pendapat Tabiin.14

Selain itu, dari kalangan mufassir yang menonjol corak tafsir bi al-Ma’tsur nya juga
sangat jelas perhatiannya dalam menggunakan acuan penafsiran Nabi. Dalam kitab Tafsir Al-
Qur’an al-
‘Adzim karya fenomenal dari seorang ulama era pertengahan, yaitu Ibnu Katsir sangat kental
dengan tafsir Nabinya. Selain dari alasan corak tafsir bi al-Ma’tsur yang diambil oleh Ibnu

13 Salman bin Fahd al-Audah. Al-Tafsir al-Nabawi li al-Qur’an. hlm.


14. 14 Khalid al-Batili. Al-Tafsir al-Nabawi. hlm. 35.
14 Miski. Kritik Atas Sunah Sebagai Bagian Tafsīr Bi Al-Ma’sūr: Menyoal Otoritas Sunah Sebagai Acuan
Penafsiran Dalam Tafsīr Al-Jalālain.). hlm. 52.
Katsir, kefanatikan yang diturunkan oleh gurunya terhadap hadis atau penafsiran Nabi juga
mempengaruhi jalan corak yang diambil.

Bukti dari kefanatikan Ibnu Katsir terhadap hadis yang banyak darinya merupakan
penafsiran Nabi dapat dilihat dari muqaddimah-nya dalam kitab tersebut. Dalam muqaddimah
kitab tersebut mengatakan bahwa dalam menafsirkan Al-Qur’an terdapat prioritas urutan dalam
mengambil acuan. Pertama adalah tafsir Al-Qur’an bi al-Qur’an. Apabila tidak ditemukan maka
menggunakan sunah Nabi. Apabila tidak ditemukan kembali maka menggunakan ijtihad.
Menariknya, jalan ijtihad yang digunakan Ibnu Katsir tidak menggunakan pemikiran akal,
melainkan ijtihad dalam bentuk melihat perkataan para sahabat. Hal ini mengindikasikan bahwa
penafsiran Nabi sangat dipegang olehnya sebagai corak tafsir bi al-Ma’tsur.15

Apabila melihat kepada tafsir yang bercorak pada tafsir bi al-Ma’tsur, tentu saja di
dalamnya akan terlibat penafsiran Nabi terhadap Al-Qur’an. Hal ini terlihat karena sandaran yang
sangat jelas dari corak tafsir bi al-Ma’tsur kepada Nabi yang sangat kental. Berbeda halnya
dengan menelaah mufassir yang mengambil jalan tafsir bi al-ra’yi atau berpendapat dengan akal.
Perhatian dari kalangan mufassir corak ini harus dihantarkan pada penelaahan secara langsung
terhadap karya yang ada.

Salah satu tokoh mufassir dari kalangan yang mengambil jalan tafsir bi al-ra’yi adalah
Abu al-Qasim Mahmud bin Umar al-Zamachsyari. Ditemukan adanya perhatian Zamachsyari
terhadap penafsiran Nabi atas Al-Qur’an sebagai acuan ra’yi nya atau yang dia maksud sebagai
ijtihadnya. Zamachsyari merumuskan metodologi dalam berijtihad untuk menafsirkan Al-Qur’an.
Pertama, mengutip dari penafsiran Rasulullah dengan berhati-hati terhadap kualitasnya. Kedua,
mengambil dari pendapat atau perkataan sahabat. Ketiga, melihat dari perspektif kebahasaan.
Dan yang keempat adalah mengambil apa yang dikehendaki oleh kalam yang dibenarkan atau
ditunjukkan oleh hukum syariat.16

Berbeda halnya dengan Ibnu Taimiyah dan Ibnu Katsir yang berhenti hanya sampai
perkataan sahabat, Zamachsyari melanjutkan estafet pasca pencarian dari para sahabat pada
usaha ijtihad. Dalam Al-kasyaf dijelaskan estafet itu dimulai dari melihat ayat Al-Qur’an yang

15 Ibnu Katsir. Tafsir Al-Qur’an al-‘Adzim. (Cairo: Maktabah Aulad al-Syaikh li al-turats, 2000). hlm. 3.
16 Al-Zamachsyari. Tafsir al-Kasyaf. (Riyadh: Maktabah al-‘Ubaikah, 1998). hlm 85.
menjelaskan ayat lain. Kemudian dilanjutkan pada sunah karena ia merupakan penjelas Al-
Qur’an.

Setelah pada sunah Nabi, dilanjutkan pada perkataan sahabat. Sahabat memiliki peran penting
karena mereka ada ketika kejadian Al-Qur’an turun atau asab al-nuzul.17

Terdapat juga dalam karya kitab fenomenal yang sangat familiar di kalangan pengkaji
tafsir, yaitu Tafsir Jalalain. Jika diperhatikan lebih lanjut, kitab tafsir ini tidak lepas dari mengacu
pada tafsir Nabi dalam penafsirannya. Walaupun kitab ini dikenal sebagai karya tafsir bi al-ra’yi
yang didominasi oleh rasio dan logika dalam penafsirannya, tetapi di dalamnya tidak melepaskan
acuan terhadap penafsiran nabi. Contohnya adalah menafsirkan dengan penafsiran Nabi terkait
makanan yang tidak boleh untuk dikonsumsi dalam surat Al-Baqoroh ayat 173.18

17 Al-Zamachsyari. Tafsir al-Kasyaf. hlm 86.


18 Miski. Kritik Atas Sunah Sebagai Bagian Tafsīr Bi Al-Ma’sūr: Menyoal Otoritas Sunah Sebagai Acuan
Penafsiran Dalam Tafsīr Al-Jalālain.). hlm. 56.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Allah menurunkan Al-Qur’an difungsikan sebagai petunjuk bagi manusia. Rasulullah


sebagai utusan-Nya juga ditugaskan untuk menjelaskan serta mengungkap isi dari Al-Qur’an.
Rasulullah diberikan amanat ini sekaligus menjadikannya sebagai orang yang pertama kali
menafsirkan Al-Qur’an. Dari sinilah dapat dilihat bahwa Rasulullah memiliki otoritas dan
legalitas dalam penafsiran Al-Qur’an.

Terdapa tiga alasan kuat dalam menjadikan penafsiran Nabi sebagai acuan dasar
menafsirkan Al-Qur’an. Tiga acuan ini di luar alasan subjektifitas Nabi sebagai pemegang
otoritas dan legalitas penafsiran Al-Qur’an. Pertama, banyaknya mufassir yang mengutip
penafsiran Nabi (Katsrotu al-Isytihad). Kedua, penafsiran ayat cukup menggunakan tafsir Nabi
selain dalam tafsir ayat-ayat al-Qur’an (‫)ل َّل كتفاكتفا ُ به دون غيره َي تفسير لاَََّل ت‬. Ketiga, eksistensi tafsir
Nabi lebih sering digunakan sebagai rujukan dari pada tafsir bi al-Ma’tsur ( ‫تر جيهم للتفسير للنبوى‬
‫على غيره من للتفسير‬
‫(للماُثور‬.

Dalam hubungan antara tafsir Nabi dengan tafsir bi al-Ma’tsur dan tafsir bi al-ra’yi dapat
diambil benang merah di antara kedauanya. Terdapat persamaan dalam menjadikan tafsir nabawi
sebagai acuan dasar penafsiran. Keduanya tafsir nabawi sebagai acuan dasar untuk melangkah.
Para mufassir tidak akan terburu-buru dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an. Arah yang dilakukan

َُِ ‫ ََ ا َأ َهَا لال َِذنَ آ َمن ُول ََّل‬Ayat ini .)


seperti ini mengacu pada surat Al-Hujurat ayatۖ ‫تق ِ ُمول بَ ْينَ ََِ ِ للال ِه َو َرسُولِ ِه‬
(1

mengarahkan mufassir agar tidak mendahului dari pada penafsiran yang dihadirkan oleh
AlQur’an dan Nabi.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Zahabi. Al-Tafsir Wa al-Mufassirun. (Cairo: Maktabah Wahbah. t.thh).

Al-Batili, Khalid. Al-Tafsir al-Nabawi. (Dar Kunuz, t.th).

Miski. Kritik Atas Sunah Sebagai Bagian Tafsīr Bi Al-Ma’sūr: Menyoal Otoritas Sunah
Sebagai Acuan Penafsiran Dalam Tafsīr Al-Jalālain. (Pekalongan: Jurnal Religia, Vol. 20, No1,
2017). hlm. 51.

Muhammad, Muhammad Abdurrahim. At-Tafsir an-Nabawi Khashaisuhu wa


Mashadiruhu. (Cairo: Maktabah al-Zahra, 1992).

Muqatali, Muhammad. Al-Tafsir al-Nabawi Haqiqatuhu wa mashadiruhu. (Tesis


Universite Batna Aljazair, 2009).

Salman bin Fahd al-‘Audah. Al-Tafsir al-Nabawi li al-Qur’an. (t.thh).

Ibnu Katsir. Tafsir Al-Qur’an al-‘Adzim. (Cairo: Maktabah Aulad al-Syaikh li al-turats,
2000).

Al-Zamachsyari. Tafsir al-Kasyaf. (Riyadh: Maktabah al-‘Ubaikah, 1998).

Anda mungkin juga menyukai