Makalah
Oleh:
MUHAIMIN BOBIHU
NIM: 80100218025
PROGRAM PASCASARJANA
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2019
BAB I
PENDAHULUAN
Hukum Islam adalah hukum Allah swt, ia bukan semata abstraksi manusia
atas realitas masyarakat untuk terjadinya keteraturan bagi manusia itu sendiri
namun lebih dari itu ia sebagai khiṭāb dari Allah untuk manusia. Al-Qur’an dan
hadis merupakan sumber hukum Islam yang keduanya menggunakan bahasa
Arab. Sebagai bahasa al-Qur’an, bahasa Arab memiliki berbagai macam dialek,
sehingga tidak sedikit dijumpai lafaz yang kadang kala bisa memiliki berbagai
macam arti. Di dalam al-Qur’an banyak dijumpai istilah yang biasa dipakai untuk
menunjukkan makna tertentu, seperti lafaz ‘ām, khāṣ, muṭlak, muqayyad dan lain
sebagainya.
Hukum dari naṣ tersebut dapat dipahami secara benar jika memperhatikan
tuntutan tata bahasa, cara pengambilan makna dan arti yang ditunjukan oleh kata
per kata, serta susunan kalimat dalam bahasa Arab. Karena itu para ulama, baik
ulama uṣūl fikih, ulama tafsir, ulama lugah dan lain sebagainya telah mengadakan
penelitian yang serius terhadap beberapa lafaz khususnya yang berkaitan dengan
uṣlūb atau gaya bahasa Arab. Hasil penelitian ulama tersebut kemudia disusun
menjadi beberapa kaidah-kaidah atau ketentuan-ketentuan yang dapat digunakan
untuk memahami naṣ-naṣ al-Qur’an secara baik dan benar. Dalam makalah ini
kami akan mencoba untuk membahas kaidah-kaidah kebahasaan dalam al-Qur’an,
khususnya dalam hal lafaz ‘ām dan khāṣ.
B. Rumusan Masalah
Bedasarkan uraian di atas, maka yang akan menjadi pokok masalah dari
makalah ini adalah bagaimana konsep al-‘Ām al-Khāṣ dan takhṣīṣ al-‘Ām?
Kemudian dapat dirincikan submasalah sebagai berikut ini:
PEMBAHASAN
A. Al-‘Ām
1. Pengertian Al-‘Ām
Dari dua definisi diatas dapat dipahami bahwa hakikat keumuman lafaz itu
adalah karena lafaz itu dilihat dari segi karakteristik dan nilainya mengandung arti
yang banyak dan tidak menunjuk kepada objek tertentu saja, dengan kata lain
suatu lafaz dikatagorikan kepada yang umum jika kandungan maknanya tidak
memberikan batasan jumlah objek yang tercakup didalamnya. Definisi ini juga
membedakan antara hal yang mutlak dengan hal yang umum. Hal ini karena hal
yang umum mencakup seluruh lafaz yang tidak terbatas, tanpa ditujukan kepada
suatu lafaz pun, sedangkan lafaz yang mutlak ditujukan kepada suatu lafaz, baik
makna tunggal atau jamak. Jadi lafaz al-‘Ām dapat mencakup seluruh satuannya
1
Ibnu Manẓūr, Lisān al-‘Arab (Bairūt: Dār Ṣādir 1414 H), h. 423.
Mannā’ Khalīl al-Qaṭṭān, Mabāḥiṡ fī ‘Ulūmi al-Qur’ān (Kairo: Maktabah Wahbah, 1425
2
Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilmu Uṣūl al-Fiqh (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
3
1996),h.262.
sekaligus, sedangkan mutlak tidak sekaligus mencakup. Inilah yang dimaksud
dengan ungkapan para ulama uṣūl:
b. Ismu al-Jins (kata jenis) yang di-iḍafah-kan kepada isim ma’rifah. Contoh:
firman Allah swt. QS. al-Nisā/ 4: 11
Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudāmah al-Maqdisī, Rauḍatu al-Nāẓir wa
5
Jannatu al-Manāẓir fī Uṣūl al-Fiqh (Bairūt: Dār Iḥyā al-Turāṡ al-‘Arabī, 1431 H/2010 M), h.132.
Departemen Agama RI, Qur’an Tajwid dan Terjemah (Jakarta: CV. Magfirah Pustaka,
6
2006), h.601.
7
Departemen Agama RI, Qur’an Tajwid dan Terjemah, h.78.
15. Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, Maka itu adalah untuk
dirinya sendiri, dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, Maka itu
akan menimpa dirinya sendiri, kemudian kepada Tuhanmulah kamu
dikembalikan. 8
d. Lafaz kullu dan jamī’. Contoh: firman Allah swt. QS. al-‘Ankabūt/ 29: 57
57. Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. kemudian hanyalah kepada
Kami kamu dikembalikan. 9
e. Isim nakīrah yang terletak sesudah nafyu. Contoh: hadis Nabi saw.
الشمس
ْ ْب ص ِر احتَّى تا ِغي ا اَل ا
ْ صالة اب ْعدا ال اع
Tidak ada shalat setelah shalat ashar hingga matahari terbenam10
3. Macam-macam lafaz Al-‘Ām
Lafaz ‘ām dari segi maksud yang terkandung di dalamnya ada tiga macam:
a. ‘Ām yang bersifat umum, yakni lafaz ‘ām yang disertai oleh qarīnah yang
meniadakan kemungkinan pembatasan berlakunya. Misalnya, firman Allah
dalam surah al-Ankabut/29 : 57:
8
Departemen Agama RI, Qur’an Tajwid dan Terjemah, h.500.
9
Departemen Agama RI, Qur’an Tajwid dan Terjemah, h.403
Muhamad bin Ismā’īl al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Juz 1 (Bairūt: Dār Ibn Kaṡīr, 1423
10
b. ‘Ām yang bersifat khusus, yakni lafaz ‘ām yang disertai oleh qarīnah yang
meniadakan kemungkinan tetapnya dalam arti umum. Misalnya, dalam surah
al-Imrān/ 3: 97:
c. Lafaz ‘ām yang dapat menerima pembatasan, yakni lafaz ‘ām yang tidak
disertai qarīnah yang meniadakan takhṣīṣ dan tidak ada pula qarīnah yang
meniadakan kemungkinan tetap pada keumumannya. Ini adalah bentuk yang
biasa bagi sebuah lafaz ‘ām. Yang terbuka kemungkinan untuk dibatasi
jangkauannya.11
B. Al-Khāṣ
1. Pengertian al-Khāṣ
11
Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Uhul Fiqh (Cet. II; Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group, 2014), h. 110-111.
Abdul Wahab Khallaf misalnya menyebutkan:12
ِ علَى فَ ْرد ٍَو
اح ٍد ٌ اص ُه َو لَ ْف
َ ظ ُو ِض َع ِللد ََِلَ َل ِة ُّ ال َخ
Al-Khas ialah suatu lafaz yang digunakan untuk menunjukan pengertian
pada suatu satuan objek tertentu saja.
228. Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga
kali quru'
a. Lafaz mutlak (tidak diiringi sifat yang membatasi), seperti orang Indonesia.
b. Lafaz muqayyad (diiringi oleh sifat yang membatasi), seperti orang Indonesia
muslim.
c. Isim nakirah (tak tertentu), seperti rumah.
12
Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilmu Uṣūl al-Fiqh, h. 281.
13
Muhammad bin ‘Ali al-Syaukanī, Irsyādu al-Fuḥūl ilā Taḥqīqi al-Ḥaq min ‘ilmi al-
Uṣūl (Riyāḍ: Dār al-Faḍīlah, 1421 H/2000 M), h. 627.
d. Isim mufrad (seorang tertentu), seperti seorang laki-laki.
e. Isim taṡniyyah (dua orang tertentu), seperti dua orang laki-laki.
f. Isim jamak (bilangan banyak), seperti kaum.
g. Isim musytarak (bermakna ganda), seperti kuda-kuda.14
C. Takhṣīṣ al-‘Ām
14
Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Uhul Fiqh, h. 113.
15
Djazuli, Ushul Fiqh (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), h. 343.
2. Men-takhṣīṣ al-Kitāb dengan al-Sunnah. Misalnya, firman Allah dalam
surah al-Maidah/ 5: 38, yang berisikan ketentuan bahwa setiap pencuri,
baik laki-laki maupun perempuan, harus dipotong tangannya, naik nilai
barang yang dicuri itu kurang dari seperempat dinar ataupun lebih.
Kemudian ayat tersebut di-takhṣīṣ oleh sabda Nabi saw. yang berbunyi,
“Tidak ada hukuman potong tangan di dalam pencurian yang nilai barang
yang dicurinya kurang dari seperempat dinar”.
3. Men-takhṣīṣ al-Sunnah dengan al-Kitāb. Misalnya, hadis Nabi saw. yang
berbunyi, “Allah tidak menerima shalat salah seorang dari kamu bila ia
berhadas sampai ia berwudu” (Muttafaqun ‘alaih). Hadis tersebut
kemudian di-takhṣīṣ dengan firman Allah swt. dalam surah al-Maidah/ 5:
6, tentang tayamum bagi orang yang tidak mendapatkan air pada waktu
hendak shalat.
4. Men-takhṣīṣ al-Sunnah dengan al-Sunnah. Misalnya, hadis yang
berbunyi, “Pada tanaman yang disirami oleh air hujan zakatnya
sepersepuluh” (Muttafaqun ‘alaih). Kemudian, kemumuman hadis
tersebut di-takhṣīṣ oleh hadis yang berbunyi, “Tidak ada kewajiban zakat
pada tanaman yang banyaknya kurang dari 5 watsaq (1000 kilogram)”
(Muttafaqun ‘alaih).16
16
Djazuli, Ushul Fiqh (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), h. 354-359.
BAB III
PENUTUP/KESIMPULAN
1. Al-‘Ām ialah lafaz yang mencakup akan semua yang masuk padanya dengan
satu ketetapan dan sekaligus. Dan bentuk-bentuk lafaz ‘ām yakni, pertama
lafaz ma’rifah. Kedua ismu al-Jins yang di-iḍāfah-kan kepada isim ma’rifah.
Ketiga, Isim syarat. Keempat. Lafzu kullu dan jamī’. Dan kelima isim nakīrah
yang terletak sesudah nafyu.
2. Al-Khāṣ ialah sesuatu yang tidak mencapai dua atau lebih tanpa batas. Dan
pembahasan tentang Al-Khāṣ ini mencakup lafaz mutlak, muqayyad, amr dan
nahyu.
3. Al-Takhṣīṣ ialah mengeluarkan sebagaian daripada satuan-satuan yang masuk
di dalam lafaz al-‘Ām itu hanya berlaku bagi satuan-satuan yang masih ada
(yang ridak dikeluarkan dari ketentuan dalil ‘ām) sesudah di-takhṣīṣ. Al-
Mukhaṣṣīṣ adalah dalil yang menjadi dasar pegangan untuk adanya
pengeluaran tersebut. Ada empat bentuk-bentuk takhṣīṣ, yaitu pertama men-
takhṣīṣ al-Kitāb dengan al-Kitāb. Kedua, men-takhṣīṣ al-Kitāb dengan al-
Sunnah. Ketiga, men-takhṣīṣ al-Sunnah dengan al-Kitāb. Keempat, men-
takhṣīṣ al-Sunnah dengan al-Sunnah.
DAFTAR PUSTAKA
.
Syarifuddin, Amir. Garis-garis Besar Uhul Fiqh, Cet. II; Jakarta: Kencana
Koto, Alaidin, dkk. Sejarah Peradilan Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2011.
1985.