Anda di halaman 1dari 15

Mata Kuliah : Ushul Fiqih

Dosen Pengampu : H. Baidhillah Riyadhi, M.Ag


1. TAKWIL
a) Pengertian Takwil
Secara Etimologi, takwil dirujuk dari kata - yang berarti At-Tafsir, Al-
Marja, Al-Mashir. Pendapat ini diambil dari hadist:

Artinya : Barang siapa yang puasa sepanjang masa, maka berarti ia tidak
puasa dan tidak ada batasannya.
Takwil dalam bahasan lain juga bisa berupa al-jaza, seperti firman Allah SWT

Artinya : yang demikian itu, lebih utama dan lebih baik akibatnya
Secara Terminologi para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan takwil.
Para ulama salaf mendefinisikan takwil antara lain sebagai berikut:
1. Imam Al-Ghozali dalam kitab Al-Mustasyfa
.
Artinya :Sesungguhnya takwil itu merupakan ungkapan tentang pengambilan
makna dari lafadz yang bersifat probabilitas yang didukung oleh dalil
dan menjadikan arti yang lebih kuat dari makna yang ditunjukkan
oleh lafadz zhahir.
2. Imam Al-Amudi dalam kitab Al-Mustasyfa
.
Artinya : Membawa lafadz zhahir yang membawa ihtimal probabilitas
kepada makna lain yang didukung dalil (Syafei, 2007: 170).
Kaum Muhadditsin mendefinisikan takwil yaitu sejalan dengan definisi yang
dikemukakan ulama ushul fiqih, yaitu:
1. Menurut Wahab Khallaf

Artinya : Memalingkan lafadz dari zhahirnya, karena ada dalil.
2. Menurut Abu Zarhah

Artinya : Takwil adalah mengeluarkan lafadz dari artinya yang zhahir
kepada makna lain tetapi bukan zhahirnya (Syafei, 2007: 171).
b) Dalil-Dalil Penunjang Takwil
Secara ringkas, dalil-dalil yang dipakai dalam takwil adalah sebagai
berikut:
Mata Kuliah : Ushul Fiqih
Dosen Pengampu : H. Baidhillah Riyadhi, M.Ag
1. Nash yang diambil dari Al-Quran dan As-Sunnah.
2. Ijma.
3. Kaidah-kaidah umum syariat yang diambil dari Al-Quran dan sunnah.
4. Kaidah-kaidah fiqh yang menetapkan bahwa pembentuk syariat memperhatikan
hal-hal yang bersifat juzi tanpa batas, yang diterima dan diamalkan oleh para
imam dan menjadi dasar adanya perbedaan dalam berijtihad dengan rayu.
5. Hakikat kemaslahatan umum.
6. Adat yang diucapkan dan diamalkan.
7. Hikmah syariat atau tujuan syariat itu sendiri yang terkadang berupa maksud
yang berhubungan dengan kemasyarakatan, perekonomian, politik, dan akhlaq.
8. Qiyas.
9. Akal yang merupakan sumber perbincangan segala sesuatu yang menurut
ushuliyyah lebih dikenal dengan istilah takwil qarib.
10. Kecenderungan memperluas pematokan hukum untuk berbagai tujuan dan
merupakan dasar umum dalam pembinaan dalam syariat yang bersifat ijtihad
atau ijtihad dengan rayu juga merupakan tujuan yang dianggap berlaku
sebagaimana pendapat imam Asy Syatibi asal pandangan melalui
kecenderungan adalah istilah lain dari maksud yang dikehendaki syariat
sebagaimana telah dilakukan oleh orang-orang terdahulu.
c) Syarat-Syarat Takwil
Adapun syarat-syarat takwil adalah sebagai berikut :
1. Lafadz yang di-Takwil harus benar-benar memenuhi kriteria dan masuk dalam
kajiannya.
2. Takwil harus berdasarkan dalil sahih yang bisa menguatkan Takwil.
3. Lafadz mencakup arti yang dihasilkan melalui takwil menurut bahasa.
4. Takwil tidak boleh bertentangan dengan nash yang Qathi, karena nash tersebut
bagian dari aturan syarayang umum
5. Arti dari penakwilan nash harus lebih kuat dari arti zhahir, yakni dikuatkan
dengan dalil
d) Macam-macam takwil
Macam-macam takwil ini menurut wahbah al zuhaili dibagi menjadi dua:
1. Takwil yang jauh dari kepahaman yaitu lafadz yang tidak cukup dengan
penetapan dalil secara sederhana. Contoh:
+O>4OO NE;C) jE4O=4N
4-=O4` .
.Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi Makan sepuluh
orang miskin.
Mata Kuliah : Ushul Fiqih
Dosen Pengampu : H. Baidhillah Riyadhi, M.Ag
Menurut golongan hanafiah bahwa sepuluh yang dimaksud dalam ayat tersebut
adalah ukuran wajib mengeluarkan makanan untuk kafaratnya.
Sehingga boleh jadi apabila terdesak dalam mengeluarkannya kita boleh
memberikan makanan satu orang miskin dengan supuluh makanan.
2. Takwil yang dekat dari pemahamannya, yaitu lafadz yang cukup dengan
penetapan dalil secara sederhana. Contoh:
Og^4C -g~-.- W-EON44`-47
-O) +;~ O) jE_OUO-
W-OUO^N 7E-ON_N ..
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat,
Maka basuhlah mukamu ..
Makna qama di atas adalah merupakan takwil yang dipalingkan dari kejelasan
lafadznya. Sedang yang dimaksudkan adalah mengerjakan shalat serta telah
masuk kepada waktunya.

2. KHASH
a) Pengertian Khash
Dari segi bahasa khash berarti tertentu atau khusus. Sedangkan menurut
istilah Ushul Fiqih :


Artinya : Lafadz yang menunjukkan satu makna tertentu.
Satu makna tertentu itu bisa menunjukkan perorangan, seperti Ibrahim, atau
menunjukkan satu jenis, seperti Laki-laki atau menunjukkan bilangan, seperti dua
belas, lima belas, sebuah masyarakat, sekumpulan, sekelompok, dll.
b) Contoh-Contoh Lafadz Khash
Lafadz khash dalam Al-Quran menggunakan beberapa bentuk kata yang
semuanya menunjukkan kepada kejelasan arti dan makna yang dikandungnya.
Contohnya antara lain :
1. Jelas bilangannya, contoh :
Maka kafarat (melanggar) sumpah
+O>4OO NE;C) jE4O=4N
4-=O4`
Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi Makan sepuluh orang
miskin. (Q.S.Al-Maidah: 89)
2. Jelas keadaannya, contoh :
_ }g` gu4 lOOg4 /ONC .Ogj
u ^E1
Sesudah dipenuhiwasiat yang ia buat atau sudah dibayar utangnya.


Mata Kuliah : Ushul Fiqih
Dosen Pengampu : H. Baidhillah Riyadhi, M.Ag
3. Jelas jenisnya. Contoh :

Di haramkan bagimu (memakan bangkai,darah,dan daging babi.

c) Ketentuan Lafadz Khash dalam Garis Besarnya
1. Bila lafadz khash lahir dalam bentuk nash syara(teks hukum) ia menunjukkan
artinya yang khash secara Qathi al Dialah (penunjukan yang pasti dan
menyakinkan) yang secara hakiki ditentukan untuk itu.Hukum yang berlaku
pada apa yang dituju oleh lafadz itu dalah Qathi.
2. Bila ada dalil yang menghendaki (pemahaman lain) dari lafadz khash itu kepada
arti lain,maka arti khash itu dapat dialihkan kepada apa yang dia kehendaki oleh
dalil itu.
3. Bila dalam suatu kasus hukumnya bersifat am dan di temukan pula hukum
yang Khusus dalam kasus lain, maka lafadz khash itu membatasi
pemberlakuan hukum am itu. Maksudnya lafadz khash itu menjelaskan bahwa
yang dimaksud dalam lafadz am itu hanya sebagian afradnya saja yaitu
sebagian yang tidak disebutkan dalam lafadz khash.
4. Bila ditemukan pembenturan antara dalil khash dengan dalil am terdapat
perbedaan pendapat.
Menurut ulama Hanafiyah seandainya kedua dalil itu bersamaan masanya,
maka dalil khash mentakhsiskan yang am karena tersedianya persyaratan
untuk takhsish. Bila keduanya tidak bersamaan waktunya disini ada dua
kemungkinan.
a. Bila lafadz am terkemudian datangnya maka lafadz am itu menasakh
lafadz khash.
b. Bila lafadz khash yang terkemudian datangnya maka lafadz lafadz khash
itu menasakh lafadz am dalam sebagian mufrodnya.
Menurut jumhur ulamatidak tergambar adanya pembenturan antara dalil am
dengan dalil khusush karena keduanya bila datang pada waktu bersamaan
maka yang khash memberi penjelasan terhadap yang am karena yang umum
itu adalah dalam bentuk lahir yang tetap berkemungkinan untuk menerima
penjelasan disamping untuk diamalkan menurut keumumanya hingga
diketahui adanya dalil khash. Lafadz khash itulah yang menjelaskan lafadz
am.





Mata Kuliah : Ushul Fiqih
Dosen Pengampu : H. Baidhillah Riyadhi, M.Ag
3. AM
a) Pengertian Am
Am menurut bahasa artinya merata, yang umum. Dan menurut istilah
adalah Lafadz yang memiliki pengertian umum, terhadap semua yang termasuk
dalam pengertian lafadz itu.
Menurut istilah am yaitu suatulafadz yang dipergunakan untuk
menunjukkan suatu makna yang pantas (boleh) dimasukkan pada makna itu dengan
mengucapkan sekali ucapan saja, seperti lafadz arrijal maka lafadz ini meliputi
semua laki-laki.
Disamping pengertian am diatas ada beberapa pengertian am menurut
ulama lainnya antara lain:
1. Hanafiah yaitu Setiap lafadz yang mencakup banyak, baik secara lafadzh
maupun makna.
2. Al-Ghazali yaitu Suatu lafadz yang dari suatu segi menunjukkan dua makna
atau lebih.
3. Al-Bazdawi yaitu Lafadz yang mencakup semua yang cocok untuk lafadzh
tersebut dalam satu kata.
4. Menurut Uddah (dari kalangan ulama' Hanbali) "suatu lafadz yang mengumumi
dua hal atau lebih".
b) Pembagian Am
1. Umum Syumuliy, yaitu semua lafadz yang dipergunakan dan dihukumkan serta
berlaku bagi seluruh pribadi, seperti:

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan


kamu dari seorang diri. (Terjemahan al-Quran Surat An-Nisa ayat 1).
Dalam ayat ini seluruh manusia di tuntut untuk bertaqwa (memelihara diri dari
azhab Allah) tanpa kecuali.
2. Umum Badaliy, yaitu suatu lafadz yang dipergunakan dan dihukumkan serta
berlaku untuk sebagian pribadi, seperti:

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana


diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.(Terjemahan
al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 183)
Dalam ayat ini terdapat kalimat umum tetapi umum di sini tidak dipergunakan
untuk seluruh manusia, melainkan hanya orang-orang yang percaya kepada
Allah (beriman) saja.


Mata Kuliah : Ushul Fiqih
Dosen Pengampu : H. Baidhillah Riyadhi, M.Ag
c) Dalalah Am
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa dalalahal-'am merupakan
dalalahqath'iyah sehingga takhshish tidaklah terlalu penting. Sedangkan jumhur
Syafi'iyah dan sebagian Hanafiyah berpendapat dalalahal-'am bersifat zanni
sehingga diperlukan takhshish. Untuk itu, dapat diduga kuat, bahwa bagi
kebanyakan Hanafiyah persoalan takhshish tidak perlu dipakai sebagai ukuran
menentukan qath'i-nya suatu nash.
Jumhur Ulama, di antaranya Syafi'iyah, berpendapat bahwa lafadz am itu
dzanniydalalahnya atas semua satuan-satuan di dalamnya. Demikian pula, lafadz
am setelah ditakhshish, sisa satuan-satuannya juga dzanniydalalahnya, sehingga
terkenallah di kalangan jumhur ulama suatu kaidah ushuliyah yang berbunyi:
"Setiap dalil yang am harus ditakhshish". Selain itu di kalangan jumhur ulama
didapat pula satu faedah yang lain yang berbunyi:

"mengerjakan sesuatu berdasarkan dalil/lafadz am sebelum diteliti ada tidaknya
pentakhsisnya tidak diperbolehkan.
Oleh karena itu, ketika lafadz am ditemukan, hendaklah berusaha dicarikan
pentakhshishnya. Berbeda dengan jumhur ulama', Ulama Hanafiyah berpendapat
bahwa lafadz am itu qath'iydalalahnya, selagi tidak ada dalil lain yang
mentakhshishnya atas satuan-satuannya. Karena lafadz am itu dimaksudkan oleh
bahasa untuk menunjuk atas semua satuan yang ada di dalamnya, tanpa kecuali.
Sebagai contoh, Ulama Hanafiyah mengharamkan memakan daging yang
disembelih tanpa menyebut basmalah, karena adanya firman Allah yang bersifat
umum, yang berbunyi:

dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah
ketika menyembelihnya. (Terjemahan al-Quran Surat Al-An`m:121)
Ayat tersebut, menurut mereka tidak dapat ditakhshish oleh hadits Nabi yang
berbunyi:


Orang Islam itu selalu menyembelih binatang atas nama Allah, baik ia benar-
benar menyebutnya atau tidak. (H.R. Abu Daud)
Alasannya adalah bahwa ayat tersebut qath'iy, baik dari segi wurud (turun)
maupun dalalah-nya, sedangkan hadits Nabi itu hanya dzanniywurudnya, sekalipun
dzanniydalalahnya. Ulama Syafi'iyah membolehkan, alasannya bahwa ayat itu dapat
ditakhshish dengan hadits tersebut. Karena dalalah kedua dalil itu sama-sama
dzanniy.

Mata Kuliah : Ushul Fiqih
Dosen Pengampu : H. Baidhillah Riyadhi, M.Ag
4. AMAR
a) Pengertian dan Bentuk - Bentuk Amar
Pengertian Amar adalah:

menuntut kepada orang yang sebawahnya, untuk mengerjakan sesuatu dengan
tuntutan yg mengharuskan.
Amar menurut bahasa berarti perintah. Sedangkan menurut istilah Amar
adalah perbuatan meminta kerja dari yang lebih tinggi tingkatannya kepada yang
lebih rendah tingkatannya. Atau dapat didefinisikan, Suatu tuntutan (perintah) untuk
melakukan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang
lebih rendah kedudukannya.
Adapun perintah untuk melakukan suatu perbuatan, seperti dikemukakan
oleh Khudari Bik dalam bukunya Tarikh al Tasyri, disampaikan dalam berbagai
bentuk antara lain :
1. Perintah tegas dengan menggunakan kata amara
Seperti dalam QS. An-Nahl (16) : 90



Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan,
memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu
dapat mengambil pelajaran.
2. Perintah dalam bentuk pemberitaan bahwa perbuatan itu diwajibkan atas
seseorang dengan memakai kata kutiba
Seperti dalam QS. Al-Baqarah (2) : 178






Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan
dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka,
hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang
mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan)
mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar
(diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian
Mata Kuliah : Ushul Fiqih
Dosen Pengampu : H. Baidhillah Riyadhi, M.Ag
itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa
yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.
3. Perintah dengan menggunakan kata faradha (mewajibkan)
QS. Al-Ahzab (33) : 50



Sesungguhnya kami Telah mengetahui apa yang kami wajibkan kepada
mereka tentang isteri-isteri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki
supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.

b) Kemungkinan Hukum Yang Berkenaan Dengan Amar
Suatu bentuk perintah, seperti yang dikemukakan oleh Muhammad Adib
Saleh, Guru Besar Ushul Fiqih Universitas Damaskus, bisa digunakan untuk
berbagai pengertian, yaitu :
1. Menunjukkan hukum wajib seperti perintah untuk sholat.
2. Untuk menjelaskan bahwa sesuatu itu boleh dilakukan.
3. Sebagai anjuran.
4. Untuk melemahkan.

c) Kaidah-Kaidah Yang Berhubungan Dengan Amar
Apabila dalam nash syara terdapat salah satu dari bentuk perintah, maka
ada beberapa kaidah yang mungkin bisa diberlakukan.
1. Kaidah pertama, meskipun suatu perintah bisa menunjukkan berbagai
pengertian, namun pada dasarnya suatu perintah menunjukkan hukum wajib
dilaksanakan kecuali bila ada indikasi atau dalil yang memalingkannya.
2. Kaidah kedua, adalah suatu perintah, haruskah dilakukan berulang kali atau
cukup dilakukan sekali saja?. Menurut jumhur ulama Ushul Fiqih, pada
dasarnya suatu perintah tidak menunjukkan harus berulang kali dilakukan
kecuali ada dalil untuk itu.
3. Kaidah ketiga, adalah suatu perintah, dilakukan sesegera mungkin atau bisa
ditunda-tunda. Pada dasarnya suatu perintah tidak menghendaki untuk segera
dilakukan selama tidak ada dalil lain yang menunjukkan untuk itu.







Mata Kuliah : Ushul Fiqih
Dosen Pengampu : H. Baidhillah Riyadhi, M.Ag
5. NAHI
a) Pengertian dan Bentuk - Bentuk Nahi
Pengertian Nahi adalah :

ucapan yang menunjukkan permintaan untuk meninggalkan sesuatu kepada orang
sebawahnya yang sifatnya wujub/harus.
Mayoritas ulama Ushul Fiqih mendefinisikan nahi sebagai larangan
melakukan suatu perbuatan dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada yang
lebih rendah tingkatannya dengan kalimat yang menunjukkan atas hal itu.
Jika lafadz khusus yang terdapat dalam nash syara berbentuk nahi atau
bentuk berita yang bermakna larangan, maka berarti haram. Yaitu menuntut untuk
tidak melakukan yang dilarang secara tetap dan pasti.
Firman Allah SWT, QS. Al-Baqarah (2) : 221

Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman
Memberikan pengertian bahwa haram bagi seorang laki-laki muslim
mengawini wanita musyrik.
Dalam melarang suatu perbuatan, seperti disebutkan oleh Muhammad
Khudari Bik, Allah SWT juga memakai berbagai bentuk, diantaranya adalah:
1. Larangan tegas dengan memakai kata naha atau yang seakar dengannya yang
secara bahasa berarti melarang.
Seperti dalam QS. An-Nahl (16) : 90



Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan,
memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu
dapat mengambil pelajaran.
2. Larangan dengan menjelaskan bahwa suatu perbuatan diharamkan.
Seperti dalam QS. Al-Araf (7): 33




Mata Kuliah : Ushul Fiqih
Dosen Pengampu : H. Baidhillah Riyadhi, M.Ag
Katakanlah: Tuhanku Hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang
nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak
manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah
dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan
(mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu
ketahui.
3. Larangan dengan mengancam pelakunya dengan siksaan pedih.
Seperti dalam QS. At-Taubah (9) : 34




...dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak
menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka,
(bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.
b) Kemungkinan Hukum Yang Berkenaan Dengan Nahi
Seperti dikemukakan Adib Saleh, bahwa bentuk larangan dalam
penggunaannya menunjukkan berbagai pengertian, antara lain :
1. Menunjukkan hukum haram
2. Sebagai anjuran untuk meninggalkan
3. Penghinaan

c) Kaidah-Kaidah Yang Berhubungan Dengan Nahi
Para ulama Ushul Fiqih merumuskan beberapa kaidah yang berkenaan
dengan larangan, antara lain :
1. Kaidah pertama, pada dasarnya suatu larangan menunjukkan hukum haram
melakukan perbuatan yang dilarang kecuali ada indikasi yang menunjukkan
hukum lain.
2. Kaidah kedua, suatu larangan menunjukkan fasad (rusak) perbuatan yang
dilarang itu jika dikerjakan. Kaidah ini disepakati bilamana larangan itu tertuju
kepada zat atau esensi suatu perbuatan, bukan terhadap hal-hal yang terletak
diluar esensi perbuatan itu.
3. Kaidah ketiga, suatu larangan terhadap suatu perbuatan berarti perintah terhadap
kebalikannya.




Mata Kuliah : Ushul Fiqih
Dosen Pengampu : H. Baidhillah Riyadhi, M.Ag
6. MUTLAQ DAN MUQAYYAD
a) Pengertian Mutlaq Dan Muqayyad
Mutlaq ialah lafadz-lafadz yang menunjukkan kepada pengertian dengan tidak
ada ikatan (batas) yang tersendiri berupa perkataan, seperti firman Allah SWT:

: (

)
Artinya :
Maka (wajib atasnya) memerdekakan seseorang hamba hamhaya
(QS. Mujadilah : 3)
Muqqayad ialah suatu lafadz yang menunjukkan atas pengertian yang
mempunyai batas tertentu berupa perkataan (Drs. H. Syafii karim, hal 171)
b) Bentuk-Bentuk Mutlaq Dan Muqayyad
Kaidah lafadzh mutlaq dan muqayyad dapat dibagi dalam lima bentuk
yaitu:
1. Suatu lafadzh di pakai dengan mutlak pada suatu nash, sedangkan pada nash
lain digunakan dengan muqayyad
2. Lafadzh mutlaq dan muqayyad berlaku sama pada hukum dan sebabnya
3. Lafadzh mutlaq dan muqayyad yang belaku pada nash itu berbeda.
4. Mutlaq dan muqayyad berbeda dalam hukum sedangkan sebab hukumnya
sama.
5. Mutlaq dan muqayyad sama dalam hukumnya, tetapi berbeda dalam sebabnya
(prof. Dr. Rahmat Syafei, MA hal 212-213)
c) Hukum Lafadzh Mutlaq Dan Muqayyad
1. Tidak berbeda (sama) hukum dan sebabnya, dalam hal ini mutlaq harus
dibawa kepada muqayyad, artinya muqayyad menjadi penjesan terhadap mutlaq
2. Berbeda hukum dan sebabnya dalam hal ini masing-masing mutlaq dan
muqayyad tetap pada tempatnya sendiri muqayyad tidak menjadi penjelasan
mutlak
3. Berbeda hukum tetapi sebabnya sama, dalam hal ini masing-masing mutlaq dan
muqqayad tetap pada tempatnya sendiri (Drs. H. SyafiI Karim, hal 172-174)

7. MANTUQ DAN MAFHUM
a) Pengertian Mantuq Dan Mafhum
Mantuq ialah pengertian yang ditunjukkan oleh lafadz ditempat
pembicaraan . Mafhum ialah pengertian yang dinjukkan oleh lafadz tidak ditempat
pembicaan, tetapi dari pemahaman terdapat ucapan tersebut.
Seperti firman Allah SWT :
(

: )
Mata Kuliah : Ushul Fiqih
Dosen Pengampu : H. Baidhillah Riyadhi, M.Ag
Artinya :
maka sekali-kali Janganlah kamu mengatakan Kepada dua orang ibu Bapak
perkataan ah. (QS. Al Isra : 23)
b) Pembagian Mantuq
Pada dasarnya mantuq ini terbagi menjadi dua bagian yaitu:
1. Nash, yaitu suatu perkataan yang jelas dan tidak mungkin di tawilkan lagi.
2. Zahir, yatiu suatu perkataan yang menunjukkan sesuatu makna, bukan yang
dimaksud dan menghendakinya kepada pentawilan.
c) Dalalah Mafhum
Dilalah mafhum dibedakan menjadi dua macam yaitu mafhum muwafaqah, dan
mafhum mukhalfah.
1. Mafhum muwafaqah adalah pemahaman terhadap makna yang tidak ada dalam
teks, akan tetapi dilalah ini masih satu ruh dengan teksnya. Mafhum muwafaqah
ini dibagi menjadi dua bagian:
a. Fahwal Khitab yaitu apabila yang dipahamkan lebih utama hukumnya
daripada yang diucapkan.
b. Lahnal Khitab yaitu apabila yang tidak diucapkan sama hukumnya dengan
diucapkan.
2. Mafhum Mukhalafah
Mafhum Mukhalafah adalah pemahaman terhadap makna dimana maknanya itu
berbeda dengan yang ada dalam teks. Seperti pada contoh diatas yang
menerangkan larangan berkata ah dapat diambil mafhum mukhalafahnya,
yakni kewajiban untuk selalu berkata yang baik pada kedua orang tua.
Macam-macam mafhum mukhalafah :
a. Mafhum Shifat yaitu menghubungkan hukum sesuatu kepada syah satu
sifatnya.
b. Mafhum illat yaitu menghubungkan hukum sesuatu menurut illatnya.
c. Mafhum adat yaitu memperhubungkan hukum sesuatu kepada bilangan
tertentu.
d. Mafhum ghayah yaitu lafadz yang menunjukkan hukum sampai kepada
ghayah (batasan, hinggaan), hingga lafadz ghayah ini adakalanya ilaa dan
dengan hakta.
e. Mafhum had yaitu menentukan hukum dengan disebutkan suatu adad
diantara adat-adatnya.
f. Mafhum Laqaab yaitu menggantungkan hukum kepada isim alam atau isim
fail, seperti sabda Nabi Muhammad SAW.



Mata Kuliah : Ushul Fiqih
Dosen Pengampu : H. Baidhillah Riyadhi, M.Ag
8. NASAKH
a) Pengertian Nasakh
Dari segi bahasa (lugah) nasakh bisa diartikan sebagai pembatalan atau
penghapusan, misalnya dalam kalimat:

Artinya: Angin telah menghapus jejak suatu kaum


Sedangkan definisi nasakh menurut ulama ushul fiqih, yang masyhur ada
dua yaitu:

Artinya: Penjelasan berakhirnya masa berlaku suatu hukum melalui dalil Syari;
yang datang kemudian.


Artinya: Pembatalan hukum syara yang ditetapkan terdahulu dari orang mukallaf
dengan hukum syara yang sama yang datang kemudian.
Sedangkan secara etimologis kata nasakh () dalam bahasa arab
digunakan dengan arti , artinya menghilangkan atau meniadakan. Contohnya :
(matahari menghilangkan kegelapan) atau
(angin melenyapkan jejak kaki).
Terkadang kata itu digunakan dengan arti yaitu pemindahan atau
mengalihkan sesuatu. Menghubungkan dari suatu keadaan kepada bentuk lain
disamping masih tetapnya bentuk semula.
Para ushul fiqih menyatakan bahwa nasakh itu bisa dibenarkan bila
memenuhi kriteria berikut ini:
1. Pembatalan itu harus dilakukan melalui tuntutan syara yang mengandung
hukum dari Allah dan RasulNya, yang disebut nasikh (yang menghapus). Maka
habisnya masa berlaku hukum yang disebabkan wafatnya seseorang tidak
dinamakan nasakh.
2. Yang batalnya adalah syara yang disebut mansukh (yang dihapus).
3. Nasikh harus datang kemudian (terakhir) dari mansukh. Dengan demikian,
istitsna (pengecualian) tidak disebut nasakh.
b) Rukun Nasakh
Rukun nasakh itu ada empat, yaitu:
1. Adat an-nasakh, yaitu pernyataan menunjukkan adanya pembatalan hukum yang
telah ada.
2. Nasikh, adalah dalil yang kemudian yang menghapus hukum yang telah ada.
Pada hakikatnya nasikh itu berasal dari Allah Taala, karena Dialah yang
membuat hukum dan Dia pula lah yang menghapuskannya.
Mata Kuliah : Ushul Fiqih
Dosen Pengampu : H. Baidhillah Riyadhi, M.Ag
3. Mansukh, yaitu hukum yang dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan.
4. Mansukh anhu, yaitu orang yang dibebani hukum.
c) Syarat-Syarat Nasakh
Sebagaimana telah dibahas diatas, bahwa jumhur mengakui kebenaran
nasakh dalam al-quran, namun harus memenuhi beberapa persyaratan. Syarat-syarat
tersebut ada yang disepakati dan ada yang tidak.

Diantara syarat-syarat yang disepakati antara lain:
1. Yang dibatalkan adalah hukum syara
2. Pembatalan itu datangnya dari tuntutan syara
3. Pembatalan hukum tidak disebabkan oleh berakhirnya waktu pemberlakuan
hukum, seperti perintah Allah tentang kewajiban berpuasa, tidak berarti
dinasakh setelah selesai melaksanakan puasa tersebut.
4. Tuntutan yang mengandung nasakh harus datang kemudian.
Adapun persyaratan yang diperselisihkan, antara lain:
1. Alasan yang dikemukakan oleh Mutazilah dan sebagian Hanafiyah yang
menyatakan bahwa hukum yang dinasakh itu pernah dilaksanakan, atau syara
telah memberi kesempatan untuk melaksanakan hukum tersebut, yang
menunjukkan bahwa hukum itu baik.
2. Golongan Mutazilah dan Maturidiyah berpendapat bahwa disyaratkan hukum
yang dinasakh itu haruslah ditujukan untuk sesuatu yang baik yang diterima
akal pembatalannya. Syarat tersebut tidak diterima Jumhur dengan alasan bahwa
baik dan buruknya suatu perbuatan itu ditentukan oleh syara bukan oleh akal.
3. Sebagian ulama ushul fiqih mensyaratkan adanya pengganti terhadap hukum
yang dibatalkan. Mereka beralasan dengan firman Allah surat al-baqarah, 2.
4. Sebagian ahli ushul dari golongan Hanafiyah mensyaratkan bahwa apabila akan
menasakh terhadap nash al-quran atau hadis yang mutawatir, maka nasikh itu
harus sederajat, tidak boleh yang kualitasnya lebih rendah, seperti menasakh
hadis mutawatir dengan hadis ahad.
d) Macam-Macam Nasakh
Para ulama yang mengakui keberadaan nasakh, membagi nasakh menjadi
beberapa macam, diantaranya:
1. Nasakh yang tidak ada gantinya; seperti nasakh terhadap keharusan memberikan
sedekah kepada orang miskin bagi mereka yang akan berbicara dengan Nabi.
2. Nasakh yang ada gantinya, namun penggantinya tersebut adakalanya lebih
ringan dan adakalanya lebih berat; seperti pembatalan shalat sebanyak 50 kali,
diganti dengan lima kali saja.
3. Nasakh bacaan (teks) dari suatu ayat, namun hukumnya tetap berlaku, seperti
hukum rajam bagi laki-laki dan perampuan yang telah menikah.
Mata Kuliah : Ushul Fiqih
Dosen Pengampu : H. Baidhillah Riyadhi, M.Ag
4. Nasakh hukum ayat, namun teksnya masih ada, seperti nasakh terhadap
keharusan memberikan sedekah bagi orang miskin bagi mereka yang akan
berbicara kepada Nabi.
5. Nasakh hukum dan bacaan sekaligus, seperti haramnya menikahi saudara sesusu
itu dengan batasan 10 kali. (HR. Bukhari dan Muslim dari Aisyah). Hukum dan
bacaan teks tersebut telah dihapus.
6. Terjadinya penambahan hukum dari hukum yang pertama. Menurut ulama
Hanafiyah hukum penambahan tersebut bersifat nasakh.
e) Pembagian Nasakh
Nasakh dapat dibagi menjadi:
1. Nasakh Sharih, yaitu yang ditegaskan berakhirnya hukum yang dinasakh,
seperti hadis tentang ziarah kubur.
2. Nasakh Zimmi, ialah nasakh antara dua nash yang berlawanan dan tak mungkin
disesuaikan proporsinya masing-masing. Nasakh zimmi ini terbagi dalam :
a. Nasakh terhadap suatu hukum yang dicakup oleh nash terdahulu.
b. Nasakh juzi, yaitu mengeluarkan dari keumuman nash terdahulu, apa yang
dicakup oleh nash kedua.

Anda mungkin juga menyukai