Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu unsur penting yang digunakan sebagai pendekatan dalam


mengkaji Islam adalah Ilmu Ushul Fiqh, yaitu ilmu yang mempelajari kaidah-
kaidah yang dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum-hukum syari’at
yang bersifat amaliyah yang diperoleh melalui dalil-dalil yang rinci. Melalui
kaidah-kaidah Ushul akan diketahui nash-nash yang syara’ dan hukum-hukum
yang ditunjukkannya.
Materi ini yang banyak dibahas secara mendalam oleh Ulama Ushul
Fiqh sejak dulu, karena masalah ini sering melahirkan perbedaan pendapat
diantara mereka. perbedaan tersebut terjadi karena berhubungan dengan
kedudukan Hadis-hadis Ahad dengan keumuman Al-Qur’an, dan kedudukan
Qiyas terhadap nash-nash yang bersifat umum.
Dari segi cakupan lafadz terhadap satuannya dibagi menjadi bentuk
yang umum (‘am) dan Khusus (khash). Sedang dari segi sifat dibagi menjadi
bentuk yang muthlaq dan muqayyad.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian lafazh Am’?
2. Apa pengertian lafazh khas?
3. Bagaimana pertentangan antara lafazh am dan khas?

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian lafazh ‘Am


Menurut Abu Zahrah am ialah suatu lafazh yang menunjukkan arti
yang menyeluruh terhadap semua apa yang termasuk dalam pengertian
lafazh itu. Menurut Ahmad Ibrohim Bey lafazh am ialah lafazh yang
digunakan untuk menunjukkan arti yang menyeluruh tapi dibatasi oleh
jumlah hitungan tertentu sehingga mencakup untuk semua satuan-satuan
yang memang termasuk di dalamnya. Menurut pengarang kitab Usluhul
tasri lafazh am ialah lafazh yang di tetapkan untuk menunjukkan pada
satuan yang tak terbatas jumlahnya atas dasar mencakupi atau meliputi
atau menghabiskannya.1
Definisi am, am yaitu lafadzh yang menunjukkan di mana di
tempatkan secara lughawi meliputi dan semuanya itu berlaku untuk semua
ifradnya. Sebenarnya artinya itu tidak melingkupi dalam kelompok yang
jelas. Lafadz tiap-tiap perjanjian menurut fuqaha. Tiap-tiap perjanjian
harus disyaratkan untuk menyidangkannya secara kekeluargaan timbal
balik. Lafadz am itu menunjukkan meliputi setiap apa yang ditetapkan,
bahwa perjanjian menyempitkan perjanjian nyata. Atau perjanjian-
perjanjian yang dikemukakan lafazh am terdapat dalam hadist berbunyi,
“barangsiapa yang meletakkan senjatanya, maka dia dalah aman. Lafazh
am disini menunjukkan meliputi seluruh orang yang meletakkan
senjatanya itu, tanpa kecuali bagi orang tertentu, atau orang-orang
tertentu.2
Pembahasan lafazh am dalam ilmu ushul fiqh mempunyai
kedudukan tersendiri karena lafazh am mempunyai tingkat yang luas serta
menjadi ajang perdebatan pendapat ulama dalam menetapkan hukum.
Di lain pihak, sumber hukum islam pun. Alqur’an dan
sunnah,dalam banyak hal memakai lafazh umum yang bersifat universal.3

1
Munad Rozin, Ushul Fiqh, (Metro: Institut Agama Islam Negeri Metro, 2018), h.54.
2
Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: PT RINEKA CIPTA, 2012), h.225.
3
Juhaya Praja, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung:Pustaka Setia, 2012), h.193.

2
B. Pengertian lafazh Khas

Para ulama ushul berbeda pendapat dalam memberikan definisi khas.


Pada hakikatnya definisi tersebut mempunyai pengertian yang sama. Definisi
yang dapat dikemukakan, yaitu:

“suatu lafazh yang dipasangkan pada satu arti yang sudah diketahui
(ma’lum) dan menunggal. Dan menurut Al-Bazdawi, definisi khas adalah:
“ setiap lafaz yang dipasangkan pada satu arti yang menyendiri, dan terhindar
dari makna lain yang (musytarak).”

Dengan definisi di atas, ia mengeluarkan lafazh mutlaq dan musytarak


dari bagian lafazh khas, dan bukan pula bagian dari lafazh amm. Pendapat ini
dipegang pula oleh sebagian Ulama Syafi‟iyah.4

Seperti dikemukakan Adib Shalih, lafazh khas adalah lafazh yang


mengandung satu pengertian secara tunggal atau beberapa pengertian yang
terbatas. Para Ulama Ushul Fiqh sepakat. Seperti disebutkan Abu Zahrah,
bahwa lafazh khash dalam nash syara‟. Menunjuk kepada pengertiannya yang
khash secara qath‟i (pasti) dan hukum yang dikandungnya bersifat pasti
(qath‟i) selama tidak ada indikasi yang menunjukan pengertian lain.5

Sebagai telah disebut di atas bahwa hukum yang ditunjuk oleh lafzh
khash itu qath‟iy. Selama tidak ada qarinat yang menghendaki untuk dita‟wil
kan kepada maksud yang lain. Akan tetapi, apabila ada qarinat, maka lafzh al-
khash tersebut harus di ta‟wil kan kepada maksud makna yang lain. Sebagai
contoh hadits Nabi yang berbunyi: Artinya: “Pada setiap empat puluh ekor
kambing, wajib zakatnya seekor kambing”.

Menurut jumhur Ulama lafzh (empat puluh ekor kambing) dan lafzh
(seekor kambing) keduanya adalah lafzh al-khash. Karena kedua lafzh tersebut
tidak mungkin diartikan lebih atau kurang dari makna yang ditunjuki oleh
lafzh tersebut adalah qath‟iyat. Akan tetapi, menurut Ulama Hanafiyah,

4
Rachmat Syafe‟i , Ilmu Ushul Fiqh,( CV Pustaka Setia:Bandung, 2007), hal. 187.
5
Satria Efendi, Ushul Fiqh, (Prenada Media:Jakarta, 2005), hal. 205.

3
bahwa dalam hadits Nabi tersebut terdapat qarinah yang mengalihkan kepada
arti yang lain. Yaitu bahwa fungsi zakat itu adalah untuk menolong fakir
miskin. Pertolongan itu dapat tercapai bukan hanya dengan memberikan
seekor kambing, tetapi juga dapat dengan memberikan seekor kambing yang
dizakatkan.

a. Sifat-sifat Lafazh Khash


Lafzh khash itu, dalam nash-nash syara‟ , kadang-kadang dating
secara mutlaq, tanpa diikuti oleh suatu syarat apa pun, kadang-kadang
muqayyad, yakni di batasi dengan suatu syarat, kadang-kadang datang dengan
sighat bentuk) al-amr, yakni tuntunan untuk dilakukan suatu perbuatan, dan
kadang-kadang dengan sighat al-nahy, yakni melarang mengerjakan suatu
perbuatan. Dengan demikian pembahasan tentang khash ini mencakup lafzh
al-mutlaq, al-muqayyad, al-amr, dan al-nahy.

C. Pertentangan antara lafazh am dan khas


Para Ulama sepakat bahwa lafazh am yang disertai qarinah atau
indikasi yang menunjukkan penolakan adanya takhsis adalah qathi dilalah.
Mereka pun sepakat bahwa lafazh am yang di sertai qarinah yang
menunjukkan bahwa yang dimaksudnya itu khusus, mempunyai dilalah yang
khusus pula. Yang menjadi perdebatan pendapat disini ialah lafazh am yang
mutlaq tanpa di sertai suatu qarinah yang menolak kemungkinan adanya
takhsis, atau tetap berlaku umum yang mencakup satuan-satuannya.
Menurut ulama Hanafiyah dilalah am itu qathi yang dimaksuud qathi
adalah :”tidak mencakup suatu kandungan, yang menimbulkan suatu dalil”.
Namun, bukan berarti tidak ada kemungkinan taksis sama sekali. Oleh karena
itu, untuk menentkan ke qathiyan lafazh am, pada mulanya tidak boleh di
taksis sebab apabila pada awalnya sudah di masuki takhsis, maka dilalahnya
zhanni.6
Mereka beralasan,”sesungguhnya suatu lafazh apabila di pasangkan
pada suatu makna, maka makna itu berketetapan yang pasti, sampai ada dalil
yang mengubahnya.
6
Ibid., h.194.

4
Menurut jumhur ulama, (Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah),
dilalah am adalah zhanni. Mereka beralasan, dilalah am itu termasuk bagian
dilalah zhahir, yang mempunyai kemungkinan di taksis. Dan kemungkinan ini
pada lafazh am banyak sekali. Selama kemungkinan tetap ada, maka tidak
dapat dibenarkan menyatakan bahwa dilalahnya qathi.
Ulama Hanafiyah membantah alasan jumhur, “kemungkinan itu tidak
dapat dibenarkan, sebab timbulnya dari ucapan pembicara (mutakalimin),
bukan dari dalil.
Dari kedua sikap ulama tersebut timbul masalah lain yang menjadi
prinsip bagi mereka masing-masing. Masalah ini mempunyai dampak yang
sangat besar pada pendapat di antara mereka dalam beberapa masalah, yaitu
antara lain:
1. Apakah boleh lafazh am yang qathi tsubut di taksis oleh dalil zhani?
2. Apabila ada suatu nash yang menggunakan lafazh am di suatu tempat dan
tempat lain menggunakan lafazh khas, yang satu sama lainnya saling
bertentangan. Apakah hal ini dikatakan sebagai ta’arud(saling
bertentangan).
Pada maslah pertama menurut Asy-Syafi’i dan Ahmad, apabila
pertentangan antara lafazh khas yang terdapat pada khabar ahad dengan lafazh
am al quran. Sekalipun lafazh am dalam al quran itu qathi subutnya, dalalah
nya zhanni. Sebaliknya khas kabar ahad sungguhpun zhanni subutnya, tetapi
qathi dilalahnya. Menurut pandangan ini, as-sunnah di pandang sebagai
penjelasan terhadap al quran, walaupun khabar ahad.
Menurut Hanafiyah khabar ahad tidak dapat mentakhsis al-quran
kecuali lafazh am alquran itu sebelumnya telah terkena taksis. Mereka
memandang bahwa dilalah am itu qathi, seperti yang telah diuraikan di atas,
dan tahksis buknlah merupakan suatu penjelasan, melaink7an pembatalan
pemakaian sebagai satuan lafazh am. Mereka menetapkan bahwa pada lafazh
am itu, kehendak mana umumnya jelas,tegas dan tidak memerlukan
penjelasan. Oleh sebab itu, Hanafiyah tidak mewajibkan tertib dalam

7
Juhaya Praja, Ilmu Ushul Fiqh,....h.194-197.

5
berwudhu, karena ayat mengenai wudhu, yaitu surah al-maidah ayat 6 cukup
jelas dan tegas tidak memerintahkan tertibnya berwudhu. Sedangkn jumhur
ulama mewajibkan tertib dalam berwudhu.
Pada prinsipnya, ulama’ sepakat bahwa penunjukan makna yang
ditunjukan (madlul) lafaz khas adalah qat’iy al-dalalah. Selanjutnya yang
menjadi perbedaan pendapat adalah mengenai dua hal:
Pertama, mengenai penilaian tentang ke-i’tibar-an lafaz khas yang
qot’iy al-dilalah.8 Hal ini berpengaruh pada diperbolehkannya menggunakan
selain makna asal lafaz khas tersebut dan tidak diperbolehkannya. Jika dinilai
i’tibar maka tentunya dapat dialihkan pada makna lain, namun jika dinilai
tidak i’tibar, maka tidak dapat dialihkan dengan makna lain. Berkenaan
dengan hal ini, al-Sarkhosi berpendapat bahwa jika lafaz khas dimungkinkan
untuk berubah dari makna asal (al-wadl’i) dengan adanya dalil pendukung,
maka hal ini merupakan bentuk ibaroh majaz tetapi tidak mungkin untuk
menerapkan hukum-hukum majaz dalam hal ini, karena nafs al-lafzi telah
sangat jelas dan digunakan untuk makna asal (wadl’i). Begitu juga al-
Bazdawi yang senada dengan al-Sarkhosi.9 Berdasarkan dua ungkapan inilah
Mustafa Ibrahim al-Zalami menyatakan bahwa penunjukan lafaz khas
terhadap makna khusus (makhsus) adalah dilihat dari segi al-wadl’i bukan
dari segi hakikat dan majaz, karena hakikat dan majaz tergolong bab
penggunaan makna lafaz, sedangkan mahsus adalah penciptaan makna asal
(al-wadl’i), dan penciptaan makna asal lebih didahulukan dari pada
penggunaan makna hakikat dan majaz. Sedangkan Ulama’ Hanafiyah
berpendapat bahwa makna lafaz khas dapat dirubah pada makna lain dengan
cara ta’wil jika disertai adanya dalil pendukung untuk mengalihkan dari
makna asal wadl’i Sebagaimana hadith Rasulullah SAW yang menjelaskan
bahwa nisab zakat binatang ternak adalah 40 (empat puluh) ekor:
‫فِ ْي ُك ِل أ َ ْر َب ِعيْنَ شَاة ً شَاة‬
Lafaz 40 (empat puluh) ekor tergolong lafaz khas yang tidak boleh
ditambahi dan dikurangi, semisal 39 ekor atau 41 ekor. Tetapi ulama’

8
Abd al-Karim Zaydan, al-Wajiz fi Usul al-Fiqh, (Beirut, Maktabah al-Resalah), h.98
9
Juhaya Praja, Ilmu Ushul Fiqh.......

6
Hanafiyah sesuai dengan pendapat mereka yang mengatakan boleh untuk
menta’wil lafaz khas, maka lafaz 40 ekor dinilai mengandung makna
kambing (shat) secara hakiki atau makna ta’wil yakni qimah (nilai harga
barang) dengan dalil bahwa hal ini sesuai dengan tujuan dishari’atkannya
zakat (mulahadlat maqsid al-tashri’), sehingga dengan terpenuhinya
qimah (nilai) 40 kambing, maka zakat wajib dikeluarkan. Begitupun zakat
yang dikeluarkan dapat dalam bentuk qimah satu ekor, sehingga mustahiq
zakat (faqir dan miskin) dapat memanfaatkan sesuai kebutuhan. Adapun
ulama’ yang menyatakan tidak dapat merubah pada makna lain, maka
zakat yang dikeluarkannya dalam bentuk kambing.10
Kedua,Mengenai sesuatu (hukum/makna) yang disandarkan pada
lafaz khas dianggap (i’tibar) sebagai bentuk nasakh (penghapusan)
sehingga tidak boleh menambah makna dengan khabar al-wahid, atau
tidak dianggap nasakh sehingga boleh menambah makna dengan khabar
al-wahid. Berikut tiga perbedaan dalam hal ini:
a) Ziyadah termasuk nasakh secara mutlak. Kelompok ulama’ hanafiyah
berpendapat demikian. Alasan (istidlal) yang dikemukakan bahwasannya
nasakh adalah penjelasan mengenai waktu berlakunya hukum dan
permulaan berlakunya hukum lain. Begitupun nash yang mutlak
mengharuskan pengamalan dengan kemutlakannya tersebut, dan ketika
nash tersebut terdapat qayyid (muqayyad) maka berubah pula sesuai
qayyid. Adapun pembatasan (taqyid) dan kemutlakan (itlaq) merupakan
sesuatu yang berlawanan dan tidak dapat disatukan, sehingga kedatangan
yang kedua (ziyadah dan taqyid) merupakan penghentian dari yang awal.
b) Ziyadah tidak termasuk nasakh secara mutlak. Ulama’ yang berpendapat
demikian adalah ulama’ shafi’iyyah, malikiyyah, hanabilah, dan sebagaian
ulama’ mu’tazilah seperti al-Juba’i dan Abi Hashim. Alasan kelompok ini
karena hakikat dari nasakh adalah mengganti (tabdil) dan menghilangkan
(raf’) hukum yang dikhitabkan, sedangkan ziyadah merupakan penetapan
(taqrir) hukum yang dishari’atkan disertai pengumpulan sesuatu (hukum)

10
Ibid.,h.188

7
lain terhadap hukum tersebut, seperti perintah puasa yang dikumpulkan
dengan perintah shalat.11
Men-tafsil (memerinci) pendapat dari berbagai segi: Sebagian golongan ini
(ba’dl) mengatakan, jika dengan ziyadah menghasilkan hukum yang
berbeda dengan hukum yang dihasilkan dari mafhum mukhalafah dan
sharat maka ziyadah termasuk nasakh. Contohnya sabda Rasul “fi al-
ghanami al-sa’imati zakat” dimana hadith tersebut merupakan hadith yang
dapat dijadikan mafhum mukhalafah “tidak wajib zakat pada ma’lufat al-
ghanam” dan lafaz} khas} dalam hadith itu adalah “al-ghanami al-
sa’imati” yang jika diberi tambahan akan memunculkan makna / hukum
kewajiban zakat pada ma’lufat al-ghanam, maka ziyadah dalam bentuk ini
tergolong nasakh. Hal ini tentunya mengikuti pada pendapat yang
mengatakan bahwa mafhum mukhalafah dalam bentuk mafhum sifat dan
syarat dapat dijadikan hujjah, sehingga hukumnya juga akan berbeda
dengan golongan ulama’ yang tidak mengakui kehujjahan mafhum
mukhlafah dalam bentuk syarat dan sifat.
Mayoritas golongan ini (jama’ah), jika ziyadah (tambahan)
merubah hukum yang ditambahi dalam masa yang akan datang, seperti
penambahan pengasingan (taghrib) atas suatu hukuman (had) maka
ziyadah termasuk nasakh dan jika tidak merubah maka tidak termasuk
nasakh. Pendapat ini didukung oleh mazhab al-karkhi dan Abi Abdillah al-
Bashri.
Sebagian lainnya (akhorun), jika ziyadah (tambahan) merubah
hukum yang telah dishari’atkan maka termasuk nasakh. Ulama’ yang
berpendapat seperti ini adalah ulama’ al-Ash’ariyah, Ibnu Nasr al-Maliki,
dan al-Baji.
Dari beberapa perbedaan di atas, Syekh Mustafa Ibrahim al-Zalami
mentarjih satu pendapat yakni pendapat yang mengatakan bahwa ziyadah
bukanlah nasakh dengan alasan:
1. Jika ziyadah termasuk nasakh maka tidak boleh untuk membarengkan
ziyadah dengan dengan yang ditambahi karena nasikh tidak dapat

11
Abd al-Wahab Khalaf, ‘Ilm Usul al-Fiqh, Beirut, Dar al-Qalam, 1978.

8
dibarengkan dengan mansukh, padahal ulama’ Hanafiyah menyatakan
boleh untuk membarengkan.
2. Ziyadah tidak menyebabkan penghapusan hukum yang ditambahi baik
secara bahasa, syara’, ‘urf dan akal.
3. Nasikh dan mansukh memang tidak dapat dikumpulkan karena saling
bertentangan, namun berbeda halnya dengan ziyadah dan yang ditambahi
(mazid alayh) yang jika dikumpulkan tidak akan terjadi pertentangan.
4. Nasikh dan mansukh tidak akan muncul pada satu tempat karena satu
sama lain saling menghilangkan hukum (bertentangan), namun hal ini
tidak akan terjadi pada ziyadah.
Dari beberapa perbedaan metodologi di atas, maka pastinya berpengaruh
juga terhadap hasil yang dicapai, sehingga perlu disajikan satu bentuk perbedaan
hukum akibat dari perbedaan metodologi di atas:
a) Perbedaan hukum mengenai hukuman (had) dan pengasingan (taghri>b).
Dalam surat al-nur ayat dua dijelaskan
‫الزانية والزاني فاجلدوه كل واحد منهما مائة جلدة‬
Dalam ayat ini, lafaz khas adalah seratus jilid (‫)مائة جلدة‬, maka dilalahnya
menunjukan makna yang qat’i al-dilalah yakni hukuman wanita dan lelaki
pezina dijilid seratus kali tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang dan
pada ayat ini tidak mungkin untuk merubah pada makna lain lewat ta’wil
karena tidak ada dalil yang menguatkan. Sedangkan hukum/makna yang
disandarkan pada hukum yang ditunjukan oleh lafaz} khas} ini adalah
hukuman taghrib (pengasingan) bagi pezina. Apakah taghrib ini ziyadah
yang bisa dikumpulkan dengan hukuman jilid atau merupakan nasikh
terhadap hukuman jilid?
b) Ulama’ hanafiyah menyatakan bahwa hukuman jilid melalui lafaz khas
telah jelas maknanya dengan dilalah yang qat’i, sekalipun taghrib
termasuk ziyadah yang bisa menasakh tetapi taghrib bersumber dari
khabar ahad yang jelas tidak dapat menasakh kitab (al-Qur’an), maka
taghrib merupakan hukum yang tidak dapat kumpulkan dengan hukuman
(had) jilid. Sehingga ulama’ hanafiyah berpendapat bahwa taghrib

9
merupakan ta’zir yang bisa dijalankan oleh imam jika ada maslahat atau
tidak dijalankan.
c) Ulama’ Shafi’iyyah, Malikiyyah dan Hanabilah berpendapat sesuai dengan
komitmen awal bahwa ziyadah (baca: taghrib) bukanlah termasuk bentuk
nasakh sehingga bisa dikumpulkan dengan hukuman (had) jilid dan
bahkan termasuk bagiannya sehingga imam harus menghukum pezina
dengan jilid dan taghrib. Hal didasarkan pada hadith dari Abu Hurairah
dan Zayd bin Khalid al-Juhani bahwa laki-laki badui datang kepada
Rasulullah saw dan berkata yang intinya mengadukan ankanya yang telah
berzina, namun ia ingin menebusnya dengan seratus ekor kambing sebagai
ganti dari rajam dan taghrib, namun Rasulullah saw memutuskannya
dengan menjilid (mendera) seratus kali dan mengasingkan (taghrib)
selama satu tahun.

10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Definisi am, am yaitu lafadzh yang menunjukkan di mana di
tempatkan secara lughawi meliputi dan semuanya itu berlaku untuk semua
ifradnya. Sebenarnya artinya itu tidak melingkupi dalam kelompok yang jelas.
Lafadz tiap-tiap perjanjian menurut fuqaha. Tiap-tiap perjanjian harus
disyaratkan untuk menyidangkannya secara kekeluargaan timbal balik. Lafadz
am itu menunjukkan meliputi setiap apa yang ditetapkan, bahwa perjanjian
menyempitkan perjanjian nyata. Atau perjanjian-perjanjian yang dikemukakan
lafazh am terdapat dalam hadist berbunyi, “barangsiapa yang meletakkan
senjatanya, maka dia dalah aman. Lafazh am disini menunjukkan meliputi
seluruh orang yang meletakkan senjatanya itu, tanpa kecuali bagi orang
tertentu, atau orang-orang tertentu.
Seperti dikemukakan Adib Shalih, lafazh khas adalah lafazh yang
mengandung satu pengertian secara tunggal atau beberapa pengertian yang
terbatas. Para Ulama Ushul Fiqh sepakat. Seperti disebutkan Abu Zahrah,
bahwa lafazh khash dalam nash syara‟. Menunjuk kepada pengertiannya yang
khash secara qath‟i (pasti) dan hukum yang dikandungnya bersifat pasti
(qath‟i) selama tidak ada indikasi yang menunjukan pengertian lain.
Para Ulama sepakat bahwa lafazh am yang disertai qarinah atau
indikasi yang menunjukkan penolakan adanya takhsis adalah qathi dilalah.
Mereka pun sepakat bahwa lafazh am yang di sertai qarinah yang
menunjukkan bahwa yang dimaksudnya itu khusus, mempunyai dilalah yang
khusus pula. Yang menjadi perdebatan pendapat disini ialah lafazh am yang
mutlaq tanpa di sertai suatu qarinah yang menolak kemungkinan adanya
takhsis, atau tetap berlaku umum yang mencakup satuan-satuannya.
Menurut ulama Hanafiyah dilalah am itu qathi yang dimaksuud qathi
adalah :”tidak mencakup suatu kandungan, yang menimbulkan suatu dalil”.
Namun, bukan berarti tidak ada kemungkinan taksis sama sekali. Oleh karena
itu, untuk menentkan ke qathiyan lafazh am, pada mulanya tidak boleh di

11
taksis sebab apabila pada awalnya sudah di masuki takhsis, maka dilalahnya
zhanni.
Pada prinsipnya, ulama’ sepakat bahwa penunjukan makna yang
ditunjukan (madlul) lafaz khas adalah qat’iy al-dalalah. Selanjutnya yang
menjadi perbedaan pendapat adalah mengenai dua hal:
Pertama, mengenai penilaian tentang ke-i’tibar-an lafaz khas yang
qot’iy al-dilalah. Hal ini berpengaruh pada diperbolehkannya menggunakan
selain makna asal lafaz khas tersebut dan tidak diperbolehkannya. Jika dinilai
i’tibar maka tentunya dapat dialihkan pada makna lain, namun jika dinilai
tidak i’tibar, maka tidak dapat dialihkan dengan makna lain. Berkenaan
dengan hal ini, al-Sarkhosi berpendapat bahwa jika lafaz khasdimungkinkan
untuk berubah dari makna asal (al-wadl’i) dengan adanya dalil pendukung,
maka hal ini merupakan bentuk ibaroh majaz tetapi tidak mungkin untuk
menerapkan hukum-hukum majaz dalam hal ini, karena nafs al-lafzi telah
sangat jelas dan digunakan untuk makna asal (wadl’i). Begitu juga al-Bazdawi
yang senada dengan al-Sarkhosi.
Kedua,Mengenai sesuatu (hukum/makna) yang disandarkan pada lafaz
khas dianggap (i’tibar) sebagai bentuk nasakh (penghapusan) sehingga tidak
boleh menambah makna dengan khabar al-wahid, atau tidak dianggap nasakh
sehingga boleh menambah makna dengan khabar al-wahid.

12
Daftar Pustaka

Munad Rozin, Ushul Fiqh, Metro: Institut Agama Islam Negeri Metro, 2018.
Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, Jakarta: PT RINEKA CIPTA, 2012.
Juhaya Praja, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung:Pustaka Setia, 2012.
Rachmat Syafe‟i , Ilmu Ushul Fiqh, CV Pustaka Setia:Bandung, 2007
Satria Efendi, Ushul Fiqh, Prenada Media:Jakarta, 2005.
Abd al-Karim Zaydan, al-Wajiz fi Usul al-Fiqh, Beirut, Maktabah al-Resalah .

13

Anda mungkin juga menyukai