Anda di halaman 1dari 8

AL-IJMA' DALAM KAJIAN USHUL AL-NAHWI AL-ARABI

Andi Eka Salviana1, Ani Amiruddin2


123
Program Magister Pendidikan Bahasa Arab, UIN Alauddin Makassar, Indonesia
123
Romangpolong, Somba Opu, Gowa Sulawesi Selatan
Email: 1ekhasyalfiana@gmail.com; 2
WA Number of the 1st Author: 082188208364

Abstrak

Kaidah-kaidah ushul fiqh dapat diaktualisasikan dalam kaidah ushul al-


nahwi al-arabi secara implementatif adalah sejak terjadinya benturan antara
pakar ushul fiqh dan pakar nahwu dalam mensikapi disiplin ilmu, dimana
pakar nahwu meniru pakar ushul fiqh dalam menerapkan kaidah-kaidah
tertentu terkait denganterminologi ushul dan argumentasinya. Konkritnya
adalah terminologi Istishab al-Hal umpamanya adalah suatu terminologi
dalam ushul fiqh yang digunakan oleh para ulama ushul nahwu.
Terminologi ini lahir pada peride terakhir ulama ushul nahwu, yaitu setelah
abad ke-4 Hijrah.
Keyword: al-Ijma’, ushul al-Nahwi, al-Arabi

PENDAHULUAN

Kata ''nahwu'' merupakan bentuk mashdar dari ‫ نحا ينحو نحوا‬yang berarti condong,

cenderung; dan menuju atau bermaksud.1 Bentuk jamak nahwu adalah anha yang juga berarti:

arah, sisi, seksi/devisi, bagian; jalan, metode, mode, fashion (model); sama dengan, contoh, dan

seperti. Dalam penjelasan gramatikal, nahwu sering digunakan dalam arti: contoh atau seperti.

"Contoh atau Seperti" adalah ekspresi untuk menyatakan sesuatu (kaidah) yang dituju atau

dikehendaki agar maksudnya menjadi jelas dan mudah dipahami. Jadi nahwu secara etimologi

menurut penjelasan di atas mengandung arti: contoh atau model yang dituju atau dikehendaki

sesuai dengan kaidah yang menjadi acuannya.

Secara terminology Nahwu didefinisikan oleh para ahli nahwu secara beragam atau

berbeda-beda sesuai dengan perspektif yang digunakan.Para nuhat mendefinisikan nahwu

1
Musthafa Ibrahim, et.al., al-mu'jam al-wasith, juz 11, (Istanbul: al-Maktabah al-Islamiyyah, 1972) Cet.II,
h. 908.
sebagai ilmu yang mempelajari keadaan akhir kata baik ketika I'rob (terjadi perubahan bunyi

akhir suatu kata) maupun bina' (tidak terjadi perubahan, statis). Senada dengan definisi tersebut,

nahwu adalh ilmu yang mempelajari perubahan akhir kata sesuai dengan 'awamil (penyebab

perubahan) yang ada. Kedua definisi tersebut cenderung membatasi bahasan dan penelitian

nahwu pada aspek bunyi akhir kata (I'rob) dan kebergantungan itu pada amil. Padahal tidak

karena selain I'rob masih banyak masalah nahwu yang relative belum menjadi fokus kajian.

Nahwu sebagai suatu disiplin keilmuan muncul pertama kali pada abad 1 H di Bashrah

atas prakarsa Abu al-aswad al-Dualy.Nahwu merupakan ilmu yang lebih muncul dianding

dengan ilmu-ilmu bahasa Arab lainnya. Tanda- tanda bacaan yang telah dirumuskan oleh Abu

Aswad ini pada mulanya sangat sederhana, yaitu hanya berupa pemberian titik-titik (nuqat)

sebagai tanda baca (fathah, kasrah dan dlommah) pada mushaf al-Quran selanjutnya ada Khalil

bin Ahmad al-Farahidi menyempurnakan tanda baca tersebut dengan member tanda baca fathah,

kasrah dan dhommah, pada akhir kalimat untuk menjelaskan makna dengan lafadz, perubahan

suatu kata dalam struktur kalimat yang berimplikasi pada perubahan makna gramatikal, dalam

sejarah nahwu selanjutnya dikenal sebagai 'alamat 'irob (tanda akhir pada setiap kata).

Ushul nahwu dalam kajian nahwu Arab mempunyai kesamaan dengan ushul fiqih dalam

dalam kajian ilmu fiqh.Di dalam ilmu ushul nahwu terdapat adillah al-nahwu sedangkan dalam

ilmu ushul fiqh al fiqh dikenal adillah al ahkam yang kedua-duanya sama-sama digunakan untuk

menetapkan hukum.

Seperti dikemukakan Abd. Al-Majid Muhammad Al-Khofawi, ahli hukum islam yang

berkebangsaan Mesir, ada empat yaitu Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.2 Ushul nahwu pun

juga sama dalam hal tersebut. Yakni memiliki sumber hukum Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’,Qiyas

2
Satria Effendi, M. Zein,Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana Pranada Media Group, 2009), h. 78.
dan istishhabul hal sebagaimana yang telah disepakati oleh ulama Basrah dan Kufah. Senada

dengan yang ditegaskan oleh Muhbib Abdul Wahab, bahwa nahwu secara epistomologis

merupakan sebuah ilmu yang telah memenuhi kriteria sebagai sistem pengetahuan yang ilmiah

karena didasari oleh prinsip-prinsip dan dalil-dalil epistomologis (teori ilmu pengetahuan) seperti

as-simaa', al-qiyas, al- ijma' dan istishhab al-haal.3

Melihat ada banyak pendapat yang diasumsikan terkait ijma’ di kalangan para ulama’.

Dalam artikel ini kami akan membahas tentang beberapa ulasan tentang Ijma’, yang meliputi

definisi, konsep-konsep, serta contoh produk ijma’dan perdebatan para ulama’ tentang ijma’.

PEMBAHASAN

Pengertian Ijma’

Ijma' secara etimologi (bahasa) mempunya dua arti yaitu ‫( العسم على األهر‬hasrat pada suatu

perkara) dan yang lain ada ‫( اإلتفاق‬kesepakatan), perbedaan diantaranya kedua arti diatas bahwa

pendapat yang pertam memungkin bahwa Cuma ada satu kejadian, tapi tidak untuk arti yang

kedua yang mana tidak memungkinkan Cuma ada satu kejadian tapi seharusnya ada dua atau

lebih.4

Sedangkan pengertian Ijma' secara terminology (istilah) adalah kesepakatan para ulama'

mujtahid pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah Saw atas hokum syar'i.5 menurut para

linguis Arab Ijma' berarti , (‫ )إجواع نحاة البلدين البصرة الكوفت‬kesepakatan antara ulama' kota Basrah

dan kuffah. Para linguis tersebut memperbincangkan hal ini serta memnjelaskan syarat-syarat

penghujjahan menggunakan ijma’.6

3
Abdul Wahab Muhbib, Pemikiran linguistik Tamam Hasan dalam pembelajaran islam, (Jakarta: Uin
Jakarta Pres 2009), Cet 1.
4
Tamim mulloh, Al-Basith fi Ushulin Nahwi wa Madarisihi, (Malang: dreamlitera, 2014), h. 51.
5
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul fikih, Jakarta: Pustaka Amani, hal. 54
6
Ahmad Muzakki, Paradigma Ilmu Nahwu, h. 433
Mengiblat definisi yang dipaparkan oleh Ibn Jinni dalam kitabnya Al Khashaish,

‫ وىو حجة إذا أعطاك خصمك يده أال ختالف‬-‫اإلمجاع ىو إمجاع أىل البلدين – البصرة و الكوفة‬
7
.‫حجةعليو‬ ‫ فال يكون إمجاعهم‬،‫ فأما إن مل يعط يده بذالك‬،‫املنصوص واملقيسعلى املنصوص‬
Ijma adalah kesepakatan ulama’ dua kota yakni Bashrah dan Kuffah dan kesepakatan itu

boleh menjadi hujjah bila orang lain mengakui bahwa hal itu tidak bertentangan dengan nash dan

yang diqiyaskan kepada nash. Namun bila tidak ada pengakuan, maka ijma’ tersebut tidak dapat

dihujjahkan.

Konsep Ijma'

Para ulama’ Nahwu mengambil dalil dengan menggunakan ijma’ dalam menetapkan hokum

nahwiyah atau menjawab perdebatan argumentasi nahwiyah.8

Sebagaimana penghujjahan dalam ilmu Ushul Fiqh, ijma’ dalam Ushul Nahwu memiliki

konsep yang tidak berbeda, diantaranya sebagai berikut :

1. Disepakati para mujtahid dan tidak berdasarkan kesepakatan maupun penyangkalan

orang ‘awwam atau orang yang belum mencapai derajat mujtahid. Karena mereka tidak

professional berpendapat dalam mengetahui hukum-hukum syar’i. Dalam hal ini

meskipun dalam beberapa periode terdapat para mujtahid yang tidak membenarkan ijma’.

Jika pun dijumpai beberapa dari para mujtahid pada suatu periode yang membenarkan

ijma’ secara mufakat bilamana terdapat beberapa mujtahid menurut Jumhur.

7
Abu al Fath Utsman Ibn al Jinny., Al Khashaish, (al Maktabah al Ilmiah, 1952), h. 189

344 ‫ ص‬،5881 ‫ بغداد‬،‫ دار احلرية للطباعة‬.‫ حضارة العرق‬،‫ خدجية احلديثي‬8
2. Mufakat oleh seluruh mujtahid. Jika suatu hukum disepakati oleh sebagian besar saja dari

para mujtahid maka hal ini tidak dapat disebut ijma’ menurut jumhur ulama’ bilamana

terdapat sebagian kecil yang berbeda pendapat.

3. Para mujtahid adalah ummat Nabi Muhammad saw, dan tidak butuh kesepakatan dari

para mujtahid dari ummat nabi lain. Karena keberadaan mujathid hanya menkonteks pada

masa nabinya. Hal ini berorientasi pada dalil-dalil yang dikhususkan untuk ummat Nabi

Muhammad saw demi menghindari kesalahan dalam mufakat dengan adanya ketidak

sepakatan mujtahid ummat lain.

4. Ijma’ dibenarkan pada masa setelah wafatnya Rasulullah saw. Maka ijma’ tidak dapat

dijadikan pijakan pada zaman beliau, sebab Rasulullah saw menyetujui para sahabat atas

hukum yang disepakati dengan sunnah, bukan ijma’. Jika beliau tidak sepakat dengan

ittifaq parasahabat, maka hukum tersebut tidak dapat disepakati untuk dijadikan suatu

hukum.

5. Hukum itu disepakati oleh para mujtahid secara syar’I seperti hukum wajib, haram

ataupun hukum shahih, fasad, dsb. Berdasarkan hal ini, kesepakatan hukum-hukum

lughawiyyah ataupun aqliyyah tidak melalui jalan syar’i. Seperti kesepakatan atas huruf

fa’ yang berfaedah tartib dan ta’qib, dan lafadz tsumma(‫ )ثن‬yang berfaedah tartib dan

tarakhi, dan sebagaimana kesepakatan para Ulama’mengenai fenomena-fenomena alam

dan sejenisnya.9

Ikhtilaf Ulama’ dan Produk Nahwu

Ikhtilaf Ulama Basrah dan Kufah yaitu sebagai berikut:

344 ‫ ص‬،5881 ‫ بغداد‬،‫ دار احلرية للطباعة‬.‫ حضارة العرق‬،‫ خدجية احلديثي‬8
1. Ulama’ Bashrah

a. Ulama’ Bashrah sepakat mengenai bolehnya mendahulukan isim dlomir yang

kembali pada isim dhohir. Contoh pada kalimat ‫ضرب غالهه زيد‬

b. Ulama’ Bashrah sepakat mengenai bolehnya mendahulukan khabar kaana atas

isimnya.

2. Ulama’ Kuffah

a. Ulama’ Kuffah sepakat bahwa Inna waakhawatuha tidak beramal pada khabarnya.

Oleh karena itu khabaru inna dibaca rafa’.

b. Mereka sepakat bahwa‘athaf boleh jatuh sebelum sempurnanya khabar.

Diantara produk Ijma’ di kalangan para ulama’ Bashrah dan Kuffah ialah :

1. Mereka sepakat bahwa khabar al mubtada’ yang mensifati maka mengandung dlamir.

Misal kalimat‫ زيد قائن‬،‫ عور حسن‬, lafadz ‫ حسن‬dan ‫ قائن‬disini merupakan khabar al mubtada’

menyifati mubtada’, dan keduanya mengandung dlamir yang kembali pada masing-

masing yang disifati.

2. Dlomir pada Isim fa’il atau sifat pada khobar itu tidak boleh ditampakkan.

Contoh :‫زيد قائن‬

3. Mereka sepakat bahwa fi’il madli yang menjadi sifat dari lafadz yang dibuang, maka ia

menjadi hal.

Satu lagi produk nahwu:

50
.‫دخول الباء الزائدة يف خرب( ما) التميمية‬

10
Tamim mulloh. Al-Basith fi Ushulin Nahwi wa Madarisihi. (Malang: dreamlitera, 2014), h. 54
1. Madzhab Abi al-farisi tidak memperbolehkan memasukkan ba’ zaidah di khobarnyama

secara sempurna Karenna ba’ tidak boleh masuk pada khobar, kecuali pada khobar yang

di nashobkan.

2. Madzhab Akhfasy memperbolehkan memasukkan ba’zaidah dikhobarnya ma secara

sempurna.

Adapun pendapat yang paling unggul adalah pendapatnya madzhab Akhfasy.

KESIMPULAN

Ushul nahwu dalam kajian nahwu Arab mempunyai kesamaan dengan ushul fiqih dalam

dalam kajian ilmu fiqh. Di dalam ilmu ushul nahwu terdapat adillah al-nahwu sedangkan dalam

ilmu ushul fiqh al fiqh dikenal adillah al ahkam yang kedua-duanya sama-sama digunakan untuk

menetapkan hukum.

Seperti dikemukakan Abd. Al-Majid Muhammad Al-Khofawi, ahli hukum islam yang

berkebangsaan Mesir, ada empat yaitu Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Ushul nahwu-pun

juga sama dalam hal tersebut. Yakni memiliki sumber hukum Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’,Qiyas

dan istishhabul hal

Dalam pembahasannya, ada dua madrasah yang menjadi acuan dalam keilmuwan nahwu,

yaitu madrasah Kufah dan Basrah. Apabila membaca pemikiran - pemikiran para linguis Kufah

maka dapat dinyatakan, ada dua hal sebagai pembeda dengan aliran Basrah. Pertama, linguistic

Kufah banyak membuat istilah-istilah baru, dan kedua pemikiran-pemikiran di bidang ilmu

nahwu sengaja dipertentangkan dengan pemikiran aliran Basrah

REFERENSI

Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul fikih, Jakarta: Pustaka Amani.


Abdul Wahab Muhbib, Pemikiran linguistik Tamam Hasan dalam pembelajaran islam. Jakarta:
Uin Jakarta Pres 2009.
Abu al Fath Utsman Ibn al Jinny., Al Khashaish. al Maktabah al Ilmiah, 1952.
Ahmad Muzakki, Paradigma Ilmu Nahwu.
Musthafa Ibrahim, et.al., al-mu'jam al-wasith, juz 11. Istanbul: al-Maktabah al-Islamiyyah,
1972.
Satria Effendi, M. Zein,Ushul Fiqih. Jakarta: Kencana Pranada Media Group, 2009.
Tamim mulloh, Al-Basith fi Ushulin Nahwi wa Madarisihi. Malang: dreamlitera, 2014

.5881 ‫ بغداد‬،‫ دار احلرية للطباعة‬.‫ حضارة العرق‬،‫خدجية احلديثي‬


.5881 ‫ بغداد‬،‫ دار احلرية للطباعة‬.‫ حضارة العرق‬،‫خدجية احلديثي‬

Anda mungkin juga menyukai