Abstrak
PENDAHULUAN
Kata ''nahwu'' merupakan bentuk mashdar dari نحا ينحو نحواyang berarti condong,
cenderung; dan menuju atau bermaksud.1 Bentuk jamak nahwu adalah anha yang juga berarti:
arah, sisi, seksi/devisi, bagian; jalan, metode, mode, fashion (model); sama dengan, contoh, dan
seperti. Dalam penjelasan gramatikal, nahwu sering digunakan dalam arti: contoh atau seperti.
"Contoh atau Seperti" adalah ekspresi untuk menyatakan sesuatu (kaidah) yang dituju atau
dikehendaki agar maksudnya menjadi jelas dan mudah dipahami. Jadi nahwu secara etimologi
menurut penjelasan di atas mengandung arti: contoh atau model yang dituju atau dikehendaki
Secara terminology Nahwu didefinisikan oleh para ahli nahwu secara beragam atau
1
Musthafa Ibrahim, et.al., al-mu'jam al-wasith, juz 11, (Istanbul: al-Maktabah al-Islamiyyah, 1972) Cet.II,
h. 908.
sebagai ilmu yang mempelajari keadaan akhir kata baik ketika I'rob (terjadi perubahan bunyi
akhir suatu kata) maupun bina' (tidak terjadi perubahan, statis). Senada dengan definisi tersebut,
nahwu adalh ilmu yang mempelajari perubahan akhir kata sesuai dengan 'awamil (penyebab
perubahan) yang ada. Kedua definisi tersebut cenderung membatasi bahasan dan penelitian
nahwu pada aspek bunyi akhir kata (I'rob) dan kebergantungan itu pada amil. Padahal tidak
karena selain I'rob masih banyak masalah nahwu yang relative belum menjadi fokus kajian.
Nahwu sebagai suatu disiplin keilmuan muncul pertama kali pada abad 1 H di Bashrah
atas prakarsa Abu al-aswad al-Dualy.Nahwu merupakan ilmu yang lebih muncul dianding
dengan ilmu-ilmu bahasa Arab lainnya. Tanda- tanda bacaan yang telah dirumuskan oleh Abu
Aswad ini pada mulanya sangat sederhana, yaitu hanya berupa pemberian titik-titik (nuqat)
sebagai tanda baca (fathah, kasrah dan dlommah) pada mushaf al-Quran selanjutnya ada Khalil
bin Ahmad al-Farahidi menyempurnakan tanda baca tersebut dengan member tanda baca fathah,
kasrah dan dhommah, pada akhir kalimat untuk menjelaskan makna dengan lafadz, perubahan
suatu kata dalam struktur kalimat yang berimplikasi pada perubahan makna gramatikal, dalam
sejarah nahwu selanjutnya dikenal sebagai 'alamat 'irob (tanda akhir pada setiap kata).
Ushul nahwu dalam kajian nahwu Arab mempunyai kesamaan dengan ushul fiqih dalam
dalam kajian ilmu fiqh.Di dalam ilmu ushul nahwu terdapat adillah al-nahwu sedangkan dalam
ilmu ushul fiqh al fiqh dikenal adillah al ahkam yang kedua-duanya sama-sama digunakan untuk
menetapkan hukum.
Seperti dikemukakan Abd. Al-Majid Muhammad Al-Khofawi, ahli hukum islam yang
berkebangsaan Mesir, ada empat yaitu Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.2 Ushul nahwu pun
juga sama dalam hal tersebut. Yakni memiliki sumber hukum Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’,Qiyas
2
Satria Effendi, M. Zein,Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana Pranada Media Group, 2009), h. 78.
dan istishhabul hal sebagaimana yang telah disepakati oleh ulama Basrah dan Kufah. Senada
dengan yang ditegaskan oleh Muhbib Abdul Wahab, bahwa nahwu secara epistomologis
merupakan sebuah ilmu yang telah memenuhi kriteria sebagai sistem pengetahuan yang ilmiah
karena didasari oleh prinsip-prinsip dan dalil-dalil epistomologis (teori ilmu pengetahuan) seperti
Melihat ada banyak pendapat yang diasumsikan terkait ijma’ di kalangan para ulama’.
Dalam artikel ini kami akan membahas tentang beberapa ulasan tentang Ijma’, yang meliputi
definisi, konsep-konsep, serta contoh produk ijma’dan perdebatan para ulama’ tentang ijma’.
PEMBAHASAN
Pengertian Ijma’
Ijma' secara etimologi (bahasa) mempunya dua arti yaitu ( العسم على األهرhasrat pada suatu
perkara) dan yang lain ada ( اإلتفاقkesepakatan), perbedaan diantaranya kedua arti diatas bahwa
pendapat yang pertam memungkin bahwa Cuma ada satu kejadian, tapi tidak untuk arti yang
kedua yang mana tidak memungkinkan Cuma ada satu kejadian tapi seharusnya ada dua atau
lebih.4
Sedangkan pengertian Ijma' secara terminology (istilah) adalah kesepakatan para ulama'
mujtahid pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah Saw atas hokum syar'i.5 menurut para
linguis Arab Ijma' berarti , ( )إجواع نحاة البلدين البصرة الكوفتkesepakatan antara ulama' kota Basrah
dan kuffah. Para linguis tersebut memperbincangkan hal ini serta memnjelaskan syarat-syarat
3
Abdul Wahab Muhbib, Pemikiran linguistik Tamam Hasan dalam pembelajaran islam, (Jakarta: Uin
Jakarta Pres 2009), Cet 1.
4
Tamim mulloh, Al-Basith fi Ushulin Nahwi wa Madarisihi, (Malang: dreamlitera, 2014), h. 51.
5
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul fikih, Jakarta: Pustaka Amani, hal. 54
6
Ahmad Muzakki, Paradigma Ilmu Nahwu, h. 433
Mengiblat definisi yang dipaparkan oleh Ibn Jinni dalam kitabnya Al Khashaish,
وىو حجة إذا أعطاك خصمك يده أال ختالف-اإلمجاع ىو إمجاع أىل البلدين – البصرة و الكوفة
7
.حجةعليو فال يكون إمجاعهم، فأما إن مل يعط يده بذالك،املنصوص واملقيسعلى املنصوص
Ijma adalah kesepakatan ulama’ dua kota yakni Bashrah dan Kuffah dan kesepakatan itu
boleh menjadi hujjah bila orang lain mengakui bahwa hal itu tidak bertentangan dengan nash dan
yang diqiyaskan kepada nash. Namun bila tidak ada pengakuan, maka ijma’ tersebut tidak dapat
dihujjahkan.
Konsep Ijma'
Para ulama’ Nahwu mengambil dalil dengan menggunakan ijma’ dalam menetapkan hokum
Sebagaimana penghujjahan dalam ilmu Ushul Fiqh, ijma’ dalam Ushul Nahwu memiliki
orang ‘awwam atau orang yang belum mencapai derajat mujtahid. Karena mereka tidak
meskipun dalam beberapa periode terdapat para mujtahid yang tidak membenarkan ijma’.
Jika pun dijumpai beberapa dari para mujtahid pada suatu periode yang membenarkan
7
Abu al Fath Utsman Ibn al Jinny., Al Khashaish, (al Maktabah al Ilmiah, 1952), h. 189
344 ص،5881 بغداد، دار احلرية للطباعة. حضارة العرق، خدجية احلديثي8
2. Mufakat oleh seluruh mujtahid. Jika suatu hukum disepakati oleh sebagian besar saja dari
para mujtahid maka hal ini tidak dapat disebut ijma’ menurut jumhur ulama’ bilamana
3. Para mujtahid adalah ummat Nabi Muhammad saw, dan tidak butuh kesepakatan dari
para mujtahid dari ummat nabi lain. Karena keberadaan mujathid hanya menkonteks pada
masa nabinya. Hal ini berorientasi pada dalil-dalil yang dikhususkan untuk ummat Nabi
Muhammad saw demi menghindari kesalahan dalam mufakat dengan adanya ketidak
4. Ijma’ dibenarkan pada masa setelah wafatnya Rasulullah saw. Maka ijma’ tidak dapat
dijadikan pijakan pada zaman beliau, sebab Rasulullah saw menyetujui para sahabat atas
hukum yang disepakati dengan sunnah, bukan ijma’. Jika beliau tidak sepakat dengan
ittifaq parasahabat, maka hukum tersebut tidak dapat disepakati untuk dijadikan suatu
hukum.
5. Hukum itu disepakati oleh para mujtahid secara syar’I seperti hukum wajib, haram
ataupun hukum shahih, fasad, dsb. Berdasarkan hal ini, kesepakatan hukum-hukum
lughawiyyah ataupun aqliyyah tidak melalui jalan syar’i. Seperti kesepakatan atas huruf
fa’ yang berfaedah tartib dan ta’qib, dan lafadz tsumma( )ثنyang berfaedah tartib dan
dan sejenisnya.9
344 ص،5881 بغداد، دار احلرية للطباعة. حضارة العرق، خدجية احلديثي8
1. Ulama’ Bashrah
kembali pada isim dhohir. Contoh pada kalimat ضرب غالهه زيد
isimnya.
2. Ulama’ Kuffah
a. Ulama’ Kuffah sepakat bahwa Inna waakhawatuha tidak beramal pada khabarnya.
Diantara produk Ijma’ di kalangan para ulama’ Bashrah dan Kuffah ialah :
1. Mereka sepakat bahwa khabar al mubtada’ yang mensifati maka mengandung dlamir.
Misal kalimat زيد قائن، عور حسن, lafadz حسنdan قائنdisini merupakan khabar al mubtada’
menyifati mubtada’, dan keduanya mengandung dlamir yang kembali pada masing-
2. Dlomir pada Isim fa’il atau sifat pada khobar itu tidak boleh ditampakkan.
3. Mereka sepakat bahwa fi’il madli yang menjadi sifat dari lafadz yang dibuang, maka ia
menjadi hal.
50
.دخول الباء الزائدة يف خرب( ما) التميمية
10
Tamim mulloh. Al-Basith fi Ushulin Nahwi wa Madarisihi. (Malang: dreamlitera, 2014), h. 54
1. Madzhab Abi al-farisi tidak memperbolehkan memasukkan ba’ zaidah di khobarnyama
secara sempurna Karenna ba’ tidak boleh masuk pada khobar, kecuali pada khobar yang
di nashobkan.
sempurna.
KESIMPULAN
Ushul nahwu dalam kajian nahwu Arab mempunyai kesamaan dengan ushul fiqih dalam
dalam kajian ilmu fiqh. Di dalam ilmu ushul nahwu terdapat adillah al-nahwu sedangkan dalam
ilmu ushul fiqh al fiqh dikenal adillah al ahkam yang kedua-duanya sama-sama digunakan untuk
menetapkan hukum.
Seperti dikemukakan Abd. Al-Majid Muhammad Al-Khofawi, ahli hukum islam yang
berkebangsaan Mesir, ada empat yaitu Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Ushul nahwu-pun
juga sama dalam hal tersebut. Yakni memiliki sumber hukum Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’,Qiyas
Dalam pembahasannya, ada dua madrasah yang menjadi acuan dalam keilmuwan nahwu,
yaitu madrasah Kufah dan Basrah. Apabila membaca pemikiran - pemikiran para linguis Kufah
maka dapat dinyatakan, ada dua hal sebagai pembeda dengan aliran Basrah. Pertama, linguistic
Kufah banyak membuat istilah-istilah baru, dan kedua pemikiran-pemikiran di bidang ilmu
REFERENSI