Anda di halaman 1dari 51

KONTRIBUSI A.

HASSAN TERHADAP KAJIAN HADIS DI INDONESIA


Posted on Mei 4, 2008 by fospi

(Studi Atas Cara Memeriksa dan Memahami Hadis)

(2)
Oleh: Al-Hfizh Ibnul Qayyim [1]
A. Riwayat Hidup dan Keluarga A. Hassan
Sekitar 500-600 tahun yang lalu ada sekelompok penduduk Kairo yang
berpengaruh, namun karena merasa kurang senang dengan rezim rajanya, akhirnya,
mereka hijrah meninggalkan Mesir menuju India dengan kapal layar yang terbuat dari
kayu. Setibanya di India, mereka digelar Maricar yang berarti kapal layar. Mereka
bermukim di Kail Patnam[2] dengan berdagang. Melihat rupa dan bentuknya
kemungkinan mereka berasal dari Parsi. Di antara nenek moyangnya, selain pedagang,
juga terdapat ulama pujangga. Di sinilah asal keturunan nenek moyang A. Hassan.[3]
A. Hassan lahir pada tahun 1887 M. di Singapura. Ayahnya bernama Ahmad
Sinna Vappu Maricar yang digelari Pandit[4] berasal dari India dan ibunya bernama
Muznah berasal dari Palekat, Madras. Ahmad menikahi Muznah di Surabaya ketika ia
berdagang di kota tersebut, kemudian menetap di Singapura. Ahmad adalah seorang
pengarang dalam bahasa Tamil dan pemimpin surat kabar Nurul Islam di Singapura. Ia
suka berdebat dalam masalah bahasa dan agama serta mengadakan tanya jawab dalam
surat kabarnya.[5]
A. Hassan menikah pada tahun 1911 M. dengan Maryam peranakan Melayu-
Tamil di Singapura. Dari pernikahannya ini ia dikaruniai tujuh orang putra-putri; (1)
Abdul Qadir,[6] (2) Jamilah, (3) Abdul Hakim, (4) Zulaikha, (5) Ahmad, (6) Muhammad
Said, (7) Manshur.[7]
B. Pendidikan
A. Hassan belajar al-Quran pada umur sekitar tujuh tahun, kemudian masuk di
Sekolah Melayu. Ayahnya sangat menekankan agar Hassan mendalami bahasa Arab,
Inggris, Melayu dan Tamil di samping pelajaran-pelajaran lain.[8]
Guru-gurunya antara lain adalah H. Ahmad di Bukittiung dan Muhammad Thaib
di Minto Road. Walaupun kedua gurunya ini bukanlah seorang alim besar namun untuk
ukuran daerahnya keduanya cukup disegani dan dihormati. Kepada Muhammad Thaib,
Hassan belajar nahwu dan sharaf, namun kira-kira empat bulan kemudian, ia merasa
tidak memiliki kemajuan, karena hanya menghafal saja tanpa dimengerti, semangat
belajarnya pun menurun. Dalam keadaan seperti itu, untunglah gurunya naik haji.
Akhirnya, A. Hassan beralih belajar bahasa Arab kepada Said Abdullah al-Musawi sekitar
kurang lebih tiga tahun. Selain itu, A. Hassan belajar kepada Syeikh Hassan al-Malabary
dan Syeikh Ibrahim al-Hind. Semuanya ditempuh hingga kira-kira tahun 1910 M., ketika
ia berumur 23 tahun. Walaupun pada masa ini A. Hassan belum memiliki pengetahuan
yang luas tentang tafsr, fiqh, farid, manthiq, dan ilmu-ilmu lainnya, namun dengan
ilmu alat yang ia miliki itulah yang kemudian mengantarkannya memperdalam
pengetahuan dan pemahaman terhadap agama secara otodidak.[9]
Sekitar tahun 1912 M.-1913 M., Hassan bekerja sebagai dewan redaksi Utusan
Melayu yang diterbitkan oleh Singapore Press, dalam surat kabar ini, Hassan banyak
menulis tentang masalah agama seputar nasehat-nasehat, anjuran berbuat baik dan
mencegah kejahatan yang kebanyakannya dalam bentuk syair. Ia pernah menulis,
mengecam qadhi yang memeriksa perkara dalam ruang sidang dengan mengumpulkan
tempat duduk antara pria dan wanita (ikhtilth). Bahkan pernah dalam salah satu
pidatonya mengecam kemunduran ummat Islam, sehingga karena sebab itu ia tidak
diperkenankan menyampaikan pidato lagi.
Pada tahun 1921 M., A. Hassan berangkat ke Surabaya (Jawa Timur) untuk
berdagang dan mengurus toko milik Abdul Lathif pamannya, namun sebelum A. Hassan
berangkat, pamannya berpesan agar sesampainya nanti di Surabaya ia tidak bergaul
dengan seseorang yang bernama Faqih Hasyim[10] karena dianggap sesat dan berfaham
Wahhabi.[11]
Berawal dari pertemuannya dengan Abdul Wahhab Hasbullah[12] yang
kemudian mengajukan pertanyaan kepadanya mengenai hukum
membaca ushalliy[13] sebelum takbirat al-ihrm. Sesuai dengan pengetahuannya ketika
itu, A. Hassan menjawab bahwa hukumnya sunnah. Ketika ditanyakan lagi mengenai
alasan hukumnya, ia menjawab bahwa soal alasannya dengan mudah dapat diperoleh
dari kitab manapun juga. Namun dari pertemuan ini, ia heran, mengapa soal semudah
itu yang dipertanyakan kepadanya. Setelah menceritakan perbedaan-perbedaan antara
Kaum Tua dan Kaum Muda, Abdul Wahhab Hasbullah meminta agar A. Hassan
memberikan alasan sunnatnya membaca ushalliy dari al-Quran dan Hadis, karena
menurut Kaum Muda, agama hanyalah apa yang dikatakan Allah dan Rasul-Nya. A.
Hassan kemudian berjanji akan memeriksa dan menyelidiki masalah itu. Tetapi sesuatu
yang berkembang menjadi keyakinan dihatinya bahwa agama hanyalah apa yang
dikatakan oleh Allah dan Rasul-Nya. Keesokan harinya A. Hassan mulai memeriksa
kitab Shahh al-Bukhriy danShahh Muslim, dan mencari ayat-ayat al-Quran mengenai
alasan sunnatnya ushalliy namun ia tidak menemukannya, pendiriannya membenarkan
Kaum Muda akhirnya bertambah tebal.[14]
Maksud awalnya hendak berdagang kemudian berubah, bahkan kemudian A.
Hassan bergaul rapat dengan Faqih Hasyim salah seorang pentolan Kaum Muda di
Surabaya itu. Pada tahun 1924 M., A. Hassan berangkat ke Bandung untuk mempelajari
pertenunan, di sinilah ia berkenalan dengan tokoh pendiri organisasi PERSIS (Persatuan
Islam), yang kemudian A. Hassan diangkat menjadi guru Persatuan Islam.[15]
C. Geneologi Pemikiran
Seorang tokoh pemikir, seperti halnya A. Hassan, pasti memiliki latar belakang
yang mempengaruhi corak berfikirnya, baik itu keluarga, pendidikan, pergaulan
serta setting sosial yang melingkupi sehingga membentuk karakter berfikirnya.
Pada abad kedelapan belas, penolakan terhadap taklid dan perhatian terhadap
studi Hadis sedang berkembang, yang dipelopori oleh Syah Waliyyullah al-Dahlawiy di
India dan Muhammad al-Syawkniy di Yaman. Maka, pada abad kesembilan belas
muncullah gerakan Ahl-i-Hadis di India, yang dalam masalah-masalah hukum, Ahl-i-
Hadis mengkombinasikan penolakan terhadap taklid dalam tradisi pemikiran al-Dahlawiy
dan al-Syawkniy dengan tekstualitas pemahaman yang merupakan gagasan pemikiran
Zhahiriy. Seperti orang Zhahiriy, Ahl-i-Hadis cenderung tekstual dalam memahami al-
Quran dan Hadis, di samping itu mereka sepenuhnya menolak kewenangan ijm,
kecuali ijm sahabat. Dari sisi karakternya, antara gerakan Ahl-i-Hadis di India dan
gerakan Wahhabiy di Arab adalah sama, hanya saja dalam pertumbuhannya berjalan
masing-masing.[16]
Keluarga A. Hassan adalah keluarga yang berasal dari India. Ayahnya, Ahmad,
dikenal sebagai sarjana Tamil yang memiliki karakter keras tidak membenarkan ushalliy,
tahlilan, talqin, dan lain sebagainya, sebagaimana faham Ahl-i-Hadis dan Wahhabiy pada
umumnya. Demikian pula beberapa orang India di Singapura, seperti Thalib Rajab Ali,
Abdul Rahman, Jailani, yang juga dikenal sebagai orang-orang yang berfaham Wahhabiy.
[17]
A. Hassan adalah seorang sosok yang otodidak, karena pendidikan formal yang
dilaluinya hanya di Sekolah Melayu. Walaupun demikian, ia menguasai bahasa Arab,
Inggris, Tamil, dan Melayu yang dapat digunakan olehnya dalam pengembaraan
intelektualnya. Pada masa itu, ia telah membaca majalah Al-Manr yang diterbitkan oleh
Muhammad Rasyid Ridha di Mesir, majalah Al-Imm yang diterbitkan oleh ulama-ulama
Kaum Muda di Minangkabau. Selain itu, A. Hassan telah mengkaji kitab Al-Kafaah karya
Ahmad al-Syurkati, Bidyat al-Mujtahid karya Ibnu Rusyd, Zd al-Mad karya Ibnu
Qayyim al-Jawziyyah, Nayl al-Awthr karya Muhammad Ali al-Syawkniy, dan Subul al-
Salm karya al-Shanniy. Semua bacaan-bacaan itu, cukup mempengaruhi corak
berfikirnya.[18]
Pergaulan A. Hassan pun cukup luas, di antara sahabat-sahabatnya adalah Faqih
Hasyim, Ahmad Syurkatiy,[19] H.O.S. Cokroaminoto, H. Agus Salim, Mas Mansur,[20] H.
Munawar Chalil, Soekarno, Muhammad Maksum, Mahmud Aziz, dan lain-lain.
Pada tahun 1940 M., A. Hassan pindah ke Bangil, Jawa Timur, dan mendirikan
Pesantren Persatuan Islam Bangil, ia tetap mengajar dan menulis di majalah Himyat al-
Islm ( ( ) yang diterbitkannya hingga wafat pada 10 Nopember 1958 M.

dan dimakamkan di Pekuburan Segok, Bangil.
Dari madrasah A. Hassan, muncul Abdul Qadir Hassan sebagai pewaris
keilmuannya, dilanjutkan oleh kedua cucunya, Ghazie Abdul Qadir Hassan,[21] Hud
Abdullah Musa, Luthfie Abdullah Ismal,[22] selain itu murid-murid Abdul Qadir yang
mewarisi keilmuannya antara lain; Aliga Ramli,[23] Ahmad Husnan,[24] Muhammad
Haqqiy,[25] dan masih banyak yang lain.
D. Karya-karya Ilmiyah
A. Hassan adalah salah seorang tokoh pemikir yang produktif menuliskan ide-
idenya baik di majalah-majalah maupun dalam bentuk buku. Karya-karya tulisnya,
antara lain:
1. Dalam bidang Al-Quran dan Tafsir: Tafsir Al-Furqn, Tafsir Al-Hidyah, Tafsir Surah
Ysn, dan Kitab Tajwd.
2. Dalam bidang Hadis, Fiqh, dan Ushl Fiqh: Soal Jawab: Tentang Berbagai Masalah
Agama, Risalah Kudung, Pengajaran Shalat, Risalah Al-Ftihah, Risalah Haji, Risalah
Zakt, Risalah Rib, Risalah Ijm, Risalah Qiys, Risalah Madzhab, Risalah Taqld, Al-
Jawhir, Al-Burhn, Risalah Jumat, Hafalan, Tarjamah Bulg al-Marm, Muqaddimah
Ilmu Hadis dan Ushl Fiqh, Ringkasan Islam, dan Al-Faraidh.
3. Dalam bidang Akhlaq: Hai Cucuku, Hai Putraku, Hai Putriku, Kesopanan Tinggi Secara
Islam.
4. Dalam bidang Kristologi: Ketuhanan Yesus, Dosa-dosa Yesus, Bibel Lawan Bibel,
Benarkah Isa Disalib?, Isa dan Agamanya.
5. Dalam bidang Aqidah, Pemikiran Islam, dan Umum: Islam dan Kebangsaan,
Pemerintahan Cara Islam, Adakah Tuhan?, Membudakkan Pengertian Islam, What is
Islam?, ABC Politik, Merebut Kekuasaan, Risalah Ahmadiyah, Topeng Dajjl, Al-Tauhid,
Al-Iman, Hikmat dan Kilat, An-Nubuwwah, Al-Aqid, al-Munzharah, Surat-surat Islam
dari Endeh, Is Muhammad a True Prophet?
6. Dalam bidang Sejarah: Al-Mukhtr, Sejarah Isr Mirj,
7. Dalam bidang Bahasa dan Kata Hikmat: Kamus Rampaian, Kamus Persamaan, Syair,
First Step Before Learning English, Al-Hikam, Special Dictionary, Al-Nahwu, Kitab
Tashrf, Kamus Al-Bayn, dan lain-lain. [26]
Dari karya-karya ilmiyah yang telah diwariskan A. Hassan tersebut, dapat dilihat
betapa luas ilmu yang ia geluti, yang secara umum Endang Saifuddin Ansari dalam
makalah seminar tentang pemikiran A. Hassan di Singapura Tahun 1979 M.
mengelompokkan secara garis besarnya sebagai berikut:
1. Mengenai Muhammad Rasulullah saw.;
2. Mengenai Sumber Norma dan Nilai Islam: al-Quran dan al-Sunnah;
3. Mengenai Aqidah;
4. Mengenai Syariah: ibadah dan muamalah;
5. Mengenai Akhlak;
6. Mengenai Studi Islam (Dirsat Islamiyyah): Ilmu Tauhid dan Ilmu Kalam, Ilmu Fiqh
dan Ushl Fiqh, Ilmu Akhlak, Ilmu Tasawwuf, dan lain sebagainya.
7. Mengenai pelbagai soal hidup lainnya, seperti: politik, ekonomi, sosial, kesenian, ilmu
pengetahuan, filsafat, bahasa, perbandingan agama, dan lain sebagainya.[27]
(bersambung)
Endnote:
[1] Alamat e-mail: kayyink_uinmakassar@yahoo.com
[2] Kail artinya Kairo dan Patnam artinya Kota atau Bandar; salah satu pusat kota di
India
[3] A. Latief Muchtar, Gerakan Kembali ke Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1998
M.), h. 228.
[4] Dalam masyarakat India, mereka yang ilmu agamanya mendalam digelar
sebagai Pandit, sebagaimana halnya di kalangan masyarakat Bugis digelar
sebagai Pandrita atau Ulama.
[5] Syafiq A. Mughni, Hassan Bandung: Pemikir Islam Radikal, (Cet. II; Surabaya: PT.
Bina Ilmu, 1994 M), h. 11
[6] Abdul Qadir Hassan (w. 25 Agustus 1984 M.), yang merupakan pelanjut A. Hassan,
aktif menulis dalam bidang Tafsr, Hads, Ilmu Hads, dan Ushl Fiqh, di antara karya
tulisnya adalah Kata Berjawab, Ilmu Mushthalah Hadits, Qms Al-Quran, Ushl Fiqh,
Tafsr Ahkm, Cara Berdiri Itidal, dan masih banyak lagi yang lain. Putra Abdul Qadir
Hassan, antara lain adalah Prof. Dr. Ir. Zuhal Abdul Qadir yang pernah menjabat sebagai
Menteri Riset & Teknologi masa Presiden Habibie; putranya yang kedua adalah Ghzie
Abdul Qadir rahimahullah.
[7] Ibid. h. 12
[8] Lihat tulisan Tamar Jaya, Riwayat Hidup A. Hassan, dalam A. Hassan, Tarjamah
Bulughul Maram,(Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2001 M), h. 709; Howard M.
Federspiel, Persatuan Islam: Islamic Reform in Twentieth Century
Indonesia, diterjemahkan oleh Yudian W. Asmin dan Afandi Mochtar dengan
judul Persatuan Islam: Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX, (Cet. I; Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 1996 M.), h. 17
[9] Syafiq A. Mughni, op. cit., h. 13
[10] Faqih Hasyim adalah salah seorang murid Dr. H. Abdul Karim Amrullah.
[11] Ibid., h. 14-15.
[12] Salah seorang tokoh pendiri NU, wafat Tahun 1971 M.
[13] Ushalliy adalah niat untuk setiapkali shalat yang dilafazhkan sebelum takbirat al-
ihrm.
[14] Ibid. h. 16
[15] Howard M. Federspiel, op. cit., h. 24
[16] Untuk mengetahui lebih jauh gerakan kebangkitan kembali studi Hadis di India
pada abad XVIII dan XIX, lihat, Daniel W. Brown, Rethinking Tradition in Modern Islamic
Thought, diterjemahkan oleh Jaziar Radianti dan Entin Sriani Muslim dengan
judul Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, (Cet. I; Bandung: Mizan, 2000
M.), h. 37-61
[17] Syafiq A. Mughni, op. cit., h. 20; Howard M. Federspiel, op. cit., h. 17
[18] Syafiq A. Mughni, loc. cit.
[19] Ahmad Syurkati (1874-1943), adalah pendiri organisasi Al-Irsyad. Untuk mengkaji
lebih jauh tentang sepak terjangnya dapat dilihat dalam, Bisri Affandi, Syaikh Ahmad
Syurkati: Pembaharu & Pemurni Islam di Indonesia,(Cet. I; Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
1999 M). A. Hassan mengakui bahwa Ahmad Syurkati adalah salah seorang gurunya.
[20] KH. Mas Mansur (1896-1946) adalah penulis buku Hadits Nabawiyah yang berisi
tentang tanya jawab ucapan Nabi dan pencetus Majlis Tarjih Muhammadiyah. Ia juga
merupakan salah seorang murid Syeikh al-Muhaddits Mahfuzh al-Tirmisi. Lihat, M. Yunan
Yusuf, et. al., Ensiklopedi Muhammadiyah, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005 M), h.
223.
[21] Cucu A. Hassan, Lahir Tahun 1947 dan wafat pada 2002, S1 di Universitas Islam
Madinah dan S2-S3 Takhassus Hadits di Darul Hadits al-Hasaniyah University Rabat,
Maroko, tulisan-tulisannya mengenai kajian Hadis masih tersebar di Majalah Al-
Muslimun. Salah seorang putranya bernama Hifzhie sedang menimba ilmu di Al-Azhar
University, Mesir.
[22] Cucu A. Hassan, lahir pada Tahun 1949, Alumnus International Islamic Call Institute
Tripoli, Libya. Ia cukup produktif dalam menuliskan hasil kajiannya terhadap Hadis, di
antaranya adalah Fiqh al-Ibdt wa al-Mumalt,yang terdiri dari kurang lebih dua jilid
besar. Sebagian yang lain masih tersebar di Majalah Al-Muslimun, dan ada pula yang
masih berbentuk naskah. Sekarang ia masih memimpin Pesantren Persis Bangil, di
antara aktifitasnya yang lain adalah mengisi kajian Hadis di Singapura, Malaysia, dan
menghadiri pertemuan-pertemuan international.
[23] Lahir di Sumenep (Jawa Timur) pada Tahun 1942, Alumnus Universitas Al-Imm
Muhammad ibn Sad Riydh. Di antara buku yang disusun olehnya, yang telah
diterbitkan adalah Sifat dan Kaifiyat Qiyamul Lail, selain itu tulisannya tersebar di
majalah Al-Muslimun, khususnya dalam kajian Tafsir dan Ilmu Tafsir.
[24] Ahmad Husnan, putra Imam Kurmen, lahir di Desa Wangen, Polanharjo, Klaten,
Jawa Tengah pada Tahun 1940, pendidikan dilaluinya pada PGAP IV Negeri Solo; PGAA
Muhammadiyah Padangsidempuan Tapanuli, Sumatera Utara; dan Muallimin
Muhammadiyah Payakumbuh, Sumatera Barat. Setelah itu, ia melanjutkan studinya ke
Pesantren Persis Bangil di bawah pimpinan Abdul Qadir Hassan, lulus dari Pesantren ia
melanjutkan studinya ke Fakultas Syariah Universitas Islam Madinah. Selesai di Madinah
ia terus melanjutkan studinya ke Cairo, Mesir. Sekarang aktif mengajar dan menulis di
Pesantren Al-Mukmin Ngruki, Jawa Tengah. Di antara karya tulisnya adalah Gerakan
Ingkar Sunnah dan Jawabannya, Kritik Hadis Cendekiawan Dijawab Santri, Keputusan
Al-Quran Digugat, Kajian Hadis Metode Takhrj, Meluruskan Pemikiran Pakar Muslim,
Ilmiah Intelektual dalam Sorotan, dan lain-lain.
[25] Murid Abdul Qadir Hassan, mengajar kajian Hadis di Jakarta (Tanah Abang).
Putranya, Ivy Azizi sedang menimba ilmu pada Kulliyat Dawah al-lamiyah, Tripoli, Libya
dan Azmi Haqqiy pada Jurusan Tafsir Hadits,Fakultas Usuluddin, International Islamic
University, Islamabad, Pakistan.
[26] Lebih lanjut lihat catatan Howard M. Federspiel, Syafiq A. Mughni, dan Dadan
Wildan mengenai buku-buku karya A. Hassan.
[27] Endang Saifuddin Ansari, A. Hassan: Wajah dan Wijhah Seorang Mujtahid,
dalam Abdul Rahman Haji Abdullah, Gerakan Islah di Perlis: Sejarah dan
Pemikiran, (Cet. I; Kuala Lumpur: Penerbitan Pena, 1989 M), h. 131

Tokoh KONTRIBUSI A. HASSAN TERHADAP KAJIAN HADIS DI INDONESIA:


STUDI ATAS CARA MEMERIKSA DAN MEMAHAMI HADIS
(Bagian Keempat)

Oleh: Al-Hfizh Ibnul Qayyim [1]


(Mahasiswa Konsentrasi Tafsir Hadis PPs UIN Alauddin Makassar)

2. Kaedah Kesahihan Sanad


Mayoritas muhadditsn (Ulama Hadis) sepakat dengan definisi Hadis sahih yang dirumuskan
oleh Ab Amr Utsmn ibn Abd al-Rahmn ibn Shalh al-Syahrazriy, sebagi berikut:






Terjemahnya:
Adapun Hadis sahih itu adalah Hadis yang disandarkan (kepada Nabi saw.), yang sanad-nya
bersambung, yang diriwayatkan oleh seorang yang dil lagi dhbith dari seorang yang
dil lagi dhbith (pula) sampai perhentian sanad-nya, tidak sydz (janggal) dan tidak pula
muallal (cacat).[2]

A. Hassan mengemukakan definisi Hadis sahih menurut pandangannya, sebagai berikut:


Hadis yang sah datangnya dari Nabi saw. yaitu Hadis yang didengar dari Nabi oleh seorang
rawi A; dan A menyampaikan pada B; dan B menyampaikan pada C; dan C menyampaikan
pada D; dan seterusnya begitu sampai tertulis di kitab-kitab Hadis para imam-imam yang
masyhur. Tiap-tiap rawi dari A, B dan seterusnya itu, harus bersifat kepercayaan.[3]

Definisi yang dikemukakan oleh A. Hassan ini, memberi kesan bahwa ia telah
menyederhanakan kaedah kesahihan Hadis menjadi dua saja, yaitu; (1) sanad-nya
bersambung, (2) diriwayatkan oleh orang-orang yang kepercayaan (tsiqah).

Penyederhanaan ini, sudah jmiun mniun (menghimpun seluruh kaedah dan tidak
mengurangi sedikitpun ketercakupannya itu) terhadap bagian-bagian dari definisi yang telah
dikemukakan oleh muhadditsn sebelumnya.

A. Hassan melanjutkan penjelasannya tentang sifat-sifat orang yang ia sebut kepercayaan


(tsiqah) itu, sebagai berikut:
Orang yang bersifat kepercayaan itu paling sedikit harus punya empat sifat, (1) bulg (cukup
umur), yakni hendaklah ia sudah cukup umur waktu menyampaikan Hadis yang ia dengar itu,
walaupun waktu ia mendengarnya itu, ia masih kecil. (2) Islam, yakni cukuplah ia Islam
waktu menyampaikan Hadis itu. (3) adlah artinya keadilan, yakni hendaklah ia bersifat dil
di waktu menyampaikan Hadis itu. Yang dikatakan dil itu, yaitu orang yang; tidak terdengar
atau terlihat ia mengerjakan dosa besar teristimewa dusta dan khianat, tidak selalu
mengerjakan dosa-dosa kecil, tidak melanggar kesopanan kaumnya yang tidak dilarang oleh
agama. (4) dhbith, artinya tetap, tegak, beres dan lain-lain yang searti dengan itu.
Maksudnya di sini ialah kuat ingatannya, tidak biasa lupa atau keliru pada meriwayatkan
sesuatu Hadis.[4]

Dalam hal ini, A. Hassan tidak menyebutkan syudzdz dan illat sebagai sifat-sifat orang
yang kepercayaan (tsiqah), karena ada dua kemungkinan alasan; (1) tidak mungkin suatu
Hadis yang sanad-nya dinyatakan bersambung (muttashil), dan diriwayatkan oleh orang yang
tsiqah (dil dan dhbith) ternyata riwayatnya mengandung syudzdz dan illat, sebab
keduanya hanya terkait pada sanad yang tidak bersambung dan periwayat yang tidak dhbith.
(2) penyebutan keduanya (syudzdz dan illat) dalam definisi Ibnu Shalh itu semata-mata li
al-takd (penekanan) terhadap pentingnya pemenuhan kedua unsur tersebut di samping
sebagai sikap kehati-hatian semata.

Dapat dirinci bahwa untuk sanad yang bersambung memiliki beberapa unsur, sebagai berikut:
(1) muttashil, yaitu Hadis yang sanad-nya sampai kepada Nabi saw. dengan tidak putus,
dinamakan mawshl atau muttashil al-sanad yakni yang disambung sanad-nya, yang tidak
putus sanad-nya. Perkataan ini, juga terpakai untuk sanad atau riwayat atau atsar al-shahbah
atau tbin.[5] (2) marf, yaitu satu Hadis yang diriwayatkan dari Nabi saw. oleh seorang
rawi kepada ulama mudawwin, seperti al-Bukhriy, Muslim, Ab Dwud, dan lainnya, yakni
Hadis yang riwayatnya diangkat sampai kepada Nabi saw. Kalau ada perkataan Ahli Hadis
bahwa Hadis itu di-rafa-kan oleh seorang sahbiy, seperti Ibnu Umar, umpamanya, maka
maksudnya bahwa Ibnu Umar katakan Hadis itu dari Nabi saw. bukan fatwanya sendiri.[6]
(3) mahfzh, yaitu dalam satu pemeriksaan, umpamanya, bila ada dua Hadis yang
diriwayatkan dari Nabi saw. yang berlawanan, sedang yang satu lebih kuat sanad-nya
daripada yang lain, maka yang kuat sanad-nya itu dinamakan mahfzh dan yang kurang kuat
dinamakan sydz.[7] (4) bukan muall, maksudnya bukan Hadis yang cacat. Hadis yang cacat
(muall) itu adalah satu Hadis yang zahirnya sahih, tetapi sesudah diperiksa, terdapat ada
cacatnya. Cacatnya itulah yang dinamakan illat (artinya penyakit).[8]

Untuk periwayat yang kepercayaan (tsiqah) juga memiliki beberapa unsur, sebagai berikut:
(1) al-adlah, yaitu beragama Islam, mukallaf (cukup umur), melaksanakan ketentuan
agama, dan memelihara murah (akhlaq kesopanan), (2) al-dhabth, yaitu hafal dengan baik
Hadis yang diriwayatkannya, mampu dengan baik menyampaikan Hadis yang dihafalnya
kepada orang lain, dan secara otomatis terhindar dari syudzdz, terhindar dari illat.

Umumnya para muhadditsn mengemukakan bahwa untuk mengetahui tingkat ke-tsiqah-an


seorang periwayat, maka yang mesti diperiksa adalah ke-dil-an yang berhubungan dengan
kualitas kepribadiannya, dan ke-dhbith-an yang berhubungan dengan kapasitas
intelektualnya.

Untuk menentukan sejauh mana kualitas kepribadian seorang periwayat, maka kreteria
ke-dil-an yang diajukan A. Hassan adalah (1) tidak terdengar atau terlihat ia mengerjakan
dosa besar teristimewa dusta dan khianat, (2) tidak selalu mengerjakan dosa-dosa kecil, (3)
tidak melanggar kesopanan kaumnya yang tidak dilarang oleh agama.[9]

Ulama lain, mengajukan kriteria ke-dil-an, sebagai berikut; (1) beragama Islam, (2) balig,
(3) berakal, (4) taqwa, (5) memelihara murah, (6) teguh dalam agama, (7) tidak berbuat
dosa besar, (8) menjauhi dosa-dosa kecil, (9) tidak berbuat bidah, (10) tidak berbuat maksiat,
(11) tidak berbuat fasiq, (12) menjauhi hal-hal yang dibolehkan, yang dapat merusak
murah, (13) baik akhlaqnya, (14) dapat dipercaya beritanya, (15) biasanya benar.[10]

Dari kriteria-kriteria ke-dil-an tersebut di atas, sesungguhnya dapat disaring, menjadi empat
kriteria saja, sebagai berikut; (1) beragama Islam, (2) mukallaf, (3) melaksanakan ketentuan
agama, dan (4) memelihara murah. Dengan demikian, perawi yang memenuhi empat
kriteria ini dapat disebut dil.

Ke-dil-an seorang rawi dapat diketahui berdasarkan (1) kemasyhuran keutamaannya di


kalangan ulama Hadis, (2) penilaian para kritikus Hadis, (3) penerapan kaedah-kaedah al-jarh
wa al-tadl, bila terjadi ketidaksepakatan penilaian terhadap kualitas kepribadian seorang
periwayat.[11]

Untuk menentukan sejauh mana kapasitas intelektual seorang periwayat, maka kriteria ke-
dhbith-an yang diajukan A. Hassan adalah (1) mengerti apa yang diriwayatkannya, (2) tau
apa-apa yang bisa mengubah makna Hadis, yaitu kalau dia meriwayatkan dengan makna, (3)
kuat hafalannya, (4) ingat akan kitabnya, yaitu kalau dia meriwayatkan Hadis dengan tulisan.
[12]

Dapat penulis simpulkan bahwa ke-dhbith-an yang dimaksud A. Hassan adalah periwayat
yang mampu menghafal dengan sempurna Hadis yang diterimanya, dan mampu
menyampaikan dengan baik Hadis yang dihafalnya. Bila periwayat itu juga mampu
memahami dengan baik Hadis yang dihafalnya maka kapasitas intelektualnya berada
ditingkat tamm al-dhabth (ke-dhbith-an yang sempurna).

ke-dhbith-an seseorang dapat diketahui berdasarkan (1) kesaksian para ulama, (2)
kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh periwayat yang ke-dhbith-
annya telah masyhur, (3) kekeliruan seorang periwayat yang dhbith dapat ditolelir selama
hal itu tidak sering terjadi, namun bila kekeliruan itu sering terjadi maka predikat ke-dhbith-
an yang disandang tidak berlaku lagi.[13]

Predikat ke-dhbith-an tidak mungkin disandang oleh periwayat yang (1) lebih banyak
salahnya daripada benarnya dalam meriwayatkan Hadis, (2) lebih menonjol sifat lupanya dari
pada sifat ingatnya, (3) diduga kuat wahm atau keliru dalam meriwayatkan Hadis, (4)
riwayatnya menyalahi periwayat yang lebih tsiqah, (5) buruk ingatannya.[14]

3. Cara Memeriksa Setiap Rawi dan Metode Periwayatannya

a. Biografi Periwayat
A. Hassan mengemukakan bahwa untuk mengetahui sahih tidaknya masing-masing Hadis,
lebih dahulu perlu diketahui semua rawi-rawinya, lalu memeriksanya di kitab-kitab rijl al-
hadts, terutama kitab Mzn al-Itidl karya al-Dzahabiy, kalau rawi-rawi tersebut semua
termasuk orang-orang yang kepercayaan (tsiqah) atau tidak terdapat orang-orang yang
tercela, maka Hadis itu boleh dimasukkan dalam bilangan Hadis hasan atau Hadis sahih,
menurut kedudukannya masing-masing.[15]

Orang yang meriwayatkan Hadis dari zaman Nabi Muhammad saw. hingga abad pen-tadwin-
an (pengumpulan) Hadis dalam kitab-kitab, baik itu periwayat dari kalangan sahabat, tbin,
dan seterusnya, orang-orang yang terkenal besarnya atau terkenal sebagai orang yang
berdusta, orang-orang yang saleh atau fasik, penurut sunnah dengan betul atau ahli bidah
sekalipun jahatnya itu tidak diketahui, laki-laki atau perempuan, anak-anak atau orang
dewasa, semua mereka itu, telah didaftarkan oleh ulama akan nama-nama mereka beserta
tarikh riwayat hidup (biografi) masing-masing sedapat-dapatnya.[16]
Kitab-kitab yang menerangkan tarikh rawi-rawi itu ada banyak dan bermacam-macam
metode penulisannya, ada yang bercampur antara perawi sahih dan dhaf, seperti Tahdzb al-
Tahdzb karya Ibnu Hajar al-Asqalniy dan Mzn al-Itidl karya al-Dzahabiy; ada yang
menerangkan rawi-rawi yang baik dan yang boleh dipercaya saja, seperti kitab Al-Tsiqt
karya Abu al-Hasan Ahmad ibn Abdillh ibn Shlih al-Ijliy dan Al-Tsiqt karya Ibnu
Hibbn al-Busthiy; ada yang pisahkan (khususkan) rawi-rawi yang lemah, pendusta, fasik,
dan sebagainya, seperti kitab Al-Dhuaf al-Kabr karya al-Bukhriy dan Al-Kmil f
Dhuaf al-Rijl karya Abu Ahmad Abdullah ibn Adiy al-Jurjniy; ada yang sendirikan
rawi-rawi dari kalangan sahabat saja, seperti kitab Al-Istib f Marifat al-Ashhb karya Ibnu
Abd al-Barr dan Usud al-Gbat f Marifat Asm al-Shahbah karya Ibnu al-Atsr al-Jazriy;
demikianlah seterusnya.[17]

A. Hassan menyebutkan pula beberapa kitab-kitab yang menerangkan biografi para perawi
Hadis yang ada padanya, antara lain; (1) Tahdzb al-Tahdzb karya Ibnu Hajar al-Asqalniy,
terdiri dari 12 Juz, mengandung 12.460 nama rawi. (2) Lisn al-Mzn karya Ibnu Hajar
al-Asqalniy, terdiri dari 6 Juz, mengandung 15.343 nama rawi. (3) Mzn al-Itidl karya al-
Dzahabiy, terdiri dari 3 Juz ukuran besar, mengandung 10.907 nama rawi. (4) Al-Ishbah
karya Ibnu Hajar al-Asqalniy, terdiri dari 8 Juz besar, kitab ini khusus menerangkan riwayat
hidup sahabat-sahabat Nabi saw. dsb., mengandung 11.279 nama sahabat. (5) Usud al-Gbat
f Marifat Asm al-Shahbah karya Ibnu al-Atsr al-Jazriy, terdiri dari 4 Jilid, mengandung
7.500 nama sahabat Nabi. (6) Al-Trkh al-Kabr karya al-Bukhriy, sebanyak 6 Jilid,
mengandung 9.048 rawi Hadis. (7) Al-Fihris karya Ibn Nadm, terdiri dari 10 Juz tipis. (8) Al-
Badr al-Thli karya al-Syawkniy, ada 2 Juz, mengandung 441 nama rawi, dan ada Mulhaq-
nya 1 Juz. (9) Al-Jarh wa al-Tadl karya Ibn Aby Htim, ada 9 Jilid sedang, mengandung
18.040 nama rawi-rawi. (10) Al-Durar al-Kminah karya Ibnu Hajar al-Asqalniy, terdiri
dari 4 Juz, yang mengandung 5320 nama-nama. (11) Nuzhat al-Khawthir karya Abd al-Hayy
al-Hasaniy, ada 3 Jilid, mengandung 807 nama-nama ulama India yang ada sangkut pautnya
dengan sanad-sanad Hadis. (12) Tajl al-Manfaah karya Ibnu Hajar al-Asqalniy, terdiri
dari 1 Juz, yang mengandung 1733 nama rawi yang tidak terdapat pada kitabnya Tahdzb al-
Tahdzb. [13] Thabaqt al-Mudallisn karya Ibnu Hajar al-Asqalniy, terdiri dari 1 Juz. [14]
Ilal al-Hadts karya Ibn Aby Htim, terdiri dari 2 Juz, mengenai penyakit-penyakit Hadis.
[18]

Literatur-literatur biografi para periwayat Hadis tersebut masih tersimpan rapi di


perpustakaan peninggalan A. Hassan di Bangil. Ini, menunjukkan bahwa A. Hassan cukup
menguasai literatur rijl al-hadts.

Data informasi yang harus diperiksa dari perawi Hadis menurutnya, sebagai berikut; (1) nama
lengkap perawi, termasuk laqab dan atau kunyah-nya, (2) kelahirnya, (3) tahun matinya, (4)
negerinya, (5) guru-gurunya, (6) murid-muridnya, (7) dimana ia belajar yakni sejarah
perlawatannya mencari Hadis, (8) siapa-siapa yang ia jumpai dari kalangan ahli Hadis, (9)
penilaian ulama terhadapnya.[19]
Salah satu contoh yang dapat penulis kemukakan dari hasil pemeriksaan A. Hassan terhadap
biografi perawi Hadis, yaitu Hadis tentang keadaan jasad para Nabi di alam kubur riwayat
Ahmad, Ab Dwud, Al-Nasiy, Ibnu Mjah, Ibnu Hibbn, al-Hkim, al-Bayhaqiy, al-
Drimiy, Sad ibn Manshr, al-Thabrniy, dan Ibn Ab Syaybah. Menurut al-Hkim dan al-
Nawwiy, Hadis tersebut sahih. Al-Mundziriy juga menganggap Hadis tersebut baik. Namun
A. Hassan melemahkan Hadis tersebut.[20]

Ketidaksahihan Hadis tersebut menurut A. Hassan, disebabkan karena adanya seorang perawi
dalam sanad Hadis tersebut yang bernama Abdurrahmn ibn Yazd ibn Jbir. Adapula
sebagian ahli Hadis yang menyebutkan bahwa Hadis tersebut tidaklah melalui jalur
Abdurrahmn ibn Yazd ibn Jbir, tetapi melalui Abdurrahmn ibn Yazd ibn Tamm.

b. Perawi Pertama dan Terakhir.


Pemeriksaan terhadap perawi Hadis memang sangat diperlukan, sebab dengan memeriksa
keadaan mereka, orang yang mengadakan pemeriksaan akan lebih yakin akan kesahihan
sebuah riwayat. Dalam memeriksa perawi Hadis, A. Hassan hanya memeriksa guru mukharrij
hingga tabiin, karena menurutnya, para sahabat itu sudah masyhur ke-dil-an mereka,
demikian pula para mukharrij. Ia mengemukakan:

Sebenarnya, ulama-ulama Pendaftar Hadis, seperti Malik, Ahmad, Bukhriy, Muslim, dan
lain-lainnya, tidak perlu diperiksa lagi, karena mereka sudah diuji kealiman, kesalehan, dan
keamanatannya dalam urusan agama, terutama dalam urusan Hadis oleh ulama-ulama yang
sangat teliti di masing-masing masa dan terus menerus. Begitu juga, para sahabat Nabi yang
jadi rawi yang masyhur-masyhur, sudah diselidiki dan diuji oleh ulama dan terdapat
kebenaran, kesalehan, keikhlasan, dan keamanatan yang sempurna pada mereka. Jadi yang
perlu diperiksa itu ialah lain dari dua golongan tersebut.[21]

Dari pernyataan ini, dapat penulis simpulkan bahwa kegiatan pemeriksaan terhadap pribadi
periwayat yang dilakukan A. Hassan, lebih tertuju pada, selain para sahabat Nabi yang jadi
rawi yang masyhur-masyhur dan Pendaftar Hadis. Alasannya, karena mereka telah lulus
uji pemeriksaan yang diadakan oleh ulama terdahulu. (BERSAMBUNG)

Endnote:
[1] Alamat e-mail: kayyink_uinmakassar@yahoo.com
[2] Ab Amr Utsmn ibn Abd al-Rahmn ibn Shalh al-Syahrazriy, Muqaddamah Ibn
Shalh, (Bombay: Qayyimah Press, 1938 M.), h. 7-8.; lihat pula, Jall al-Dn ibn Abd al-
Rahmn al-Suythiy, Tadrb al-Rwiy f Syarh Taqrb al-Nawwiy, (Cet. I; Beirt: Dr Ihy
al-Turts al-Arabiy, 1421 H.-2001 M.), h. 58.
[3] A. Hassan, et al., Soal Jawab, Jilid II, (Cet. XII; Bandung: Penerbit CV Diponegoro, 2000
M.), h. 696.
[4] Ibid.
[5] A. Hassan, Muqaddimah Ilmu Hadis dan Ushl Fiqh, dalam Tarjamah Bulg al-Marm,
(Cet. XXV; Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2001 M.), h. 5-6.; Selanjutnya disebut
Muqaddimah Ilmu Hadis saja.
[6] Ibid., h. 5.
[7] Ibid., h. 9.
[8] Ibid., h. 8.
[9] A. Hassan, et al., Soal Jawab, loc. cit.
[10] Lebih lanjut lihat misalnya, Muhammad Shiddq Hasan Khn, Hushl al-Maml min
Ilm al-Ushl, (Cairo: Dr al-Fadhlah, t.th.), h. 139-140.; Muhammad Mahfzh ibn Abd
Allah al-Tirmisiy, Manhaj Dzawiy al-Nazhar, (Surabaya: Ahmad ibn Saad ibn Nabhn, 1394
H.-1974 M.), h. 9.
[11] Muhammad Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan
dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, (Cet. II; Jakarta: Bulan Bintang, 1415 H.-1995 M.), h. 134.
[12] A. Hassan menambahkan bahwa ada lain-lain syarat yang tidak begitu penting, bahkan
telah termasuk di salah satu syarat tersebut. Lihat, A. Hassan, et al., Soal Jawab, op. cit., Jilid
I, h. 345.
[13] Muhammad Syuhudi Ismail, op. cit., h. 136.
[14] Abd al-Azz ibn Muhammad ibn Ibrhm al-Abd al-Lathf, Dhawbith al-Jarh wa al-
Tadl, (Cet. I; Madinah: al-Jmiah al-Islmiyyah bi al-Madnat al-Munawwarah, 1412 H.) h.
14.
[15] A. Hassan, et al., Soal Jawab, op. cit., h. 434-435.
[16] A. Hassan, Ringkasan Islam, (Bangil: Al-Muslimun, 1972 M), h. 16.
[17] Ibid.
[18] A. Hassan, Muqaddimah Ilmu Hadis, op. cit., h. 5, 25-26.
[19] Ibid., h. 2, 12.
[20] A. Hassan, et al., Soal Jawab, op. cit., h. 520.
[21] A. Hassan, Ringkasan Islam, op. cit. h. 17.

Kontribusi A, Hassan. Terhadap Kajian Hadith di Indonesia.

Posted on April 18, 2008 by fospi


(Studi Atas Cara Memeriksa dan Memahami Hadis, bagian 1)
Oleh: Al-Hfizh Ibnul Qayyim
Allah Subhanahu wa taala. mengutus Muhammad Salallahu alaihi wa sallam. menjadi
pesuruh-Nya untuk mengajak manusia ke jalan yang lurus, yaitu dengan meninggalkan penyembahan
terhadap berhala dan penyembahan terhadap segala sesuatu selain Allah Subhanahu wa taala., serta
melakukan tiap-tiap perkara, baik perkara keduniaan maupun tata cara peribadatan semata-mata
menurut wahyu Allah Subhanahu wa taala. dan penerangan, ajaran dan tuntunan Nabi Muhammad
Salallahu alaihi wa sallam. Maka, al-Quran dan penerangan, petunjuk, tuntunan, serta apa-apa yang
diucapkan oleh Nabi Muhammad Salallahu alaihi wa sallam. itulah yang dinamakan Hadis atau
Sunnah yang merupakan pokok ajaran Islam.[2]
Para sahabat dengan kekuatan hafalan mereka mengingat segala sesuatu yang diucapkan,
diperbuat, dan di-taqrr-kan oleh Nabi, serta segala sifat dan perangainya. Sebagian di antara para
sahabat ada yang mencatat Hadis, namun jumlah mereka sedikit sekali antara lain, Abdullah ibn
Amr ibn al-sh, Abdullah ibn Abbs, Aliy ibn Aby Thlib, Samurah ibn Jundab dan Abdullah
ibn Aby Awf. Hal ini disebabkan karena Nabi Muhammad Salallahu alaihi wa sallam. pernah
melarang penulisan selain dari al-Quran, karena adanya kekhawatiran al-Quran tercampur dengan
lainnya, yang dapat berakibat terjadinya kesamaran bagi mereka yang tidak mampu membedakan.
Oleh karena demikian, sahabat yang merasa tidak khawatir catatannya tersamar (tercampur) dengan
catatan al-Quran, tetap mencatat untuk pribadi tanpa menyiarkan tulisan itu ke muka umum;
melainkan setelah al-Quran sempurna terkumpul dan terpisah sendiri, yang tidak lagi dikhawatirkan
terjadinya percampuran atau kesamaran dengan yang lain.[3]
Islam telah menjalar jauh dan ummat yang memeluknya bertambah banyak, yang menurut
hitungan dan kebiasaan, mestilah di antara mereka ada orang-orang yang jahat-jahat dan munafik-
munafik yang hendak mengacau agama dan mungkin pula ada beberapa orang yang bodoh atau keras
kepala, hendak membela Islam dengan alasan-alasan yang tidak ada dalam Islam (al-Quran dan al-
Sunnah), sedang sebagian dari mereka yang ditaklukkan oleh kaum muslimin menaruh dendam, lalu
masuk Islam dengan niat hendak merusaknya, dan tidak kurang pula para ahli bidah yang perlu
kepada beberapa dalil untuk menguatkan bidahnya dan banyak pula muncul ulama mencari rizki
dengan memberikan, tegasnya, membuat keterangan yang diingini oleh raja-raja dan amir-amir,
mereka ini mengadakan Hadis mawdh (palsu)[4] untuk keperluan masing-masing dan mereka
siarkan dalam golongan kaum muslimin. Sebagian dari ulama yang saleh, tetapi tidak cerdik,
termakan juga Hadis-hadis buatan itu dan menyiarkannya pula lebih jauh.[5]
Pada masa Khalifah Umar ibn Abd al-Azz, diresmikanlah penghimpunan Hadis, hal ini
terjadi pada tahun 75 H. Di antara ulama Hadis yang menerima instruksi dari Umar tersebut adalah
Abu Bakar Muhammad ibn Amr ibn Hazm (w. 117 H.) yang pada masa itu menjabat sebagai
gubernur Madinah. Tugas tersebut dilaksanakan pula oleh Ibn Syihb al-Zuhriy (w. 124 H.).[6] Para
ulama yang menghimpun Hadis, memiliki metode dan cara-cara yang berbeda. Dalam perkembangan
selanjutnya, kitab-kitab Hadis dikenal dalam beberapa jenis, antara lain, sebagai berikut:
1. Al-masnid jama dari al-musnad, yaitu kitab Hadis yang disusun berdasarkan urutan nama sahabat
periwayat Hadis yang bersangkutan; ada yang berdasarkan urutan nama sahabat yang mula-mula
masuk Islam; ada yang berdasarkan urutan huruf abjad; ada yang berdasarkan urutan nama
qabilahnya; adapula urutan nama sahabat yang kemudian terbagi-bagi lagi kepada bab-bab fiqh,
umpamanya, al-Musnad al-Kabr susunan Baqiy ibn Makhlad al-Qurthubiy, dan lain-lain.
2. Al-majim jama dari al-mujam yaitu kitab Hadis yang tersusun berdasarkan nama-nama sahabat,
atau al-syuykh (guru-guru Hadis) atau nama-nama negeri atau lainnya secara berurutan, dan biasanya
tersusun berdasarkan huruf hijiyyah (hurf al-mujam), antara lain al-Mujam al-Kabr, al-Mujam
al-Awsath dan al-Mujam al-Shagr susunan al-Thabrniy.
3. Al-jawmi jama dari kata al-jmi, yaitu kitab yang bila dilihat dari pokok kandungannya
menghimpun Hadis-hadis Nabi yang berisi tentang berbagai hal, seperti akidah, hukum, masalah
perbudakan, adab sopan santun, tafsir, sejarah, dan lain-lain, umpamanya, al-Jmi al-Shahh oleh al-
Bukhriy dan al-Jmi al-Shahh oleh Muslim.
4. Al-majmi jama dari kata al-majma, yaitu kitab Hadis yang menghimpun Hadis-hadis Nabi
Salallahu alaihi wa sallam. yang telah termaktub dalam kitab-kitab al-mushannaft, dengan bentuk
penyusunan berdasarkan bab-bab masalah tertentu sebagaimana yang ada dalam kitab al-mushannaft
itu. Kitab jenis ini antara lain Jamu al-Fawid min Jmi al-Ushl wa Majma al-Zawid karya
Muhammad ibn Muhammad ibn Sulayman al-Magribiy dan al-Jamu Bayn al-Ushl al-Sittah (Jmi
al-Ushl min Ahdts al-Rasl) karya Ibn al-Atsr.
5. Al-sunan, yaitu kitab yang menghimpun Hadis-Hadis Nabi Salallahu alaihi wa sallam. berdasarkan
bab-bab fiqh dan kualitas Hadisnya ada yang sahih, hasan, dan daif. Antara lain kitab Sunan Ab
Dawd, Sunan al-Nasiy, Sunan al-Turmuziy, Sunan Ibn Mjah, dan lainnya.
6. Al-mushannaft, yaitu kitab Hadis yang disusun berdasarkan bab-bab fiqh dan di dalamnya
terhimpun Hadis-hadis Nabi, pernyataan-pernyataan sahabat dan fatwa-fatwa tabiin. Umpamanya
kitab al-Mushannaf karya Ibn Abi Syaybah dan al-Mushannaf karya Baqiy ibn Makhlad al-Qurtubiy.
7. Al-muwaththat, pengertiannya sama dengan al-mushannaft. hanya saja motivasi penyusunan
kitab al-muwaththat didorong oleh keinginan untuk memudahkan pembacanya. Antara lain seperti
kitab al-Muwaththa karya Malik ibn Anas dan al-Muwaththa karya Ibn Abi Zib al-Madaniy.
8. Al-mustadrakt jama dari kata al-mustadrak, yaitu kitab yang memuat Hadis-hadis Nabi Salallahu
alaihi wa sallam. berdasarkan syarat-syarat periwayatan yang telah dipakai oleh ulama Hadis tertentu
ketika menghimpun Hadis-hadis Nabi Salallahu alaihi wa sallam. dalam kitabnya. Umpamanya kitab
al-Mustadrak Ala al-Shahhayn karya al-Hkim al-Naysbriy.
9. Al-ajz jama dari kata al-juzu yang berarti bahagian, yaitu kitab yang menghimpun Hadis-hadis
Nabi berdasarkan nama sahabat tertentu yang meriwayatkan Hadis, atau berdasarkan nama tabiiy,
atau berdasarkan topik-topik tertentu. Umpamanya kitab Juzu M Rawhu Ab Hanfah An al-
Shahbah karya Ab Masyar Abd al-Karm ibn Abd al-Shamad al-Thabariy, Juzu Rafu al-Yadayn
f al-Shalh karya al-Bukhriy, Juzu al-Qirat Khalfa al-Imm juga karya al-Bukhriy.[7]
Hadis sebagai sumber ajaran Islam, yang telah melalui proses yang cukup panjang dengan
metode periwayatan yang berbeda-beda hingga tertulis dalam kitab-kitab Hadis, sudah cukup menjadi
acuan pentingnya pemeriksaan sanad dan matan-nya. Para ulama muhadditsn telah menyusun
berbagai kaedah yang berkenaan dengan pemeriksaan terhadap sanad dan matan Hadis, untuk
mengetahui mana Hadis yang maqbl (yang dapat diterima) dan mana Hadis yang mardd (yang tidak
dapat diterima).
Sementara itu, para ulama di Nusantara khususnya di Indonesia, mulanya hanya membaca
dan mengajarkan kitab-kitab Hadis seperti Bulg al-Marm karya Ibn Hajar al-Asqalniy, Matn al-
Arban karya al-Nawwiy, dan Matn al-Bayqniyah karya al-Suythiy serta kitab-kitab fiqh klasik
khususnya dalam mazhab al-Syafiiy, tanpa mengadakan pengkajian dan pemeriksaan terhadap
kesahihan sanad dan matan-nya. Mereka beranggapan bahwa hasil ijtihad para ulama terdahulu sudah
final, hingga ulama-ulama sekarang tidak perlu mengkaji dan memeriksa sahih tidaknya suatu Hadis.
[8]
Anggapan tersebut terus bergulir hingga salah seorang sahabat dan murid Muhammad
Rasyid Ridha yaitu Muhammad Thaher ibn Muhammad Jall al-Dn al-Azhariy kembali ke Indonesia,
yang kemudian menerbitkan majalah al-Imm, yang menjadi titik awal dari sebuah pemikiran yang
berpengaruh pada pengkajian terhadap Hadis di Nusantara. Dapat dilihat ketika Muhammad Thaher
menjawab sebuah pertanyaan berkaitan dengan Hadis mirj yang menyebutkan bahwa langit keempat
terdiri dari tembaga, langit ketiga terdiri dari besi, langit kedua dari batu, serta langit pertama terdiri
dari emas. Ia mengemukakan:
Ketahuilah kiranya, sesungguhnya tiada sah satu Hadis pun pada menentukan jenis tujuh petala
langit dan tiada pula menentukan beberapa tebalnya. Dan kebanyakan rampaian-rampaian itu, yang
dibaca oleh tukang-tukang cerita di dalam cerita mirj itu adalah bohong yang nyata. Walhasil,
tiadalah wajib mengitiqadkan sesuatu melainkan dengan dalil akal yang putus, yang tiada didatangi
oleh syubhat, atau dengan dalil samiy (yang didengar) nyata daripada Nabi Salallahu alaihi wa
sallam. sendiri.[9]
Pernyataan tiada sah satu Hadis pun, memberi kesan adanya pengkajian dan pemeriksaan
terhadap kesahihan Hadis-hadis tentang masalah itu, yang boleh jadi merupakan sebuah
kesepakatan Muhammad Thaher atas penelitian ulama sebelumnya, dan atau merupakan hasil dari
sebuah pemeriksaan yang dilakukannya sendiri dengan menerapkan kaedah-kaedah kesahihan Hadis.
Majalah al-Imm terbit pertama kali pada tahun 1906 M. hingga awal tahun 1909 M., lalu
kemudian dilanjutkan oleh murid Muhammad Taher yaitu Abdul Karim Amrullah dengan
menerbitkan majalah al-Munr di Padang pada tahun 1911 M. hingga 1915 M.. Dalam majalah ini,
menurut Hamka, terdapat pula banyak kajian kritis terhadap Hadis yang dilakukan oleh Ayahnya.[10]
Dari Pulau Jawa, muncul pula pengkajian terhadap Hadis yang dipelopori oleh Ahmad al-
Syurkatiy, dengan bukunya yang terkenal, al-Kafaah yang terkait dengan Hadis-hadis persamaan
derajat antara sayyid dan non-sayyid yang antara satu sama lain boleh menikah.[11]
Pada tahun 1929 M. muncul pula majalah Pembela Islam di Bandung yang dipimpin oleh
A. Hassan,[12] yang sempat membangkitkan suasana pemeriksaan dan pengkajian terhadap Hadis di
Nusantara pada masanya, bahkan pengaruhnya hingga saat ini masih dapat dirasakan.
Syafiq A. Mughni menyatakan bahwa dalam fase pergolakan antara pro dan kontra-mazhab
itu, A. Hassan tampil memainkan peran yang sebaik-baiknya. Kebebasan untuk memahami ajaran
agama tanpa terikat oleh suatu mazhab seperti yang ditekankan oleh A. Hassan diharapkan
mengurangi satu di antara sekian banyak kendala bagi kemajuan ummat akibat belenggu taklid-
mazhab yang telah menjadi tradisi sejak berabad-abad yang lampau. Ajakan A. Hassan untuk
merujukkan pandangan langsung terhadap al-Quran dan al-Sunnah mengantarkan usaha untuk
meminati ilmu-ilmu alat yang terkait dengan kedua sumber ajaran Islam tersebut, khususnya Ilmu
Hadis dan Ushl Fiqh, yang pada masa itu masih bersifat elitis, dengan kata lain, A. Hassan telah
memberikan dorongan bagi kebebasan dan pendalaman studi Islam.[13]
A. Hassan sesungguhnya tidak meninggalkan karya tulis yang secara khusus membahas
ilmu Hadits serta cabang-cabangnya, hanya saja dalam beberapa karya tulisnya terdapat beberapa
pembahasan yang berkaitan dengan ilmu Hadis, umpamanya, buku Ringkasan Islam, yang ditulis oleh
A. Hassan pada tahun 1939 M. yang kemudian diterbitkan pertama kali pada tahun 1972 M., di
dalamnya, pada fashal kedua secara khusus menerangkan pengertian Hadis serta pembagiannya,
sejarah perkembangan Hadis, bagaimana mengetahui sah tidaknya sesuatu Hadis, cara pengumpulan
Hadis serta delapan kitab dan nama penyusunnya.[14]
Buku yang lain adalah Muqaddimah Ilmu Hadits dan Ushl Fiqh, yang ditulis secara
ringkas untuk mereka yang belum biasa dengan urusan-urusan Hadis, Ushl Fiqh dan istilah-istilah
yang terpakai dalam kitab Tarjamah Bulgul Marm.[15] Selanjutnya, buku Kumpulan Risalah A.
Hassan, Soal Jawab, Tarjamah Bulugul Maram, dan Pengajaran Shalat yang di dalamnya banyak
berisi tentang cara A. Hassan memahami Hadis yang terkait dengan tehnik interpretasi dan
pendekatan yang digunakannya.
Sejauh pelacakan penulis, belum ada satu pun karya tulis yang secara spesifik mengupas
cara A. Hassan memeriksa dan memahami Hadis. Namun, sebelum melanjutkan tulisan ini, penulis
akan menyebutkan beberapa karya tulis terkait dengan A. Hassan, riwayat hidup, pemikiran serta
pengaruhnya, baik di Malaysia, Singapura, dan Indonesia, antara lain; (1) Riwayat Hidup A. Hassan
karya Tamar Jaya, (2) Hassan Bandung: Pemikir Islam Radikal karya Prof. Dr. Syafiq A. Mughni,
MA., (3) A. Hassan: Wajah dan Wijhah Seorang Mujtahid karya H. Endang Saifuddin Ansari, MA.,
(4) Persatuan Islam: Islamic Reform In Twentieth Century Indonesia karya Dr. Howard M. Federspiel
dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Drs. Yudian W. Asmin, MA., dan Drs. H.
Afandi Mochtar, MA. dengan judul Persatuan Islam: Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX, (5)
Gerakan Islah di Perlis: Sejarah dan Pemikiran karya Abdul Rahman Haji Abdullah, (6) A. Hassan:
Tokoh Perdebatan Agama karya KH. A. Lathief Mukhtar, MA., (7) A. Hassan, Persis, dan Pemikiran
Fikihnya karya KH. A. Lathief Mukhtar, MA., (8) A. Hassan Dalam Arus Pemikiran Islam di
Indonesia karya Prof. Dr. Syafiq A. Mughni, MA., (9) Yang Dai Yang Politikus: Hayat dan
Perjuangan Lima Tokoh Persis karya Dr. Dadan Wildan.
Oleh karena peran A. Hassan yang cukup penting dalam studi Hadis di Indonesia, maka
penulis merasa perlu untuk membagi hasil penelusuran terhadap cara A. Hassan memeriksa dan
memahami Hadis kepada para pembaca sebagai bahan pemikiran, di samping harapan agar diberi
masukan-masukan serta informasi-informasi terkait dengan pembahasan ini.
Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa taala. memberikan kemudahan kepada penulis
(dengan segala keterbatasan yang penulis miliki) untuk meneruskan kajian ini, dan agar para pembaca
semuanya mengambil manfaat daripadanya. (bersambung)
Endnote:
[1] Alamat e-mail: kayyink_uinmakassar@yahoo.com
[2] A. Hassan, Ringkasan Islam, (Bangil: Al-Muslimun, 1972 M.), h. 30; A. Hassan, Al-Nubuwwah,
(Cet. VI; Surabaya: PT Bina Ilmu, 1987 M.), h. 26, 36, 39-40
[3] A. Hassan, Ringkasan Islam, op. cit., h. 12; Lihat pula, Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah
Perkembangan Hadis, (Cet. II; Jakarta: Bulan Bintang, 1988 M.), h. 7-8; Abdul Hakim bin Amir
Abdat, Al-Masil: Masalah-masalah Agama, Jilid I, (Cet. V; Jakarta: Darus Sunnah Press, 1426 H.-
2005 M.), h. 81
[4] Hadis mawdh artinya palsu, lancung, atau yang dibikin oleh orang-orang, lalu mereka katakan
sabda Nabi Salallahu alaihi wa sallam. Dalam sanadnya ada rawi yang pendusta. Bila hanya tertuduh
berdusta maka dinamakan matrk, A. Hassan, Muqaddimah Ilmu Hadis dan Ushl Fiqh, dalam
Tarjamah Bulg al-Marm, (Cet. XXV; Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2001 M.), h. 9; Ada
beberapa latar belakang yang menyebabkan terjadinya pemalsuan Hadis, antara lain; [1] adanya niat
sekelompok firqah zindq untuk merusak Islam, [2] pembelaan terhadap aliran tertentu, misalnya,
aliran politik, aliran kalam, aliran mazhab fiqh, aliran geografis, [3] terdorong oleh motif-motif
duniawi, misalnya, mendekati penguasa, mencari pendukung (massa) termasuk dalam hal ini untuk
gagah-gagahan dan tukang-tukang cerita, [4] al-targb wa al-tarhb yaitu usaha untuk membuat orang
mencintai kebajikan dan takut melakukan kemaksiatan, dalam hal ini biasanya terkait dengan orang-
orang Shfiy. Lebih jelasnya lihat, Shalh al-Dn Ahmad al-Adlabiy, Manhaj Naqd al-Matn Inda
Ulam al-Hadts al-Nabawiy, diterjemahkan oleh M. Qadirun Nur dan Ahmad Musyafiq dengan
judul Metodologi Kritik Matan Hadis, (Cet. I; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004 M.), h. 33-39;
Abdul Hakim bin Amir Abdat, op. cit., h. 41-55
[5] A. Hassan, Ringkasan Islam, op. cit., h. 14
[6] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, (Cet. I; Jakarta: PT Mutiara Sumber Widya, 2001 M.), h. 128-129
[7] Lebih lanjut lihat, A. Hassan, Ringkasan Islam, op. cit., h. 18; Muhammad Syuhudi Ismail,
Pembahasan Kitab-kitab Hadis, Diktat Perkuliahan, (Ujung Pandang: IAIN Alauddin, 1989 M.), h.
13-27; Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, (Cet. I; Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995 M.), h. 75-80;
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis, Jilid II, (Cet. VI; Jakarta: Bulan
Bintang, 1994 M.), h. 316-325; Nr al-Dn Itr, Manhaj al-Naqd f Ulm al-Hadts, diterjemahkan
oleh Endang Soetari AD dan Mujiyo dengan judul Ulm al-Hadts, Jilid I, (Cet. II; Bandung: PT
Remaja Rosda Karya, 1995 M.), 181-193
[8] Ramli Abdul Wahid, Perkembangan Kajian Hadis di Indonesia: Studi Tokoh dan Ormas Islam,
Conference Paper, (Makassar: Postgraduate Program State Islamic Universities, 2005 M.), h. 1
[9] Hamka, Ayahku: Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di
Sumatera, (Cet. IV; Jakarta: Umminda, 1982 M.), h. 96-98
[10] Ibid., h.102-105
[11] Bisri Affandi, Syaikh Ahmad Syurkati (1874-1943): Pembaharu dan Pemurni Islam di Indonesia,
(Cet. I; Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1999 M.), h.
[12] Howard M. Federspiel, Persatuan Islam: Islamic Reform in Twentieth Century Indonesia,
diterjemahkan oleh Yudian W. Asmin dan Afandi Mochtar dengan judul Persatuan Islam:
Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX, (Cet. I; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996
M.), h. 25
[13] Syafiq A. Mughni, Nilai-nilai Islam: Perumusan Ajaran dan Upaya Aktualisasi, (Cet. I;
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001 M.), h. 139
[14] A. Hassan, Ringkasan Islam, op. cit., h. 17
[15] A. Hassan, Tarjamah Bulgul Marm, (Cet. XXVI: Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2002
M.), h. 1

KONTRIBUSI A. HASSAN TERHADAP KAJIAN HADIS DI INDONESIA

Posted on Juni 19, 2008 by fospi

STUDI ATAS CARA MEMERIKSA DAN MEMAHAMI HADIS

(Bagian Ketiga)

Oleh: Al-Hfizh Ibnul Qayyim[1]

A. Pengertian Hadis, Sunnah, dan Atsar

Hadis secara bahasa berarti perkataan, pembicaraan, percakapan,


sesuatu yang baru, dan khabaran. Menurut istilah, maksudnya ialah
perkataan, perbuatan, dan hal-hal rasul, juga taqrr-nya yaitu perbuatan
atau percakapan sahabat yang diketahui oleh Rasulullah Muhammad
shalla Allh alayhi wa sallam, tetapi dibiarkannya.[2]
Sunnah menurut bahasa berarti perjalanan, peraturan, tabiat, dan
syariat. Menurut istilah, Sunnah sama dengan Hadis.[3] Sedang atsar itu,
adalah perkataan sahabat.[4] Demikian A. Hassan mengemukakan
penjelasan mengenai tiga term (istilah) tersebut.

B. Pembagian Hadis

Hadis atau sunnah yang terdapat dalam kitab-kitab Hadis yang


terkenal, ditinjau dari sisi jumlah periwayatnya terbagi kepada dua
macam; (1) mutawtir, (2) hd.

Hadis mutawtir adalah Hadis-Hadis yang diriwayatkan dari Nabi


Muhammad shalla Allh alayhi wa sallam oleh beberapa banyak manusia
kepada beberapa banyak manusia dan seterusnya demikian hingga
tercatat, dengan beberapa sanad pula.[5]

Hadis hd terbagi kepada tiga macam lagi; (1) Hadis masyhr


atau mustafidh yaitu Hadis-Hadis yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad
shalla Allh alayhi wa sallam oleh tiga orang atau lebih kepada tiga orang
atau lebih, dan seterusnya begitu hingga tercatat dengan sanad yang
sekurang-kurangnya tiga. (2) Hadis azz yakni Hadis-Hadis yang
diriwayatkan dari Nabi Muhammad shalla Allh alayhi wa sallam oleh dua
orang kepada dua orang, dan seterusnya demikian hingga tercatat
dengan dua sanad. (3) Hadis garb yakni Hadis-Hadis yang diriwayatkan
dari Nabi Muhammad shalla Allh alayhi wa sallam oleh seorang kepada
seorang, dan seterusnya demikian hingga tercatat dengan satu sanad.[6]

Hadis mutawtir sudah pasti maqbul yang termasuk Hadis ashah


yakni yang terlebih sah, kecuali bila kandungan matan-nya bertentangan
dengan al-Quran.[7] Hadis hd ada yang maqbul (diterima) dan ada
pula yang mardd (ditolak).

Hadis hd yang maqbul terbagi dua; (1) Hadis shahh, yakni


Hadis yang sanad-nya bersambung dari awal sampai akhir serta
diriwayatkan oleh orang-orang yang kepercayaan (tsiqah) (2) Hadis
hasan, yakni Hadis yang di antara rawi-rawinya ada yang kurang ke-
dhbith-annya, tidak banyak, hanya sedikit-sedikit saja.[8]

Hadis hd yang mardd memiliki banyak jenis, masing-masing


jenis memiliki nama-nama tersendiri, namun secara keseluruhan disebut
dengan istilah Hadis dhaf yakni Hadis yang tidak memenuhi sifat-sifat
dan syarat-syarat Hadis shahh atau tidak pula Hadis hasan.[9]

Hadis dhaf ada yang lemah saja (maksudnya, ringan), dan


terkadang ada juga yang sangat lemah. Adapun Hadis yang lemahnya
ringan kalau memiliki banyak jalan dan masing-masing kelemahannya
tidak berat, selama tidak bertentangan dengan al-Quran dan Hadis yang
maqbl, maka dapat dianggap sebagai Hadis hasan.[10]

C. Cara Memeriksa Sanad Hadis

1. Mengumpulkan Sanad dan Matan

a. Cara Mencari Hadis

Dalam kitab-kitab ilmu-ilmu Hadis, untuk menelusuri suatu Hadis


kepada sumber kitab asalnya disebut dengan istilah takhrj. Kata takhrj
merupakan ism al-mashdar, dari kata kharraja yukharriju takhrjan, bila
ditelusuri ke akarnya, kata ini terdiri dari huruf kh, r dan jm yang asal
) dan perbedaan antara dua
artinya menembus sesuatu (
warna (
) .[11] Selain itu, arti yang populer adalah
mengeluarkan ( ) , meneliti atau melatih ) ,
( dan

menerangkan ().[12]

Para muhadditsn (Ulama Hadis) dahulu mengenal kegiatan takhrj


untuk hal-hal sebagai berikut; (1) menjelaskan Hadis kepada orang lain
dengan menyebutkan nama para perawi dan lambang-lambang
periwayatan[13] yang mereka gunakan dalam sanad Hadis itu. Takhrj
seperti ini telah dilakukan oleh para Pendaftar Hadis (mukharrij), seperti
al-Bukhriy dan Muslim dalam kitab Shahh-nya masing-masing, demikian
pula para Pendaftar Hadis lainnya. (2) mengeluarkan dan meriwayatkan
Hadis dari beberapa kitab, seperti al-Bayhaqiy yang banyak mengutip
Hadis dari kitab al-Sunan karya Ahmad ibn Ubayd al-Bashriy al-Saffar,
lalu mengemukan sanad-nya sendiri. (3) menunjukkan kitab-kitab
sumber Hadis, dan menisbatkannya dengan cara menyebutkan para
perawinya, yaitu para pengarang sumber Hadis tersebut, seperti apa yang
dilakukan oleh Abd al-Raf al-Munwiy dalam kitabnya, Faydh al-Qadr
Syarh Al-Jmi al-Shagr f Ahdts al-Basyr al-Nadzr.[14]

Kegiatan takhrj yang ketiga inilah yang cukup populer dan


kemudian dikembangkan oleh para muhadditsn akhir-akhir ini, sehingga
al-Thahhn merumuskan bahwa kegiatan takhrj al-hadts adalah
menunjukkan tempat Hadis pada sumber-sumber aslinya, dimana Hadis
tersebut telah diriwayatkan lengkap dengan sanad-nya, kemudian
menjelaskan derajatnya jika diperlukan.[15]

Dalam mencari Hadis kepada sumber aslinya, ada beberapa


metode yang dapat digunakan,[16] sebagai berikut:

1. Mengetahui sahabat yang meriwayatkan Hadis; cara ini termasuk cara


yang mudah karena cukup mengetahui siapa nama sahabat yang
meriwayatkan Hadits yang sedang dicari sumbernya. Kitab yang biasa
digunakan adalah Tuhfat al-Asyrf bi Marifat al-Athrf, karya Al-Hfizh
Jamal al-Dn Abi al-Hajjj Al-Mizziy.[17]

2. Mengetahui awal kalimat matan Hadis; cara ini termasuk cara yang
paling mudah dilakukan, namun dengan catatan, seorang pencari Hadis
harus mengetahui secara jelas lafazh matan Hadis yang ingin di-takhrj.
Adapun kitab yang biasa digunakan melalui metode ini adalah Mawsat
al-Athrf al-Hadts al-Nabawiy al-Syarf, karya Ab Hajar Muhammad
al-Sad ibn Basyniy Zagll[18] dan kitab Al-Jmi al-Shagr f Ahdts
al-Basyr al-Nadzr, karya Al-Suythiy.[19]

3. Mengetahui kata-kata dalam matan Hadis; cara ini dengan melihat


kata-kata yang ada dalam matan Hadis tersebut, baik ism yang ada
dalam matan Hadis tersebut ataupun fiil-nya. Kitab yang biasa
digunakan adalah Al-Mujam al-Mufahras li Alfzh al-Hadts al-Nabawiy,
karya A.J. Wensink.[20]

4. Mengetahui tema-tema kandungan Hadis; yakni dengan cara


memahami tema materi yang terkandung dalam suatu Hadis yang
hendak di-takhrj. Adapun kitab yang biasa digunakan untuk metode ini
adalah Mifth Kunz al-Sunnah, karya A.J. Wensink juga.[21]

5. Melihat klasifikasi Hadis; cara ini tergantung kedudukan Hadis yang


akan di-takhrj, umpamanya, mencari Hadis dhaf atau mawdh, maka
dicari di kitab-kitab yang menghimpun Hadis-Hadis dhaf atau
mawdh, demikian seterusnya.

Dalam hal metode takhrj al-hadts ini, selama berbulan-bulan


penulis mengkaji dan meneliti kitab-kitab karya A. Hassan, namun penulis
tidak menemukan penjelasan tentang metode takhrj yang digunakannya.
Setelah salah seorang guru penulis, Salam Russyad, berkunjung ke
rumah di Gowa pada Januari lalu,[22] penulis mengambil kesempatan
untuk bertanya tentang masalah ini, dan menurutnya, A. Hassan
nampaknya memang belum menggunakan metode takhrj al-hadts
sebagaimana lima metode tersebut. Persoalannya, buku-buku semacam
itu sangat langka pada masanya. Namun, lanjutnya, kitab Nayl al-Awthr
karya al-Syawkniy dan Subul al-Salm karya al-Shanniy, serta kitab-
kitab lainnya, seperti syuruh al-hadts yang dimiliki A. Hassan sudah
cukup membantunya menelusuri sanad dan matan Hadis kepada kitab
aslinya, dan ini termasuk salah satu cara takhrj pada masa itu.

Ketika penulis mengkaji buku Mengenal Muhammad (Al-


Nubuwwah) karya A. Hassan, pada kata pengantarnya ia mengemukakan:

Isi kitab ini saya ambil dari: Al-Jmi al-Shagr.[23]

Pernyataan ini menunjukkan bahwa A. Hassan telah memiliki salah


satu kitab yang biasa dipakai dalam kegiatan takhrj al-hadts metode ke-
2 sebagaimana penjelasan di atas.

Dari kegiatan takhrj al-hadts maka hal yang sangat bermanfaat


antara lain; (1) terkumpulnya berbagai sanad dengan berbagai lambang
periwayatan dari suatu Hadis, dan (2) terkumpulnya berbagai redaksi dari
sebuah matan Hadis yang sedang diperiksa.[24] Dapat penulis simpulkan
bahwa dengan menggunakan metode takhrj al-hadts maka seorang
pemeriksa Hadis dapat mengetahui asal-usul dan seluruh sanad dan
matan Hadis yang diperiksa, serta ada atau tidaknya syhid atau mutbi.

A. Hassan mengemukakan contoh di bawah ini, yaitu Hadis


kedatangan Jibrl bertanya tentang iman, islam, dan ihsan kepada Nabi
Muhammad shalla Allh alayhi wa sallam di hadapan para sahabat yang
diriwayatkan oleh Al-Bukhriy melalui jalan sahabat Ab Hurayrah
radhiya Allh anhu. Al-Bukhriy berkata:





(( )) :
Terjemahnya:

Musaddad ceritakan kepada kami, ia berkata: Ismal ibn Ibrhm


ceritakan kepada kami, ia berkata: Ab Hayyn al-Taymiy khabarkan
kepada kami, dari Ab Zurah, dari Ab Hurayrah, ia berkata: Nabi
shalla Allh alayhi wa sallam pada suatu hari pernah keluar
menemui para sahabat, lalu datanglah Jibrl bertanya, apa iman itu?
Nabi shalla Allh alayhi wa sallam menjawab: Iman itu ialah engkau
percaya kepada Allah, Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, pertemuan
dengan-Nya, rasul-rasul-Nya, dan bahwa engkau percaya kepada
pembangkitan (sesudah mati) .[25]

Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad,[26] al-Bukhriy,[27] Muslim,


[28] dan Ibnu Mjah.[29] Untuk menelusurinya lebih lanjut, seseorang
yang sedang melakukan kegiatan takhrj, dapat menggunakan kitab Al-
Jmi al-Shagr f Ahdts al-Basyr al-Nadzr karya al-Suythiy, sebagaimana
kitab yang ada pada A. Hassan. Hasil yang didapatkan adalah sebagai
berikut:

Hadis no. 3092:

(3 )(. (

( )
Hadis no. 3093:




( )( ).

Pada akhir matan Hadis no. 3092 terdapat symbol (3 )(


() maksudnya, Hadis ini diriwayatkan oleh Muslim,[30] Ab Dwud,
[31] al-Nasiy,[32] dan al-Turmudziy,[33] dari Umar ibn al-Khaththb,
dengan kualitas shahh. Demikian pula pada akhir matan Hadis no. 3093
terdapat symbol ( )( )maksudnya, Hadis ini diriwayatkan
oleh al-Bayhaqiy dalam kitabnya, Syuab al-mn,[34] dari Umar ibn al-
Khaththb, dengan kualitas shahh pula. Demikian menurut al-Suythiy.
[35]

Setelah Hadis-Hadis tersebut diketahui sumber kitabnya, maka


seseorang yang sedang memeriksa Hadis ini harus terus menelusuri dan
mengumpulkan seluruh sanad dan matan-nya masing-masing dari kitab-
kitab para Pendaftar Hadis tersebut untuk kemudian dibuatkan gambaran
sanad-nya.

b. Gambaran Sanad
Setelah mengadakan kegiatan takhrj al-hadts maka langkah
selanjutnya adalah pemeriksaan terhadap sanad yaitu dengan melakukan
kegiatan al-itibr[36] terlebih dahulu atau dalam istilah A. Hassan
dinamai gambaran sanad.[37] Hal ini dilakukan agar supaya orang yang
memeriksa Hadis dapat mengetahui ada atau tidak adanya pendukung
berupa periwayat yang berstatus syhid atau mutbi.

Contoh gambaran sanad Hadis kedatangan Jibrl bertanya tentang


iman, islam, dan ihsan tersebut di atas, melalui jalan sahabat Ab
Hurayrah radhiya Allh anhu

Gambaran sanad Hadis riwayat Ahmad, sebagai berikut:

1. Ahmad (haddatsan)

2. Ismal ibn Ibrhm (haddatsan)

3. Ab Hayyn al-Taymiy (an)

4. Ab Zurah, (an)

5. Ab Hurayrah radhiya Allh anhu, (qla)

6. Al-Nabiy shalla Allh alayhi wa sallam

Gambaran sanad Hadis riwayat al-Bukhriy, sebagai berikut:

1. Al-Bukhriy (haddatsan)

2. Musaddad (haddatsan)

3. Ismal ibn Ibrhm (akhbaran)

4. Ab Hayyn al-Taymiy (an)

5. Ab Zurah, (an)

6. Ab Hurayrah radhiya Allh anhu, (qla)

7. Al-Nabiy shalla Allh alayhi wa sallam

Gambaran sanad Hadis riwayat Muslim, sebagai berikut:


1. Muslim (haddatsan)

2. Ab Bakr ibn Ab Syaybah dan Zuhayr ibn Harb (haddatsan)

3. Ismal ibn Ibrhm (an)

4. Ab Hayyn al-Taymiy (an)

5. Ab Zurah, (an)

6. Ab Hurayrah radhiya Allh anhu, (qla)

7. Al-Nabiy shalla Allh alayhi wa sallam

Gambaran sanad Hadis riwayat al-Nasiy, sebagai berikut:

1. Al-Nasiy (akhbaran)

2. Muhammad ibn Qudmah ibn Ayun al-Qurasyiy (an)

3. Jarr ibn Abd al-Hamd al-Tsaqafiy (an)

4. Ab Farwah Urwah ibn al-Hrits al-Hamdniy (an)

5. Ab Zurah ibn Amr, (an)

6. Ab Hurayrah dan Ab Dzarr al-Gifriy radhiya Allh anhuma, (ql)

7. Al-Nabiy shalla Allh alayhi wa sallam

Gambaran sanad Hadis riwayat Ibnu Mjah, sebagai berikut:

1. Ibnu Mjah (haddatsan)

2. Ab Bakr ibn Ab Syaybah (haddatsan)

3. Ismal ibn Ibrhm (an)

4. Ab Hayyn al-Taymiy (an)

5. Ab Zurah, (an)

6. Ab Hurayrah radhiya Allh anhu, (qla)


7. Al-Nabiy shalla Allh alayhi wa sallam

Contoh gambaran sanad Hadis kedatangan Jibrl bertanya tentang


iman, islam, dan ihsan kepada Nabi saw. di hadapan para sahabat
tersebut di atas, melalui jalan sahabat Umar ibn al-Khaththab radhiya
Allh anhu.

Gambaran sanad Hadis riwayat Muslim, sebagai berikut:

1. Muslim (haddatsan)

2. Zuhayr ibn Harb (haddatsan)

3. Wak ibn al-Jarrh (an)

4. Kahmas ibn al-Hasan (an)

5. Abd Allh ibn Buraydah (an)

6. Yahya ibn Yamar (sim)

7. Abd Allh ibn Umar ra. (haddatsany)

8. Umar ibn al-Khaththb radhiya Allh anhu, (qla)

9. al-Nabiy shalla Allh alayhi wa sallam

Gambaran sanad Hadis riwayat Ab Dwud, sebagai berikut:

1. Ab Dwud (haddatsan)

2. Ubayd Allh ibn Mudz (haddatsan)

3. Mudz ibn Mudz ibn Nashr al-Anbariy (haddatsan)

4. Kahmas ibn al-Hasan (an)

5. Abd Allh ibn Buraydah (an)

6. Yahya ibn Yamar (sim)

7. Abd Allh ibn Umar ra. (haddatsany)


8. Umar ibn al-Khaththb radhiya Allh anhu, (qla)

9. al-Nabiy shalla Allh alayhi wa sallam

Gambaran sanad Hadis riwayat al-Nasiy, sebagai berikut:

1. Al-Nasiy (akhbaran)

2. Ishq ibn Ibrhm al-Hanzhaliy al-Marziy (haddatsan)

3. Al-Nadhr ibn Syumayl al-Nahwiy (anbaan)

4. Kahmas ibn al-Hasan (haddatsan)

5. Abd Allh ibn Buraydah (an)

6. Yahya ibn Yamar (sim)

7. Abd Allh ibn Umar radhiya Allh anhu, (haddatsany)

8. Umar ibn al-Khaththb radhiya Allh anhu, (qla)

9. al-Nabiy shalla Allh alayhi wa sallam

Gambaran sanad Hadis riwayat al-Turmudziy, sebagai berikut:

1. Al-Turmudziy (haddatsan)

2. Ab Ammr al-Husayn ibn Hurayts al-Khuziy (akhbaran)

3. Wak ibn al-Jarrah (an)

4. Kahmas ibn al-Hasan (an)

5. Abd Allh ibn Buraydah (an)

6. Yahya ibn Yamar (sim)

7. Abd Allh ibn Umar radhiya Allh anhu, (haddatsany)

8. Umar ibn al-Khaththb radhiya Allh anhu, (qla)

9. al-Nabiy shalla Allh alayhi wa sallam


Para ulama Hadis membagi sanad kepada tiga bagian, yaitu (1)
awal sanad, (2) akhir sanad, dan (3) wasath sanad, yakni pertengahan
sanad. Umpamanya, al-Bukhriy dan atau orang yang sampaikan Hadis
kepadanya, seperti Musaddad, disebut awal sanad. Sedangkan Ab
Hurayrah radhiya Allh anhu dan atau orang yang menerima Hadis
darinya, seperti Ab Zurah ibn Amr, disebut akhir sanad. Adapun selain
mereka, seperti Ismal ibn Ibrhm dan Ab Hayyn al-Taymiy, disebut
pertengahan sanad. Perhatikan gambaran sanad Hadis riwayat al-
Bukhriy di atas, demikian pula seterusnya dengan sanad-sanad Muslim,
Ab Dwud, dan lainnya.[38]

Adapun kata haddatsan dan lain-lainnya itu merupakan


lambang-lambang periwayatan. Dari lambang-lambang periwayatan inilah
seseorang yang sedang memeriksa persambungan sanad Hadis dapat
mengetahui cara para perawi menerima dan meriwayatkan Hadis.
Umpamanya, kata haddatsan yang artinya ia telah menceritakan
kepada kami, menunjukkan bahwa perawi yang menggunakan lambang
ini, mendengar langsung Hadis tersebut dari gurunya. Insya Allah, pada
pembahasan thuruq al-tahammul wa al-ad mendatang, penulis akan
menguraikannya lebih lanjut.

c. Syhid dan Mutbi

A. Hassan menjelaskan pengertian syhid yang artinya penyaksi,


umpamanya, jika ada satu Hadis Nabi Muhammad shalla Allh alayhi wa
sallam yang diriwayatkan oleh al-Bukhriy, dari jalan Ibnu Abbs radhiya
Allh anhu, kemudian Hadis yang sama maknanya itu diriwayatkan pula
melalui jalan sahabat lain, maka jalan sahabat lain inilah dinamakan
syhid. Adapun Mutbi artinya yang mengikuti atau yang mengiringi,
umpamanya, bila Hadis tadi, diriwayatkan dari Ibn Abbs juga, maka
yang ini dinamakan mutbi.[39]

Jadi, syhid itu adalah satu Hadis yang matan-nya mencocoki


matan Hadis lain, dan biasanya sahabat yang meriwayatkannya pun
berlainan.[40]

Contoh matan Hadis kedatangan Jibrl bertanya tentang iman,


islam, dan ihsan tersebut di atas, melalui jalan sahabat Ab Hurayrah
radhiya Allh anhu. Setelah diperiksa melalui gambaran sanad, ternyata
terdapat sahabat Ab Dzarr al-Gifriy dan Umar ibn al-Khaththb radhiya
Allh anhuma yang menjadi syhid-nya, demikian seterusnya, walaupun
lafazh matan-nya ada perbedaan, namun maknanya mencocoki, inilah
yang disebut syhid manan. Bila lafazhnya sama disebut syhid lafzhan.

Adapun mutbi itu adalah satu Hadis yang sanad-nya menguatkan


sanad lain dari Hadis itu juga.[41]

Contoh sanad Hadis kedatangan Jibrl bertanya tentang iman,


islam, dan ihsan tersebut di atas, melalui jalan sahabat Ab Hurayrah
radhiya Allh anhu yang diriwayatkan oleh al-Bukhriy, ia berkata:
(haddatsan) Musaddad (haddatsan) Ismal ibn Ibrhm, dst. dan pada
sanad Hadis yang diriwayatkan oleh Muslim, ia berkata: (haddatsan) Ab
Bakr ibn Ab Syaybah dan Zuhayr ibn Harb (haddatsan) Ismal ibn
Ibrhm, dst. ternyata antara guru al-Bukhriy, yakni Musaddad dan dua
guru Muslim, yakni Ab Bakr ibn Ab Syaybah dan Zuhayr ibn Harb sama-
sama menerima Hadis di atas dari Ismal ibn Ibrhm. Guru-guru Muslim
itulah yang disebut mutbi. (BERSAMBUNG)

Endnote
[1] Alamat e-mail: kayyink_uinmakassar@yahoo.com
[2] A. Hassan, Ringkasan Islam, (Bangil: Al-Muslimun, 1972 M.), h. 11
[3] Ibid.; lihat pula, A. Hassan, Muqaddimah Ilmu Hadis dan Ushl Fiqh, dalam
Tarjamah Bulg al-Marm, (Cet. XXV; Bandung: CV Penerbit Diponegoro,
2001 M.), h. 15, selanjutnya disebut Muqaddimah Ilmu Hadis saja.
[4] Ibid., h. 2
[5] Ibid., h. 10; lihat pula, A. Hassan, Ringkasan Islam, loc. cit.
[6] A. Hassan, Muqaddimah Ilmu Hadis, loc. cit.
[7] Ibid.; A. Hassan, Ringkasan Islam, op. cit., h. 12
[8] A. Hassan, et. al., Soal Jawab, Jilid II, (Cet. XII; Bandung: Penerbit CV
Diponegoro, 2000 M.), h. 696; lihat pula, A. Hassan, Muqaddimah Ilmu
Hadis, op. cit., h. 10, 12
[9] Ibid., h. 11
[10] A. Hassan, Ringkasan Islam, loc. cit.
[11] Ahmad ibn Fris, Mujam al-Maqyis f al- Lugah, (Cet. I; Beirt: Dr al-Fikr,
1415 H.-1994 M.), h. 313
[12] Majd al-Dn Muhammad ibn Yaqb al-Fayruzzabdiy, Al-Qms al-Muhth,
(Cet. I; Beirt: Dr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1425 H.-2004 M.), h. 211
[13] Lambang-lambang periwayatan yang dimaksud adalah siyag al-isnd, yakni
lafazh-lafazh yang ada dalam sanad yang digunakan oleh rawi-rawi ketika
menyampaikan Hadis atau riwayat, umpamanya haddatsan, haddatsaniy,
akhbaran, akhbaraniy, an, dan sebagainya.
[14] Mahmd al-Thahhn, Ushl al-Takhrj wa Dirsat al-Asnd, (t.d.), h. 10-11
[15] Ibid., h. 12
[16] Lebih lanjut lihat, Abd al-Mahdi ibn Abd al-Qadir, Thuruq Takhrj Hadts
Raslillah Shalla Allh Alayh wa Sallam, diterjemahkan oleh Sayyid Agil
Husin Munawwar dan Ahmad Rifqi Muchtar dengan judul Metode Takhrj
Hadis, (Cet. I; Semarang: Dina Utama, 1994 M.), h. 15; Mahmd al-
Thahhn, Ushl al-Takhrj wa Dirsat al-Asnd, op. cit., h. 37-38; Tasmin
Tangngareng, Metode Takhrj Dalam Penelitian Sanad Hadis, Diktat
Perkuliahan, (Makassar: UIN Alauddin, t.th.), h. 6-20; Baso Midong, Kualitas
Hadis Dalam Kitab Tafsir An-Nur Karya T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, (Cet. I;
Makassar: YAPMA, 2007 M.), h. 11-12
[17] Cet. I; Bombay: Dr al-Qayyimah, 1982 M.
[18] Cet. I; Beirt: Dr al-Fikr, 1989 M.
[19] Cet. II; Beirt: Dr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1425 H.-2004 M.
[20] A.J. Wensink memberi judul Concordance et Indices la Tradition
Musulmane, diterjemahkan oleh Muhammad Fud Abd al-Bqiy dengan
judul Al-Mujam al-Mufahras li Alfzh al-Hadts al-Nabawiy, Cet. Leiden: E.J.
Brill, 1965 M.
[21] A.J. Wensink memberi judul A Handbook of Early Muhammadan Tradition,
diterjemahkan oleh Muhammad Fud Abd al-Bqiy dengan judul Mifth
Kunz al-Sunnah, Cet. Lahore: Sohail Academy, 1391 H.-1974 M.
[22] Salam Russyad, adalah Dosen Hadis dan Ilmu-ilmu Hadis pada Mahad liy
(Pesantren Tinggi) Persis Bangil, Jawa Timur. Saat ini, ia diamanahi sebagai
Ketua Persis (Persatuan Islam) Wilayah Indonesia Timur. Berkunjung ke
rumah penulis di Jln. Syeikh Yusuf III No. 54 Kobang, Gowa, Sulawesi
Selatan, pada 30-31 Januari 2008 M.
[23] A. Hassan, Mengenal Muhammad, (Cet. VI; Surabaya: PT Bina Ilmu, 1987
M.), h. 10
[24] Abd al-Mahdi ibn Abd al-Qadir menyebutkan hingga 20 manfaat dari
kegiatan takhrj al-hadts. Lihat, Abd al-Mahdi ibn Abd al-Qadir, op. cit., h.
4-6
[25] A. Hassan, Ringkasan Islam, op. cit., h. 15
[26] Ahmad ibn Hanbal, Musnad al-Imm Ahmad ibn Hanbal, Jilid II, (t.t.: Dr
al-Fikr, t.th.), h. 426
[27] Muhammad ibn Isml al-Bukhriy, Shahh al-Bukhriy, Juz I, (Cet. I;
Beirt: Dr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1412 H.-1992 M.), h. 22, Kitb al-mn,
Bb Sul Jibrl al-Nabiy Shalla Allh Alayhi wa Sallam An al-mn wa al-
Islm wa al-Ihsn wa Ilm al-Sah, Hadis No. 50; Juz V, h. 318, Kitb Tafsr
al-Qurn, Bb Qawluhu Inna Allh Indahu Ilm al-Sah, Hadis No. 4777
[28] Muslim ibn Hajjj al-Qusyayriy al-Naysbriy, Shahh Muslim, Juz I, (Cet. I;
Beirt: Dr al-Fikr, 1412 H.-1992 M.), h. 28, Kitb al-mn, Bb Bayn al-
mn wa al-Islm wa al-Ihsn wa Wujb al-mn bi Itsbt Qadar Allh
Subhnahu wa Tal, Hadis No. 5
[29] Muhammad ibn Yazd al-Qazwniy, Sunan ibn Mjah, Juz I, (Beirt: Dr al-
Fikr, 1415 H.-1995 M.), h. 37, Kitb al-Muqaddimah, Bb f al-mn, Hadis
No. 64
[30] Muslim ibn al-Hajjj al-Qusyayriy al-Naysbriy, op. cit., h. 27, Kitb al-
mn, Bb Bayn al-mn wa al-Islm wa al-Ihsn wa Wujb al-mn bi
Itsbt Qadar Allh Subhnahu wa Tal, Hadis No. 1
[31] Sulaymn ibn al-Asyats al-Sijistniy, Sunan Ab Dwud, (Cet. I; Beirt: Dr
al-Kutub al-Ilmiyyah, 1422 H.-2001 M.), h. 739, Kitb al-Sunnah, Bb f al-
Qadar, Hadis No. 4695
[32] Ahmad ibn Syuayb ibn Aliy ibn Bahr al-Nasiy, Sunan al-Nasiy bi Syarh
al-Hfizh Jall al-Dn al-Suythiy wa Hsyiyah al-Sindiy, Juz VIII, (Al-
Qhirah: Dr al-Hadts, 1407 H.-1987 M.), h. 97-98, Kitb al-mn wa
Syarihi, Bb Nat al-Islm.
[33] Muhammad ibn s ibn Sawrah al-Turmudziy, Sunan al-Turmudziy, Juz IV,
(Beirt: Dr al-Fikr, 1414 H.-1994 M.), h. 275-276, Kitb al-mn, Bb M
Ja f Washfi Jibrl li al-Nabiy Shala Allh Alayh wa Sallam al-mn wa al-
Islm.
[34] Ab Bakr Ahmad ibn Husayn ibn Aliy al-Bayhaqiy, Syuab al-mn, (t.d.)
[35] Jall al-Dn ibn Ab Bakr al-Suythiy, Al-Jmi al-Shagr f Ahdts al-Basyr
al-Nadzr, (Cet. II; Beirt: Dr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1425 H.-2004 M.), h.
185; lihat pula, Muhammad Abd al-Raf al-Munwiy, Faydh al-Qadr Syarh
Al-Jmi al-Shagr f Ahdts al-Basyr al-Nadzr, Jilid III, (Cet. II; Beirt: Dr
al-Kutub al-Ilmiyyah, 1427 H.-2006 M.), h. 240
[36] Al-Itibr secara bahasa merupakan mashdar dari kata itabara yang berarti
memperhatikan suatu perkara untuk mengetahui perkara lain yang sejenis.
Menurut istilah, menelusuri jalur-jalur Hadis yang diriwayatkan secara
menyendiri oleh seorang rawi, untuk mengetahui apakah terdapat rawi lain
yang bersekutu dalam riwayatnya atau tidak. Lihat, Mahmd al-Thahhn,
Taysr Mushthalah al-Hadts, (Surabaya: Syirkat Bunkl Indah, t.th.), h. 141
[37] A. Hassan, Muqaddimah Ilmu Hadis, op. cit. h. 2-3; A. Hassan, Ringkasan
Islam, op. cit. h. 15
[38] A. Hassan, Muqaddimah Ilmu Hadis, op. cit. h. 3
[39] Ibid., h. 9
[40] Abdul Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadis, (Cet. VIII; Bandung: CV
Penerbit Diponegoro, 2002 M.), h. 305
[41] Ibid., h KONTRIBUSI A. HASSAN TERHADAP KAJIAN HADIS DI INDONESIA

Posted on Mei 4, 2008 by fospi

(Studi Atas Cara Memeriksa dan Memahami Hadis)

(2)
Oleh: Al-Hfizh Ibnul Qayyim [1]
A. Riwayat Hidup dan Keluarga A. Hassan
Sekitar 500-600 tahun yang lalu ada sekelompok penduduk Kairo yang
berpengaruh, namun karena merasa kurang senang dengan rezim rajanya, akhirnya,
mereka hijrah meninggalkan Mesir menuju India dengan kapal layar yang terbuat dari
kayu. Setibanya di India, mereka digelar Maricar yang berarti kapal layar. Mereka
bermukim di Kail Patnam[2] dengan berdagang. Melihat rupa dan bentuknya
kemungkinan mereka berasal dari Parsi. Di antara nenek moyangnya, selain pedagang,
juga terdapat ulama pujangga. Di sinilah asal keturunan nenek moyang A. Hassan.[3]
A. Hassan lahir pada tahun 1887 M. di Singapura. Ayahnya bernama Ahmad
Sinna Vappu Maricar yang digelari Pandit[4] berasal dari India dan ibunya bernama
Muznah berasal dari Palekat, Madras. Ahmad menikahi Muznah di Surabaya ketika ia
berdagang di kota tersebut, kemudian menetap di Singapura. Ahmad adalah seorang
pengarang dalam bahasa Tamil dan pemimpin surat kabar Nurul Islam di Singapura. Ia
suka berdebat dalam masalah bahasa dan agama serta mengadakan tanya jawab dalam
surat kabarnya.[5]
A. Hassan menikah pada tahun 1911 M. dengan Maryam peranakan Melayu-
Tamil di Singapura. Dari pernikahannya ini ia dikaruniai tujuh orang putra-putri; (1)
Abdul Qadir,[6] (2) Jamilah, (3) Abdul Hakim, (4) Zulaikha, (5) Ahmad, (6) Muhammad
Said, (7) Manshur.[7]
B. Pendidikan
A. Hassan belajar al-Quran pada umur sekitar tujuh tahun, kemudian masuk di
Sekolah Melayu. Ayahnya sangat menekankan agar Hassan mendalami bahasa Arab,
Inggris, Melayu dan Tamil di samping pelajaran-pelajaran lain.[8]
Guru-gurunya antara lain adalah H. Ahmad di Bukittiung dan Muhammad Thaib
di Minto Road. Walaupun kedua gurunya ini bukanlah seorang alim besar namun untuk
ukuran daerahnya keduanya cukup disegani dan dihormati. Kepada Muhammad Thaib,
Hassan belajar nahwu dan sharaf, namun kira-kira empat bulan kemudian, ia merasa
tidak memiliki kemajuan, karena hanya menghafal saja tanpa dimengerti, semangat
belajarnya pun menurun. Dalam keadaan seperti itu, untunglah gurunya naik haji.
Akhirnya, A. Hassan beralih belajar bahasa Arab kepada Said Abdullah al-Musawi sekitar
kurang lebih tiga tahun. Selain itu, A. Hassan belajar kepada Syeikh Hassan al-Malabary
dan Syeikh Ibrahim al-Hind. Semuanya ditempuh hingga kira-kira tahun 1910 M., ketika
ia berumur 23 tahun. Walaupun pada masa ini A. Hassan belum memiliki pengetahuan
yang luas tentang tafsr, fiqh, farid, manthiq, dan ilmu-ilmu lainnya, namun dengan
ilmu alat yang ia miliki itulah yang kemudian mengantarkannya memperdalam
pengetahuan dan pemahaman terhadap agama secara otodidak.[9]
Sekitar tahun 1912 M.-1913 M., Hassan bekerja sebagai dewan redaksi Utusan
Melayu yang diterbitkan oleh Singapore Press, dalam surat kabar ini, Hassan banyak
menulis tentang masalah agama seputar nasehat-nasehat, anjuran berbuat baik dan
mencegah kejahatan yang kebanyakannya dalam bentuk syair. Ia pernah menulis,
mengecam qadhi yang memeriksa perkara dalam ruang sidang dengan mengumpulkan
tempat duduk antara pria dan wanita (ikhtilth). Bahkan pernah dalam salah satu
pidatonya mengecam kemunduran ummat Islam, sehingga karena sebab itu ia tidak
diperkenankan menyampaikan pidato lagi.
Pada tahun 1921 M., A. Hassan berangkat ke Surabaya (Jawa Timur) untuk
berdagang dan mengurus toko milik Abdul Lathif pamannya, namun sebelum A. Hassan
berangkat, pamannya berpesan agar sesampainya nanti di Surabaya ia tidak bergaul
dengan seseorang yang bernama Faqih Hasyim[10] karena dianggap sesat dan berfaham
Wahhabi.[11]
Berawal dari pertemuannya dengan Abdul Wahhab Hasbullah[12] yang
kemudian mengajukan pertanyaan kepadanya mengenai hukum membaca ushalliy[13]
sebelum takbirat al-ihrm. Sesuai dengan pengetahuannya ketika itu, A. Hassan
menjawab bahwa hukumnya sunnah. Ketika ditanyakan lagi mengenai alasan
hukumnya, ia menjawab bahwa soal alasannya dengan mudah dapat diperoleh dari kitab
manapun juga. Namun dari pertemuan ini, ia heran, mengapa soal semudah itu yang
dipertanyakan kepadanya. Setelah menceritakan perbedaan-perbedaan antara Kaum Tua
dan Kaum Muda, Abdul Wahhab Hasbullah meminta agar A. Hassan memberikan alasan
sunnatnya membaca ushalliy dari al-Quran dan Hadis, karena menurut Kaum Muda,
agama hanyalah apa yang dikatakan Allah dan Rasul-Nya. A. Hassan kemudian berjanji
akan memeriksa dan menyelidiki masalah itu. Tetapi sesuatu yang berkembang menjadi
keyakinan dihatinya bahwa agama hanyalah apa yang dikatakan oleh Allah dan Rasul-
Nya. Keesokan harinya A. Hassan mulai memeriksa kitab Shahh al-Bukhriy dan Shahh
Muslim, dan mencari ayat-ayat al-Quran mengenai alasan sunnatnya ushalliy namun ia
tidak menemukannya, pendiriannya membenarkan Kaum Muda akhirnya bertambah
tebal.[14]
Maksud awalnya hendak berdagang kemudian berubah, bahkan kemudian A.
Hassan bergaul rapat dengan Faqih Hasyim salah seorang pentolan Kaum Muda di
Surabaya itu. Pada tahun 1924 M., A. Hassan berangkat ke Bandung untuk mempelajari
pertenunan, di sinilah ia berkenalan dengan tokoh pendiri organisasi PERSIS (Persatuan
Islam), yang kemudian A. Hassan diangkat menjadi guru Persatuan Islam.[15]
C. Geneologi Pemikiran
Seorang tokoh pemikir, seperti halnya A. Hassan, pasti memiliki latar belakang
yang mempengaruhi corak berfikirnya, baik itu keluarga, pendidikan, pergaulan serta
setting sosial yang melingkupi sehingga membentuk karakter berfikirnya.
Pada abad kedelapan belas, penolakan terhadap taklid dan perhatian terhadap
studi Hadis sedang berkembang, yang dipelopori oleh Syah Waliyyullah al-Dahlawiy di
India dan Muhammad al-Syawkniy di Yaman. Maka, pada abad kesembilan belas
muncullah gerakan Ahl-i-Hadis di India, yang dalam masalah-masalah hukum, Ahl-i-
Hadis mengkombinasikan penolakan terhadap taklid dalam tradisi pemikiran al-Dahlawiy
dan al-Syawkniy dengan tekstualitas pemahaman yang merupakan gagasan pemikiran
Zhahiriy. Seperti orang Zhahiriy, Ahl-i-Hadis cenderung tekstual dalam memahami al-
Quran dan Hadis, di samping itu mereka sepenuhnya menolak kewenangan ijm,
kecuali ijm sahabat. Dari sisi karakternya, antara gerakan Ahl-i-Hadis di India dan
gerakan Wahhabiy di Arab adalah sama, hanya saja dalam pertumbuhannya berjalan
masing-masing.[16]
Keluarga A. Hassan adalah keluarga yang berasal dari India. Ayahnya, Ahmad,
dikenal sebagai sarjana Tamil yang memiliki karakter keras tidak membenarkan ushalliy,
tahlilan, talqin, dan lain sebagainya, sebagaimana faham Ahl-i-Hadis dan Wahhabiy pada
umumnya. Demikian pula beberapa orang India di Singapura, seperti Thalib Rajab Ali,
Abdul Rahman, Jailani, yang juga dikenal sebagai orang-orang yang berfaham Wahhabiy.
[17]
A. Hassan adalah seorang sosok yang otodidak, karena pendidikan formal yang
dilaluinya hanya di Sekolah Melayu. Walaupun demikian, ia menguasai bahasa Arab,
Inggris, Tamil, dan Melayu yang dapat digunakan olehnya dalam pengembaraan
intelektualnya. Pada masa itu, ia telah membaca majalah Al-Manr yang diterbitkan oleh
Muhammad Rasyid Ridha di Mesir, majalah Al-Imm yang diterbitkan oleh ulama-ulama
Kaum Muda di Minangkabau. Selain itu, A. Hassan telah mengkaji kitab Al-Kafaah karya
Ahmad al-Syurkati, Bidyat al-Mujtahid karya Ibnu Rusyd, Zd al-Mad karya Ibnu
Qayyim al-Jawziyyah, Nayl al-Awthr karya Muhammad Ali al-Syawkniy, dan Subul al-
Salm karya al-Shanniy. Semua bacaan-bacaan itu, cukup mempengaruhi corak
berfikirnya.[18]
Pergaulan A. Hassan pun cukup luas, di antara sahabat-sahabatnya adalah Faqih
Hasyim, Ahmad Syurkatiy,[19] H.O.S. Cokroaminoto, H. Agus Salim, Mas Mansur,[20] H.
Munawar Chalil, Soekarno, Muhammad Maksum, Mahmud Aziz, dan lain-lain.
Pada tahun 1940 M., A. Hassan pindah ke Bangil, Jawa Timur, dan mendirikan
Pesantren Persatuan Islam Bangil, ia tetap mengajar dan menulis di majalah Himyat al-
Islm ( ( ) yang diterbitkannya hingga wafat pada 10 Nopember 1958 M.

dan dimakamkan di Pekuburan Segok, Bangil.
Dari madrasah A. Hassan, muncul Abdul Qadir Hassan sebagai pewaris
keilmuannya, dilanjutkan oleh kedua cucunya, Ghazie Abdul Qadir Hassan,[21] Hud
Abdullah Musa, Luthfie Abdullah Ismal,[22] selain itu murid-murid Abdul Qadir yang
mewarisi keilmuannya antara lain; Aliga Ramli,[23] Ahmad Husnan,[24] Muhammad
Haqqiy,[25] dan masih banyak yang lain.
D. Karya-karya Ilmiyah
A. Hassan adalah salah seorang tokoh pemikir yang produktif menuliskan ide-
idenya baik di majalah-majalah maupun dalam bentuk buku. Karya-karya tulisnya,
antara lain:
1. Dalam bidang Al-Quran dan Tafsir: Tafsir Al-Furqn, Tafsir Al-Hidyah, Tafsir Surah
Ysn, dan Kitab Tajwd.
2. Dalam bidang Hadis, Fiqh, dan Ushl Fiqh: Soal Jawab: Tentang Berbagai Masalah
Agama, Risalah Kudung, Pengajaran Shalat, Risalah Al-Ftihah, Risalah Haji, Risalah
Zakt, Risalah Rib, Risalah Ijm, Risalah Qiys, Risalah Madzhab, Risalah Taqld, Al-
Jawhir, Al-Burhn, Risalah Jumat, Hafalan, Tarjamah Bulg al-Marm, Muqaddimah
Ilmu Hadis dan Ushl Fiqh, Ringkasan Islam, dan Al-Faraidh.
3. Dalam bidang Akhlaq: Hai Cucuku, Hai Putraku, Hai Putriku, Kesopanan Tinggi Secara
Islam.
4. Dalam bidang Kristologi: Ketuhanan Yesus, Dosa-dosa Yesus, Bibel Lawan Bibel,
Benarkah Isa Disalib?, Isa dan Agamanya.
5. Dalam bidang Aqidah, Pemikiran Islam, dan Umum: Islam dan Kebangsaan,
Pemerintahan Cara Islam, Adakah Tuhan?, Membudakkan Pengertian Islam, What is
Islam?, ABC Politik, Merebut Kekuasaan, Risalah Ahmadiyah, Topeng Dajjl, Al-Tauhid,
Al-Iman, Hikmat dan Kilat, An-Nubuwwah, Al-Aqid, al-Munzharah, Surat-surat Islam
dari Endeh, Is Muhammad a True Prophet?
6. Dalam bidang Sejarah: Al-Mukhtr, Sejarah Isr Mirj,
7. Dalam bidang Bahasa dan Kata Hikmat: Kamus Rampaian, Kamus Persamaan, Syair,
First Step Before Learning English, Al-Hikam, Special Dictionary, Al-Nahwu, Kitab
Tashrf, Kamus Al-Bayn, dan lain-lain. [26]
Dari karya-karya ilmiyah yang telah diwariskan A. Hassan tersebut, dapat dilihat
betapa luas ilmu yang ia geluti, yang secara umum Endang Saifuddin Ansari dalam
makalah seminar tentang pemikiran A. Hassan di Singapura Tahun 1979 M.
mengelompokkan secara garis besarnya sebagai berikut:
1. Mengenai Muhammad Rasulullah saw.;
2. Mengenai Sumber Norma dan Nilai Islam: al-Quran dan al-Sunnah;
3. Mengenai Aqidah;
4. Mengenai Syariah: ibadah dan muamalah;
5. Mengenai Akhlak;
6. Mengenai Studi Islam (Dirsat Islamiyyah): Ilmu Tauhid dan Ilmu Kalam, Ilmu Fiqh
dan Ushl Fiqh, Ilmu Akhlak, Ilmu Tasawwuf, dan lain sebagainya.
7. Mengenai pelbagai soal hidup lainnya, seperti: politik, ekonomi, sosial, kesenian, ilmu
pengetahuan, filsafat, bahasa, perbandingan agama, dan lain sebagainya.[27]
(bersambung)
Endnote:
[1] Alamat e-mail: kayyink_uinmakassar@yahoo.com
[2] Kail artinya Kairo dan Patnam artinya Kota atau Bandar; salah satu pusat kota di
India
[3] A. Latief Muchtar, Gerakan Kembali ke Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1998
M.), h. 228.
[4] Dalam masyarakat India, mereka yang ilmu agamanya mendalam digelar sebagai
Pandit, sebagaimana halnya di kalangan masyarakat Bugis digelar sebagai Pandrita atau
Ulama.
[5] Syafiq A. Mughni, Hassan Bandung: Pemikir Islam Radikal, (Cet. II; Surabaya: PT.
Bina Ilmu, 1994 M), h. 11
[6] Abdul Qadir Hassan (w. 25 Agustus 1984 M.), yang merupakan pelanjut A. Hassan,
aktif menulis dalam bidang Tafsr, Hads, Ilmu Hads, dan Ushl Fiqh, di antara karya
tulisnya adalah Kata Berjawab, Ilmu Mushthalah Hadits, Qms Al-Quran, Ushl Fiqh,
Tafsr Ahkm, Cara Berdiri Itidal, dan masih banyak lagi yang lain. Putra Abdul Qadir
Hassan, antara lain adalah Prof. Dr. Ir. Zuhal Abdul Qadir yang pernah menjabat sebagai
Menteri Riset & Teknologi masa Presiden Habibie; putranya yang kedua adalah Ghzie
Abdul Qadir rahimahullah.
[7] Ibid. h. 12
[8] Lihat tulisan Tamar Jaya, Riwayat Hidup A. Hassan, dalam A. Hassan, Tarjamah
Bulughul Maram, (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2001 M), h. 709; Howard M.
Federspiel, Persatuan Islam: Islamic Reform in Twentieth Century Indonesia,
diterjemahkan oleh Yudian W. Asmin dan Afandi Mochtar dengan judul Persatuan Islam:
Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX, (Cet. I; Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 1996 M.), h. 17
[9] Syafiq A. Mughni, op. cit., h. 13
[10] Faqih Hasyim adalah salah seorang murid Dr. H. Abdul Karim Amrullah.
[11] Ibid., h. 14-15.
[12] Salah seorang tokoh pendiri NU, wafat Tahun 1971 M.
[13] Ushalliy adalah niat untuk setiapkali shalat yang dilafazhkan sebelum takbirat al-
ihrm.
[14] Ibid. h. 16
[15] Howard M. Federspiel, op. cit., h. 24
[16] Untuk mengetahui lebih jauh gerakan kebangkitan kembali studi Hadis di India
pada abad XVIII dan XIX, lihat, Daniel W. Brown, Rethinking Tradition in Modern Islamic
Thought, diterjemahkan oleh Jaziar Radianti dan Entin Sriani Muslim dengan judul
Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, (Cet. I; Bandung: Mizan, 2000 M.), h.
37-61
[17] Syafiq A. Mughni, op. cit., h. 20; Howard M. Federspiel, op. cit., h. 17
[18] Syafiq A. Mughni, loc. cit.
[19] Ahmad Syurkati (1874-1943), adalah pendiri organisasi Al-Irsyad. Untuk mengkaji
lebih jauh tentang sepak terjangnya dapat dilihat dalam, Bisri Affandi, Syaikh Ahmad
Syurkati: Pembaharu & Pemurni Islam di Indonesia, (Cet. I; Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
1999 M). A. Hassan mengakui bahwa Ahmad Syurkati adalah salah seorang gurunya.
[20] KH. Mas Mansur (1896-1946) adalah penulis buku Hadits Nabawiyah yang berisi
tentang tanya jawab ucapan Nabi dan pencetus Majlis Tarjih Muhammadiyah. Ia juga
merupakan salah seorang murid Syeikh al-Muhaddits Mahfuzh al-Tirmisi. Lihat, M. Yunan
Yusuf, et. al., Ensiklopedi Muhammadiyah, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005 M), h.
223.
[21] Cucu A. Hassan, Lahir Tahun 1947 dan wafat pada 2002, S1 di Universitas Islam
Madinah dan S2-S3 Takhassus Hadits di Darul Hadits al-Hasaniyah University Rabat,
Maroko, tulisan-tulisannya mengenai kajian Hadis masih tersebar di Majalah Al-
Muslimun. Salah seorang putranya bernama Hifzhie sedang menimba ilmu di Al-Azhar
University, Mesir.
[22] Cucu A. Hassan, lahir pada Tahun 1949, Alumnus International Islamic Call Institute
Tripoli, Libya. Ia cukup produktif dalam menuliskan hasil kajiannya terhadap Hadis, di
antaranya adalah Fiqh al-Ibdt wa al-Mumalt, yang terdiri dari kurang lebih dua jilid
besar. Sebagian yang lain masih tersebar di Majalah Al-Muslimun, dan ada pula yang
masih berbentuk naskah. Sekarang ia masih memimpin Pesantren Persis Bangil, di
antara aktifitasnya yang lain adalah mengisi kajian Hadis di Singapura, Malaysia, dan
menghadiri pertemuan-pertemuan international.
[23] Lahir di Sumenep (Jawa Timur) pada Tahun 1942, Alumnus Universitas Al-Imm
Muhammad ibn Sad Riydh. Di antara buku yang disusun olehnya, yang telah
diterbitkan adalah Sifat dan Kaifiyat Qiyamul Lail, selain itu tulisannya tersebar di
majalah Al-Muslimun, khususnya dalam kajian Tafsir dan Ilmu Tafsir.
[24] Ahmad Husnan, putra Imam Kurmen, lahir di Desa Wangen, Polanharjo, Klaten,
Jawa Tengah pada Tahun 1940, pendidikan dilaluinya pada PGAP IV Negeri Solo; PGAA
Muhammadiyah Padangsidempuan Tapanuli, Sumatera Utara; dan Muallimin
Muhammadiyah Payakumbuh, Sumatera Barat. Setelah itu, ia melanjutkan studinya ke
Pesantren Persis Bangil di bawah pimpinan Abdul Qadir Hassan, lulus dari Pesantren ia
melanjutkan studinya ke Fakultas Syariah Universitas Islam Madinah. Selesai di Madinah
ia terus melanjutkan studinya ke Cairo, Mesir. Sekarang aktif mengajar dan menulis di
Pesantren Al-Mukmin Ngruki, Jawa Tengah. Di antara karya tulisnya adalah Gerakan
Ingkar Sunnah dan Jawabannya, Kritik Hadis Cendekiawan Dijawab Santri, Keputusan
Al-Quran Digugat, Kajian Hadis Metode Takhrj, Meluruskan Pemikiran Pakar Muslim,
Ilmiah Intelektual dalam Sorotan, dan lain-lain.
[25] Murid Abdul Qadir Hassan, mengajar kajian Hadis di Jakarta (Tanah Abang).
Putranya, Ivy Azizi sedang menimba ilmu pada Kulliyat Dawah al-lamiyah, Tripoli, Libya
dan Azmi Haqqiy pada Jurusan Tafsir Hadits, Fakultas Usuluddin, International Islamic
University, Islamabad, Pakistan.
[26] Lebih lanjut lihat catatan Howard M. Federspiel, Syafiq A. Mughni, dan Dadan
Wildan mengenai buku-buku karya A. Hassan.
[27] Endang Saifuddin Ansari, A. Hassan: Wajah dan Wijhah Seorang Mujtahid, dalam
Abdul Rahman Haji Abdullah, Gerakan Islah di Perlis: Sejarah dan Pemikiran, (Cet. I;
Kuala Lumpur: Penerbitan Pena, 1989 M), h. 131

. 302

SEJARAH AHMAD HASSAN SEORANG TOKOH ORGANISASI PERSIS

Bab 1
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Ahmad Hassan atau yang lebih di kenal dengan panggilan Hasan Bandung (di
karenakan ia lama tinggal di Bandung ) merupakan seorang tokoh islam yang dikenal sebagai
seorang ulama pembaharu. Pemikiran-pemikiran ahmad Hassan tajam dan kritis terutam
dalam menafsirkan Nash (teks) Al-Quran dan Hadits.
Ahmad hassan lahir di Singapura, pada tahun 1921 Ahmad Hassan pindah dari
Singapura ke Surabaya, dalam waktu singkat Ahmad Hassan telah berkenalan baik dengan
para pemimpin Serikat Islam di Surabaya, sekalipun Ahmat Hassan tidak menyatakan diri
menjadi anggota gerakan Serikat islam. Ahmad hasan juga pernah belajar tenun di Kediri,
tetapi tidak memuaskan Ahmad Hassan, sehinga Ahmad Hassan pindah ke Bandung dan
mendapat ijazah di sana.
Ahmad Hassan dikenal sebagai salah satu tokoh pembaharuan di Indonesia. A. Hassan
pada pertengahan abad 20-an bergabung dengan organisasi Persatuan islam (Persis) yang
baru berdiri di Bandung, dimana Ahmad Hassan sebagi salah satu pendiri organisasi itu.
Melalui organisasi Persis Ahmad Hassan dikenal sebagai pemikir Muslim yang teguh
menyerukan sikap memurnikan Islam dengan kembali kepada Al-Quran dan Sunnah,
mengajak kepada ijtihad serta meninggalkan taklid dan bid'ah.
Organisasi Persatuan Islam atau yang lebih dikenal dengan nama PERSIS merupakan
organisasi sosial keagamaan yang proses berdirinya di awali dengan terbentuknya suatu
kelompok tadarusan di Kota Bandung yang dipimpin oleh Haji Zamzam dan Haji
Muhammad Yunus. Keduanya merupakan keturunan dari tiga keluarga yang pindah dari
Palembang pada abad 18 (Federspiel 1996:15)
Pada tanggal 12 September 1923, bertepatan pada tanggal 1 Shafar 1342 H, secara
resmi didirikanlah organisasi Persatuan Islam yang kemudian disebut Persis. Awalnya
organisasi persis hanya berkembang di perkotaan, dikarenakan masyarakat kota lebih muda
menerima pemikiran baru, berlawanan dengan masyarakat kota, masyarakat di daerah
pedesaan lebih kuat mempertahankan ajaran-ajaran kebiasaan atau tradisi, perlahan paham
Persis berkembang tak hanya di perkotaan tetapi juga masuk ke pedesaan, masuknya paham
Persis ke pedesaan diantaranya wilayah kabupaten bandung.
1.2 Rumusan Masalah
Siapakah Ahmad Hassan?
Apakah organisasi Persatuan Islam itu ?
Apakah hubungan antara Ahmad Hassan dengan organisasi Persatuan Islam ?
1.3 Tujuan
Tujuan dari di buatnya makalah ini ialah untuk mengeri siapakah Ahmad Hassan atau
yang lebih di kenal sebagai hasan bandung, dan apa perannya pada sejarah Indinesia.
Mengerti apaakaah orgaanisasi Persatuan Islam itu, kapan berdirinya organisasi
Persatuan Islam, dan apa peran organisaisi ini pada masyarakatt di Indonesia.
Mengetahui siapa sajakah tokoh-tokoh yang berpengaruh pada organisasi Persatuan
Islam ini dan apakah peran tokoh-tokoh tersebut di organisasi maupun di luar organisasi
Mengetahui apakah hubungan Ahmad Hassan dengan organisasi Persatuan Islam. Dan
mengetahui seberapa bessr pengaruh Ahmad Hassan pada organisasi Persatuan Islam.
1.4 Metode Sejarah
1.4.1 Pemilihan Topik
Topik ini diambil karena masih belum banya masyarakat yang mengerti siapa Ahmad
Hassan dan apa organisasi Persatuan Islam itu, selain itu, juga memberikan gambaran tentang
Ahmad Hassan dan organisasi Persis itu, supaya dapat memahami dengan lebih mudah
mengenai seorang tokoh Ahmad Hassan dan organisasi Persatuan Islam atau yang lebih
dikenal sebagai Persis.
1.4.2 Heuristik
Heuristik merupakan salah satu metodologi penelitian sejarah, heuristik merupakan
upaya untuk mencari dan mengumpulkan sumber-sumber yang berkaitan dengan masalah
yang akan dikaji, dalam proses mencari sumber-sumber ini penulis mmendatangi dua orang
siswa Pondok Pesantren Persis Putra di Bangil, penulis juga mencari di buku-buku yang
berkaitan dengan masalah yang akan di kaji dengan mendatangi perpustakaan. Penulis juga
mencari di internet untuk menambah bahan kajian.
1.4.3 Kritik
Kritik di gunakan penulis, baik berupa kritik internal maupun kritik eksternal kritik
internal di gunakan penulis untuk mengetahui layak tidaknya isi dari sumber-sumber yang
akan di gunakan sebagai bahan referensi.kritik eksternal digunakan oleh penulis untuk
melihat bentuk dari sumber tersebut,
1.4.4 Interpretasi
Dalam hal ini penulis memberikan penafsirannya terhadap sumber-sumber yang telah
di kumpulkan selama penulisan makalah berlangsung, dengan cara membuat deskripsi,
analisis kritis dan juga seleksi terhadap fakta-fakta tersebut, analisis ini di lakukan dengan
cara menafsirkan fakta dan data dengan konsep-konsep dan teori,
1.4.5 Historiografi
Historiografi merupakan langkah terakhir dalam penulisan ini, dalam hal ini penulis
menyajikan dalam beberapa tahap dengan cara menyususn suatu tulisan tentang sejarah
Ahmad Hassan seorang tokoh organisasi Persis.

Bab 2
Isi
SEJARAH AHMAD HASSAN SEORANG TOKOH ORGANISASI
PERSIS
Nama Ahmad Hasan yang dikenal sebagai Hasan bandung walaupun telah bertahun-
tahun tinggal di Bangil, Ahmad Hassan merupakan seorang ulama besar yang lahir pada
tahun1887 di Singapura. Ayahnya bernama Ahmad seorang pengarang dan wartawan yang
terkenal di Singapura, yang menerbitkan beberapa surat kabar dalam bahasa Tamil. Ibunya
bernama Haji Muznah berasal dari Palekat ( Madras ), tetapi kelahiran Surabaya, Ahmad dan
Muznah menikah di Surabaya dan kemudian pindah ke Singapura.di sanalah lahir Ahmad
Hassan bin Ahmad .
Pendidikan A. Hassan, pada usia 7 tahun A. Hassan Al-Quran dan agama kemudian
masuk sekolah melayu, belajar bahasa Arab, Melayu, Tamil dan Inggris. Keahlian A. Hassan
dalam agama ialah masalah Hadits, Tafsir, Fiqih, Ushul Fiqih, Ilmu Kalam dan Manthiq.
Diluar waktu belajar, Ahmad Hassan juga mengasah bakatnya dalam bidang bertenun dan
pertukangan kayu, dia juga sempat membantu ayahnya di percetakan, menjadi pelayan dan
lain-lain. Setelah menyelesaikan proses belajar hingga tahun 1910, Hassan mengabdikan diri
sebagai guru di Madrasah untuk orang-orang India di beberapa tempat, antaralain di Arab
Street, Baghdad Street dan Geylang di Singapura.
Keinginan ayah Ahmad Hassan untuk melihat anaknya menjadi penulis membuahkan
hasil, pada tahun 1912-1913 Ahmad Hassan membantu Utusan Melayu yang diterbitkan di
Singapura pimpinan Inche Hamid. Ahmad Hassan banyak menulis tentang nasehat, anjuran
untuk berbuat baik, mencegah kejahatan, ia juga menyoroti berbagai masalah yang
berkembang dalam bentuk syair, tulisannya banyak mengandung kritikan masyarakat untuk
kemajuan Islam.
Salah satu tulisannya yang dianggap kritis waktu itu ialah kritikannya terhadap Tuan
Qadhi (Hakim Agama) yang memeriksa perkara dengan mencampurkan tempat duduk pria
dan wanita. Saat itu merupakan tindakan yang luar biasa mengingat Hakim Agama memililki
kedudukan yang tinggi sehingga tidak ada yang berani mengkritiknya. Dalam profesi Ahmad
Hassan sebagai pengarang dan penulis, Hassan pernah membuat cerita humor dan diterbitkan
dalam empat jilid.
pada tahun 1921 Ahmad Hassan pindah dari Singapura ke Surabaya, mula-mula
Ahmad Hassan berdagang namun mengalami kerugian, sehingga Ahmad Hassan kembali
bekerja sebagai vulkanisir ban mobil. Jiwa pejuangan dan pengetahuan agama yang
menyebabkan Ahmad Hassan dalam waktu singkat berkenalan dengan para pemimpin Serikat
Islam di Surabaya. Dia bersahabat baik dengan H.O.S Cokroaminoto, A.M Sangaji, H.A
Salim Bakri Suratmaja dan lain-lain.
Ahmad Hassan pernah belajar tenun di Kediri, Tetapi Ahmad Hassan belum puas, lalu
ia pergi ke Bandung dan mendapat ijazah di sana,.selama tinggal di Bandung Ahmad Hassan
berkenalan dengan tokoh-tokoh Persis,antara lain Asyari, Tamim Zamzam dan lain-lain,
kedatangan ke bandung pada tahun 1925, dua tahun setelah berdiri Persatuan Islam. Sering
kali Ahmad Hassan mengajar di pengajian-pengajian Persis, Ahmad Hassan menetap di
Bandung, menjadi guru Persis dan menjadi tokoh terkemuka di Persis
Banyak pekerjaan yang dilakukan oleh Ahmad Hassan antara lain menjadi guru
Persis, member kursus padaa pelajar-pelajar didikan barat, bertabligh setiap minggu,
menyusun berbagaai karangan untuk mengissi majalah ataupun buku lainnya.
Setelah tujuh belas tahun Ahmad Hassan tnggal di Bandung, pada tahun 1941 ia
pindah ke bangil, bersama percetakannya sebagai bekal hidup, di Bangil ini Ahmad Hassan
terus berdakwah dan menulis, ia mencetaak dan menerbitkan sendiri kartanya. Di Bangil
Ahmad Hassan mendirikan pesantren PERSIS di samping pesantren putri yang sampai kini
dihuni oleh para santri dari berbagai tanah air.

Gerakan pembaruan pemikiran Islam di Indonesia pada awal abad ke-20


ditandai dengan munculnya berbagai organisasi yang dikelola oleh kelompok modernis Islam
diantaranya: Al-Jam'iyyah Al-Khoiriyah, yang dikenal dengan
Jamiat Khoer di Jakarta yang berdiri pada 17 Juli 1905; Jam'iyyatul Islah wal Irsyadil Arabi
(Al-Irsyad) yang berdiri di Jakarta pada 11 Agustus 1915;
Muhammadiyah yang berdiri di Yogyakarta pada 12 Nopember 1912; dan Persis
yang baru berdiri kemudian pada 12 September 1923 di Bandung. (Noer,
1987)
Sejak itulah, banyak organisasi Islam yang muncul. Persatuan Islam berdiri di
Bandung pada 12 September 1923, Organisasi Persatuan Islam atau yang lebih dikenal
dengan nama PERSIS merupakan organisasi sosial keagamaan yang proses berdirinya di
awali dengan terbentuknya suatu kelompok tadarusan di Kota Bandung yang dipimpin oleh
Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus. Keduanya merupakan keturunan dari tiga
keluarga yang pindah dari Palembang pada abad 18 (Federspiel 1996:15)
Pada dasarnya, perhatian Persis ditujukan terutama pada penyebaran paham Alquran
dan sunah. Hal ini dilakukan melalui berbagai aktivitas, di antaranya dengan mengadakan
pertemuan-pertemuan umum, tabligh, khutbah, kelompok studi, tadarus, pendirian sekolah-
sekolah ( pesantren ), penerbitan majalah-majalah dan kitab-kitab, serta berbagai aktivitas
keagamaan lainnya.
Dalam bidang pendidikan, pada 1924 diselenggarakan kelas pendidikan akidah dan
ibadah bagi orang dewasa. Pada 1927, didirikan lembaga pendidikan kanak-kanak dan
Holland Inlandesch School ( HIS ) yang merupakan proyek lembaga Pendidikan Islam
(Pendis) di bawah pimpinan Mohammad Natsir. Kemudian, pada 4 Maret 1936, secara resmi
didirikan Pesantren Persis yang pertama dan diberi nomor satu di Bandung.
Dalam bidang penerbitan ( publikasi ), Persis banyak menerbitkan buku-buku dan
majalah-majalah, di antaranya majalah Pembela Islam ( 1929 ), Al-Fatwa ( 1931 ), Al-Lissan
( 1935 ), At-Taqwa ( 1937 ), majalah berkala Al-Hikam ( 1939 ), Aliran Islam ( 1948 ),
Risalah ( 1962 ), Pemuda Persis Tamaddun ( 1970 ), majalah berbahasa Sunda Iber ( 1967 ),
dan berbagai majalah ataupun siaran publikasi yang diterbitkan oleh cabang-cabang Persis di
berbagai tempat. Beberapa di antara majalah tersebut saat ini sudah tidak diterbitkan lagi.
(Republika,3 Oktober 2010)
Sejak berdirinya pada 1923, Persis tetap konsisten berjuang menegakkan misi utama
organisasi ini. Bahkan, Ahmad Hassan, sang guru utama Persis, harus berhadapan dengan
sejumlah tokoh yang mendebatnya, karena dianggap pandangannya yang radikal. Namun,
semua itu dibuktikan A Hassan dengan dasar-dasar yang konkret dalam Alquran. A Hassan
menginginkan umat ini kembali mengkaji Al-Quran dan Sunnah, sebagai rujukan utama. Bila
tidak ditemukan dasarnya dalam kedua sumber hukum Islam tersebut, maka perbuatan itu
harus ditinggalkan.(Republika,3 Oktober 2010)
Dari sini, lahirlah sejumlah tokoh Islam. seperti Mohammad Natsir (mantan perdana
menteri RI), KH Mohammad Isa Anshary ( singa mimbar ), KH Endang Abdurrahman
( ulama yang rendah hati ), KH Abdul Lutfi Muchtar ( ulama yang memberi warna baru di
tubuh Persis ), Shiddiq Amien ( ulama dan dai yang rendah hati ), serta masih banyak lagi.
Semuanya memiliki visi yang sama, yakni memurnikan ajaran Islam yang berkembang di
masyarakat, seperti bidah, khurafat, dan takhayul. (Republika,3 Oktober 2010)
Untuk memperkuat visi dan misinya, maka dibentuklah sejumlah badan otonom.
Seperti Persatuan Islam Istri ( Persistri ), Pemuda Persatuan Islam, Himpunan Mahasiswa
Persatuan Islam, Himpunan Mahasiswi Persatuan Islam, dan Ikatan Santri dan Pelajar
Persatuan Islam, yang kini tengah digodok. Upaya ini dilakukan untuk membekali dan
membentengi akidah umat Islam sejak dini. (Republika,3 Oktober 2010)
Bab 3
Penutup
3.1 Kesimpulan
1. Ahmad Hassan adalah guru atau ulama besar organisasi Persis, Ahmad Hassan lahir
di Singapura, Ahmad Hassan juga seorang penulis, ia pernah bekerja di percetakan,
Pemikiran A Hassan sering dianggap dengan suatu yang agresif, ekstrem, dan puritan, karena
karakter pemahaman yang literalis, ahmad Hassan juga merupakan pendiri Pondok Pesantren
Persis di Bangil. A Hassan dikenal sebagai ulama pembaharu. Pikiran-pikirannya sangat
tajam dan kritis terutama dalam cara memahami nas (teks) Al-Quran maupun Hadits yang
cenderung literalis. Walaupun dikenal sebagai pemuka dan guru besar Persatuan Islam
(PERSIS) pendapat dan sikapnya terhadap takhayul, bidah dan churafat (TBC) bisa
dikatakan sama persis dengan Muhammadiyah. Oleh karena itu, ada pula sebagian besar
warga persyarikatan Muhammadiyah mengutip pendapat dari A Hassan, karena dianggap
jelas dan tidak bertele-tele. Ahmad Hassan juga di pandang sebagai Ahli debad, antara lain
ketika Ahmad Hassan berdebad dengan pimpinan Ahmadiyah Indonesia Abu Bakar Ayyub.
Ahmad Hassan juga beberapa kali surat menyurat dengan Presiden RI pertama Soekarno.
Saat diasingkan di Ende, Soekarno beberapa kali bersurat dengan Ahmad Hassan pada
periode 1934-1936.

2. Organisasi Persatuan Islam (Persis) adalah organisasi sosial keagamaan yang


berdiri pada 12 September 1923 Organisasi Persatuan Islam atau yang lebih dikenal dengan
nama PERSIS merupakan organisasi sosial keagamaan yang proses berdirinya di awali
dengan terbentuknya suatu kelompok tadarusan di Kota Bandung yang dipimpin oleh Haji
Zamzam dan Haji Muhammad Yunus. Keduanya merupakan keturunan dari tiga keluarga
yang pindah dari Palembang pada abad 18 (Federspiel 1996:15). Tokoh-tokoh Persis yang
terkenal antara lain Ahmad Hassan (guru atau ulama Persis), Mohammad Natsir (mantan
perdana menteri RI), KH Mohammad Isa Anshary, KH Endang Abdurrahman, KH Abdul
Lutfi Muchtar, Shiddiq Amien.
3. Hubungan antara Ahmad Hassan dan Persis ialah Ahmad Hassan merupakan guru
atau ulama organisasi Persis, Ahmad Hassan juga mendirikan Pondok Pesantren dengan nama
Persis di Bangil.
3.2 Saran
Sebaiknya kita mempelajari organisasi-organisasi sosial dan tokoh-tokohnya, dan apa
saja yang di berikan oleh organisasi-organisasi tersebut kepada Negara dan juga masyarakat.
Organisasi Persatuan Islam sebaiknya juga memperhatikan perkembangan
organisasinya, dengan melakukan sosialisasi kepada masyarakat sehingga masyarakat
mengerti visi dan misi organisasi Persatuan Islam ini.
Kita juga harus banyak membaca tokoh-tokoh organisasi-organisasi di Indonesia,
karena di Indonesia banyak sekali tokoh-tokoh yang berpengaruh yang belum banyak orang
tau tentang tokoh-tokoh tersebut.

Daftar Rujukan :
1. Ensiklopedi Tokoh Muhammadiyah, Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah PP
Muhammadiyah.

2. Hassan Bandung-Pemikir Islam Radikal, Dr Syafiq A Mughni MA PhD., Penerbit Bina


Ilmu Surabaya.

3. Riwayat Hidup A. Hassan, H Tamar Djaja, Penerbit Mutiara, Jakarta.

4. www.voa-islam.org
5. Tarjemah Bulughul Maram, A. Hassan, Diponegoro, Bandung.
6. Noer, Deliar. (1980). Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3S.
7. Rosidi, Ajip (1990). M Natsir; Sebuah Biografi.Jakarta; Giri Mukti Pasaka.
8. Wildan, Dadan. (1997). Yang Dai Yang Politikus; Hayat Dan Perjuangan Lima Tokoh
Persis.Bandung: Remaja Rosda Karya.
9. Wildan, Dadan (2000). Pasang Surut Gerakan Pembaharuan Islam di Indonesia: Potret
Perjalanan Sejarah Organisasi Persatuan Islam. Bandung: Persis Press.

Ahli Hadis : Ahmad Hasan

BAB II
Pembahasan
A. Riwayat Hidup Ahmad Hassan

a) Latar Belakang Keluarga


Ahmad Hassan nama sebenarnya Hassan bin Ahmad, tetapi
berdasarkan kelaziman penulisan nama orang di Singapura, yang
menuliskan nama orang tua (ayah) di depan, maka Hassan bin Ahmad
dikenal dengan panggilan Ahmad Hassan, untuk selanjutnya disebut A.
Hassan.1[1]
Ia lahir di Singapura pada tahun 1887, berasal dari keluarga campuran
Indonesia dan India. Ayahnya bernama Ahmad, juga bernama Sinna Vappu
Maricar. Yaitu orang India yang berasal dari Arab, yang diberi gelar pandit
(pendeta), karena keturunan dan kealimannya. Adapun ibunya bernama
Hajjah Musnah, seorang keturunan Palekat, Madras India, tetapi lahir
dari keluarga yang taat melaksanakan ajaran agama. Ahmad dan Muznah
menikah di Surabaya, mereka bertemu ketika Ahmad berdagang di kota
itu.2[2]
b) Latar Belakang Pendidikan
Pendidikan Ahmad Hassan sebagian besar diperoleh dari ayahnya
ketika ia masih kecil. Ia boleh dikatakan tidak pernah memperoleh
pendidikan formal sampai perguruan tinggi. Ia juga tidak pernah
menyelesaikan sekolah dasarnya di singapura, karena pada umur 7 tahu
ia sudah harus mulai belajar bekerja.
A. Hassan mulai bekerja mencari nafkah pada usia 12 tahun sambil
berusaha belajar privat dan berusaha untuk menguasai bahasa Arab
dengan maksud agar dapat memperdalam pengetahuannya tentang
Islam. Ia belajar privat melalui beberapa gurunya di antaranya:

1[1] G.f Pijiper, Beberapa Studi Tentang Sejarah Islam Di Indonesia 1900 1950.(Jakarta:
UI Press 1987 )

2[2] Suryatiningsih, Skripsi Muhammad Abduh dan Ahmad Hassan ( Studi Komparatif Studi
Tentang Pemikiran Pembaruan Islam)
Muhammad Tholib dari Minto Road, H. Ahmad dari Bukittinggi, A. Lathif
dari Malaka, Syekh Hasan dan Syekh IIbrahim dar Maribar dan India.3[3]
Pada tahun 1911 ia menikah di sngapura dengan peranakan Tamil
Melayu yang bernama Maryam. Dari hasil perkawinannya itu ia dikarunia
tujuh orang anak yaitu: Abdul Kadir, jamilah, Abdul Hakim, Zulaikha,
Ahmad, Muhammad Said dan Mansur.4[4]
Sekitar tahun 1912-1913 ia menjadi anggota redaksi surat kabar
Utusan Melayu ang diterbitkan oleh singapura press dibawah pimpinan
Hamid dan Sadullah. Ia banyak menulis artikel tentang islam yang
bersifat nasehat, anjura berbuat baik dan meninggalkan kejahatan dalam
bentuk Syair.5[5]
c) Karya-karya A. Hassan
Karya-karya pemikiran A.Hassan baik yang tertuang dalam bentuk buku
maupun brosur yang berbahasa Indonesia mencakup berbagai masalah
agama seperti masalah taklid, kebebasan berpikir dan penolakan
terhadap bidah dan khurafat. Beberapa buku tersebut diantaranya.
1) Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agam Jilid 1-1V. ( Buku tersebut
terbit pada tahun 1913 oleh kalangan Persatuan Islam)
2) At-Tauhid ( Buku ini ditulis pada oleh A. Hassan pada tahun 1973, buku ini
menjadi pegangan bagi kalagan organisasi Persatuan Islam tentang
msalah kepercayaan kepada Allah)
3) Situasi Politik, Sosial dan Agama di Indonesia. ( Buku ini ditulis karena
lahirnya pemikiran modern di awal abad Dua Puluhan. Buku ini merupakan
pemikiran A.Hassan yang mencoba mencetuskan pemikiran yang
menjawab tantangan di era Modern. Buku ini juga merupakan landasan
pemikiran organisasi Persatuan Islam)6[6]
B. Paradigma pemikiran A. Hassan Tentang Hadist

3[3] Dadan, A.Hassan Ulama pejjuang penegak al-Quran dan Hadist, hlm 18

4[4] Mugni, A. Hassan Bandung Pemikir Islam Radikal, hlm 22

6[6] Lihat Skripsi Muhammad Abduh dan Ahmad Hassan ( Studi Komparatif Studi Tentang
Pemikiran Pembaruan Islam)
Kenabian, menurut Ahmad Hassan, merupakan suatu kondisi yang
tidak bisa diwariskan atau dicapai melalui kehidupan yang saleh, dan
tidak boleh dikacaukan dengan magic atau ramalan yang bisa dipelajari.
(1)
Ahmad Hassan menyatakan bahwa Muhammad benar-benar Rasul
yang diutus oleh Allah SWT untuk membimbing umat manusia baik dalam
masalah duniawi maupun unkhrawy. Ini ia katakan dalam tujuannya
menulis pamflet Benarkah Muhammad itu Rasul? Ia juga menolak
pandangan dari golongan Ahmadiah Qadian bahwa Mirza Ghulam Ahmad
adalah Nabi yang diutus oleh Allah untuk melanjtkan misi dari Nabi
Muhammad SAW. Dalam Al-Quran sudah jelas menyebutkan bahwa Nabi
Muhammad adalah Khatam al-Nabiyin (Q.S. Al-Ahzab: 40).(2)
Berbicara mengenai pemikiran hadis tokoh yang dikenal sebagai
ulama beraliran reformis dan radikal dalam memutuskan hukum Islam ini,
agaknya bukan merupakan hal asing lagi. Sebagaimana yang telah
penulis sampaikan, bahwasannya corak pemikiran A. Hassan dipengaruhi
pemikiran gerakan salafi. Berangkat dari hal tersebut kiranya kurang lebih
dapat dikatakan bahwa pemikiran hadis A. Hassan erat kaitannya dengan
pemikiran hadis ulamasalafi.
Menurut Ahmad Hassan, hadis secara bahasa artinya berbicara,
percakapan, sesuatu yang baru, dan cerita. Adapun sunnah secara bahasa
berarti perjalanan, perbuatan, dan kebiasaan atau biasa disebut dengan
sunnah qauly (the untterance), sunnah fili (deed), sunnah taqriry (fixation
or tacit approval). Hassan percaya bahwa Sunnah telah dikodifikasi
pertama kali pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (99-101), yang
pertama mengirim surat kepada pemerintah Madinah Abu Bakr
Muhammad bin Umar bin Hazm, yang menginstruksikan untuk memulai
melakukan pembukuan terhadap sunnah. Dan ini berlanjut sampai
munculnya kitab-kitab hadis, yang paling famous ialah: Muwatta Imam
Malik (w. 178), Shahih Bukhari (w. 251), Shahih Muslim (w. 261), Musnad
Ahmad (w. 241), Sunan Ibn Majah (w. 273), Sunan Abu Daud (w. 275),
Sunan Al-Tirmidzi (w. 279) dan Sunan al-Nasai (w. 303). Ahmad Hassan
juga mengklasifikasikan hadis menjadi dua macam; kualitas: Shahih
(sound), hasan (fair of God) dan Dhaif (weak) dan kuantitas Mutawatir,
Ahad; Gharib, Masyhur, Aziz.
Ahmad Hassan juga mempunyai pendapat yang sama dengan para
Ulama, bahwa Hadis merupakan sumber utama Islam kedua setelah Al-
Quran, yang secara otomatis Hadis tidak mungkin bertentangan dengan
Al-Quran. Adapun fungsi atau kedudukan hadis menurut Hassan adalah
penjelas dari Al-Quran. Dalam hal ini ia mengambil dalil dalam Al-Quran
surat Al-Nahl(16): 44 dan surat Al-Hasyr(59): 7.
Masih menurut Hassan, Hadis bisa dijadikan landasan hukum (Hujjah)
apabila memenuhi 3 (tiga) syarat; harus berkualitas Shahih, bukan
termasuk hadis yang mansukh, dan tidak bertentangan dengan hadis lain
yang lebih kuat (Autsaq) atau dengan Al-Quran. Hadis yang tergolong
kualitas Dhaif, masih bisa dipakai asalkan sejalan dengan Al-Quran.(1)
Mengenai kritik hadis, menurut A. Hassan kritik hadits pada aspek
redaksional (matan) dan periwayatan. Kritik yang dimaksud adalah hadits
tidak boleh bertentangan dengan Al-Quran sebagai rujukan utama, tidak
boleh bertentangan dengan hadits-hadits mutawatir atau hadits-hadits
yang lebih tinggi derajat keshahihannya. Sedangkan kritik pada
periwayatan lebih pada kritik metode penukilan hadits dan kritik rawi
(Naqd al-Rijal).

C. Contoh Penggunaan Al-Quran, Hadis dan Ijtihad Sebagai Sumber Tafsiran Ahmad Hassan
Sumber-Sumber Penafsiran
Diantara sumber-sumber yang dijadikan rujukan oleh A. Hassan dalam menafsirkan
ayat-ayat al-Quran yang terdapat dalam kitab tafsirnya yaitu tafsir al-Furqan adalah:
Al-Quran
Penggunaan al-Quran sebagai sumber rujukan dalam penafsiran ini menunjukkan
bahwa A. Hassan mencoba memunculkan munasabah ayat antara satu ayat dengan ayat lain.
Sebagaimana contoh penafsiran beliau dalam QS. al-Maidah ayat 1:

,,, ( ,,,
.Dihalalkan bagi kamu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu
Hassan menambahkan penjelasan mengenai ayat tersebut dalam catatan kaki no 642
bahwa yang dihalalkan adalah binatang-binatang ternak seperti sapi, onta, dll. Sedangkan
yang dimaksud yang diharamkan adalah hanya empat perkara, yaitu: daging bangkai, darah,
babi, dan sesuatu yang yang disembelih untuk selain allah sebagaimana yang diterangkan
dalam ayat selanjutnya yaitu QS. al-Maidah ayat 37[7].












..


Hadis
Sumber penafsiran kedua yang dipakai oleh A. Hassan dalam menafsirkan ayat-ayat
al-Quran adalah hadis. Hal ini terlihat jelas dalam penafsiran beliau terhadap QS. al-Baqarah
ayat 238 tentang shalat wusta.








Kerjakanlah dengan tetap akan sembahyang-sembahyang dan akan sembahyang yang
terlebih penting, dan hendaklah kamu berdiri karena Allah dengan khusu

Dalam penafsiran ayat tersebut, A. Hassan memberikan catatan kaki untuk kata
sembahyang yang terlebih penting. Catatan kaki tersebut menjelaskan bahwa maksudnya
adalah shalat asar walaupun ada yang menafsirkannya dengan shalat subuh 8[8]. Penafsiran A.
Hassan ini sejalan dengan hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab
shahihnya9[9]:

















7[7] A. Hassan, al-Furqan fii Tafsir al-Quran (Surabaya: al-Ikhwan, 2007)hlm. 207

8[8] A. Hassan, al-Furqan hlm. 75

9[9] Shahih Bukhari : 5917


Penafsiran semacam ini sejalan dengan pemikiran A. Hassan dan organisasinya yaitu
Persatuan Islam (Persis) yang menekankan bahwa al-Quran dan hadis menyajikan islam
dalam bentuknya yang murni. Selain itu, hal tersebut juga merupakan konsistensi A. Hassan
dengan jargonnya yaitu kembali kepada al-Quran dan hadis10[10].
Ijtihad
Dalam wilayah kajian tafsir, ijtihad menjadi salah satu faktor utama yang
menentukan hasil penafsiran. Karena mau tidak mau, ijtihad akan selalu digunakan oleh
seorang mufassir dalam penafsirannya, tetapi dalam porsi yang berbeda-beda sesuai dengan
kebutuhan si mufassir .
Salah satu bukti penggunaan ijtihad dalam menafsirkan al-Quran terlihat dalam
menafsirkan kata fitnah dalam QS. Al-Baqarah 191:

. ..
Padahal fitnah itu terlebih (jahat) daripada pembunuhan
Dalam ayat tersebut, A. Hassan menafsirkan kata fitnah dengan percobaan,
gangguan, hasutan, siksaan, penganiyaan, penyusahan, dan lain sebagainya. Dalam ayat ini
fitnah dimaknai gangguan dan penganiyaan orang-orang kafir terhadap orang-orang islam di
waktu menjalankan agama dan lainnya11[11].
Selain itu juga, dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran A. Hassan merujuk kepada
kitab-kitab sebelumnya. Tetapi dalam kitabnya tersebut, A. Hassan tidak secara langsung
menyebutkan bahwa beliau merujuk kepada kitab sebelumnya yaitu kitab Tafsir al-Maraghi.
Hanya saja, hal tersebut terlihat dalam penafsirannya QS. Al-Mudatsir : 21


Kemudian ia pikir-pikir
Dalam kitab tafsirnya, A. Hassan mengartikan dengan pikir-pikir. Pemilihan arti
ini diduga tidak lepas dari penafsiran ayat-ayat sebelum dan sesudahnya. Kata tersebut A.
Hassan pilih dari penafsiran surat yang sama ayat 18 :

10[10] Siti Rohmanatin Fitriani, Perbandingan Metodologi Penafsiran A Hassan dalam Tafsir
al-Furqan dan HB Jassin Dalam al-Quran al-Karim Bacaan Mulia, Skripsi Jurusan Tafsir
Hadis, 2003

11[11] A. Hassan, al-Furqan hlm. 54


Sesungguhnya ia pikir-pikir dan ia tetapkan
A Hassan merujuk pada sebuah riwayat tentang Walid bin Mughirah yang berpikir tentang al-
Quran yang dibaca oleh Nabi. Setelah itu dia menetapkan bahwa Nabi Muhammad adalah
seorang ahli sihir12[12].
Penafsiran seperti diatas juga dikemukakan oleh al-Maraghi dalam tafsirnya 13[13].
Menurutnya, bahwa penafsiran mengenai QS. Al-Mudatsir : 21 tersebut berarti al-Walid bin
Mughirah memperhatikan al-Quran dan memikirkannya untuk mencari cela, namun tidak
menemukan. Sebagai kelanjutannya, ayat 23 beliau tafsirkan bahwa al-Walid bin Mughirah
memalingkan diri dari kebenaran dan kesombongan, dia tidak mau mengakui kebenaran yang
dia ketahui.

12[12] A. Hassan, al-Furqan hlm. 1154-1155

13[13] Tafsir al-Maraghi, CD Maktabah Syamilah


BAB III
Penutup
Kesimpulan
Ahmad Hassan secara tegas mengakui bahwa al-Quran dan al-Hadist
merupakan sumber hukum agama Islam. Al-Quran secara keseluruhan
merupakan suatu yang bisa dijadikan dalil hukum, sedangkan hadist
merupakan penjelas al-Quran yang tidak mugkin bertentangan dengan
al-Quran.
Ahmad Hasan mendefinisikan hadis sebagaimana dengan ulama pada
umumnya. Masih menurut Hassan, Hadis bisa dijadikan landasan hukum
(Hujjah) apabila memenuhi 3 (tiga) syarat; harus berkualitas Shahih,
bukan termasuk hadis yang mansukh, dan tidak bertentangan dengan
hadis lain yang lebih kuat (Autsaq) atau dengan Al-Quran. Hadis yang
tergolong kualitas Dhaif, masih bisa dipakai asalkan sejalan dengan Al-
Quran.

Anda mungkin juga menyukai