Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. Biografi Ali Syari’ati


Ali Syari’ati dilahirkan dilahirkan di Desa Mazinan (1933-1977) dekat
kota Sabzavar, tepi gurun pasir Dasht-i Kavir, di Povinsi Khurasan yang terletak
di bagian timur laut Iran. Pandangan dunia Syari’ati dipengaruhi oleh
pendidikannya di desa, sebagaimana tertuang dalam karyanya, Kavir. Dia berasal
dari keluarga terpandang yang menurut garis ayahnya termasuk keturunan para
pemuka agama di Masyhad, tempat pemakaman imam kedelapan, Ali Al-Ridha.
1
Kakek Ali Syari’ati, Akhund Hakim, merupakan alim yang amat disegani dan
dikenal luas di Iran hingga Bukhara dan Najaf. Dia pernah tinggal di Masjid Sipah
Salar Teheran, tapi tidak lama kemudian pulang ke daerah asalnta, karena
menolak diberi kedudukan dan gelar kehormatan oleh Syah. Adil Nisyaburi,
saudara Akhun Hakim, juga meraih reputasi sebagai sarjana dalam bidang Ilmu
Keagamaan.
Ayah Syari’ati, Muhammad Taqi Syari’ati, adalah figur yang cocok
dengan kakek dan pamannya, tetapi ia juga seorang yang modernis yang tidak
puas dengan pandangan tradisional para ulama, yang dianggapnya telah teracuni
oleh skolastikisme yang abstrak. Ayahnya seorang pembaru yang bersemangat
untuk menerapkan metode-metode baru dalam studi agama. Dia memiliki
perpustakaan besar dan lengkap yang selalu dikenang oleh Syari’ati, yang secara
metaforsis dilukiskan sebagai mata air yang terus menyirami pikiran dan jiwanya.
Syari’ati mulai mengajar pada usia delapan belas tahun (1951-1952),
kemungkinan disalah satu sekolah negeri di desa dekat Masyhad. Baik Syari’ati
maupun ayahnya, terlibat dalam arak-arakan Front pro Nasional yang
diselenggarakan oleh Gerakan Perlawanan Nasional setelah berlangsung kudeta
oleh Istana pada Agustus 1953, yang berhasil menggulingkan Perdana Menteri
Muhammad Mushaddiq. Syari’ati ditahan pada September 1957 karena perannya
dakam salah satu demosntrasi, kemudian di penjara di Qizil Qal’ah Teheran

1
Ali Syari’ati, Makna Haji, (Jakarta: Az-Zahra, 2008), hlm. 9.

1
hingga Mei 1958. Setelah Syari’ati berusia 27 tahun saat ia memperoleh gelarnya,
di bidang Sastra Prancis dan Persia pada 1960. Dia lalu pergi ke Prancis untuk
melanjutkan studi di Sorbonne.
Syari’ati kembali ke Iran pada 1964. Ketika sampai di perbatasan Turki-
Iran, dia langsung ditahan dan dipenjara selama enam bulan karena kegiatan
politiknya selama ia tinggal di Prancis. Setelah dibebaskan, ia kemudian kembali
ke Masyhad dan mengajar di sekolah menengah, sebelum akhirnya memperoleh
jabatan sebagai pengajar dalam bidang kemanusiaan di Fakultas Pertanian
Universitas Masyhad. Tak lama kemudian, dia dipindahkan ke Fakultas Seni.
Kuliah-kuliah yang disampaikan Syari’ati mampu menarik mahasiswa dari luar
Universitas sehingga ia dikenal luas.
Sementara itu, di Teheran, sebuah kelompok pembaru keagamaan
mendirikan Husainiyah-yi Irsyad pada tahun 1965. Lembaga ini tidak
memberikan gelar, tetapi mensponsori kuliah, diskusi, seminar dan penerbitan
dalam bidang keagamaan. Kemudian Syari’ati bergabung dengan Husainiyah-yi
Irsyadpada tahun 1967 dan tak lama kemudian dia menjadi pengajar yang paling
terkenal. Selama enam tahun, kuliahnya dikemas sedemikian sehingga para
mahasiswa bersemangat untuk mengetahui penafsiran baru terhadap Islam dan
perannya dalam masyarakat.
Karena ketatnya sensor, Syari’ati terpaksa menulis pesan-pesannya dalam
gaya bahasa eliptik. Salah seorang intelektual terkemuka dalam Revolusi Iran
1979, Ayatullah Murthada Mutahhari, mencatat bahwa dia dan koleganya yang
lain di Husainiyah-yi Irsyad menyadari bahwa kuliah Syari’ati sarat dengan
muatan politik dan memancing reaksi-reaksi pemerintah. Pada pertengahan 1973,
pemerintah menganggap Syari’ati radikal dan berbahaya sehingga dia ditahan dan
dipenjara lagi. Syari’ati dibebaskan pada 20 Maret 1975. Pada 19 Juni 1977,
jasadnya ditemukan dirumah saudaranya di wilayah Inggris bagian selatan.
Pemerintah menyatakan bahwa Syari’ati wafat akibat penyakit jantung, tetapi
kebanyakan orang meyakini bahwa dia dibunuh oleh polisi rahasia Syah.2

2
John L. Esposito, Op.cit, hlm. 295.

2
B. Karya-Karya Ali Syari’ati
1. The Pilgrimage
2. Where Shall We Begin ? ( di mana kita harus mulai?)
3. Mission of a Free Thinker (misi seorang pemikir bebas)
4. The Free Man an Freedom oh the Man (manusia bebas dan kebebasan
manusia)
5. Extracton and Refrinement of Cultural Reources (penggalian dan
peningkatan sumber-sumber budaya)
6. Martyrdom (mati syahid)
7. Arise and witnes (bangkit dan bersaksilah)
8. An approach to Understanding Islam (SuatuPendekatanuntukMemahami
Islam)
9. A Visage of Prophet Muhammad (GambarantentangNabi Muhammad)
10. A Glance of Tomorrow's History (SekilastentangSejarahMasaDepan)
11. Reflections of Humanity (RefleksitentangUmatManusia)
12. A Manifestation of Self- Reconstruction and Reformation (Manifestasi
tentang Rekonstruksi dan Pembaruan Diri)
13. Selection and/ or Election (Seleksidan/ atau Pemilihan)
14. Norouz, Declaration of Iranian's Livelihood, Eternity (Norouz, Deklarasi
tentang Kehidupan Iran, Kekekalan)
15. Expectations from the Muslim Woman (Tuntutan- tuntutan terhadap
Perempuan Muslim)
16. Horr (Pertempuran Karbala)
17. Abu-Dahr
18. Islamology (Islamologi)
19. Red Shi'ism vs. Black Shi'ism (SyiahMerah vs. SyiahHitam)
20. Jihad and Shahadat (Jihad danSyahadat)
21. Reflections of a Concerned Muslim on the Plight of Oppressed People
(RefleksiSeorang Muslim yang Prihatin terhadap Penderitaan Rakyat
Tertindas)

3
22. A Message to the Enlightened Thinkers (Pesan kepada Para Pemikir yang
Tercerahkan)
23. Art Awaiting the Saviour (Seni Sedang Menantikan Juru Selamat)
24. Fatemeh is Fatemeh (Fatemeh adalah Fatemeh)
25. The Philosophy of Supplication (Filsafat Syafaat)

4
BAB II
PEMBAHASAN

Pemikiran Ali Syariati


A. Manusia Sebagai Khalifah
Manusia adalah makhluk yang mempunyai kedudukan yang tinggi di
bandingkan makhluk-makhluk yang lainnya. Kedudukan tinggi bagi manusia ini
dengan kata lain dapat di sebut sebagai khalifah Tuhan di atas bumi atau wakil
Tuhan di atas bumi. Dalam menganalisa manusia sebagai khalifah, Ali Syari’ati,
menggunakan suatu diskripsi, bahwa manusia merupakan cita ideal. Ali Syari’ati
juga berpendapat, bahwa manusia mempunyai tanggung jawab yang sangat besar,
karena manusia memiliki daya kehendak.
Manusia ideal yang dimaksudkan Ali Syari’ati, adalah manusia yang dapat
menaklukkan dunia tetapi dipihak lain ia juga tidak mengesampingkan nilai-nilai
spritual dan ke-Ilahian. Manusia ideal bagaikan seorang kaisar yang memegang
pedang dengan gagah tetapi juga memiliki hati seperti hatinya Yesus, ia
menggunakan pikiranya seperti Socrates tetapi juga memiliki kecintaan seperti
kecintaan Al-Hallaj dalam pencariannya menuju Tuhan. Manusia ideal adalah
manusia seperti Yesus dalam menyampaikan pesan-pesan perdamaian tetapi juga
seperti Musa yang dengan gagah berani berjihad. Manusia ideal adalah manusia
yang bisa membentuk lingkungan bukan manusia yang dibentuk oleh lingkungan.
Kepercayaan yang di berikan oleh Tuhan kepada manusia,
mengharuskannya untuk bertanggung jawab atas amanat yang menjadi beban di
pundaknya, betapapun berat tanggung jawab itu, pengabdiannya kepada Tuhan
dicerminkan dalam pengabdiannya terhadap kepentingan sesama manusia.
Tanggung jawabnya kepada Tuhan diwujudkan dalam perjuangan memerangi
kemiskinan, kebodohan, kezaliman dan kelaparan. Manusia ideal juga berjuang
untuk membebaskan belenggu penindasan.
Sependapat dengan Yusuf Qardhawi, bahwa hanya dengan iman dan
bimbingan mental, perubahan suatu bangsa akan menjadi berkembang. Bangsa
bisa maju karena dulunya pernah tertindas lemah, sehingga manusia kalau ingin

5
maju negaranya diperlukan bimbingan dirinya sendiri terlebih dahulu sebelum
bimbingan yang lainnya sebagaimana firman Allah. “Sesungguhnya Allah tidak
akan pernah merubah suatu kaum, sehingga kaum itu mau merubah nasibnya
sendiri”.3

B. Keprihatinan dan Simpati Kepada Kaum Tertindas


Dalam tulisan-tulisannya, Ali Syari’ati sangat menaruh perhatian dan
prihatin terhadap nasib orang yang tertindas, yang dizhalimi, dan ditekan oleh
pihak penguasa. Ia selalu mengidentifikasikan dirinya sebagai orang yang senasib
dengan mereka yang tertindas. Situasi yang sangat menyentuh perasaan
manusiawi misalnya ketika ia berkunjung ke Mesir. Oleh seorang pemandu dia
ditunjukkan warisan peradaban Mesir yang mengagumkan berupa piramid.
Dengan penuh perhatian dia mendengarkan keterangan pemandu tersebut,
bagaimana piramid itu dibangun oleh para budak yang bekerja keras membawa
batu-batuan dari jarak yang sangat jauh (dari Aswan ke Kairo) untuk membangun
enam piramid besar dan tiga piramid kecil yang disusun oleh 800 juta balok batu-
batuan. Jarak Aswan ke Kairo tidak kurang dari sembilan ratus delapan puluh mil.
Dalam Piramid tersebut terdapat kuburan Fir’aun yang telah dimumikan. Ali
Syari’ati membayangkan bagaimana para budak yang berjumlah 30.000 itu
mengangkat batu yang sangat berat dari tempat yang amat jauh. Tidak mustahil
mereka sangat menderita dan tentu ada sebagian yang menemui ajalnya.
Selanjutnya dia meminta agar pemandu itu meninggalkannya sendirian. Ia
merenung, datang ke perkuburan itu dan merasakan betapa ia sependeritaan
dengan mereka yang sudah terkubur di tempat itu, meskipun ada rentangan waktu
yang sangat panjang. Dia mengadakan refleksi atas kejadian itu. Perbudakan yang
telah terjadi ribuan tahun yag lalu, sampai sekarang masih ada tetapi dengan
bentuk dan karakter yang lain, bahkan dilakukan dengan mengatasnamakan Tuhan
dan kemanusiaan. Batinnya memberontak dan tersentak, hatinya terbakar

3
Alifahrudi, “Rekonstruksi Pemikiran Islam Dalam Pemikiran Ali Syariati” (Universitas Islam
Negeri Walisongo Semarang, 2005).

6
membara melihat kezaliman itu. Penderitaan para budak itu telah mengilhaminya
untuk senantiasa memperhatikan mereka yang tertindas oleh tirani kekuasaan.
Refleksi Ali Syari’ati terhadap nasib kaum yang tertindas dapat
menggambarkan betapa ia mampu mengadakan jalinan hubungan dengan siapa
saja yang tertindas. Menurutnya, sepanjang sejarah manusia dan kemanusiaan,
perbudakan dan penindasan selalu dapat dijumpai. Itulah sebabnya mengapa
Tuhan mengutus nabi-nabi untuk menyelamatkan nasib manusia. Ketinggian
peradaban manusia yang disimbolkan dengan berbagai bangunan megah ternyata
meminta banyak pengorbanan sesama manusia, sehingga peranan agama
sebenarnya adalah pembebasan.
Dialektika sosio-historis dari Ali Syari’ati mengandaikan adanya dua
struktur dalam kehidupan manusia, yakni struktur Qabil dan struktur Habil. Dalam
konteks kekinian yang dapat dikategorikan dalam struktur Qabil adalah
perbudakan, feodalisme, borjuasi, kapitalisme industri, dan pada puncaknya
adalah imperialisme. Di sisi lain, yang termasuk dalam struktur Habil dapat
disebutkan disini misalnya kemungkinan adanyan sosialisme ekonomi, pemilikan
kolektif dan kerakyatan.
Dengan demikian, Ali Syari’ati sampai pada pemikiran tentang masyarakat
yang ideal yang disebutnya sebagai ummah. Konsep yang serupa dengan ummah,
disini dapat disebut misalnya, masyarakat, bangsa, rakyat dan sebagainya, namun
begitu ummah lebih memiliki bobot kejiwaan yang progresif dan lebih dinamis
karena memiliki visi ideologi yang jelas. Kata ummah mempunyai akar kata amm
yang mempunyai makna keyakinan dengan maksud tertentu. Maka dari itu
ummah adalah masyarakat dengan sejumlah individu yang memiliki keyakinan
serta tujuan yang sama, yang secara bersama-sama dan secara harmonis
bermaksud meningkatkan dan mencapai tujuan yang telah dirumuskan bersama.
Dengan kata lain, masyarakat yang ideal adalah masyarakat yang memiliki sistem
sosial yang mempunyai dasar persamaan dan keadilan, pemilikan oleh rakyat,
serta munculnya sistem Habil, yakni sebuah masyarakat yang berdasarkan
persamaan dan persaudaraan. Ummah yang ideal disini memerlukan

7
kepemimpinan yang bersih yang menaruh komitmen pada gerakan dan
perkembangan masyarakat.4

4
M. Ramadhan, “Teologi Kemanusiaan Studi Kasus Atas Pemikiran Ali Syariati,” Teologia 22,
no. 2 (n.d.): 8–9, http://www.journal.walisongo.ac.id/index.php/teologia/article/view/609/549.

8
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Ali Syari’ati dilahirkan dilahirkan di Desa Mazinan (1933-1977) dekat
kota Sabzavar, tepi gurun pasir Dasht-i Kavir, di Povinsi Khurasan yang terletak
di bagian timur laut Iran. Syari’ati mulai mengajar pada usia delapan belas tahun
(1951-1952), kemungkinan disalah satu sekolah negeri di desa dekat Masyhad.
Setelah Syari’ati berusia 27 tahun saat ia memperoleh gelarnya, di bidang Sastra
Prancis dan Persia pada 1960. Dia lalu pergi ke Prancis untuk melanjutkan studi di
Sorbonne. Karyanya antara lain The Pilgrimage, Where Shall We Begin ? ( di
mana kita harus mulai?), Mission of a Free Thinker (misi seorang pemikir bebas),
The Free Man an Freedom oh the Man (manusia bebas dan kebebasan manusia),
Extracton and Refrinement of Cultural Reources (penggalian dan peningkatan
sumber-sumber budaya.
Dalam pemikiran Ali Syariati membahas tentang tugas manusia sebagai
khalifah di bumi dan keprihatinan dan simpati terhadap kaum tertindas. Dalam
menganalisa manusia sebagai khalifah, Ali Syari’ati, menggunakan suatu
diskripsi, bahwa manusia merupakan cita ideal. Manusia ideal yang dimaksudkan
Ali Syari’ati, adalah manusia yang dapat menaklukkan dunia tetapi dipihak lain ia
juga tidak mengesampingkan nilai-nilai spritual dan ke-Ilahian. Keprihatinan dan
simpatinya kepada kaum tertindas Ali Syariati menggunakan konsep dialektika
sosio-historis dari Ali Syari’ati mengandaikan adanya dua struktur dalam
kehidupan manusia, yakni struktur Qabil dan struktur Habil. Dengan demikian,
Ali Syari’ati sampai pada pemikiran tentang masyarakat yang ideal yang
disebutnya sebagai ummah. masyarakat yang ideal adalah masyarakat yang
memiliki sistem sosial yang mempunyai dasar persamaan dan keadilan, pemilikan
oleh rakyat, serta munculnya sistem Habil, yakni sebuah masyarakat yang
berdasarkan persamaan dan persaudaraan

9
DAFTAR PUSTAKA

Alifahrudi. “Rekonstruksi Pemikiran Islam Dalam Pemikiran Ali Syariati.”


Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, 2005.

Ramadhan, M. “Teologi Kemanusiaan Studi Kasus Atas Pemikiran Ali Syariati.”


Teologia 22, no. 2 (n.d.): 8–9.
http://www.journal.walisongo.ac.id/index.php/teologia/article/view/609/549.

Syari’ati, Ali. 2008. Makna Haji. Jakarta: Az-Zahra.

10

Anda mungkin juga menyukai