Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH FILSAFAT SEJARAH

MAKALAH REVIEW TOKOH FILSAFAT “ALI SYARI’ATI”

Disusun oleh:

Nama :Fitrian Jingga Arimbi


Rombel :6A Pendidikan Sejarah
NIM :3101419047

Universitas Negeri Semarang


Tahun 2022/2023
A. Pendahuluan
Dikatakan oleh Ibn Khaldun bahwa dalam hakekat sejarah, terkandung pengertian
observasi (nadzar), usaha untuk mencari kebenaran (tahqiq), dan keterangan yang mendalam
tentang sebab dan asal benda maujudi, serta pengertian dan pengetahuan tentang substansi,
essensi, dan sebab-sebab terjadinya peristiwa. Dengan demikian, sejarah benar-benar
terhunjam berakar dalam filsafat, dan patut dianggap sebagai salah satu cabang
filsafat.Filsafat Sejarah, dalam pengertian yang paling sederhana, seperti dikemukakan oleh
al-Khudairi adalah tinjauan terhadap peristiwa-peristiwa historis secara filosofis untuk
mengetahui faktor-faktor essensial yang mengendalikan perjalanan peristiwa-peristiwa
historis itu, untuk kemudian mengikhtisarkan hukum-hukum umum yang tetap, yang
mengarahkan perkembangan berbagai bangsa dan negara dalam berbagai masa dan generasi
(Zainab al-Khudairi, 1987: 54).
Ada beberapa penulis yang berpendapat bahwa sejarah berjalan sesuai dengan suatu
kerangka tertentu dan bukannya secara acak-acakan, dan filsafat sejarah adalah upaya untuk
mengetahui kerangka tersebut yang diikuti sejarah dalam perjalanannya, atau arah yang
ditujunya, atau pun tujuan yang hendak dicapainya. Menurut F. Laurent, sebagaimana dikutip
al-Khudairi, menyatakan bahwa sejarah tidak mungkin hanya merupakan seperangkat
rangkaian peristiwa yang tanpa tujuan atau makna. Dengan demikian, sejarah sepenuhnya
tunduk kepada kehendak Tuhan seperti halnya peristiwa-peristiwa alam yang tunduk pada
hukum-hukum yang mengendalikannya.
Sementara itu, menurut W.H. Walsh (W.H. Walsh, 1967: 16) dalam bukunya yang
berjudul An Intoduction to Phillosophy of History, menyatakan bahwa sebelum
mendefinisikan filsafat sejarah hendaknya memperhatikan pengertian kata sejarah. Sejarah
kadang-kadang diartikan sebagai peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lalu (the totality
of past human actions) atau history as past actuality, dan kadang-kadang diartikan pula
dengan penuturan kita tentang pertistiwa-peristiwa tersebut (the narrative or account we
construct of them now) atau history as record.
Namun demikian, hingga abad XIX, apa yang disebut Walsh sebagai filsafat sejarah
spekulatif pada dasarnya adalah satu-satunya filsafat sejarah. Dua arti dari kata sejarah
tersebut penting karena dengan demikian membuka dua kemugkinan terhadap ruang lingkup
atau bidang kajian filsafat sejarah. Pertama, adalah suatu studi dalam bentuk kajian sejarah
tradisional, yaitu perjalanan sejarah dan perkembangannya dalam pengertian yang actual
(Syamsiyatul Ummah, 2019)
Seorang pemikir besar, biasanya lahir di tengah tekanan situasi sosial politik yang
disaksikan di sekitar kehidupannya. Saat ajaran Islam yang begitu ideal, mulia dan paripurna,
terkikis oleh ambisi sebagian orang dan digantikan dengan kezaliman, penindasan tentu
membuat gerah para cendekiawan yang masih memiliki mata hati dan kecerdasan spiritual
untuk mendobrak tradisi status quo tersebut dan menggantikan dengan nilai-nilai hidup penuh
kebaikan dan kebijaksanaan. Ali Syari’ati adalah sosok pemikir yang senantiasa menerapkan
pola berpikir kritis dan inovatif sebagai langkah awal membentuk perubahan masyarakat ke
arah yang lebih baik. Kehidupannya di tengah gejolak politik yang mengepankan kepuasan
pribadi penguasa, dan melupakan kesejahteraan pada rakyat, telah mendorong Syari‟ati
menjadi figur pahlawan bagi kaum lemah untuk berani mengatakan tidak pada pemimpin
yang zalim.

B. Riwayat Hidup Ali Syari’ati.

Pictures by. KSMW Semarang

Lahir di sebuah desa kecil bernama Khurasa, Mazinan, pada 24 November 1933
tepatnya di dekat kota Masyhad, Iran, Ali Syariati hadir ditengah orangtuanya yang saat itu
bertepatan dengan Muhammad Taqi Syariati ayah Ali Syariati menyelesaikan studi keagamaan
dasarnya dan memulian mengajar di sebuah sekolah dasar bernama Syarefat. Lahir ditengah
keluarga yang terhormat, Ali Syariati diperlihatkan dengan ritual keseharian dan ritus
keagamaan yang dijalankan dengan seksama. Ali Syariati mendapatkan pengalaman
pendidikan dan pemahaman agama langsung dari orangtuanya yang memberikan pengetahuan
tersebut, dalam keluarga Ali Syariati, agama Islam dianggap bukan sebatas keyakinan masalalu
seseorang pribadi yang berorientasi pada memikirkan diri sendiri, namun lebih dari itu, Islam
dipandang oleh ayah Ali Syariati sebagai sebuah doktrin sosial dan filsafat yang sangat relevan
dengan zaman modern (Mashadi, 2011, p. 121)

Ali masuk sekolah tingkat pertama di sekolah swasta, Ibn Yamin, dimana sekolah
tersebut merupakan tempat ayahnya bekerja. Disekolah, Ali Syariati memiliki dua prilaku yang
berbeda. Ia pendiam, tidak mau diatur dan rajin. Ia dipandang sebagai penyendiri, tidak punya
kontak dan tidak mau tau dengan dunia luar. Karena itu, ia tampak tidak bermasyarakat.
Menurut seorang teman sekelasnya, ia tidak banyak bergaul, tidak bermain sepak bola,
olahraga yang lazim untuk anak seusianya. Kendati demikian, ia sering belajar bersama
ayahnya dirumah hingga larut malam mengkaji permasalahan keagamaan. Setelah
menamatkan pendidikan dasarnya, Ali Syariati kemudian melanjutkan pendidikan menengah
Firdausy di Masyhad pada tahun 1947. Kemudian Ali Syariati melanjutkan pendidikannya di
Institutr Keguruan yang sangat ketat, hal ini merupakan permintaan ayahnya.2

Setelah selesai, sembari berkarir sebagai seorang guru selama beberapa tahun,
menginjak usianya yang ke 20 tahun, Ali mendirikan sebuah organisasi di kota yang sama yaitu
organisasi Persatuan Pelajar Islam. Kemudian Ali Syariati melanjutkan pendidikannya pada
tahun 1955 di Universitas Masyhad, Fakultas Sastra yang pada saat itu baru saja didirikan.
Keasadaran keagamaan Ali Syariati terasah di kampus ini, pun dengan pemikirannya yang dia
tebarkan melalui tulisan dan ceramahnya yang kerap kali memukau dihadapan kaum muda
(Saleh, 2018, p. 183). Sampai detik ini, pemikiran Ali Syariati masih berpengaruh di dalam
kalangan intelektual. Pada tahun 1960, Ali Syariati mendapatkan gelar sebagai seorang doktor
di bidang sosiologi dan sejarah Islam dengan kuliah berbekal beasiswa dan nilai yang
memuaskan di Universitas Paris, Prancis. Selama kuliah di Paros, ia juga sempat beberapa kali
berdialog dan berinteraksi dengan para cendekiawan terkemuka di Barat mengenai pemikiran-
pemikiran mereka secara intens, semacam Frantz Fanon, Jean Paul Sarte, Louis Massignon dan
lain-lain (Saleh, 2018, pp. 182–194). Dapat dikatakan bahwa dalam proses mematangkan
gagasan-gagasan Ali Syariati, ia dibantu oleh dialektika yang ia lakukan dengan sederet
pemikir dan kaum intelektual yang ada di Paris.

Ali Syariati pernah dijebloskan kepenjara setelah kepulangannya dari Paris, hal ini
dikarenakan tuduhan yang dijeratkannya perihal keterlibatannya dalam penggalangan gerakan
anti pemerintahan dan memobilisasi massa. Setelah mendekam 6 bulan di penjara, Ali Syariati
dibebaskan dan langsung melamar di Fakultas Sastra, Universitas Taheran untuk menjadi
seorang dosen, tetapi ditolak. Akhirnya, Ali Syariati mengajar di berbagai akademi pertanian
dan sekolah menengah, sampai tersedia jabatan dosen ilmu sejarah di Universitas Meshad pada
1966. Meski sempat dipenjara, Ali Syariati tetap gencar melangsungkan kritikannya, hal ini
membuatnya populer diberbagai lapisan masyarakat dan di kalangan mahasiswanya, hal ini
menyebabkan keputusan pada rezim yang berkuaasa pada saat itu menghentikan Ali Syariati
sebagai seorang dosen di Universitas tempatnya mengajar dan memindahkannya ke Taheran.
Hingga pada 19 Juni 1977, Ali dinyatakan tewas terbunuh di rumah sewaannya di Inggris, tepat
ketika usianya 44 tahun. Pemerintah Iran menyatakan bahwa Ali meninggal karena penyakit
jantung, akan tetapi masyarakat percaya bahwa Ali terbunuh oleh polisi rahasia (Saleh, 2018,
p. 543).

C. Karya-Karya Ali Syari’ati

Syari‟ati merupakan pemikir yang produktif, bukan hanya dalam segi orasi tetapi juga
dalam dalam menulis. Ide-idenya diwujudkan dalam tindakan nyata juga dalam sejumlah buku
diantaranya: Islamshenasi, A Glance at Tomorrow‟s History, A Waiting the Religion of
Protest, An Approach to Understanding of Islam, Hajj, Kavir, Man and Islam, On the Sosiology
of Islam, Religion Versus Religion, What Is To be Done? The Englinhtened Thinker and
Islamic Renaisanse, dan Red Syi‟ism and One Followe by Eternity of Zeroes. Disamping itu
ada karya Syari‟ati berbentuk karya terjemahan dan Manuskrip (Dewi, 2020, p. 234)

D. Pandangan yang mempengaruhi pemikiran Ali Syari’ati.

Ali Syari’ati adalah contoh intelektual sui generis yang berani dalam posisi melawan
mainstreem politik maupun pemikiran Islam.Ia dapat disejajarkan dengan para pembaharu
Sunni pendahulunya, seperti Jamal al-Din al-Afghani (w.1897), Muhammad Abduh (w. 1905)
atau Muhammad Iqbal (w.1938). Sama dengan Syari’ati, mereka adalah pembaharu pemikiran
Islam dan sekaligus para oposan yang sangat kritis dengan fenomena ketidakadilan dan
imperialisme Barat.Yang membedakan antara Syari’ati dengan ketiga tokoh Sunni itu adalah
bahwa Syari’ati lebih radikal dalam mengimplementasikan pemikiran-pemikiran
pembaharuannya dan ini yang perlu mendapat catatan tebal sejarah pembaharuan Islam, bahwa
Syari’ati dengan gagasan revolusinya berhasil menarik gerbong oposisi di kalangan masyarakat
Iran untuk melawan rezim yang berkuasa sampai akhirnya gerakan oposisi itu berhasil
melakukan revolusi bersejarah tahun 1979 (Nugroho, 2014).

Pemahaman Islam yang ditawarkan Ali Syari'ati berbeda dengan pemahaman


maintreem saat itu. Islam yang dipahami banyak orang di masa Syari'ati adalah Islam yang
hanya sebatas agama ritual dan fiqh yang tidak menjangkau persoalan-persoalan politik dan
sosial kemasyarakatan. Islam hanyalah sekumpulan dogma untuk mengatur bagaimana
beribadah tetapi tidak menyentuh sama sekali cara yang paling efektif untuk menegakkan
keadilan, strategi melawan kezaliman atau petunjuk untuk membela kaum tertindas
(mustad’afîn). Dalam istilah al- Qur’an, istid’âf bukan berarti “kelemahan atau keputusasaan”.
Itu merupakan kata jadian yang sama dengan istibdâd (despotisme), isti’mâr (kolonialisme),
istismâr (eksploitasi), dan seterusnya.
Dalam kenyatannya, yang terakhir itu merupakan bentuk-bentuk istid’âf (penindasan)
yang telah terjadi di berbagai masa sejarah. Setiap kali rakyat dibiarkan lemah secara ekonomis
(eksploitasi), politis (despotisme), nasionalis (kolonialisme), dan kultural (pelumpuhan), entah
di dalam satu bidang ini atau gabungan beberapa diantaranya, maka terjadilah istid’âf dan
korban- korbannya dinamakan mustad’afîn (yang tertindas) (Syari’ati, 1986, p. 1–2). Islam
yang demikian itu dalam banyak kesempatan sangat menguntungkan pihak penguasa yang
berbuat sewenang- wenang dan mengumbar ketidakadilan, karena ia bisa berlindung di balik
dogma-dogma yang telah dibuat sedemikian rupa untuk melindungi kepentingannya. Dalam
konteks situasi politik saat Syari'ati hidup, wacana Islam mainstreem itulah yang digunakan
oleh sebagian besar ulama untuk mendukung kekuasaan rezim Syah.Ketika rezim Syah
menindas rakyatnya, para ulama rezimis tersebut tidak mampu berbuat apa-apa untuk
kepentingan rakyat. Justru ulama itu dipaksa untuk terus-menerus memberikan justifikasi
keagamaan atas kebijakan-kebijakan Syah.
Ali Syari’ati memang seorang ahli pikir kreatif yang pemikirannya bertentangan sekali
dengan penafsiran-penafsiran keagamaan tradisional dari banyak ulama dan pandangan sekuler
Barat, serta dari para profesor universitas dan intelektual. Dengan merenungi kembali pengaruh
al-Afgani dan Iqbal, ia menekankan sifat Islam yang dinamis dan ilmiah serta kebutuhan akan
penafsiran kembali (reinter- pretasi) yang saksama atas Islam dalam rangka menghidupkan
kembali komunitas Muslim. Syari’ati mengaku bahwa ia berjuang untuk menyebarkan pesan
Islam Syi'ah yang asli, benar, dan bersifat revolusioner. Paradigma Syi'ah yang asli merupakan
suatu gerakan Islam yang secara intelektual bersifat progresif dan juga suatu kekuatan sosial
yang militan, yakni mazhab Islam yang paling teguh dan revolusioner.
Ali Syari’ati menampilkan dan memperkenalkan ajarannya dengan apa yang
diistilahkan sebagai teologi pembebasan yang menggabungkan antara penafsiran-penafsiran
kembali atas keyakinan Islam dan pemikiran sosio-politik modern. Syari’ati juga menekankan
identitas kesatuan nasional dan keadilan sosio-ekonomi. Hal inilah yang menyebabkan sukses
besar dari kuliah atau berbagai corak pemikirannya sesuai dengan kondisi obyektif yang ada
pada masyarakat Iran pada saat itu, sehingga pengagum dan pengikutnya tersebar luas di Iran.
Gagasan-gagasannya yang menyadarkan massa akan penindasan kaum penguasa (Syari &
Syariati, 2011)

E. Pandangan sejarah Ali Syariati

Pemikiran filsafat sejarah Ali Syari’ati terlihat jelas dari risalahnya, yang terdiri dari
berbagai tema dan perpaduan dengan berbagai gagasan. Intinya, Ali Syari’ati memandang
sejarah sebagai kontruksi pola dasar dari berbagai realitas unik yang muncul dalam fakta-fakta
sejarah diarahkan untuk mencapai tujuan ideologis tertentu. Syari’ati juga melihat keseluruhan
sejarah sebagai sebuah konflik kekuatan-kekuatan dan manusia itu sendiri menjadi medan
peran antara asal jasmaninya yang rendah dan semangat ketuhanannya. Dari kesimpulan
tentang pertentangan kelas, antara Habil dan qabil sebagai kelompok, Syari’ati juga melihat
sejarah sebagai medang pertarungan antara tauhid dan kemusrikan, keadilan dan kezaliman,
penindas yang tertindas, saling bertentangan terus menerus antara yang satu dengan yang
lainnya.

Meskipun Syari’ati sangat elektik dalam meminjam gagasan-gagasan yang kadang


bertolak belakang,analisisnya lebih jauh tentang sejarah agaknya dapat disebut semacam
sociological history, yakni sejarah yang dijelaskan secara sosiologis dalam keranga sejarah
sosilogi bukan sekedar peristiwa masa silam yang disampaikan secara naratif, tetapi dilihat
sebagai hasil dari interaksi atau dalam istilah Syari‟ati dialektika faktor-faktor sosiologis.

Meminjam dialektikan sejarah Marxias, dalam analisi tentang Qabil dan Habil sebagai
sebuah symbol pertentangan yang terus menerus tentang pemikiran yang orisinal dalam
konteks pemahaman Islam. Salah satu cara luar biasa untuk mencapai persamaan dan
ketercerahan manusia dan masyarakat adalah konsepnya tentang gerakan manusia yang terus
menerus terhadap Tuhan melalui jalan revolusi dan kesempurnaan.

Ali Syari’ati mengatakan bahwa gerak sejarah manusia memiliki kebebasan sekaligus
keterpaksaan. Untuk istilah keterpaksaan ini, Ali Syari’ati memaknainya sebagai konsep
determinisme historis yang menjadi bentuk kepastian-kepastian sejarah dan berlaku dalam
kehidupan masyarakat. Menurutnya sejarah didasarkan pada sebuah determinisme historis
yang merupa-kan kontradiksi-kontradiksi dialektika dan sebuah perjuangan abadi antara dua
kekuatan yang bertentangan semenjak lahirnya sejarah. Perjuangan tersebut berlangsung di
semua tempat dan waktu dan keseluruhan dari peristiwa itu yang disebut dengan sejarah.
Dengan istilah yang lain, adanya hukum sejarah yang tetap, dan yang tidak, akan diketahui oleh
seseorang, jika tidak dipelajari dan diambil „iktibar dari peristiwa yang telah terjadi.Manusia
dapat berbuat sekehendak hatinya karena manusia memiliki kebebasan, akan tetapi di sisi lain
manusia pada waktu yang bersamaan juga harus tunduk pada determinisme. Oleh karena itu,
Ali Syari’ati menyebutkan kerangka determinisme sebagai hukum umum yang mengatur prose
perkembangan sosial sejarah, untuk kemudian di sebut gerak maju sejarah menuju terwujudnya
kesadaran akan Allah swt. pada manusia.

Manusia sebagai makhluk merupakan manifestasi kehendak Allah swt. yaitu kehendak
pada serba kesadaran akan yang Muntlak (Khalik). Kemudian di sisi lain, manusia juga sebagai
khalifah–Nya di alam ini, untuk itu, sejarah umat manusia bukanlah sebuah peristiwa kebetulan
atau dialektika tanpa makna, tanpa ada campur tangan Tuhan, tanpa tujuan, tanpa maksud dan
tanpa mkna. Akan tetapi, sejarah adalah sebuah realitas seperti realitas lainnya yang sarat
makna, baik simbolik mauupun eksposisi (verbal). Dengan diwarnai oleh sekian banyak
pertentangan di tingkat yang bervariasi, sejarah beranjak dari satu titik kesengajaan, menuju
dan berakhir pada titik atau sasaran tertentu pula. Berpijak pada sudut pandang kebermaknaan
inilah, Syari‟ati berkeinginan untuk mencermati dari awal muncul sejarah dan basis yang
mendorong keberlangsungan sejarah umat manusia, terutama dalam kaitannya dengan kisah-
kisah yang dituturkan Al-Quran.

Dalam ajaran Islam tidak ada ruang bagi munculnya teori kebetulan, karena segala
urusan ada di tangan Allah swt. sebagai Khaliq Pencipta Alam, oleh karena itu peristiwa
kebetulan yang terjadi tanpa sebab atau tujuan akhir dalam penciptaan, tidak bisa dibayangkan,
baik dalam alam maupun dalam masyarakat manusia. Manusia memiliki tanggung jawab
terhadap Sang pencipta, sedangkan secara pribadi, pada saat yang bersamaan masing-masing
manusia berhak menentukan nasibnya. Sebagaimana seorang petani bertanggungjawab atas
tanaman yang tumbuh di kebunnya, dan bertanggung jawab untuk mengambil hasil dari
tanaman dan pohon- pohon dikebunnya. Petani juga bertanggungjawab terhadap kualitas
produksinya dalam batas waktu tertentu. Di lain pihak, petani juga harus mengetahui bahwa
hukum-hukum tertentu yang ada dalam alam membentuk dasar bagi perubahan dan
transformasi tanaman dan sayuran, inilah hukum yang pasti dan tidak dapat berubah.

Dengan pandangan sejarahnya, Syari‟ati ingin menegaskan bahwa sejarah adalah


ciptaan manusia dalam mengemban tugas Ilahinya sebagai khalifah Allah di muka bumi. Cara
pandang kesejarahan seperti ini otomatis menempatkan posisi dan peran sentral manusia
sebagai subyek dalam mewarnai kehidupan ini. Corak eksistensialime Syari‟ati terlihat pada
cara pandangnya dalam menterjemahkan cerita-cerita Al-Quran, yang tidak hanya diartikan
secara ekspresi naratif-verbal, tetapi yang lebih penting Syari‟ati mengisyaratkan serangkaian
symbol-simbol hidup yang dinamis dan bisa menerangkan berbagai fenomena serta realitas
historis sosiologi. Contohnya, cerita pembunuhan yang dilakukan Qabil terhadap saudaranya
Habil. Menurut Syari’ati, Habil tidak hanya me ngajarkan kepada manusia nilai-nilaia (dalam
persi tradisional) bahwa prilaku dan perbuatan membunuh adalah perbuatan buruk, menentang
norma agama dan menistakan keunggulan manusia, melainkan peristiwa tersebut
menyimbolisasikan dua kutub kontradiktif, yaitu keterpecahan “aku” tentang citra dan potret
kepribadian seseorang dalam aspek kehidupan (Dewi, 2020)

F. Kesimpulan

Dalam diri Syari‟ati terpadu kuat semangat keagamaan dan keilmuan, sehingga
Syari’ati mampu mengeksplanasikan bahwasannya agama bukan hanya spiritual, akan tetapi
juga bersifat sosial, bahwa nilai kebenaran yang diperjuangkan untuk mencapai keadilan
merupakan ijtihad. Sejatinya Islam tidak hanya memperhatikan dunia spiritual, tetapi dunia
materi sekaligus. Meskipun teori-teori Ali Syari’ati berorientasi kepada Islam, akan tetapi dasar
epistemologis, filosofis dan sosiologisnya sangat kuat dan tumbuh dari dialektika pengalaman
dan pemikiran terus-menerus. Dapat dikatakan bahwa Ali Syari’ati adalah seorang muhajir
Muslim yang bangkit dari lubuk terdalam spritualisme Timur dan berhasil mencapai puncak-
puncak sains-sains tersebut, untuk kembali kepada masyarakat-nya dan membawa mutiara
keilmuan. Syari’ati menawarkan suatu konsep pembangunan kembali peradaban

Islam dengan membangkitkan semangat keilmuan dan diskusi yang intens antara para
cendekiawan dengan rakyat biasa, serta melepaskan sekat antara kaum terpelajar dengan
masyarakat biasa. Tradisi yang menempatkan para elit terpelajar dalam menara gading akan
membuat keilmua menjadi mandeg, transfer ilmuharus dilakukan, agar masyarakat mampu
melihat kebenaran dan berani menentang kezaliman, sampai kemudian simbol Habil mampu
mewarnai kehidupan umat Islam. Dengan sederetan karya dan kiprah yang luar biasa dalam
membangun peradaban berpikir, maka sudah selayaknya Syari’ati ditempatkan sebagai salah
satu filsuf Islam abad Kontemporer. Pengaruh sudah memberi pencerahan baru khususnya bagi
masyarakat Iran sampai hari ini, dan ke depan, sejatinya pemikiran Syari’ati dapat
menginspirasi ratusan juta umat Islam, agar dapat keluar dari belenggu Qabilisme dengan
berbagai kejahatan, dan menyambut fajar kebebasan dalam nuasa keadilan serta ketentraman.

G. Daftar Pustaka

Dewi, E. (2020). Pemikiran Filosofi Ali Syari’ati. IAIN Ar-Raniry (Universitas Islam Negeri),
232–242.

Nugroho, A. (2014). Potret Islam Revolusioner Dalam Pemikiran Ali Syari’Ati. Humanika,
14(1). https://doi.org/10.21831/hum.v14i1.3328

Saleh, M. (2018). Marhaeni,“Ali Syari’ati; Pemikiran dan Gagasannya.” Jurnal Aqidah-Ta,


4(2).

Syamsiyatul Ummah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, S. (2019). TEOLOGI


PEMBEBASAN ALI SYARI’ATI (Kajian Humanisme dalam Islam) LIBERATION
THEOLOGY OF ALI SYARI’AT I (An Islamic Humanism Study). Jurnal Kebudayaan
Dan Ilmu Keislaman Published by Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA)
Sumenep, 12(1), 112–137. http://jurnal.instika.ac.id/index.php/AnilIslam

Syari’ati, A. (1986). What Is To Be Done: The Enlightened and Thinkers and Islamic
Renaisance ( terj. F. Rajaee (ed.)). Houston; IRIS.

Syari, A., & Syariati, A. (2011). PEMIKIRAN DAN PERJUANGAN ALI SYARI ’ ATI.
Jurnal Al-Ulum Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sultan Amai, Gorontalo, 115–138.

Anda mungkin juga menyukai