Anda di halaman 1dari 16

ALI SYARIATI.

SUFI YANG REVOLUSIONER Ali Shariati (bahasa Persia: ) Dr Ali Shariati (19331977) adalah seorang sosiolog Iran yang terkenal dan dihormati karena karya-karyanya dalam bidang sosiologi agama. Melarikan diri dari kesepian, kutekuni sejarah; segera kucari saudaraku Ain AlQuzat. Pada puncak perkembangan usia remajanya dia harus menjalani hukuman bakar hidup-hidup. Kesalahannya: memiliki kesadaran, kepekaan dan keberanian berpikir. Dalam masa kejahilan kesadaran memang merupakan dosa. Dalam masyarakat tertindas lagi tehina keluhuran jiwa serta kekuatan kalbu, sebagaimana kata Buddha, menjadi sebuah pulau di negeri danau, adalah dosa tanpa ampun Ali Syariati (Gurun Pasir) dikutip dari Ali Syariati, Tentang Sosiologi Islam, Ananda, Yogyakarta, 1989 Ain Al-Quzat Hamadani adalah seorang sufi Parsi yang dihukum di Baghdad pada tahun 1132 M, atas tuduhan menyebarkan bidah. Seperti halnya saudara yang dikaguminya itu, Syariati pun dihukum oleh rezim Pahlevi yang panas kuping oleh pidato dan ceramah-ceramahnya, baik di kampus maupun di masjid.Tekanan yang luas dari penduduk Iran dan seruan internasional akhirnya mengakhiri masa penjaranya selama 18 bulan. Ia dilepaskan oleh pemerintah pada 20 Maret 1975 dengan syarat-syarat khusus yang menyatakan bahwa ia tidak boleh mengajar, menerbitkan, atau mengadakan pertemuan-pertemuan, baik secara umum maupun secara pribadi. Aparat keamanan negara, SAVAK, juga mengamati setiap gerakannya dengan cermat. Shariati pun menolak syarat-syarat ini dan memutuskan meninggalkan negaranya serta pergi ke Inggris. Namun, rezim Syah Pahlevi tidak menghendaki dia ke luar negeri untuk berbicara serta menulis secara bebas, lalu menawan istri dan anak Ali Syariati, yang ditinggalkannya dengan penuh kepedihan. Tidak lama setelah itu, tepatnya tanggal 21 Juni 1977, Ali Syariati ditemukan tewas di rumah kerabatnya di Southampton, Inggris.

Muncul spekulasi kemudian, bahwa ia dibunuh oleh agen-agen SAVAK, atau bahkan oleh para pendukung Ayatollah Khomeini yang fanatik, yang menganggap sepak terjang serta pikiran-pikiran Syariati yang anti terhadap feodalisme, telah menodai kewibawaan sang Ayatollah. Itulah Ali Syariati, seperti halnya saudara nya, iapun telah menempatkan kebenaran pada tempatnya yang layak. Ia lah sang sufi yang revolusioner itu. Seorang sufi memang seharusnya juga seorang yang revolusioner! Begitulah seruannya berulang kali. Dia telah menempatkan dirinya sendiri di sana! Dan dia tidak munafik dengan apa yang dikatakannya Biografi Satu revolusi yang dicatat oleh beberapa sarjana tingkat dunia sebagai revolusi yang paling spektakuler sepanjang sejarah dunia adalah revolusi Islam Iran yang dipimpin oleh Ayatullah Imam Khomeini di Iran. Namun di balik gemuruh revolusi Islam itu juga tak dapat diabaikan peran besar salah satu aktor intelektual utamanya: Dr. Ali Shariati. Ali Shariati dilahirkan pada 1933 di Mazinan, Pinggiran kota Sabzevar, Iran. Ayahnya seorang orator nasionalis progresif yang kelak ikut serta dalam gerakan-gerakan politik anaknya. Ketika belajar di Sekolah Pendidikan Keguruan, Shariati bergaul dekat dengan para pemuda golongan ekonomi lemah (Mustadafin), sehingga ia menyaksikan dan merasakan sendiri kemiskinan dan kehidupan yang berat yang ada di Iran pada masa itu. Di usia 18 tahun ia mulai mengajar. Pada saat yang sama ia pun berkenalan dengan banyak aspek pemikiran filsafat dan politik Barat, seperti yang tampak dari tulisan-tulisannya. Ia berusaha menjelaskan dan memberikan solusi bagi masalah yang dihadapi masyarakat Muslim Iran melalui prinsip-prinsip Islam tradisional yang terjalin dan dipahami dari sudut pandang sosiologi dan filsafat

modern. Shariati juga sangat dipengaruhi oleh pemikiran Maulana Jalaluddin Rumi dan Muhammad Iqbal. Shariati lalu pergi ke Tehran dan mulai mengajar di Institut Hosseiniye Ershad. Kuliah-kuliahnya kembali sangat populer di antara mahasiswa-mahasiswanya dan akibatnya berita menyebar dari mulut ke mulut hingga ke semua lapisan ekonomi masyarakat, termasuk kelas menengah dan atas yang mulai tertarik akan ajaran-ajaran Shariati. Pihak Kekaisaran Iran kembali menaruh perhatian khusus terhadap keberhasilan Shariati yang terus berlanjut. Dan polisi pun segera menahannya bersama banyak mahasiswanya. Tekanan yang luas dari penduduk Iran dan tekanan internasional akhirnya mengakhiri masa penjaranya selama 18 bulan. Ia dilepaskan oleh pemerintah Shah Pahlevi pada 20 Maret 1975 dengan syaratsyarat khusus yang menyatakan bahwa ia tidak boleh mengajar, menerbitkan, atau mengadakan pertemuan-pertemuan, baik secara umum maupun secara pribadi. Aparat keamanan dan intelejen SAVAK mengawasinya dengan ketat. Shariati menolak syarat-syarat ini dan memutuskan hijrah meninggalkan negaranya dan pergi ke Inggris. Tiga minggu kemudian, pada 19 Juni1977, ia mati syahid dibunuh oleh agen-agen SAVAK. Shariati dianggap sebagai salah satu pemimpin filosofis paling berpengaruh dari Iran di masa pra-revolusi Islam. Pengaruh dan popularitas pemikirannya terus dirasakan di seluruh masyarakat Iran bertahun-tahun kemudian. Ideologi Dan Perjuangan Shariati Dr. Ali Shariati mempelajari dan menghayati banyak mazhab pemikiran filsafat, theology, sosiology dengan satu sudut pandang Islami. Sebagian orang menyebutkan bahwa dia adalah Muslim Muhajir (yang berhijrah) yang muncul dari kedalaman samudra mysticism (tasawuf) timur, lalu mendaki ketinggian pesona gunung sains sosial Barat. Namun tidak sampai terperangkap pesona

itu, lalu dia kembali ke tengah-tengah kita dengan semua permata yang didapat dari perjalanannya. Dr. Ali Shariati juga bukan seorang fanatik reaksioner yang melawan apapun yang baru tanpa suatu ilmu pengetahuan; dia juga bukanlah seorang intelektual terbaratkan yang meniru segala dari Barat tanpa pertimbangan yang indipenden. Karena dapat mengetahui kondisi dan kekuasaan pada zamannya, ia memulai kebangkitan Islami-nya dengan melakukan pencerahan terhadap massa rakyat, khususnya kalangan muda, melalui kuliah, ceramah, demonstrasi dan gerakan sosial-politik. Dia percaya jika elemen muda masyarakat ini mempunyai keimanan Islam yang benar, mereka akan secara total mengabdikan dirinya dan aktif menjadi elemen mujahid yang rela mengorbankan bahkan nyawanya untuk cita-cita idealnya. Dr. Ali Shariati secara konstan berjuang untuk menciptakan nilai-nilai kemanusiaan di dalam diri generasi muda, di mana sebelumnya nilai-nilai tersebut telah dirusak oleh metode saintifik ( mpirisme-positivisme ilmiah) dan teknis. Dia dengan antusias berusaha untuk memperkenalkan kembali al-Quran dan sejarah Islam kepada generasi muda sehingga mereka dapat menemukan jati diri mereka yang sejati dalam semua dimensi kemanusiaanya dan dapat berjuang melawan semua kekuatan masyarakat yang dekaden dan korup. Untuk memperjuangkan ideologinya Dr. Ali Shariati menulis banyak buku. Beberapa karyanya dapat dilihat dalam daftar di bawah ini. Dalam semua tulisannya, dia berusaha menyajikan gambaran yang jernih dan asli tentang Islam. Dia sangat percaya bahwa kaum intelektual dan generasi muda dapat dengan sukses merealisasikan kebenaran keimanannya dan berupaya melakukan perubahan sosial dengan sukses.

Dari jejak langkah perjuangannya, Syahadah (martyrdom) Nabi Muhammad SAW, Imam Ali AS dan Imam Husein AS, adalah ruh syuhada yang mengantarkan kematian syahidnya Dr. Ali Syariati dan kemenangan Revolusi Islam Iran. Salah satu pernyataan Syariati adalah Manusia menjadi ideal dengan mencari serta memperjuangkan umat manusia, dan dengan demikian, ia menemukan Tuhan. Sedangkan ciri pemikiran Syariati menurut Shahrough Akhlavi adalah Agama harus ditransformasikan dari ajaran etika pribadi ke program revolusioner untuk mengubah dunia(h.119). Manusia sebagai khalifah digambarkan oleh Syariati sebagai manusia individu yang dimintai pertanggungjawaban oleh Tuhan sebegai individu. Karenanya, manusia adalah individu yang otonom, mempunyai kesadaran, mempunyai daya kreatifitas, dan mempunyai kebebasan kehendak. Pemikiran Syariati ini dipengaruhi oleh Eksistensialisme yang menekankan kebebasan dan otonomi individual. Meski menekankan tindakan etis perorangan, Syariati menyatakan bahwa setiap individu mempunyai tanggungjawab untuk perubahan masyarakatnya. Sayriati percaya bahwa revolusi digerakkan pertama-tama dengan menggerakkan masing-masing individu. Gerakan individual itu akan mengarah pada gerakan massa. Hal ini terlihat secara konkrit dalam ibadah haji. Syariati memberikan tafsiran haji pada penekanan pentingnya kualitas individual, tapi pada akhirnya harus melebur dengan gerakan massa. Sayriati memandang revolusi dapat digerakkan saat individu mampu menjalankan kewajibannya masing-masing, yang kemudian melebur dengan gerakan mass itu. Syariati dan Eksistensialisme Ciri-ciri umum eksistensialisme barat sangat terasa dalam beberapa pandangan Syariati. Pandangan Syariati secara khas membicarakan persoalan eksistensi

yang berpusat perhatian kepada manusia. Bereksistensi adalah dinamis, menciptakan dirinya secara aktif, berbuat, menjadi, merencanakan dan selalu berubah kurang atau lebih dari keadaan sebelumnya. Manusia dipandang terbuka, realitas yang belum selesai (h. 50). Jika Sartree membatasi manusia pada becoming sebagai proses untuk membentuk esensinya, Syariati lebih jauh lagi, yaitu potensi manusia menjadi lebih tinggi (h. 40). Inti pemikirannya bermula pada pandangan dunia Tauhid, dengan Tuhan sebagai sentralnya. Sebagaimana pemikiran eksistensialis lainnya, baginya manusia dapat dilihat sebagai being dan becoming. Untuk itu ia menafsirkan kosa kata bahasa arab bashar sebagai being dan insan untuk becoming (h.7). Untuk berakhlak dengan akhlak Tuhan, manusia harus senantiasa melakukan proses evolusi (becoming) menuju Tuhan itu. Karena hanya dalam modus berada dalam bentuk Insan sajalah manusia memperoleh kebebasan dan mendapat amanat menjadi khalifah (wakil) Tuhan. Syariati menyatakan bahwa Insan mengandung nilai-nilai etis, sementara basyar mengandung nilai-nilai hewani. Hanya dengan menjadi insan sajalah manusia bisa memaksimalkan atribut ketuhanannya, yaitu kesadaran-diri, kehendak bebas dan kreatifitas. Hanya manusia saja yang bisa bertindak seperti Tuhan, tetapi manusia tidak bisa menjadi Tuhan (h. 110). Syariati menyatakan bahwa manusia harus menjadi manusia yang sebenarnya. Manusia harus menjadi insan, tidak sekedar basyar (mahluk fisiologis). Basyar adalah mahluk yang sekedar berada (being), sedangkan insan adalah mahluk yang menjadi (becoming). Dalam konteks ini Syariati menafsirkan ayat Inna lillahi wainnailaihi rojiun (dan sesungguhnya kami akan kembali kepada-Nya) menyatakan bahwa perjalanan kembali kepada-Nya bukanlah berarti di dalamNya atau pada-Nya. Artinya, Tuhan bukanlah titik beku atau suatu arah yang pasti, yang segala sesuatu menuju kepadanya.

Manusia yang menjadi ini memiliki tiga sifat yang saling berkaitan dan dapat menyesuaikian diri dengan sifat-sifat ketuhanan. Ketiga sifat itu adalah kesadaran-diri (selft-awareness), kehendak bebas (free-will), dan kreativitas (creativiness). (h.36). Syariati dan Marxisme Ada hubungan cinta-benci antara Syariati dan Marxisme (h. 46). Ia menerima analisa Marx tentang kesadaran pertentangan kelas antara kaum penindas dan tertindas, misalnya antara kaum Habil dan kaum Qabil, tetapi terutama bukan antara dan buruh melawan Marxis Kapitalis, tetapi antara dunia ketiga melawan Ia Imperialisme Barat. Sayriati juga banyak menggunakan paradigma, kerangka analisis untuk menjelaskan perkembangan masyarakat. berpendapat bahwa Marx hanyalah seorang matrerialis tulen yang memandang manusia sebagai makhluk yang tertarik kepada hal-hal yang bersifat materi belaka. Namun Syariati menyanjung Marx yang jauh lebih tidak materialistik ketimbang mereka yang mengklaim idealis atau beriman dan religius. Prespektif lain, Syariati mengecam Marxisme yang mengejawantah dalam partai Sosial dan Komunis. Syariati berusaha menyelesaikan kontradiksi pandangannya itu dengan membagi kehidupan Marx dalam tiga fase. Pertama Marx muda sebagai filosof ateistik yang mengembangkan materialisme dealektis. Kedua, Marx dewasa, seorang ilmuwan sosial yang mengungkapkan bagaimana penguasa mengeksploitasi mereka yang dikuasai. Ketiga Marx tua yang merupakan politisi. Dari tiga fase itu, Syariati menerima banyak gagasan dari Marx fase kedua, dan menolak fase pertama dan ketiga. Syariati juga secara terang-terangan mengkritik ulama konvensional yang disebutnya sebagai Borjuasi kecil dan Depotisme Spiritual. Di satu pihak, penguasa telah menindas keimanan atas nama Islam Syiah, tetapi dipihak lain para ulama tradisional juga harus dikritik karena apatis terhadap kezaliman.

Sebagian dari mereka bersikap oportunistik, sebagian lagi bersifat pasif karena mengharapkan Imam yang tersembunyi, Imam Mahdi (h. 22). Biografi Ali Syariati lahir 23 Nopember 1933 di desa Mazinan, pinggiran kota Masyhad dan Sabzavar, propinsi Khorasan Iran dengan nama kecil Muhammad Ali Mazinani. Ayahnya, Muhammad Taqi Syariati adalah seorang ulama yang mempunyai silsilah panjang keluarga ulama dari Masyhad, kota tempat pemakaman Ali Al-Ridha. Kehidupan Syariati atau Ali Mazinani berakar di pedesaan dan di sanalah pandangannya pertama kali dibentuk. Guru pertama kalinya adalah ayahnya sendiri yang memutuskan mengajar di kota Masyhad. Pada awal 1940-an, ayah Ali Mazinani mendirikan usaha penerbitan bernama Pusat Penyebaran Kebenaran Islam (The Center for Propagation of Islamic Truth) yang bertujuan untuk kebangkitan Islam sebagai agama yang sarat dengan kewajiban dan komitmen sosial. Pada dekade ini, ayah Syariati membentuk cabang organisasi Nehzat-I Khodaparastan-I Sosiyalist (The Movement of God-worshiping Socialist, Gerakan Penyembah Tuhan Sosialis. Ia membahas gagasan pemikir modern, khususnya para pemikir Sosialisme Arab dan sejarahwan Khazrawi, tokoh yang dibenci para Mullah Iran. Karenanya ia dicap sebagai sunni, wahabi, bahkan baabisme oleh beberapa ulama (h. 13). Dari ayahnya inilah semangat non-konvensional dan oposisi Ali Mazinani terbentuk. Sementara dari pihak ibu, kakeknya, Akhun Hakim adalah sosok ulama yang kisah hidupnya turut menginspirasi Ali Mazinani. Pamannya adalah murid dari ulama terkemuka Adib Nishapuri, yang setelah belajar filsafat, fiqh, dan sastra, mengikuti jejak leluhurnya memilih kembali ke Mazinan. Pada periode 1950-1951, Ali Mazinani seperti ayahnya, bergabung dalam Gerakan Penyembah Tuhan Sosialis dan mengikuti gerakan nasionalisme yang dipimpin oleh Perdana Menteri Muhammad Mushadiq. Ketika gerakan itu pecah

menjadi Liga Kemedekaan Rakyat Iran tahun 1953, ia juga ikut bergabung. Setelah Mushadiq gagal melancarkan kudeta tahun 1953, ia ikut dalam Gerakan Perlawanan Nasionalis (National Resistance Movement). Karena gerakan itulah ia bersama ayahnya dipenjara di rumah tahanan Qazil Qalaah, Teheran selama 8 bulan sebagai akibat gerakan oposisinya melawan Rezim Syah Reza Pahlevi. Tahun 1956, Ali Mazinani melanjutkan studi di Fakultas Sastra universitas Masyhad. Tahun 1960 ia mendapat beasiswa dari pemerintah Iran dan melanjutkan pendidikan di Universitas Sorbonne, Perancis. Di Sorbonne inilah ia menjalin hubungan secara pribadi dengan intelektual terkemuka seperti Louis Massiggnon (Islamolog Prancis beragama Katolik), Jean-Paul sartre, Che Guevara, dan Jacques Berque. Ia juga bertemu dengan Henri Bergson dan Albert Camus. Pada tahun 1965, ketika kembali ke Iran, Ali Mazinani ditangkap di Bazarqan (perbatasan Iran-Turki) dan dipenjara 1,5 bulan. Ia dituduh berpartisipasi dalam aktifitas politik ketika sedang belajar di Perancis. Ketika berada di Perancis itu, dia sadar bahwa pemikiran Barat bisa mencerahkan sekaligus memperbudak pemikiran pelajar Iran. Dia melihat adanya proses pembaratan total yang membentuk eropanoid (h. 19). Dari sini muncul pemikirannya dan memetakan inteletual Islam yang meniru dan intelektual Islam sejati. Intelektual sejati mengikuti tradisi Nabi. Perenungannya ini kelak membuatnya berpikir tentang Rausyanfikr (intelektual yang tercerahkan) tercermin dari aktifitasnya di Hussainiah Irshad dan kumpulan tulisan What is To Be Done Periode 1967-1973 adalah periode paling aktif dalam hidup Ali Mazinani. Ia mengajar di Masyhad, Hussainiyah Irshad di Teheran, serta beberapa universitas dan lembaga pendidikan Islam lainnya. Dalam wanktu singkat, ia menjadi populer d kalangan mahasiswa dan meluas ke masyarakat umum. Aktifitasnya yang selalu mempropagandakan perlawanan membuat khawatir Syah Pahlevi. Karena itulah SAVAK menangkap ayah Ali Mazinani dan

memenjarakannya selema lebih dari satu tahun. Pada September 1973, sebulan setelah ayahnya ditahan, Ali Mazinani menyerahkan diri pada polisi rahasia itu, dan ia diganjar 18 bulan penjara. Karena desakan masyarakat Iran dan juga protes dari dunia internasional, pada 20 Maret 1975 Ali Mazinani terpaksa dibebaskan. Ia kemudian diawasi dengan ketat, dilarang menerbitkan buku, dan dilarang berhubungan dengan muridmuridnya. Tetapi secara diam-diam ia tetap memberikan kuliah perlawanan. Menyadari dibatasi, Muhammad Ali Mazinani mengganti nama resminya menjadi Ali Syariati dan meninggalkan Iran pada 16 Mei 1977. Pergantian nama ini dimaksudkan agar ia tidak terdeteksi pihak bandara dan polisi Iran (SAVAK). Lama tidak terlihat, pada 8 Juni 1977 SAVAK mengeluarkan edaran bahwa Ali Mazinani telah meninggalkan Iran secara illegal dengan mengganti nama menjadi Ali Syariati (h. 25). Tanggal 18 Juni, Pouroan, istri Syariati, beserta tiga putrinya hendak menyusul ke London, tetapi tidak dijinkan oleh pihak berwenang. Tetapi Soosan dan Sara, dua anak lainnya dibolehkan. Begitu tiba di Heathrow, Syariati menjemput mereka dan membawa mereka ke sebuah rumah sewaan di daerah Southampton, Inggris. Tetapi keesokan paginya, 19 Juni 1977 Syariati ditemukan tewas di Southampton, Inggris. Pemerintah Iran menyatakan Syariati tewas akibat penyakit jantung, tetapi banyak yang percaya ia dibunuh oleh Polisi rahasia Iran. Sang istri menolak biaya pemakaman dari pemerintah karena tidak ingin terlibat dalam eksploitasi nama suaminya demi kepentingan propaganda Syah Pahlevi. Syariati lalu dimakamkan pada 27 Juni 1977 di Damaskus, Suriah, bersebelahan dengan makam Zainab, cucu nabi dan saudara perempuan Imam ketiga, Husein bin Ali.Innalillahi wainnailaihi rojiun. Kematiannya menjadi mitos Islam Militan. Pada hari ke-40, kematiannya diperingati di sekolah menengah atas Ameliat,

Beirut, dan mirip dengan pertemuan puncak berbagai organisasi pembebasan dari berbagai Negara seperti Lebanon, Pakistan, Iran, Amerika, Kanada, Zimbawe, dan sebagainya. Roh perjuangannya terus mengalir dalam tiap nadi rakyat Iran, masyarakat Arab dan Internasional, menyusup dalam kesewenangwenangan kekuasaan hingga memuncak selama berlangsungnya revolusi Iran Februari 1979. Fotonya mendominasi di jalan-jalan Teheran, berdampingan dengan Ayatullah Khomeini (h. 26). Selamat jalan pejuang kemanusiaan. Seperti yang kau sampaikan, kau tidak hanya mencari dan memperjuangkan manusia, tetapi telah menemukannya bersama Tuhan. Selain Ayatullah Ruhollah Khomeini, Iran juga memiliki tokoh besar yang amat berpengaruh khususnya di kalangan intelektual muda, dalam memobilisasi perlawanan terhadap Syah Iran. Tokoh itu bernama Ali Syariati. Ia merupakan seorang pemikir sosial terkemuka Iran abad ke-20. Di samping juga seorang ahli politik dan ahli syariat. Dilahirkan di Khurasan, Iran, pada 1933, sejak muda Ali Syariati sudah terlibat dalam berbagai organisasi dan gerakan yang menentang kediktatoran Syah Iran. Semangat juang yang mengalir dalam diri Ali Syariati, tak lain diwarisi dari ayahnya, Muhammad Taqi Syariati, yang merupakan seorang pengajar di sekolah lanjutan atas dan ahli dalam ilmu keislaman (Islamologi). Sang ayah juga merupakan pendiri Gerakan Sosialis Penyembah Tuhan, sebuah organisasi yang bergerak di bidang dakwah Islamiah. Pada usia 17 tahun, Ali Syariati telah belajar pada sebuah lembaga pendidikan, Primary Teachers Training College. Masa belajar tersebut dimanfaatkannya untuk mengajar. Pada usia 20 tahun, ia mendirikan organisasi Persatuan Pelajar Islam di Mashad, Iran. Pada tahun 1958 (ketika berusia 25 tahun) ia meraih gelar sarjana muda dalam ilmu bahasa Arab dan Perancis. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya di Sorbonne, Paris, setelah berhasil memenangkan beasiswa

untuk belajar di negara itu. Ia belajar di Perancis sampai meraih gelar doktor pada tahun 1963. Setahun kemudian, ia pulang ke negara kelahirannya. Setibanya di Iran, ia mengawali langkahnya dengan menyampaikan ilmu yang diperolehnya dari berbagai sekolah dan akademi. Kemudian ia mengadakan perjalanan keliling dalam rangka mendirikan Husyaimiah Irsyad, sebuah lembaga pendidikan pengkajian Islam yang kelak menjadi wadah pembinaan kader militan pemudapemuda revolusioner. Karena aktivitas politiknya yang menentang kediktatoran Syah Iran, Ali Syariati mengalami banyak kesulitan dalam hidupnya. Ia sudah harus menjalani kehidupan di belakang terali besi dalam usia muda. Namun, hal tersebut tidak membuatnya mundur sama sekali. Periode kedua tahun 1960-an, Ali Syariati bergabung dengan Universitas Mashad. Kuliah-kuliahnya di masjid kampus ini sangat diminati oleh sejumlah besar mahasiswa. Karena ada kekhawatiran akan meningkatnya pengaruh Ali Syariati, pada tahun 1968 pemerintah Iran memaksanya menjalani masa pensiun pada usia yang relatif masih muda, 35 tahun. Setelah pensiun Ali Syariati giat mengajar di Husyaimiah Irsyad. Aktivitasaktivitasnya di Husyaimiah Irsyad ini dinilai membahayakan penguasa, sehingga lembaga tersebut ditutup oleh pemerintah pada tahun 1972. Walaupun demikian, ia tetap sering berceramah di berbagai perguruan tinggi dan masjid di kota-kota besar Iran. Kuliah-kuliahnya yang simpatik dan berbobot menimbulkan kepercayaan diri bagi jutaan muslimin di Iran. Sejumlah intelektual Islam, para mahasiswa, dan masyarakat Iran tertarik kembali untuk mengkaji Islam yang memberikan potensi besar dalam upaya memberi makna bagi kehidupan pribadi dan nasib bangsa.

Ali Syariati adalah seorang orator luar biasa, lidahnya setajam penanya. Dengan kelihaiannya, kampus dan masjid-masjid di Iran menjadi pusat kegiatan organisasi revolusioner. Ia juga tampil memimpin perlawanan terhadap pemerintahan Syah Iran. Oleh karena aktivitas politiknya, pada tahun 1974, Ali Syariati ditangkap. Ia kemudian menjalani tahanan rumah sampai tahun 1977. Sebagai seorang pemikir sosial, Ali Syariati amat mengagumi prinsip-prinsip sosialisme, menentang sistem kapitalis, dan mendukung pemerintahan nasionalis. Salah satu tokoh sejarah yang disukai dan diklaim sebagai model bagi kehidupannya sendiri adalah Abu Dzar al-Ghifari, sahabat Nabi Muhammad SAW. Abu Dzar merupakan penganjur utama paham kesamarataan dan pembagian kekayaan secara adil. Bagi Syariati, Abu Dzar adalah salah satu contoh prinsip sosialisme yang sejalan dengan agama Islam. Kematian misterius Pada bulan Mei 1977, ia terpaksa meninggalkan Iran menuju Inggris untuk menghindarkan diri dari kejaran penguasa. Namun, rezim Syah tidak mengizinkannya ke luar negeri untuk berbicara serta menulis secara bebas, serta menawan istri dan anak Ali Syariati. Tidak lama setelah itu, tepatnya tanggal 21 Juni 1977, Ali Syariati ditemukan tewas di rumah kerabatnya di Southampton, Inggris. Meskipun berita resmi menyatakan bahwa ia terkena serangan jantung, namun banyak orang percaya bahwa ia diracuni oleh agen rahasia pemerintah Iran. Jenazahnya kemudian dikebumikan di Damaskus, Suriah. Setahun setelah kematian Ali Syariati, Dinasti Pahlevi runtuh dan lahirlah Republik Islam Iran pada 16 Januari 1979. Ia dinilai memainkan peran penting menjelang Revolusi Iran yang dipimpin Ayatullah Ruhollah Khomeini pada tahun 1978, yang melahirkan berdirinya Republika Islam Iran.

Mengagumi Sekaligus Membenci Barat Walaupun kurang menguasai kitab-kitab klasik, namun Ali Syariati mampu menggunakan teori-teori Barat sebagai pijakan bagi kajian doktrin-doktrin keagamaan. Ia berpendapat bahwa para nabi selalu berpihak kepada kaum lemah dalam upaya menghancurkan kekuasaan lalim yang disebut dalam Alquran sebagai mutrafin. Ia menggunakan istilah mustadafin (lemah) sebagai pengganti istilah proletar dalam teori Karl Marx dan istilah mutrafin sebagai pengganti istilah borjuis, meskipun ia menentang paham moralisme. Dalam bukunya Marxisme and Other Western Fallacies (Marxisme dan Kekeliruan Pemikiran Barat Lainnya), Ali Syariati menyatakan bahwa baik Marxisme maupun Islam adalah dua ideologi yang mencakup seluruh dimensi kehidupan dan pemikiran manusia. Ia juga secara tegas mmengatakan bahwa antara Islam dan Marxisme terdapat kontradiksi (pertentangan). Marxisme berdasarkan filsafat materialisme, sedangkan Islam, walaupun melihat dunia materi sebagai kenyataan eksistensial, percaya pada adanya Tuhan dan memiliki konsep yang gaib. Pernyataan yang disampaikan Ali Syariati selalu didukung oleh pendapatpendapat atau teori-teori para pemikir Barat, ayat-ayat Alquran, dan sunah Nabi Muhammad SAW. Meski mengagumi teori para pemikir Barat, namun ia juga membeci Barat. Ia secara terbuka, misalnya, mengakui bahwa proses pendewasaan intelektual yang dilaluinya dibimbing oleh beberapa sarjana Barat. Namun di sisi lain, ia menilai bahwa Barat adalah puncak gunung materialisme dan amoralitas. Sebagai seorang muslim, Ali Syariati percaya Islam sejalan dengan pemikiran yang modern dan progresif. Untuk itu ia mengembangkan sebuah filsafat yang menggabungkan agama dan etika sosialisme.

Dalam karyanya, Eslamshenasi (Islamologi), ia melakukan pembedaan atas Islam, yakni Islam asli dan murni yang menganjurkan agar manusia mengembangkan ilmu pengetahuan, kebebasan, intelektual, dan demokrasi, serta Islam masa kini yang pasif sebagaimana ditawarkan oleh ulama konservatif. Menurutnya, seluruh kaum muslim wajib untuk meneguhkan kembali Islam yang asli. Karena pandangannya ini, ia dimusuhi baik oleh pemerintah Syah maupun ulama konservatif, dan karya-karyanya dilarang beredar. Sebagai penganut paham Syiah, dalam banyak hal ia memegang prinsip-prinsip keyakinan Syiah. Kecuali dalam masalah imamah (pemimpin), ia berbeda pendapat dengan pendapat umum kalangan Syiah. Dalam hal imamah, ia berupaya memadukan teori musyawarah Suni dan wasiat Syiah dalam pengangkatan pemimpin. Ia mencoba menghapus kesan bahwa para khalifah Suni telah merampas hak Ali bin Abi Thalib dalam imamah. Pemikirannya ini didukung dengan teori sosiologi-politik yang memang merupakan keahliannya. Pemikirannya selalu diarahkan untuk menggalang ukhuwah Islamiah

(persaudaraan dalam Islam). Ukhuwah Islamiah ini, menurutnya, dapat dilakukan melalui gagasan solidaritas di kalangan negeri muslim. Di samping ingin menumbuhkan kesatuan di kalangan umat Islam, ia juga bermaksud agar pemikirannya dapat diterima semua pihak, baik yang berpaham Suni maupun Syiah. Dalam pandangannya, tanpa adanya solidaritas di kalangan negeri muslim, maka persatuan dunia Islam tidak akan tercapai. Ceramah-ceramah Ali Syariati yang dibukukan adalah Marxism and Other Western Fallacies, What is To Be Done (Apa yang Harus Dilakukan), On The Sociology of Islam (Sosiologi Islam), al-Ummah wa al-Imamah (Umat dan Kepemimpinan), Intizar Madab-Itiraz (Menunggu Kritik), The Role of Intellectual in Society (Peranan Cendikiawan dalam Masyarakat). dia/taq/berbagai sumber (doc Republika April 2009)

Anda mungkin juga menyukai