Anda di halaman 1dari 7

Perkembangan Aktual Islam Liberal

Dan Perlawanannya di Indonesia


Akmal, ST., M.Pd.I.

Nama Islam liberal praktis mulai dikenal di Indonesia sejak awal tahun 2000-an.
Banyak orang mulai mengenal Islam liberal sejak dimuatnya artikel Ulil Abshar Abdalla 1 di
surat kabar Kompas edisi 18 November 2002. Judul artikel itu sendiri (Menyegarkan
Kembali Pemahaman Islam) memberikan nuansa yang sama dengan judul makalah
Nurcholish Madjid yang disampaikannya di Jl. Menteng Raya no. 58 pada tanggal 2 Januari
1970 (Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat). Dalam
artikelnya itu, Ulil juga menjadikan Nurcholish sebagai rujukan dalam salah satu poin
pentingnya.2 Oleh karena itu, tidaklah heran kiranya jika sebagian orang berpendapat bahwa
substansi pemikiran Islam liberal sebenarnya tidak lebih dari sekedar kelanjutan dari
gagasan-gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid dan beberapa tokoh lainnya.
Lebih lanjut, gagasan-gagasan yang diajukan oleh Nurcholish Madjid pun kerap
dikritisi sebagai tidak orisinil, atau tidak lebih dari modifikasi atas gagasan-gagasan yang
telah ada sebelumnya. Adnin Armas, misalnya, mengkritik gagasan sekularisasi Nurcholish
sebagai pengulangan dari teori-teori Harvey Cox dan Robert N. Bellah. 3 Tokoh pergerakan
Islam senior, Abdi Sumaithi (lebih akrab dikenal dengan nama Abu Ridho), juga telah lama
mengkritik Nurcholish karena mengikuti pemikiran kaum sekularis di Timur Tengah namun
lalai mencantumkan rujukan dalam makalah-makalahnya, antara lain pemikiran-pemikiran
Ahmad Kamal Abu al-Majdi, Muhammad Imarah, Hasan Hanafi, Sakir Luthfi, Muhammad
Khalfullah dan Zaki Najib Muhammad. 4 Sebelumnya, Buya Hamka pun pernah melayangkan
sebuah kritik keras kepada Nurcholish karena mengikuti paham Ali Abdul Raziq yang
sudah banyak dibantah oleh para ulama dunia. 5 Sekedar catatan tambahan, bertahun-tahun
sebelum itu pun, Moh. Natsir telah terlibat polemik seru dengan Soekarno lantaran keinginan
Soekarno untuk mengimplementasikan sekularisme ala Turki di Indonesia, dan juga dengan
mengutip pendapat Ali Abdul Raziq. Pada saat yang bersamaan, Natsir juga menganggap
bahwa Soekarno sebenarnya tidak membaca buku Ali Abdul Raziq, atau hanya memahami
1

Pada saat itu, Ulil Abshar Abdalla adalah Koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL).

Dalam hal ini, Ulil mengutip pendapat Nurcholish yang menyatakan bahwa Is lam adalah nilai generis yang
bisa ditemukan dalam berbagai agama. Dengan kata lain, setiap nilai kebaikan yang ditemukan dalam ajaran
Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, Yahudi, Taoisme, atau agama dan kepercayaan lokal, sejatinya adalah nilai nilai yang Islami pula.
3

Lihat makalah Adnin Armas, Menelusuri Jejak Sekularisasi, yang dijadikan apendiks dalam buku Adian
Husaini, Islam Liberal, Pluralisme Agama & Diabolisme Intelektual, Surabaya: Risalah Gusti, Cet. I, 2005, hlm.
139-165.
4

Lihat artikel Abu Ridho, Hikmah Lain dari Polemik Itu, yang awalnya dimuat di Majalah Media Dakwah edisi
April 1993, kemudian menjadi bagian dari buku Menggugat Gerakan Pembaruan Keagamaan, Jakarta:
Lembaga Studi Informasi Pembangunan, Cet. I, 1995, hlm. 195 -213.
5

Hamka, Studi Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, Cet. III, 1985, hlm. 26-29.

isinya secara umum saja.6 Hal ini menunjukkan bahwa akar pemikiran Islam liberal
sebenarnya telah cukup lama ditumbuhkan di tengah-tengah umat Muslim di Indonesia,
meski seringkali rujukannya yang itu-itu saja.
Gagasan sekularisme di dunia Islam seluruhnya dapat ditarik akarnya kepada warisan
pemikiran Barat. M. Naquib al-Attas, cendekiawan Muslim dari Malaysia, berpendapat
bahwa sekularisme lahir dari pengalaman Barat sendiri yang cenderung traumatis terhadap
sejarahnya dengan agama Kristen. 7 Karena Barat tengah berada di puncak kejayaannya
terutama dalam hal sains di masa kini, maka banyak pemikir Muslim yang latah dan ikutikutan mengadopsi sekularisme dari Barat. Pemikiran yang semacam ini pun sebenarnya
ahistoris, sebab melupakan sejarah bahwa akar peradaban Barat yang kita saksikan sekarang
ini, dari segi ilmu pengetahuan dan rasionalitasnya, sesungguhnya dipelajari dari peradaban
Islam.8 Oleh karena itu, bagi seorang Muslim yang memahami sejarah peradabannya sendiri,
jelaslah bahwa peradaban Islam tidak perlu mengadopsi sekularisme sekedar untuk
menguasai sains, karena sesungguhnya peradaban Islam pernah menjadi kiblat sains dunia
tanpa menjadi sekuler.
Perkembangan Pemikiran dan Gerakan
Sejak artikel Ulil Abshar Abdalla menyedot perhatian umat, nama Jaringan Islam
Liberal (JIL) pun mengemuka, sehingga entitas pemikiran Islam liberal seolah identik dengan
JIL. Beberapa lembaga seperti Freedom Institute, LibForAll Foundation, Wahid Institute,
Maarif Institute, juga mempromosikan gagasan-gagasan yang sejalan dengan JIL. Lembagalembaga pendidikan seperti Universitas Paramadina sejak awal telah dipersepsikan sebagai
penerus gagasan-gagasan Nurcholish Madjid, dan pemikiran ala Harun Nasution (yang
dianggap setali tiga uang dengan Nurcholish) juga sudah terlebih dahulu mendominasi secara
struktural di kampus-kampus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) di seluruh Indonesia.9
Meski demikian, JIL yang jauh lebih muda dianggap sebagai representasi yang
sesungguhnya dan komprehensif atas gagasan Islam liberal itu sendiri.
Selain Harun Nasution dan Nurcholish Madjid, nama-nama seperti Abdurrahman
Wahid dan M. Dawam Rahardjo dianggap sebagai tokoh-tokoh senior yang turut
menyebarluaskan paham Islam liberal. Dari kalangan penggiat JIL, selain Ulil Abshar
Abdalla, juga dikenal nama Nong Darol Mahmada, Zuhairi Misrawi, Luthfi Asysyaukanie,
Saidiman Ahmad, Abd. Moqsith Ghazali dan Guntur Romli. Di antara kalangan akademisi,
yang masih aktif mempropagandakan Islam liberal di perguruan tinggi antara lain Amin
Abdullah (mantan Rektor UIN Yogyakarta) dan Zainun Kamal (Dekan Fakultas Ushuluddin
6

Ajip Rosidi, M. Natsir, Sebuah Biografi, Jilid I, Bandung: Girimukti Pasaka, Cet. I, 1990, hlm. 253-312.

Lihat M. Naquib al -Attas, Latar Belakang Kristen-Barat Kontemporer, dalam ISLAMIA, Vol. III, No. 2, hlm. 1218. Untuk penjelasan yang lebih menyeluruh juga dapat merujuk pada buku al -Attas yang berjudul Islam dan
Sekularisme. Untuk menelusuri secara lebih mendalam proses transisi Barat dari Kristen menuju sekularisme,
lihat Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat.
8
9

Lihat Hamid Fahmy Zarkasyi, Akar Kebudayaan Barat, dalam ISLAMIA, Vol. III, No. 2, hlm. 19-33.

Lihat buku Adian Husaini, Virus Liberalisme di Perguruan Tinggi Islam, yang membahas hegemoni pemikiran
Islam liberal di kampus-kampus IAIN/UIN. Untuk penelusuran lebih lanjut terhadap akar pemikirannya, baca
Adian Husaini, Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi.

UIN Jakarta). Di kalangan pendukung feminisme dan kesetaraan gender, nama Siti Musdah
Mulia kerap dijadikan rujukan.10
Selain mempropagandakan sekularisme dan pluralisme, para pengusung paham Islam
liberal juga aktif menyuarakan feminisme, pembelaan terhadap kaum homoseksual dan
transgender, pluralisme agama dan sebagainya. Dalam menghadapi tantangan dari ajaran
Islam yang komprehensif, kalangan pemikir Islam liberal mengadopsi sepenuhnya
metodologi kaum orientalis dalam mengkaji Al-Quran dan As-Sunnah. Untuk mengkaji AlQuran, misalnya, mereka kerap menggadang-gadangkan metode hermeneutika yang asalnya
dibuat untuk mengkaji Bibel secara kritis, dikarenakan banyaknya problem yang dapat
ditemukan dalam Bibel itu sendiri. 11 Adapun dalam memahami As-Sunnah, Islam liberal
menebarkan keraguan kepada masyarakat Muslim terhadap hadits-hadits Nabi Muhammad
saw dengan mengadopsi pemikiran orientalis seperti Joseph Schacht, misalnya, yang
menganggap bahwa penulisan hadits baru dilakukan pada abad kedua Hijriah. 12
Pengadopsian metodologi kaum orientalis dalam studi Islam telah mendapat kritik
tajam dari para cendekiawan Muslim. Meski seringkali disebut ilmiah, namun studi yang
dilakukan oleh kaum orientalis pada akhirnya tidak bisa melepaskan diri dari subyektivitas
sang penelitinya.13 Tidak jarang, orientalis pun melakukan manipulasi data demi mendukung
teori-teorinya, misalnya untuk mempropagandakan pluralisme agama dengan memanfaatkan
pemikiran Ibn Arabi dan Jalaluddin Rumi. 14
Untuk memasarkan paham pluralisme agama, kalangan Islam liberal di Indonesia
cenderung mencampuradukkan berbagai pandangan yang adakalanya saling bertentangan. 15
Konsep pluralisme ala Filsafat Perennial (Hikmah Abadi) kerap digunakan, karena dianggap
lebih halus dan mudah diterima oleh umat Muslim. Sementara itu, paham Sinkretisme dan
ajaran Teosofi yang telah lama eksis di tanah air juga adakalanya dijadikan rujukan. Dalam
kajian-kajian bernuansa sosiologis, pemikiran Humanisme Sekuler ala William James atau
Teologi Global-nya John Hick juga biasa digunakan. Akibatnya, konsep pluralisme agama
yang dikembangkan di Indonesia seringkali berupa produk tambal sulam. Di samping itu,
karena begitu melekatnya Al-Quran pada pemikiran umat Muslim, pada akhirnya
propaganda pluralisme agama kepada umat Muslim Indonesia pun tidak dapat melepaskan
diri dari Al-Quran, sehingga terpaksa mencari-cari sandaran untuk pluralisme itu dari ayatayat Al-Quran, sebagaimana yang dilakukan oleh Abd. Moqsith Ghazali. 16
10

Sejumlah nama lain dapat dilihat dalam buku Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal di Indonesia.

11

Lihat Adnin Armas, Metodologi Orientalis dalam Studi Al-Quran, dalam ISLAMIA, Vol. II, No. 3, hlm. 19-29.

12

Pendapat Schacht yang semacam ini telah diteliti dan dibantah secara lengkap oleh M. M. al -Azhami dalam
bukunya Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya.
13

Lihat Anis Malik Thoha, Religionswissenschaft, antara Obyektivitas dan Subyektivitas Praktisinya , dalam
ISLAMIA, Vol. III, No. 1, hlm. 13-22.
14

Lihat Syamsuddin Arif, Manipulasi dalam Kajian tentang Sufisme, dalam ISLAMIA, Vol. III, No. 1, hlm. 2331.
15

Untuk memahami berbagai tren pemikiran pluralisme agama, lihat buku Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme
Agama.
16

Lihat disertasi Abd. Moqsith Ghazali yang dibukukan dengan judul Argumen Pluralisme Agama: Membangun
Toleransi Berbasis Al-Quran.

Berbagai sarana dan metode juga digunakan oleh JIL untuk mempropagandakan
pemikiran-pemikirannya, antara lain membentuk sindikasi penulis Islam liberal, menerbitkan
berbagai buku bacaan, melakukan propaganda melalui jaringan Radio Namlapanha di
berbagai kota di seluruh Indonesia, mengelola situs resmi (http://islamlib.com), dan
menyelenggarakan kajian-kajian di berbagai tempat.17 Sementara itu, kampus-kampus
perguruan tinggi seperti IAIN/UIN dan Universitas Paramadina terus melakukan kaderisasi
terhadap para mahasiswa yang diplot untuk menyebarkan paham sekularisme. 18 Sementara
itu, diskusi-diskusi dan pertunjukan kebudayaan yang juga membawa paham liberalisme juga
digelar di Komunitas Salihara. Di ranah hiburan, beberapa sutradara seperti Hanung
Bramantyo kerap diidentikkan sebagai propagandis Islam liberal melalui karya-karyanya
seperti film ? (Tanda Tanya) yang sangat vulgar memasarkan paham pluralisme agama.
Beberapa media massa juga turut berperan dengan menyediakan ruang opini yang sangat luas
bagi para propagandis Islam liberal, antara lain surat kabar Kompas dan majalah Tempo.
Sesepuh majalah Tempo, Goenawan Mohamad, juga seorang kurator di Komunitas Salihara,
bersama dengan Guntur Romli yang juga dikenal sebagai aktivis JIL. Di ranah politik, sejak
2009, beberapa aktivis JIL telah berusaha mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Di
antaranya paling tidak ada tiga nama, yaitu Zuhairi Misrawi (PDIP), Hamid Basyaib (PDIP)
dan Ulil Abshar Abdalla (Demokrat). Melalui media sosial (social media), para penggiat
Islam liberal juga aktif menyebarkan pemikiran-pemikirannya dengan cara yang sangat
mudah dan dapat diakses tanpa batasan oleh generasi muda.
Strategi Perlawanan
Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa usaha-usaha perlawanan terhadap Islam
liberal perlu dirumuskan secara sistematis dan komprehensif. Selain membutuhkan
perencanaan yang matang, perlawanan ini pun harus dievaluasi secara berkala, karena selalu
terbuka kemungkinan untuk melakukan inovasi-inovasi baru. Demikian juga strategi yang
dipaparkan dalam makalah ini dikembangkan dari kondisi aktual di lapangan, dan karenanya,
selalu bisa dievaluasi ulang.
Paling tidak ada tiga elemen umat yang perlu mendapatkan perhatian khusus dan
dilibatkan dalam gerakan perlawanan ini. Ketiga elemen itu adalah: (1) masyarakat awam, (2)
pelajar dan mahasiswa, dan (3) aktivis dakwah di sekolah dan kampus. Masing-masing
elemen umat ini memerlukan penekanan yang berbeda dalam dakwah.
Bagi kalangan masyarakat awam, wawasan seputar ghazwul fikri (perang pemikiran)
sangatlah krusial saat ini, di samping materi-materi lainnya yang umumnya mudah
didapatkan dari berbagai forum kajian. Pengetahuan tentang ghazwul fikri, meskipun tidak
mendalam, setidaknya mampu menyadarkan masyarakat akan keberadaan paham-paham
yang menyimpangkan ajaran Islam. Sehubungan dengan hal ini, masyarakat juga perlu
disadarkan akan kewajibannya untuk menjaga anggota keluarganya masing-masing dari
penyimpangan semacam itu. Untuk menopang pemahaman itu, maka kajian-kajian seputar
pengasuhan anak (parenting) menjadi sangat penting, sebab keluarga adalah benteng terakhir
17
18

Program JIL, http://islamlib.com/?site=1&cat=page-program, 30 Mei 2014.

Tentang perubahan paradigma di kampus -kampus IAIN/UIN sehingga lebih condong pada metodologi studi
Barat, lihat Adian Husaini, IAIN, Dulu dan Sekarang, dalam ISLAMIA, Vol. III, No. 3, hlm. 54-64.

yang mampu menjaga generasi muda Muslim dari pemikiran-pemikiran menyimpang.


Penyimpangan-penyimpangan seperti homoseksualitas dan transgender juga kerap dapat
dilacak akarnya dari permasalahan keluarga dan pola pengasuhan.
Kepada kelompok pelajar dan mahasiswa, penguatan dasar-dasar agama perlu terus
dilakukan untuk menutupi kelemahan kurikulum dan mengimbangi masifnya serangan dari
lingkungan dan media. Pengajaran agama Islam yang hanya dua jam pelajaran setiap
pekannya tentu tidak bisa dianggap cukup, jika kita memaknai Islam sebagai sistem ajaran
yang komprehensif dan mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Penambahan materi
dengan pola mentoring yang biasa dilakukan di sekolah dan kampus adalah solusi yang baik,
namun masih memerlukan dukungan yang solid dari kalangan pendidik dan pengelola
sekolah/kampus. Selain itu, wawasan seputar ghazwul fikri menjadi lebih urgen lagi, karena
umumnya serangan pemikiran menyasar generasi muda, terutama melalui media dan hiburan.
Topik lain yang perlu mendapatkan penekanan adalah seputar adab keilmuan. Kajian seputar
topik ini sangat penting untuk mencegah generasi muda Muslim mengambil ilmu dari
sumber-sumber yang keliru.
Kelompok terakhir, yaitu para aktivis dakwah di sekolah dan kampus, adalah elemen
yang teramat penting jika tidak dikatakan yang terpenting dalam gerakan yang sedang
dikaji ini. Selain karena faktor usia muda mereka, posisi mereka juga menjadi sangat
strategis, karena mereka menjadi ujung tombak dakwah, namun pada saat yang bersamaan
juga menjadi sasaran serangan pemikiran yang dilancarkan oleh berbagai pihak. Jika
lembaga-lembaga dakwah di sekolah dan kampus berhasil meletakkan basis pemikiran
keislaman mereka dengan benar, maka kaderisasi dakwah akan berjalan dengan mulus.
Sebaliknya, jika para aktivis dakwah di sekolah dan kampus justru terinfiltrasi pemikiranpemikiran menyimpang, maka kita akan menyaksikan berbagai kekacauan terjadi di masa
depan.
Bagi kalangan aktivis dakwah ini, berbagai wawasan keislaman yang sudah dimiliki
harus dilengkapi dengan kajian mendalam seputar konsep the worldview of Islam. Dengan
mempelajari worldview dengan benar, maka mereka akan memahami di mana letak
perbedaan fundamental antara Islam dengan agama-agama lainnya, dan pengetahuan ini
menjadi modal yang sangat penting bagi mereka untuk berada di barisan terdepan dalam
ghazwul fikri. Untuk memperoleh kemampuan ini, kajian-kajian singkat tidak lagi
mencukupi. Sebaliknya, perlu digagas proses kaderisasi yang serius terhadap para aktivis
dakwah secara terarah, terukur dan berkala. Hal lainnya yang mesti mendapatkan perhatian
besar adalah menumbuhkan tradisi literasi di kalangan para aktivis dakwah. Oleh karena
ghazwul fikri hanya bisa dimenangkan dengan kekuatan pemikiran, maka kelemahan dalam
membaca, menulis dan berbicara tidak lagi dapat ditolerir bagi para dai ini. Karena
kurikulum pendidikan dasar di Indonesia nampaknya belum memberikan perhatian yang
cukup dalam bidang ini, maka kajian-kajian dan pelatihan khusus seputar topik ini perlu
dilakukan di sekolah-sekolah dan kampus-kampus.
Berdasarkan bidang-bidang garapannya, paling tidak ada tiga wilayah yang perlu
mendapat perhatian saat ini, yaitu: (1) media massa, (2) pendidikan, dan (3) politik. Bidang
media massa perlu mendapat sorotan, baik elemen jurnalistiknya maupun hiburannya.
Sebagaimana kaum sekuler secara masif melancarkan serangan terhadap Islam dengan
berbagai teknik distorsi informasi di media massa, para dai pun mesti memanfaatkan media

sebisanya
untuk
memberikan
informasi-informasi
pembanding,
atau
setidaknya
memperingatkan masyarakat akan bahaya agenda terselubung di balik berbagai pemberitaan.
Aspek hiburan, yang sangat mendominasi media televisi di Indonesia, perlu mendapatkan
pengawasan intensif dari lembaga-lembaga dakwah karena memiliki kemampuan untuk
menanamkan nilai-nilai tertentu dengan cara yang sangat halus.
Bidang pendidikan perlu menjadi perhatian bersama. Di satu sisi, porsi pendidikan
agama yang sangat minim dan kualitas pengajarannya di sekolah dan kampus dapat
berkontribusi melemahkan generasi muda Muslim saat ini. Di sisi lain, padatnya porsi
pendidikan mata pelajaran lain juga tidak kalah pentingnya untuk diwaspadai, karena telah
terbukti banyak mengakibatkan ketidakseimbangan dalam jiwa siswa/mahasiswa. Lembagalembaga atau individu-individu yang berkompeten dalam hal ini memiliki kewajiban untuk
terus mengkritisi pola pendidikan di tanah air. Selain itu, lembaga-lembaga pemikiran seperti
INSISTS, Institut Pemikiran & Peradaban Islam Surabaya (InPAS), Institut Pemikiran Islam
& Pembangunan Insan (PIMPIN) dan Pusat Studi Peradaban Islam (PSPI) juga menjadi
ujung tombak dalam menggaungkan wacana Islamisasi ilmu pengetahuan.
Pergerakan Islam liberal di ranah politik juga perlu mendapat respon yang seimbang
dari kalangan politisi Muslim. Meskipun ada perdebatan yang sangat tajam seputar masalah
demokrasi di kalangan umat, namun tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan politik di
tanah air memberikan pengaruh yang luas pada aspek sosial, pendidikan, dan tentunya juga
dalam hal penyusunan undang-undang yang mempengaruhi kehidupan seluruh rakyat
Indonesia.
Perlawanan dari Akar Rumput
Kehadiran propaganda yang menyerang Islam Islam liberal di media sosial, pada
gilirannya, juga memunculkan berbagai bentuk perlawanan dari para pengguna media sosial
yang didominasi oleh para pemuda. Sejak beberapa tahun terakhir, kita telah menyaksikan
berbagai gerakan dakwah yang lahir dari media sosial. Sebagian di antaranya justru dimotori
oleh para pemuda yang tergolong awam atau yang sebelumnya tidak memiliki latar
belakang sebagai aktivis dakwah.
Sementara kalangan liberalis secara vulgar mempropagandakan tidak wajibnya
berhijab, telah muncul pula gerakan Peduli Jilbab yang mengajak para Muslimah untuk
segera menunaikan kewajibannya dalam berhijab. Ada pula komunitas Hijabographic yang
merupakan komunitas kreatif Muslimah yang berdakwah dengan berbagai kreasinya. Meski
tidak secara langsung berhadapan dengan serangan pemikiran, namun komunitas-komunitas
seperti One Day One Juz (ODOJ) dan Sedekah Harian juga memberikan kontribusi positif
dalam membentengi generasi muda Muslim Indonesia.
Di antara komunitas-komunitas tersebut, ada pula yang secara khusus berhadapan
dengan JIL, yaitu gerakan #IndonesiaTanpaJIL (ITJ). Gerakan yang eksis sejak 2012 yang
lalu ini telah hadir di berbagai kota secara mandiri. ITJ juga sudah menggerakkan perlawanan
hingga ke sekolah-sekolah dan kampus-kampus, bahkan secara resmi juga sudah didirikan
oleh para aktivis dakwah di dua kampus UIN, yaitu UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, dan
UIN Sunan Gunung Djati, Bandung.
Pola gerakan perlawanan dari akar rumput ini terbukti sangat efektif dan mampu
menimbulkan kekhawatiran di kalangan Islam liberal. Dengan adanya gerakan semacam ini,

kalangan cendekiawan dapat berbagi beban dan tidak perlu bergerak sendirian. Selain itu,
penetrasi pemikiran dapat dilakukan dengan lebih baik karena dapat menyentuh seluruh
lapisan masyarakat. Dengan mengajak setiap elemen umat untuk terlibat aktif, dengan
sendirinya berbagai potensi yang tersembunyi akan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan
dakwah.

Anda mungkin juga menyukai