Anda di halaman 1dari 11

Pemikiran Politik Ali Abdul Al-Raziq serta Relevansinya di

Indonesia
Arcy Nur Faizy
IAIN Kudus, Kudus, Indonesia
nf.arcy30@gmail.com

Pendahuluan (Introduction)
Abad ke-19, merupakan sebuah abada dimana dimulainya peradaban baru yang
berdampak pada perkembangan sains serta teknologi. Hal ini membuat perubahan pada
kehidupan manusia. Seperti pada sektor ekonomi, politik, sosial, filsafat dan agama. Salah
satu negara yang terdampak dari adanya perubahan ini adalah Mesir, dimana Mesir
menjadi negara pertama yang mengalami penetrasi dari pemikiran Barat khususnya oleh
Perancis yang dikomandoi oleh Napoleon Bonaparte. Salah satu dari tujuannya yaitu
menyadarkan umat Islam bahwa akan terjadi peradaban baru. Perubahan yang
fundamentalnya adalah hal pemisahan antara agama, kebudayaan dan politik, biasa
disebut dengan Liberalisme. Perubahan ini kemudian berujung pada pembubaran rezim
Turki Utsmani yang dilakukan oleh Kemal Ataturk. Perubahan tersebut kemudian ada
yang menerima dan juga ada yang menolak. Salah satu yang menolak dari gagasan
pemisahan agama dengan negara adalah Ali Abdul Al-Raziq. Dalam pembaharuan Mesir,
Ali Abdul Al-Raziq merupakan salah satu tokoh yang penting. Pemikirannya mempunyai
pengaruh luas di dunia Islam. Pemikirannya juga dianggap baru dan saat ini masih
dianggap relevan. Akan teteapi ide pemikiran beliau dianggap berseberangan dan radikal
menurut Ulama’ Al-Azhar. Al-Raziq sendiri merupakan anggota dari korps ulama’ Al-
Azhar. Dari ketidaksesuaian dengan para Ulama’ Al-Azhar membuat Al-Raziq kemudian
dipecat dari korps Ulama’ tersebut.
Ide-Ide Ali Abdul Al-Raziq mendapat pertentangan dari banyak kalangan, terutama
dari para Pembaharu Islam. Ide beliau ini tertuang dalam bukunya yang berjudul Al-Islām
Wa Ushl Al-Hukm yang diterbitkan pada tahun 1925. Dalam buku tersebut tertuang ide-
ide baliau mengenai sekularisme, yaitu pemisahan antara agama dan negara. Pemikiran
Al-Raziq sendiri dipengaruhi oleh anggota keluarga yang memiliki hubungan erat dengan
orang Inggris dan keadaan pada masa itu dimana kondisi politik sedang terjadi Perang
Dunia I pada bulan Juli 1914. Islam sendiri berkembang pesat. Salah satu yang menjadi
perbincangan yang hangat sampai saat ini adalah tentang menguatnya konsep sistem
politik Islam khusunya mengenai pencarian konsep nagara. Masalah ini kemudian
menjadi kompleks karena konsep negara-bangsa dari Barat kemudian mempengaruhi
praktik di lngkungan Islam.
Mempelajari materi Khilafah sangat penting sebagai bahan untuk menemukan
alternatif modern teori politik Islam sesuai perkembangan zaman. Masalah kekhalifahan
utama dan mendasar yang dibahas Ali Abdul Al-Raziq dalam bukunya adalah jawaban
atas pertanyaan: apakah Sistem khilāfah termasuk dasar Pemerintahan dalam Islam?
Menurut beliau, pernyataan bahwa mendirikan khilafah itu tidak wajib, telah membawa
konsekuensi mendasar tentang ap aitu Islam (Gibb, 1974). Apakah Islam itu Agama saja
atau Agama dan Dunia? Apakah dalam Islam ada pemisahan antara Agama dan Negara?
Al-Raziq berpendapat bahwa pemerintah didasarkan pada kebutuhan dan
pertimbangan, sehingga ia percaya bahwa agama dan politik atau negara harus
dipisahkan, dan oleh karena itu buku yang ditulisnya bertentangan dengan para pemikir
politik Islam lainnya. Salah satunya pada sistem Khilafah. Menurutnya Islam tidak
mengajarkan tentang politik. Baginya, khilafah hanyalah sebuah sistem buatan manusia
yang sesuai dengan zamannya. Maka pada masa Al-Raziq, ia menolak sistem
pemerintahan yang berbentuk Khilafah karena dianggap tidak penting pada waktu itu
(Busroh, 1990). Islam tidak mengajarkan bentuk-bentuk pemerintahan yang harus diikuti
oleh pemerintah. Karena sesuatu yang sentral dalam agama adalah kepercayaan (belief)
dan negara bukanlah tempat untuk membentuk keyakinan agama.
Sejak berdirinya NKRI, keberagaman merupakan kekayaan negara Indonesia yang
harus diakui, diterima dan dihormati. Kemerdekaan Indonesia dicapai dengan kerja keras
rakyat Indonesia. Oleh karena itu, kemandirian sosial-manusia tidak akan pernah tercapai
tanpa adanya kesadaran politik rakyat. Menumbuhkan ideologi perlawanan terhadap
penjajah sebagai tuntutan kemerdekaan merupakan pekerjaan pertama yang harus
dilakukan untuk mencapai kemerdekaan yang diinginkan. Peran ulama dan cendekiawan
muslim dalam mencapai kemerdekaan sudah mengakar pada tahap awal perjuangan
kemerdekaan. Seperti H. Samanhudi yang mendirikan Serikat Dagang Islam pada 16
Oktober 1905 dan berubah menjadi Serikat islam (SI) pada 11 November 1912 (Karim,
2007).
Pancasila sebagai ideologi negara harus dipahami bersama secara publik, sehingga
dapat menjawab tantangan Indonesia. Menerapkan Pancasila sebagai dasar falsafah
negara secara murni dan konsisten merupakan sifat dasar, isi dasar dan tujuan khas Orde
Baru, yang memiliki peran komprehensif dan menentukan dalam pengambilan keputusan
yang tepat.
Berdasarkan rangkaian penjelasan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa
gagasan politik Ali Abdul Al-Raziq adalah memisahkan agama dan negara serta menolak
model pemerintahan khilafah. Di sisi lain, Indonesia menetapkan Pancasila sebagai
ideologi nasional penyelenggaraan sistem pemerintahan negara. Melihat dari dua
perspektif tersebut maka di antara pemikiran politik Ali Abdul Al-Raziq memiliki
relevansi terhadap sistem pemerintahan yang ada di Indonesia. Oleh karena itu, untuk
lebih mendalami perdebatan ini, menarik untuk mengkaji topik ini. Dari latar belakang
dan penjelasan diatas, maka dapat ditarik beberapa pokok permasalahan serta tujuan dari
penulisan artikel ini adalah sbagai berikut: (1)

Literature Review
Sekularisme
Topik sekularisme sering muncul dalam diskusi ilmu sosial. Apalagi jika menyangkut
masalah politik dan agama. Sekularisme merupakan perpaduan kata sekular dan isme.
Kata secular dalam bahasa Inggirs berasal dari bahasa Latin saeculum yang bermakna
“this present age” (Zaman sekarang). Pada dasarnya kata saeculum yang memiliki
padanan istilah dengan mundus dalam bahasa latin mempunyai dua pengertian yaitu
tempat (world) dan waktu (time). Imbuhan isme sendiri pada akhir kata bermakna ajaran,
aliran atau paham. Jadi saeculum bermakna ‘zaman kini’ atau ‘masa kini’, dan zaman ini
merujuk kepada peristiwa di dunia ini, dan itu juga berarti ‘peristiwa-peristiwa masa
kini’(Ma’sa, 2020). Mengutip dari republika.co.id, sekularisme adalah aliran atau sistem
ajaran dan praktik yang bahwa persoalan agama (bumi/langit) harus benar-benar
dipisahkan dari persoalan kebangsaan (duniawi). Sedangkan menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI), sekularisme sendiri adalah paham atau pandangan bahwa
moralitas tidak boleh didasarkan pada ajaran agama. Ada juga konsep sekularisasi yang
berarti proses pemutusan ikatan agama. Sekularisasi adalah sebuah kulturalisme
(pemahaman atau sekte) yang secara sadar mengarahkan (memfokuskan) perhatian hanya
pada hal-hal sekuler, dan bahwa berbagai aspek kehidupan dan penghidupan manusia
dipandang sebagai manifestasi agama dan tuhan, merupakan upaya sadar untuk
memisahkan peran dan mengesampingkannya (Maududi & Al-Rizq, 2016).

Ideologi Negara
Menurut Prof. Miriam Budihardjo, negara merupakan organisasi yang ada di dalam
suatu wilayah yang dapat memaksakan kekuasaannya yang sah terhadap semua golongan
kekuasaan yang berada di dalamnya dan dapat menetapkan berbagai tujuan dari
kehidupan tersebut. Sedangkan pengertian negara menurut Gettel, negara adalah sebuah
komunitas berbagai oknum yang secara permanen mendiami suatu wilayah tertentu,
menuntut secara sah akan kemerdekaan diri dari pihak luar serta memiliki sebuah
organisasi pemerintah serta hukum yang berjalan secara menyeluruh di dalam sebuah
lingkungan (Andrew, n.d.).
Ideologi sendiri berasal dari bahasa Yunani yang diambil dari dua kata, idea dan logos.
Idea berarti ide, gagasan, buah pikir, atau konsep. Sedangkan logos berarti hasil
pemikiran. Jadi berdasarkan bahasa, ideologi adalah ilmu yang mencakup ilmu kajian asal
mula, juga hakikat buah pikir atau gagasan. ideologi merupakan hasil pemikiran yang
isinya mencakup nilai-nilai tertentu demi mencapai sebuah tujuan tertentu yang ingin
dicapai. Ideologi disebut juga sebagai identitas dari sebuah negara. Karena ideologi
sebenarnya memiliki fungsi yang sangat penting untuk sebuah negara, dimana ideologi
digunakan sebagai sebuah hal yang memperkuat identitas sebuah masyarakat negara.

Methods
Metode yang digunakan untuk penulisan jurnal ini adalah metode penelitian kualitatif
dengan studi literatur yang bersifat deskriptif. Dimana studi literatur adalah salah satu
cara untuk menyelesaikan persoalan yang ada dengan cara menelusuri sumber-sumber
tulisan entah itu buku atau artikel lain yang pernah dibuat sebelumnya. Dengan kata lain,
istilah studi literatur ini bisa dikenal dengan studi pustaka. Teknik pengumpulan data data
menggunakan studi kepustakaan yang berasal dari baik itu dari buku, artikel, jurnal,
internet, serta sumber yang terpercaya lainnya yang relevan untuk mendapatkan sumber.

Results
Biografi Ali Abdul Al-Raziq
Nama lengkap Ali Abd Al-Raziq adalah syeikh Ali Abdul Al-Raziq putra dari Abdul
Raziq Pasha. Keluarganya tinggal di as-Sa’id yang termasuk wilayah Al-Mania (Mesir).
Keluarganya memiliki tanah- tanah pertanian yang sangat luas atau dengan istilah lain
disebut keluarga feodal. Beliau lahir di Mesir pada tahun 1888 dan wafat tahun 1966 di
tempat yang sama. Ayahnya, Hasan Abdul Raziq Pasya, seorang pembesar yang
terpandang di daerahnya dan terjun dalam kegiatan politik dengan menjadi wakil ketua
Hizb al-Ummah (Partai Rakyat) tahun 1907, yaitu sebuah partai yang dibentuk sebagai
tandingan Hizb al-Wathani (Partai Kebangsaan). Langkah Hasan Abdul Raziq ini
dilanjutkan oleh anggota keluarganya dalam memimpin partai tersebut.
Pada awalnya, Ali Abdul Raziq memperoleh pendidikan formalnya di al-Azhar dan
memperoleh ijazah al-Alimiyah, 1911. Di samping belajar agama di al-Azhar, ia juga
pernah mengikuti kuliah di bidang sastra Arab selama dua tahun di Universitas Cairo dari
Prof. Mallino (ahli sastra dan syair Arab) dan sejarah filsafat dari Prof. Santilana
(sejarawan dan filosof), kemudian ia belajar ilmu kalam dan peradilan dari Syeikh Ahmad
Abu Khatwah (sahabat Muhammad Abduh dan murid al-Afghani). Pada tahun 1912, ia
sempat mengabdikan diri di al-Azhar sebagai tenaga pengajar dalam bidang retorika
selama beberapa bulan.
Tahun berikutnya, Ali Abdul Raziq berangkat ke Inggris untuk mempelajari politik
dan ekonomi. Akan tetapi, ternyata ia tidak sempat belajar di sana dan seiring dengan
pecahnya perang dunia I, ia pun kembali ke Mesir, 1914. Pada tahun 1915, ia ditunjuk
sebagai hakim syari’ah dan di saat ia menduduki jabatan ini di al-Manshuriah setelah
sepuluh tahun, terbitlah bukunya yang terkenal al-Islam wa Ushul al-Hukm, tahun 1925.
Peristiwa paling penting yang terjadi dalam hidupnya sehingga namanya demikian
termasyhur adalah penerbitan bukunya tersebut. Buku inilah kemudian yang
menimbulkan kontroversi terhadap dirinya, sehingga membuatnya lebih masyhur dari
sebelumnya. Dalam pendahuluan buku itu dikemukakan bahwa ia telah menghabiskan
waktu beberapa tahun untuk menyusunnya, dan karyanya itu baru rampung pada awal
April 1925. Begitu buku itu terbit dan dibaca oleh para ulama dan pembaca lainnya, serta-
merta mendapat tanggapan dan bantahan keras. Hal ini disebabkan karena buku tersebut
berkaitan dengan persoalan yang saat itu menjadi perbincangan masyarakat Mesir,
seluruh negeri Arab dan dunia Islam, yakni masalah khilafah (pemerintahan) (Syalafiyah
et al., 2019).
Adapun karya-karya beliau yang paling terkenal dan bahkan kontroversial sampai
beliau dipecat dari jabatannya diantaranya adalah Al-Islâm wa Ushûl al-Hukm: Ba‟ts fî
Al-Khilâfah wa Al-Hukûmah fî Al- Islâm (Islam dan Prinsip-prinsip Pemerintahan), serta
Min Atsâr Musthâfâ „Abd Al-Râziq dan Al-Ijmâ‟ fî Al-yarîah Al- Islâmiyah (Pemikiran
et al., 2017).

Pemikiran Politik Ali Abdul Al-Raziq


Ali Abdul Al Raziq sendiri ketika mengemukakan pendapatnya mendapat pengaruh
dari barat karena beliah terpengaruh oleh Muhammad Abduh yang cenderung ke arah
nasionalisme dan sekulerisme. Al-Raziq juga berdasarkan riwayat hidupnya, mengenyam
pendidikan Barat. Program sekularisme dari Barat terutama mengenai penghapusan
sistem kekhalifahan dalam Islam merupakan ide Al-Raziq yang spektakuler dalam sejarah
modernisme Mesir. Dalam buku Al-Raziq, ia tidak secara sistematis menjelaskan
pengertian negara, struktur kekuasaan, bentuk negara dan negara ideal. Namun ada
beberapa hal penting yang dapat dipahami dari buku yang ditulis oleh Ali, yaitu: Ali
Abdul Raziq tidak memberikan definisi negara secara spesifik, ia mengungkapkan negara
hanya secara global, tidak secara detail atau hanya secara universal. Menurutnya, di
negara yang peduli agama, agama penting bagi negara, yang menarik bukan hanya hal
sekuler. Artinya negara memiliki kepentingan terhadap agama, jelas agama berguna bagi
negara, dan agama juga penting dalam negara yang kuat yang memperkuat agama. Di sini
dipahami bahwa ia memisahkan agama dan negara. Namun keduanya saling
membutuhkan (Putra, 2020). Ali Abdul Al-Raziq berpendapat bahwa, bentuk negara yang
tepat yaitu republik karena republik lebih cocok disamping beliau pernah mendirikan
partai-partai politik dan lebih cenderung pada liberalisme atau sekulerisme. Prinsip dasar
kekuasaan Negara menurut Ali Abdul Al-Raziq adalah demokrasi karena masyarakat
yang akan memilih pemimpin mereka dan kekuasaanya ada di tangan rakyat bukan di
tangan Tuhan (Nelli, 2014). Negara yang ideal menurut Ali ialah negara yang berasaskan
humanisme universal yang memperjuangkan rakyatnya, demokrasi dan keadilan sosial,
yaitu negara sekuler bagi kaum muslimin dan nonmuslim yang hidup di negara itu.
Negara yang berasaskan humanisme universal dan sistem demokrasi ditunjang oleh
rakyat yang berdaulat dalam rangka mencapai kemajuan dan keadilan sosial tanpa
melibatkan agama. Secara umum intisari pemikiran Al-Raziq menjelaskan empat hal
penting tentang pemikiran sekulernya, yaitu (1) Nabi tidak membangun negara melalui
otoritas spiritualnya; (2) Islam tidak menetapkan sistem pemerintahan yang definitif; (3)
Tipologi pemerintahan yang dibangun setelah wafatnya Nabi, tidaklah memiliki dasar-
dasar dalam nash melainkan hanya upaya pembenaran dari praktik kerajaan yang
berlangsung ketika itu; (4) Akibatnya, sistem khilafah telah menjadi tipuan bagi sebagian
besar persoalan-persoalan dunia Islam karena dalam realitasnya telah menjadi pendukung
tirani di negara-negara Islam (Bin Mawazi, 2021).
Kemudian pemikiran selanjutnya mengenai masalah khilafah. Untuk menjelaskan
tanggapannya tentang khilafah, Ali Abdul Raziq menulis tiga buku yang isinya berkaitan
satu dengan lainnya. Buku pertama berjudul Khilafah dan Islam, isinya membahas
tentang pengertian khilafah dan tipologinya, hukum kekhalifahan, dan tinjauan sosiologis
mengenai khilafah. Buku kedua berjudul Pemerintahan dan Islam, berisi tentang sistem
pemerintahan periode Nabi, risalah pemerintahan, dan perbedaaan risalah pemerintahan,
serta perbedaaan antara agama dan Negara. Sedangkan buku yang ketiga berjudul
Khilafah dan Pemerintahan dalam Islam, isinya menjelaskan tentang asal usul istilah
khilafah dalam Islam. Ali Abdul Al-Raziq berpendapat bahwa Islam tidak ada
hubungannya sama sekali dengan kekhalifahan dan lembaga khalifah atau yang disebut
dengan khilafah. Latar belakang penolakannya terhadap khilafah adalah beliau tidak
menemukan satupun ayat Al-Qur’an yang membahas mengenai wajibnya mendirikan
khilafah. Begitu juga dengan Hadis, beliau tidak menemukan satu haditspun yang
membahas tentang perintah mendirikan khilafah. Selain itu, tak ada seorang ulama pun
yang pernah mencoba mengemukakan suatu dalil wajibnya mendirikan khilafah tersebut
berdasarkan dalil ayat Al-Qur’an. Ia mempertanyakan tentang dasar anggapan bahwa
mendirikan pemerintahan dengan pola khilafah itu merupakan suatu keharusan (agama),
dan akhirnya dikemukakan bahwa baik dari segi agama maupun dari segi rasio, pola
pemerintahan khilafah itu tidak perlu (Siregar, 2018). Ketentuan-ketentuan yang
ditetapkan oleh Nabi hanya menyangkut aspek-aspek keagamaan, seperti shalat, puasa,
dan sebagainya. Kekhalifahan sendiri merupakan produk sejarah, sebuah institusi
manusiawi ketimbang Ilahi, suatu bentukan temporer, dan karenanya, sebuah jabatan
yang sepenuhnya politis tanpa tujuan atau fungsi agama. Menurut Al-Raziq, kekhalifahan
selamanya hanya merupakan bencana bagi umat Islam. Ia selalu melahirkan kejahatan
dan kebobrokan. Dengan menyingkap fakta sejarah sepanjang sejarah kekhalifahan
Islam, secara tegas Ali Abdul Raziq menyatakan bahwa persoalan agama dan kehidupan
dunia kita, sama sekali tidak mengandung keharusan yang bersifat teologis ditegakkannya
institusi khilafah (Yusuf, 2017).
Relevansi Pemikiran Politik Ali Abdul Al-Raziq di Indonesia
Negara Indonesia adalah negara yang majemuk sehingga dalam sistem kenegaraanya
menganggunakan Negara kesatuan. Negara kesatuan adalah negara yang pemerintahan
tertingginya dilakukan oleh pemerintah pusat yang memberlakukan aturan berdasarkan
undang-undang yang berlaku. Pemerintah pusat juga berhak melimpahkan kekuasaanya
ke daerah-daerah yang tingkatnya lebih kecil seperti provinsi dan kabupaten/kota. Dalam
hal ini Pancasila merupakan ideologi yang masuk ke dalam kelompok negara damai yang
harus dijalankan, karena syari’ah dalam bentuk hukum/fiqh atau etika masyarakat masih
dilaksanakan oleh kaum Muslim di dalamnya, sekalipun hal itu tidak diikuti dengan
upaya legislasi dalam bentuk undang-undang negara, karena Indonesia bukan negara
Islam. Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945
adalah sejalan dengan ajaran Islam karena nilai-nilainya dibenarkan oleh ajaran Islam,
oleh karena itu kaum muslim dapat menerima Pancasila dan UUD 1945. Secara
substansial ada beberapa aspek dari pemikiran Al-Raziq yang perlu mendapat tempat
untuk dielaborasi dan direkonstruksi untuk kepentingan studi politik Islam kontemporer.
Sekularisasi memang berbahaya bagi eksistensi sebuah agama, terlebih Islam. Tetapi, sisi
sekularisasi yang perlu dipertimbangkan adalah bahwa sekularisasi menjamin sebuah
kekuasaan yang tegak diatas kepentingan agama apapun, dan pada titik inilah pemikiran
Al-Raziq menemukan relevansinya dalam konteks kehidupan yang pluralistik seperti
Indonesia yang sudah sejak berdiri mempunyai filosofi Pancasila (Putra, 2019). Pancasila
sebagai landasan utama untuk mempersatukan berbagai kelompok agama karena
berfungsi sebagai wadah untuk aspirasi agama. Agama sendiri merupakan landasan
keimanan warga. Pancasila memperlakukan agama sama. Agama berkepentingan untuk
memantapkan perannya dalam pengamalan ideologi nasional (Pancasila), sebaliknya, di
dalam negara Pancasila agama dapat dihayati dan diamalkan secara lebih baik. Dari sifat
hubungan antara negara dengan agama ini negara Pancasila menciptakan keseimbangan
antara faham negara agama (Islam) dan faham negara sekuler. Indonesia memang bukan
negara Islam, tetapi ia memberi peluang untuk diamalkannya ajaran Islam oleh pemeluk-
pemeluknya seperti halnya peluang yang sama diberikan kepada pemeluk agama-agama
lain. Dengan demikian, jelaslah bahwa ideologi sekularisme tidak cocok jika
diterapkankan di negara Indonesia. Pemerintahan di Indonesia lebih condong pada aliran
simbiotisme yang memandang bahwa agama dan negara itu saling bertimbal balik dan
saling membutuhkan satu sama lain. Indonesia memang bukan negara Islam walaupun
mayoritas penduduknya adalah muslim. Indonesia mempunyai beraneka ragam pemeluk
agama lain selain Islam, namun Indonesia juga bukan negara sekuler yang memisahkan
urusan agama dengan urusan negara.

Discussion
Berdasarkan dari pemaparan di atas, Ali Abd al-Raziq termasuk pemikir politik Islam
yang paling kontroversial pada zamannya. Paham dan pendapatnya sangat bertentangan
dengan para alim ulama al-Azhar dan umat Islam lainya khususnya tentang Khilafah dan
Negara. Menurut Al-Raziq negara memiliki kepentingan terhadap agama, jelas agama
berguna bagi negara, dan agama juga penting dalam negara yang kuat yang memperkuat
agama. Ia memisahkan agama dan negara. Namun keduanya saling membutuhkan.
Bentuk negara yang tepat yaitu republik. Prinsip dasar kekuasaan Negara menurut Ali
Abdul Al-Raziq adalah demokrasi dan negara yang ideal menurut Al-Raziq ialah negara
yang berasaskan humanisme universal. Ali Abdul Al-Raziq berpendapat bahwa Islam
tidak ada hubungannya sama sekali dengan kekhalifahan dan lembaga khalifah atau yang
disebut dengan khilafah. Latar belakang penolakannya terhadap khilafah adalah beliau
tidak menemukan satupun ayat Al-Qur’an dan hadist. Beliau tidak menemukan satu hadits
yang membahas tentang perintah mendirikan khilafah. Selain itu, tak ada seorang ulama
pun yang pernah mencoba mengemukakan suatu dalil wajibnya mendirikan khilafah
tersebut berdasarkan dalil ayat Al-Qur’an.

Conclusion
Dengan melihat pemaparan di atas, jelaslah bahwa ideologi sekularisme tidak cocok
jika diterapkankan di negara Indonesia. Pemerintahan di Indonesia lebih condong pada
aliran simbiotisme yang memandang bahwa agama dan negara itu saling bertimbal balik
dan saling membutuhkan satu sama lain. Indonesia memang bukan negara Islam
walaupun mayoritas penduduknya adalah muslim. Indonesia mempunyai beraneka ragam
pemeluk agama lain selain Islam, namun Indonesia juga bukan negara sekuler yang
memisahkan urusan agama dengan urusan negara.
Daftar Pustaka
Bin Mawazi, A. R. (2021). Sistem Negara dalam Pemikiran Ali Abdur
Raziq. TASAMUH: Jurnal Studi Islam, 13(1), 21–40.
https://doi.org/10.47945/tasamuh.v13i1.350
Ma’sa, L. (2020). Sekularisme Sebagai Tantangan Dakwah Kontemporer.
Al-Risalah, 11(2), 1–19. https://doi.org/10.34005/alrisalah.v11i2.788
Maududi, M., & Al-Rizq, A. A. (2016). Sistem Politik Islam dan Sekuler.
Jurnal El-Afkar, 5(1), 105–112.
Nelli, J. (2014). Pemikiran Politik Ali Abd Al-Raziq. An-NIda` : Jurnal
Pemikiran Islam, 39(1), 76–90. http://ejournal.uin-
suska.ac.id/index.php/Anida/article/viewFile/866/822
Pemikiran, P., Abd, A. L. I., Di, R., Dan, M., Islam, D., Mesir, D. I., &
Dunia, D. A. N. (2017). Pembaharuan pemikiran ali abd al- raziq di
mesir dan dunia islam.
Putra, R. (2019). Konsep Negara Ideal Ali Abdul Raziq Dan Relevansinya
Dengan Pancasila A . Pendahuluan Sekitar abad ke-19 telah
dimulainya sebuah peradaban baru , yang berdampak pada
berkembangnya sains dan teknologi . Hal ini membuat manusia
mengalami perubahan yang sign. Indonesian Journal of Islamic
Theology and Philosophy, 1(1), 45–62.
Putra, R. (2020). Filsafat Politik Ali Abdul Raziq. Refleksi: Jurnal Filsafat
Dan Pemikiran Islam, 19(1), 63.
https://doi.org/10.14421/ref.2019.1901-04
Siregar, S. (2018). Khilafah Islam dalam Perspektif Sejarah Pemikiran Ali
Abdul Raziq. JUSPI (Jurnal Sejarah Peradaban Islam), 2(1), 124.
https://doi.org/10.30829/j.v2i1.1794
Syalafiyah, N., Harianto, B., & Mas’ut. (2019). RELASI AGAMA DAN
NEGARA PERSPEKTIF ALI ABD Al- RAZIQ (1888-1966 M).
Institute for Islamic Studies (IAI) Pangeran Diponegoro Nganjuk East
Java Indonesia INTERNATIONAL PROCEEDING OF ICESS, 1(Vol 1
No 1 (2019): ICESS: Pendidikan, Hukum Tata Negara, Ekonomi Dan
Manajemen, Sosiologi), 224–232. https://proceedings.iaipd-
nganjuk.ac.id/index.php/icess/article/view/74
Yusuf, B. (2017). Ali Abdul Raziq Kajian Teologis Atas Pemikirannya.
Aqidah-Ta : Jurnal Ilmu Aqidah, 3(1), 1–12.
https://doi.org/10.24252/aqidahta.v3i1.3274

Anda mungkin juga menyukai