Anda di halaman 1dari 5

Filsafat Politik : Critical Review (contoh)

Tulisan ini berbentuk critical review dari buku Filsafat Politik Antara Barat Dan Islam
yang ditulis oleh Dr. Ali Abdul Mu’ti Muhammad yang diterbitkan oleh CV. Pustaka Setia
Bandung, pada tahun 2010. Isi buku ini sebanyak 471 halaman yang terdiri dari 15 BAB dengan
dua pembahasan yang berbeda, yaitu 5 BAB untuk pembahasan filsafat politik di dunia barat dan
10 BAB untuk pembahasan filsafat politik di dunia islam.

Buku yang berjudul Filsafat Politik Antara Barat dan Islam ini, secara garis besar
memperlihatkan bahwa dalam memperdalam ilmu politik kita tentunya harus beranjak dari
sejarah teori politik masa lalu, yang artinya ada keterkaitan ke belakang yaitu ke zaman kuno, ke
sebuah bangsa yang pemikirannya dimulai sejak berabad-abad lalu. Zaman kuno itu kita kenal
dengan yunani dan romawi dan daerah barat lainnya dengan para pemikir-pemikir yang terkenal
yang banyak berpandangan tentang bentuk pemerintahan yang baik dan buruk dan dalam buku
ini menyinggung pula dasar-dasar pemikiran politik di dunia islam yang tidak terdapat di dunia
barat. Dimana pandangan-pandangan para pemikir tersebut sangat berkontribusi dalam
perpolitikan masa kini atau kontemporer.
Yunani dikenal dengan masyarakatnya yang sudah berpikir tentang kebebasan. Dua
negara-kota di Yunani yang terkenal yaitu Sparta dan Athena. Untuk menemukan dasar
pemikiran politik menurut Yunani, kita harus mendalami lebih jauh filsafat politik Plato dan
Aristoteles. Keduanya kerap bertentangan pandangan, salah satunya adalah jika Plato
berpendapat bahwa keburukan dan konflik ada seiring dengan dibangunnya keluarga dan
kepemilikan. Sedangkan menurut Aristoteles keluarga adalah sel pertama dalam bangunan
sebuah masyarakat. Bahkan, keluarga adalah masyarakat yang pertama. Aristoteles pun
mengkritik pendapat Plato tentang kepemilikan bersama terhadap wanita dan harta. Didalam bab
ini, penulis sangat rapih dan detail dalam menjelaskan perbedaan pandangan antara Aristoteles
dengan Plato yang menambah khazanah keilmuan politik. Dengan kesimpulan yang jelas yaitu
Plato dalam pemikiran politiknya bersandar pada pendekatan rasional, tetapi ia tetap tidak
mengabaikan kejadian-kejadian sejarah. Sedangkan Aristoteles bersandar pada pendekatan
sejarah, tetapi ia tetap tidak mengabaikan kecerdasan akal.
Di masa Romawi, terdapat dua Filsuf yaitu Polybius dan Cicero. Penulis menyimpulkan
bahwa polybius menegaskan apa yang telah dijelaskan oleh Aristoteles tentang pemerintahan
baik yang beralih menjadi pemerintahan buruk. Namun, Polybius menegaskan bahwa mengambil
salah satu bentuk pemerintahan yang dijelaskan Aristoteles tidaklah cukup. Maka dari itu, yang
harus dilakukan adalah mengambil sisi-sisi baik dari masing-masing dan menggabungkannya
dalam sebuah konstitusi campuran. Polybius memberikan banyak pengaruh terhadap pemikiran
Cicero, ia senada dengan Polybius tentang konstitusi campuran.
Pada abad pertengahan, agama kristen memberikan pengaruh terhadap arah politik yang
menguasai imperium Romawi. Hal itu dilakukan karena bersifat politik, Konstantin saat itu
membutuhkan dukungan gereja, para pendeta dan orang-orang kristen untuk memperkuat negara.
Pemikir politik pada abad pertengahan Kristen ini ada St. Augustinus, John of Salisbury, St.
Thomas Aquinas, dan Dante. Jhon terkenal dengan uraiannya yang menjelaskan bahwa
kekuasaan spiritual berada di atas kekuatan duniawi. Ia ingin menunjukkan ketundukan
kekuasaan dunia terhadap kekuasaan gereja. Hal yang berbeda diungkapkan oleh Dante, Ia
memandang bahwa kekuasaan pemimpin monarki bersumber dari Allah tanpa perantara paus,
pastor, uskup atau pendeta. Oleh karena itu, negara tidak perlu tunduk pada gereja dan tokoh-
tokohnya.
Setelah zaman kegelapan pada abad pertengahan maka muncullah Zaman Renaisans.
Zaman ini merupakan zaman pencerahan di Eropa. Konsep politik Machiavelli yang merupakan
pemikir politik pada masa itu bahwasannya telah memisahkan ilmu politik dengan ajaran moral.
Karena Ia tidak percaya bahwa politik itu terbentuk dari ajaran moral. Bahkan, Ia berpendapat
sebaliknya, moral adalah suatu nilai yang lahir dari kebijakan politik. Saya sependapat dengan
penulis bahwa sebuah negara adakalanya berdiri di atas prinsip-prinsip moral dan agama,
adakalanya pula tidak berdiri di atas prinsip-prinsip itu, yang karenanya negata diatur sesuai
dengan kebijakan politik yang sesuai dengan prinsip kemanusiaan semata. Machiavelli juga
memisahkan agama dan politik atau kita kenal dengan sekuleritas. Marthin Luther menegaskan
bahwa rakyat wajib melaksanakan perintah-perintah pimpinan, baik mereka itu orang Kristen
atau bukan.
Pemikir Filsafat Politik Pada Zaman Modern Dan Kontemporer ada beberapa pemikir
yaitu Thomas Hobbes, Jhon Locke, Montesquieu, Rousseau, Burke, Thomas Paine, Immanuel
Kant, Hegel, dan Karl Mark. Pemikiran filsafat politik yang baru ini berkisar pada tiga
perdebatan penting, yakni kebebasan, kedaulatan dan kontrak sosial. Kebebasan yang hakiki dan
dilindungi oleh undang-undang diperkenalkan oleh Hobbes. Kebebasan sebagai titipan Tuhan
dalam hati manusia merupakan pandangan dari Rousseu, Ia lebih mengutamakan kebebasan
umum daripada pribadi. Sama halnya dengan John Locke menjelaskan kebebasan merupakan
salah satu sifat manusia yang harus dijaga, dicari, dan dilestarikan secara terus-menerus.
Sedangkan burke memberikan kebebasan kepada pemimpin monarki, bukan kepada rakyat.
Locke mengemukakan pentingnya pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan federasi.
Montesquieu menangkap teori ini dan mengembangkannya. Sebagaimana Locke, Montesquieu
memandang pentingnya pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif sebagai jaminan
untuk merealisasikan kedaulatan rakyat agar sampai pada tujuan-tujuan tanpa tekanan dari
pemerintah.
Pembahasan selanjutnya adalah Pembahasan Filsafat Politik di dunia Islam. Beberapa
filosop dari Islam adalah Ibnu Abi Rabi’, Al-Farabi, Al-Mawardi, Ibnu Taimiyah, Ibnu Khaldun.
Negara islam muncul pertama kalinya di Madinah. Negara Islam ini berdiri di bawah
kepemimpinan Rasulullah SAW selama 10 tahun. Ia menangani urusan-urusan penting negara. Ia
pun menangani urusan-urusan pengadilan, militer, dan administrasi. Itu adalah otoritas atau
mandat yang diberikan Tuhan kepadanya. Musyawarah adalah sistem yang diperkenalkan negara
Islam. Adanya musyawarah ini menggambarkan keberadaan demokrasi. Sebenarnya, demokrasi
Islam telah tegak di atas dasar sistem musyawarah ini. Indikasinya Islam mengakui adanya
pertanggungjawaban individual, menjadikan hak-hak umum sebagai sesuatu yang sama di antara
manusia, dan menguatkan solideritas antar rakyat meskipun berbeda-beda kelas sosialnya.
Islam menyamakan antara wanita dan pria hampir dalam semua hak dan memandang
sama antara kulit putih dan kulit hitam. Setelah kepergian Rasulullah terjadi perpecahan bangsa
arab. Pada zaman Muawiyah tidak lagi menjunjung nilai musyawarah, tetapi sudah menerapkan
sistem monarki dan memberikan kekuasaan sebebas-bebasnya kepada gubernur. Berbeda dengan
Muawiyah daulah abbasiyah menganut sistem sentralisasi, yakni berpusat di tangan khalifah.
Dengan demikian para gubernur tidak memiliki kekuasaan absolut.
Pemikir politik islam pertama adalah Ibnu Rabi’. Beliau berpendapat bahwa watak
manusia cenderung untuk bermasyarakat, yakni manusia adalah makhluk sosial dan berbudaya.
Pendapat ini dikemukakan pula oleh Aristoteles. Beliaupun sependapat dengat Plato tentang
yang memimpin manusia haruslah yang paling baik. dalam pembahasan ini penulis dengan jelas
membantah para pemikir barat yang memandang bahwa orang Islam tidak mempunyai
pandangan yang jelas tentang pemikiran politik. Penulispun dengan detail menjelaskan kelebihan
Arab dan orang-orang Islam atas eropa.
Ibnu Taimiyah menekankan pentingnya membangun politik di atas landasan agama. Ibu
Taimiyah adalah saksi hidup bagi kerusakan dan kehancuran daulah Islamiyah akibat
penyerbuan bangsa Tartar dan Pasukan Salib. Ia beperndapat bahwa kerusakan dapat diatasi
apabila umat Islam kembali pada kitab Allah dan As-Sunnah Rasulullah. Alasan tentang
perlunya pemerintah menurut Ibnu Taimiyah adalah karena Allah memerintahkan amr ma’ruf
dan nahy munkar. Tugas tersebut tidak mungkin dilaksanakan tanpa kekuatan atau kekuasaan
dan pemerintahan. Sependapat dengan Plato, Ibnu Taimiyah memberikan alasan yang sama
bahwa perlunya penyelenggaraan pemerintahan adalah karena manusia tidak bisa memenuhi
kebutuhannya sendiri. Selanjutnya filsuf terkenal di dunia Islam adalah Al-Faribi. Ia sependapat
dengan plato bahwa tidak memandang keluarga sebagai mata rantai pertama bagi masyarakat. Ia
sangat serius memperbincangkan dunia secara keseluruhan dan Ia pun berbicara tentang bangsa
dan kota yang dinilainya sebagai masyarakat kecil yang sempurna.
Ibnu Khaldun berpendapat bahwa masyarakat nomad lebih berani dari masyarakat kota,
karena masyarakat nomad bergantung pada ‘ashabiyah (solideritas kelompok). Rasa solider
inilah yang mengikat kesatuan masyarakat nomad dan membuat musuh gentar. Beberapa pemikir
politik islam pada zaman modern dan kontemporer yaitu Syekh Muhammad Abduh, Muhammad
Iqbal, Ali Abdur Raziq dan Khalid Muhammad Khalid. Syekh Muhammad Abduh berpegang
teguh pada prinsip musyawarah dan pentingnya meletakkan sistem pemerintahan Islam di atas
prinsip yang melahirkan demokrasi atau kemerdekaan ini. Muhammad Iqbal tidak setuju dengan
pemisahan agama dari negara, sedangkan Ali Abdur Raziq menyerukan pemisahan agama dari
negara. Khalid menegaskan bahwa Islam adalah sebuah agama, bukan negara. Agama sama
sekali tidak membutuhkan negara. Hanya saja, agama menerangi jalan kita menuju Allah dan
agama bukanlah kekuatan politik.
Dalam buku ini, penulis telah memaparkan penjelasan dengan cukup baik, karena
pembahasan telah dibagi menjadi dua yaitu pembahasan filsafat politik di dunia barat dan di
dunia Islam. Walau dipisah, dalam pembahasan filsafat politik di dunia barat banyak disisipkan
dengan kalimat-kalimat dalam bahasa Arab yang dicetak miring. Di pembahasan filsafat politik
di dunia Islam penulis sangat dengan jelas dan detail dalam membahas dari zaman Rasulullah
sampai modern atau kontemporer dan penulis sangat kritis, hal itu dapat dilihat dari bantahannya
terhadap pemikiran barat yang menganggap bahwa Islam tidak memiliki pengaruh apapun
terhadap filsafat politik.
Saya sependapat dengan Muhammad Iqbal yang menyatakan tidak setuju pemisahan
antara agama dan negara. Karena pada dasarnya agama atau Islam telah mengatur segala aspek
kehidupan salah satunya adalah perpolitikan. Untuk Indonesia, tidak mungkin agama atau Islam
dan negara menyatu. Karena Indonesia telah menyatakan sebagai negara berketuhanan bukan
negara Islam. Indonesia memang bukan negara Islam tetapi Indonesia masih dapat menjalankan
pemerintahan yang bernafas islam walau tidak secara keseluruhan karena Indonesia adalah
negara dengan beragam agama, budaya, ras dan suku.
Secara keseluruhan Buku ini sudah baik, karena sumber ditulis rapih dengan catatan kaki
yang tersedia. Sehingga pembaca mengetahui sumber informasi yang ada didalam buku berasal
dari mana. Ditambah dengan banyaknya Ayat Al-Quran yang menegaskan suatu pembahasan.
Buku ini akan sangat berguna bagi mahasiswa yang sedang menempuh kuliah pada studi
administrasi negara, dan khususnya kepada reviwer yang sedang menempuh mata kuliah Filsafat
Politik akan dapat menambah wawasan serta memberikan suatu wacana baru terhadap sejarah
perpolitikan dari zaman kuno sampai modern.

Anda mungkin juga menyukai