NPM : 1906436974
1950-1959
Salah satu organ yang perlu dimiliki oleh pemerintah sutau negara ia lah militer, yang
merupakan sutau kelompok orang-orang yang diorganisir dengan disiplin untuk melakukan
pertempuran, yang diperbedakan dari orang-orang sipil1. Defenisi seperti ini barangkali kurang
sempurna, tetapi kalau kita tetap mengikuti batasan tadi, kita akan mendapatkan pengertian,
bahwa tujuan pokok adanya militer dalam suatu negara yaitu seperti yang dikatakan Finer: untuk
bertempur dan memenangkan peperangan guna mempertahankan dan memelihara eksistensi
negara2. sedangkan pendapat Mohammad Hatta: hakikat tugas militer ialah melatih diri dan
mengadakan perlengkaoan untuk menghadapi musuh dari luar dan mereka yang harus
bertanggung jawab dalam berbagai bidang keamana dan keselamatan terhadap ancaman musuh
dari luar.
Tentara Indonesia tidak pernah membatasi dirinya hanya sebagai kekuatan militer. Dalam
masa revolusi tahun 1945 sampai tahun 1949, tentara terlibat dalam perjuangan kemerdekaan
dimana tindakan politik dan militer saling menjalin tak terpisahkan. Segera setelah peralihan
kekuasaan di akhir tahun 1945, secara resmi tentara menerima asas keunggulan kekuasaan sipil 3.
Semenjak tahun-tahun pertama Republik Indonesia, para perwira militer Indonesia sebenarnya
sudah mempunyai kecenderungan untuk berpolitik sebagai perajurit revolusioner.
Kecenderungan ini semakin kuat setelah setalh pada tahun-tahun berikutnya mereka harus
mengatasi bukan hanya ancaman dari luar (belanda) tetapi juga mengatasi peristiwa politik yang
kritis, yaitu penculikan politik yang terjadi tanggal 3 juli 1946 dan pemberontakan Komunis di
Madiun pada tahun 1948.
1
Yahya A. Muhaimin, perkembangan militer dalam politik di Indonesia 1945-1966 (Yogyakarta:Gadjah
Mada University Press, 1982) hal 2, lihat difinisi militer ini di ambil dari, webster’s third internasional
dictionary(Springfield, Massachussetts: G.& C. Merriam Company, 1966),”Military”.
2
Yahya A. Muhaimin, perkembangan militer dalam politik di Indonesia 1945-1966 (Yogyakarta:Gadjah
Mada University Press, 1982) hal 2,., lihat S.E. Finer, the man on horseback: the role of military in politics (New
York, N.Y.: Frederick A. Praeger,1962), hal 7.
3
Harold Crouch, Militer dan Politik di Indonesia (Jakarta: PT Dharma Aksara Perkasa, 1986) hal 21
1
Para perwira beranggapan bahwa peranan mereka dibidang politik sesewaktu diperlukan,
tetapi mereka tidak pernah muncul sebagai kekuatan politik yang utama di tengah-tengah arena,
namun sepadan dengan kelemahan kehidupan politikyang disebabkan oleh system parlementer
yang makin lama makin nyata, bagaimanapun telah memperkuat keyakinan kalangan perwira-
perwira militer bahwa mereka juga mempunyai beban tanggung jawab untuk campur tangan agar
negara dapat diselamatkan.
Meskipun pihak pimpinan tentara tentara tidak secara langsung bertanggung jawab
terhadap kemacetan system parlementer pada tahun 1957, mereka dapat memanfaatkan situasi
untuk mengumumukan keadaan darurat perang, yang akhirnya setapak demi setapak
memungkinkan para perwira tentara mendapatkan peran yang lebih besar dalam fungsi-fungsi
politik, admistrasi dan ekonomi. Para perwira sudah jauh lebih merasa yakin akan diri sendiri
dan bangga akan prestasi mereka, bersikap curiga terhadap kaum politisi dan terhadap permainan
politik. Untuk memperoleh dasar pembenaran terhadap kelanjutan peranan tentara dalam fungsi-
fungsi tersebut sesudah kritis terlewati, Kepala Staf Angkatan Darat Mayor Jenderal Abdul
Harris Nasution merumuskan sebuah konsep yang bernama “jalan tengah” yang menetapkan
bahwa pihak tentara tidak akan mencari kesempatan untuk mengambil alih pemerintahan, namun
juga tidak akan bersikap acuh tak acuh terhadap politik.
Selain itu tentara juga menuntut hak mereka untuk tetap duduk dalam pemerintahan,
lembaga perwakilan serta admistrasi5. Dalam seminar pertama yang diselenggarakan pada bulan
April 1965, tentara mencetuskan suatu doktrin yang menyatakan bahwa angkatan bersenjata
4
Ulf Sunhaussen, Politik Militer Indonesia,1945-1967 Menuju Dwi Fungsi ABRI (Jakarta: LP3ES,1986)
hal, 83
5
Harold Crouch, Militer dan Politik di Indonesia (Jakarta: PT Dharma Aksara Perkasa, 1986) hal 21., lihat
Sundhausen 1971, hal 398
2
memliki peranan rangkap yaitu sebaga kekuatan militer dan kekuatan sosial politik. Sebagai
kekuatan sosial politik kegiatan-kegiatan tentara meliputi bidang-bidang: ideology, politik,
sosial, ekonomi, kebudayaan dan keagamaan6.
Persepsi tentara mengenai dirinya sebagai kekuatan politik berasal dari perbedaan yang
kabur tentang fungsi militer dan fungsi politik dalam masa perang kemerdekaan melawan
Belanda. Sifat perjuangan itu sendiri memiliki difat politik sekaligus juga militer. Para pemuda
yang waktu itu mengangkat senjata melawan belanda tidak di dorong oleh keinginan membina
karir dalam kehidupan militer, tetapi oleh semangat patriotic yang dinyatakan terhadap republic
yang telah diproklamasikan oleh para para politisi dari kalangan nasionalis. Watak perjuangan
tersebut selanjutnya telah memperkuat kecondongan golongan militer ke soal-soal politik.
Lingkungan keadaan tempat para komandan tentara mendapatkan orientasi politik selama
masa revolusi telah memberikan kesadaran pada mereka tentang kepentingan-kepentingan politik
mereka sendiri yang bisa saja berbeda dengan para politisi sipil di kalangan pemerintahan.
Situsasi kemiliteran sewaktu mereka terlibat dalam perjuangan kemerdekaan, mau tak mau
menyebabkan kepemimpinan tentara terlibat dalam permasalahan politik nasional. Para
pemimpin tentara terjun kedalam berbagai kelompok politik untuk menyatakan ketidak puasan
mereka terhadap kesedian pemerintah memberikan konsensi-konsensi kepada belanda untuk
mengadakan perundingan.
6
Harold Crouch, Militer dan Politik di Indonesia (Jakarta: PT Dharma Aksara Perkasa, 1986) hal 22,. Lihat
Angkatan darat 1965 buku induk bab 3
3
pemimpin militer bertekad untuk berjuang terus, dan berhasil mengorganisasikan perang gerilya
melawan belanda.
Perundingan belanda dan kepemimpinan RI, persetujuan yang dicapai antara delagasi RI
dibawah pimpinan Roem dan wakil-wakil Belandan memuat ketentuan-ketentuan genjatan
senjata dan pengembalian Pemerintah RI yang ditawan ke Yogyakarta, serta mengenai
penyelenggaraan suatu perundingan meja bundar antara RI,negara-negara federal dan Belanda di
Den Haag Belanda yang akan menentukan syarat-syarat pembentukan Negara Indonesia Serikat
menjelang akhir tahun itu. Pada tanggal 7 Mei, Roem menandatangani persetujuan ini dengan
persetujuan penuh dari soekarno dan hatta. Tetapi pihak tentata menolak hasil perundingan,
Sudirman memprotes ditempuhnya kembali jalan jalan diploamasi itu didalam kawatnya kepada
Sjraifuddin. Dalam sebuah nota yang dia kirimkan kepada Roem yang menyatakan pendpatnya
bahwa kedua persetujuannya yang terdahulu yang telah dilanggar oleh belanda merupakan
peringatan yang cukup untuk tidak mengadakan persetujuan lagi dengan mereka. Dan sikapnya
ini di dukung oleh Nasution.
Para pemimpin tentara menganggap bahwa jalur diplomasi adalah sebuah penghianatan
kepada pejuang-pejuang gerilya, yang telah bersedia mengambil resiko kehilangan nyawa
mereka demi tercapainya kemenangan total. Menjauhnya para komandan tentara dari pihak
4
pemerintah mencapai puncaknya ketika mereka tetap harus bertempur, sementara para pemimpin
politik menyerahkan diri ditangkap oleh belanda tahun 1948.7
Korps perwira dalam 1949 masih masaih sangat heterogen, akan tetapi dibandingkan
dengan keadaan dalam 1945/1946, sudah muncul semacam program politik bersama, para
perwira sudah jauh merasa lebih yakin akan diri sendiri dan bangga akan prestasi mereka,
bersikap curiga terhadap kaum politisi, terhadap permainan politik praktis dan ideology
kepartaian, dan mereka lebih sadar akan kepentingan tentara sebagai satu golongan namun
demikian mereka masih belum mempunyai persepsi yang jelas tentang bagaimana seharusnya
posisi mereka dalam masyarakat8.
Beberapa perundingan baru pada tahun 1949 diterima dengan kecurigaan yang besar oleh
para perwira tentara, yang hamper saja menolak gencatan senjata yang diumumkan oleh
pemerintah, mereka merasa dilecehkan oleh ungkapan-ungkapan yang tertera dalam penyerahan
kedaulatan tahun 1949. Di akhir masa revolusi terdapat banyak komandan tentara yang
sesungguhnya tidak lagi mempercayai para politisi sipil dikalangan pemerintah.
Dalam sejarah tentara telah memainkan peran poltik yang penting. Selama beberapa
tahun setelah kemerdekaan tentara menganggap dirinya sebagai pelindung namun kemudian
lebih menegaskan haknya untuk berperan secara tetap dalam kehidupan politik. Kegiatan
kelompok-kelompok dalam tubuh tentara sendiri telah menimbulkan serentetan krisis nasional
yang menciptakan kondisi-kondisi memungkinakan perwira tentara mendapatkan kekuasaan
lebih luas. Meskipun pengalaman para perwira tentara selama masa revolusi cenderung
menghasilkan suatu sikap yang rata-rata senada dalam menjawab persoalan tertentu namun
keadaan didalam tubuh tentara sendiri tidak menggambarkan tentara sebagai kekuatan politik
yang terpadu.
7
Harold Crouch, Militer dan Politik di Indonesia (Jakarta: PT Dharma Aksara Perkasa, 1986) hal 24
8
Ulf Sunhaussen, Politik Militer Indonesia,1945-1967 Menuju Dwi Fungsi ABRI (Jakarta: LP3ES,1986)
hal, 83
5
Disamping orientasi politik dan juga ketidak percayaan kaum politisi terhadap banyak
perwira dimasa revolusi, tentara menerima peranan lebih rendah seperti yang di tentukan oleh
konsitusi parlementer tahun 1950.
Menjelang bulan November 1949, tercapailah persetujuan antara Belanda, RI, dan
negara-negara federal ciptaan Belanda , mengenai pembentukan Republik Indonesia Serikat
(RIS). RIS akan meliputi seluruh wilayah bekas Hindia Belanda, kecuali Irian Barat yang
statusnya masih akan ditentukan dalam perundingan-perundingan lebih lanjut antara Belanda dan
RIS. Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) yang terbentuk federasi dirasakan oleh para
pemimpin negara tidak sesuai dengan cita-cita semula sebagaimana terkandung dalam UUD 45,
yaitu bentuk kesatuan. Kemudian pemimpin-pemimpin RIS, terutama dari negara RI
melancarkan gerakan guna mengembalikan Indonesia kebentuk kesatuan. Pada tanggal 17
agustus 1950, negara RIS kembali menjadi kesatuan tetapi pada tahun 1950 indonesia tidak
memakai UUD 45. Dan negara Kesatuan Republik Indonesia sejak tanggal 17 Agustus 1950
menggunakn system pemerintahan sebagaiman tercantum dalam UUD-S 1950 yang mengganti
konsitusi RIS.
Indonesia sejak kembali kebentuk kesatuan memakai system pemerintahan yang lazim
yang disebut “system demokrasi liberal”9 atau system demokrasi parlementer. Nama ini sekedar
untuk membedakan dari system sebelumnya yaitu disebut system demokrasi terpimpin. Menurut
system pemerintahan yang didasarkan pada UUD-S-1950 itu kepala negara (Presiden) tidak
adapat di ganggu gugat dan tidak memiliki tanggung jawab pemerintahan, cabinet dipimpin oleh
seorang perdanan menteri yang bertanggung jawab terhadap parlemen sehingga susunan cabinet
menurut suara mayoritas, sedangkan oragan resmi dalam parlemen adalah partai politik. Jadi
dalam system ini kuasaan politik adalah partai politik saja, presiden dan militer merupakan
kekuatan politik yang sifatnnya extra parlementer dengan kekuasaan yang terbatas sekali.
Kalau mengingat perana ptesiden dan militer dalam menegakkan kemerdekaan yang
besar maka konsekuensi daripada system pemerintahan ini dari satu segi tidak memuaskan fihak
militer, yang justru merasa dirinya sevafai shareholders dan pemegang panji dalam masa-masa
menegakkan Republik Indonesia. Dalam transformasi dari bentuk federal, yaitu berupa beberapa
9
Herbert Feith, Indonesia, dalam George Mc.T Kahin (ed), Goverments and Politics of Southeats Asia,
(Ithaca, New York, Cornell University Press,1967) hal 204
6
usaha ekstrim bersenjata yang mempertahankan bentuk federal, yaitu berupa beberapa beberapa
pemberontakan dan percobaan kudeta di Bandung, Jakarta, Makassar dan Maluku10.
Dalam menanggulangi kejadian itu, besar sekali peranan TNI yang didampingi oleh
KSAD, kolenel A.H Nasution, sehingga memperlancar usaha dan gerakan yang menuju kebentuk
kesatuan. Pada saat itu inilah rasa kesatuan timbul semakin kuat diantara kaum militer Indonesia.
Dalam proses pembubaran system federal itu, Angakatan Darat telah memainkan peran penting
dengan menggunakan kemampuan militer dan politiknya. Baik para pemimpin militer maupun
pemimpin sipil pada waktu itu tidak menyadari kenyataan bahwa penggunaan tentara dalam
operasi-operasi keamanan dalam negeri melibatkan mereka dalam membuat pilihan-pilihan
politi, dan dengan demikian maka tak terhindarkan lagi mereka memperoleh, baik kawan politik
maupun musuh politik. Dengan kata lain sebuah tentara yang di beri tugas memelihara keamaan
dalam negeri secara besar-besaran dan semi permanen, secara praktisnya terlibat dalam
percaturan politik dalam negeri, dalam kasus ini Angkatan Darat telah memainkan peran yang
boleh dikatakan menentukan dalam menetapkan struktur konsitusional Indonesia11.
Pada periode tahun 1950-1952, perasaan anti pati yang telah tertanam pada kaum militer
terhadap kaum sipil semakin bertambah, walaupun pada masa cabinet Natsir, (September 1950-
Maret 1951) terdapat iklim kerjasama antara Pemerintah Natsir (sipil) dengan militer yang cukup
harmonis. Namun iklim itu hanya sebentar sekali, terutama sejak cabinet Sukiman berkuasa-
Maret 1951 – Februari 1952. Pada masa cabinet Wilopo, yaitu yang mengganti cabinet Sukiman,
konflik antara kaum politisi (sipil) dengan militer mulai timbu lagi yaitu peristiwa yang disebut “
Peristiwa 17 Oktober” ditahun 1952.
Krisis politik besar yang pertama, yang melibatkan tentara kedalamnya adalah “peristiwa
17 oktober tahun 1952”. Dengan dikungan pemerintah secara berturut-turut antara tahun 1950-
1952 kepemimpinan militer teknokratik telah berupaya membina sesuat kekuatan yang lebih
kecil, lebih disiplin dan lebih professional. Rencana mereka untuk mengadakan rasionalisasi dan
10
Yahya A. Muhaimin, perkembangan militer dalam politik di Indonesia 1945-1966 (Yogyakarta:Gadjah
Mada University Press, 1982) hal 66,., lihat Nugroho Notosusanto, sedjarah dan Hankam, (Djakarta: departemen
pertahanan dan keamanan, lembaga sejarah hukum,1968) hal 82-86
11
Ulf Sunhaussen, Politik Militer Indonesia,1945-1967 Menuju Dwi Fungsi ABRI (Jakarta: LP3ES,1986)
hal, 83
7
demobilisasi ditentang oleh banyak perwira bekas PETA yang kurah terlatih, yang merasa bahwa
kedudukan mereka akan diturunkan sebanding dengan perwira-perwira yang telah di westernisasi
dari Jakarta ke bandung. Ketika para politisi oposisi turut mendukung para perwira bekas PETA
sebagai bagian dari serangan mereka kepada pemerintah, maka perwira bekas PETA tentu saja
menerima baik dukungan perlemen dalam usaha mereka melawan kepemimpinan tentara. Tatapi
apa yang dilakukan oleh oposisi dianggap sebagai hal yang sah dari penguasa sipil terhadap
angkatan bersenjata diterima oleh pimpinan tentara yang di anggap sebagai “campur tangan”
dalam soal-soal internal angkatan darat yang tidak dapat diterima dan tidak dapat dibiarkan.
Sebenarnya presiden Soekarno juga tidak menyukai dan bahkan secara diam-diam
berusaha mengganti system parlementer yang amat membatasinya itu, tetapi Soekarno menolak
tawaran pihak militer. Penolakan Soekarno it, karena dia takut pada timbulnya Yunta militer.
Tetapi disamping itu, kegagalan menuver politik TNI itu juga disebabkan terpecahnya perwira
dan pimpinan TNI. Barangkali justru inilah sebab pokonya. Mereka terpecah antara kelompok
yang menginginkan TNI atas dasar profesionalisme. Nahkan dalam peristiwa itu sendiri,
pimpinan dan perwira TNI yang berfaham profesionalisme, yang merupakan penggerak dari
kejadian tersebut, menunjukkan tidak adanya kesatuan arah.
Sebagai akibat dari kejadian ini, pada tanggal 5 Desember 1952, Kolonel Nasution
dibebaskan oleh pemerintah dan berhenti sebagai KSAD, dan demikian pula beberapa
perwira “pro-17 Oktober 1952” lainnya mendapat sangsi yang sama. Pada tanggal 16-nya,
Kolonel Banmbang Sugeng ditunjuk oleh pemertintah selaku KSAD., pengangkatan
Bambang Sugeng ini ternyata berdampak timbulnya kesulitan-kesulitan dalam
menyelasaikan masalah itu, terutama mengenai keutuhan TNI, sebab antara Menteri
Pertahanan Hamengku Buwono dengan KSAD Bambang Sugeng terdapat perbedaan yang
8
besar didalam menyelesaikan perpecahan di dalam tubuh TNI. Maka pada tanggal 1 Januari
1953, Sultan Hamengku Buwono IX mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Menteri
Pertahanan12.
Resolusi yang berhasil dicetuskan oleh konferensi tersebut terkenal dengan sebutan
“Piagam Jogya” atau “Piagam Keutuhan Angkatan Darat”. Di dalam keputusan itu antara
lain ditekankan bahwa korp Perwira tersebut akan selalu mempertahankan persatuan dan
profesionalisme di dalam tubuh TNI-AD, dan tidak membenarkan campur tangan politik di
dalam masalah militer, terutama di dalam urusan pengangkatan pada sesuatu jabatan militer
yang harus didasarkan pada senioritas dan kecakapan. Di samping itu, di dalam
hubungannya dengan pemerintah serta Presiden sebagai panglima tertinggi, resolusi itu
menyatakan, bahwa korps Perwira TNI-AD akan mematuhi segala keputusan yang diambil
oleh pemerintah bersama-sama.
12
Yahya A. Muhaimin, perkembangan militer dalam politik di Indonesia 1945-1966 (Yogyakarta:Gadjah Mada
University Press, 1982) hal 74-75
9
Sebagai anggota dari suatu organisasi yang bergantung pada pemerintah untuk
mendapatkan dana para perwira angkatan darat sudah sewajarnya berusaha memperoleh
jatah alokasi dana untuk membiayai pertahanan dari anggaran belanja pemerintah. Pada
tahun 1957 keterlibatan ekonomi kalangan tentara yang terbatas dalam sector ekonomi
tertentu itu, tiba-tiba diperluas setelah belakunya keadaan darurat perang. Undang-undang
tersebut menempatkan tentara kesuatu posisi dimana mereka memiliki kekuasaan besar,
khususnya di pulau luar jawa, dimana pengawasan dari sipil biasanya lemah.
Perluasan yang cepat dari peranan tentara dibidang ekonomi setelah tahun 1957
disertai pula oleh peningkatan sebagai kekuatan politik. Perwira-perwira angkatan darat
memasuki elit politik dan ekonomi dan makin terbiasa dengan hak-hak istimewa serta
kehidupan makmur yang diperoleh dari status tersebut.
Kesimpulan
Dari seluruh paparan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa lemahnya intuisi negara
yang dikelola oleh politisi sipil menjadikan militer mudah kembali kedalam arena politik
apalagi dalam rentang negosiasi politik, politisi sipil tidak memiliki posisi tawar yang kuat
dengan militer. Pada gilirannya otoritas politik yang ada, parlemen dan kekuatan partai
politik yang semestinya mampu mengkoreksi seluruh watak dan sepak terjang militer justru
malah bersekutu dengan militer. Selain itu juga, dapat disimpulkan bahwa militer saat ini
tidak menyumbang secara signifikan terhadap konsolidasi demokrasi di Indonesia. Hal ini
terjadi karena militer tidak mau dikoreksi disatu sisi dan lemahnya posisi politik elit sipil
yang berkuasa, baik di parlemen maupun eksekutif, dihadapan TNI. Oleh karena itu sebagai
kekuatan politik dari rezim lama, TNI tetap menjalankan watak otoriteriannya dengan pola
terror, intimidasi, kekerasan atau pengintaian untuk menundukkan kekuatan politik lain atau
massa rakyat.
10
memang disepakati dalam sebuah organisasi yang bernama negara, yang mempunyai
kewajiban berkaitan dengan perlindungan negara demi memproteksi masyarakat dari
ancaman fisik.
keberadaannya tidak dapat dipandang sebelah mata. Fakta bahwa militer merupakan
kekuatan yang menentukan dalam jagat perpolitikan kita adalah realitas yang tidak bisa
ditolak siapa pun. Buktinya kejatuhan Presiden Soekarno karena berseberangan dengan
militer, sehingga jenderal Soeharto mengudetanya, dan jenderal Soeharto pun lalu jatuh,
karena militer menarik dukungan kepadanya.
11