Anda di halaman 1dari 13

TUGAS SEJARAH

Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)


dan Perdjuangan Rakyat Semesta (PERMESTA)

Nama Anggota :

1. Anggi Septiana ( 171810042 )


2. Arsyanda Maulidya ( 171810043 )
3. Aulia Nisa ( 171810044 )
4. Emre Rafiansyah ( 171810047 )
5. Rayindrana Rashad D. ( 171810063 )
6. Shafaa Saniyya Rissanty ( 171810066 )
7. Vendico Juan Charista ( 171810073 )

XII MIPA 2
SMA NEGERI 1 TANGERANG SELATAN
Jl. Pendidikan 49, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, Indonesia
KATA PENGANTAR
Puji syukur Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Terima kasih kami ucapkan atas bantuan Tuhan
yang telah mempermudah dalam pembuatan makalah untuk memenuhi tugas sejarah, hingga
akhirnya terselesaikan tepat waktu. Kami juga ingin mengucapkan terima kasih kepada orang
tua dan keluarga kami, serta teman – teman yang sudah mendukung hingga titik terakhir ini.

Dalam makalah ini, kami ingin membahas mengenai Pemerintahan Revolusioner Republik
Indonesia (PRRI) dan Perdjuangan Rakyat Semesta (PERMESTA). Keduanya adalah contoh
dari gerakan militer di Indonesia. Gerakan – gerakan tersebut merupakan gerakan pertentangan
terhadap pemerintah yang dipimpin oleh tokoh – tokoh yang berasal dari Indonesia. Gerakan
militer ini berada di Pulau Sumatra dan Pulau Sulawesi.

Kami menyadari jika mungkin ada sesuatu yang salah dalam penulisan, seperti menyampaikan
informasi berbeda sehingga tidak sama dengan pengetahuan pembaca lain. Kami mohon maaf
yang sebesar-besarnya jika ada kalimat atau kata-kata yang salah.

Demikian kami ucapkan terima kasih atas waktu dan perhatiannya telah membaca hasil
makalah kami.

Ciputat, 25 Juli 2019,

Anggi Septiana Aulia Nisa Emre Rafiansyah

Arsyanda Maulidya

Rayindrana Rashad D. Shafaa Saniyya Rissanty Vendico Juan Charista


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Kondisi Indonesia pasca pengakuan kedaulatan oleh belanda tahun 1948 memang
memang belum stabil. Kabinet yang ada pun terus mengalami pergantian yang menyebabkan
persoalan yang tidak kunjung tuntas. Keadaan tersebut membuat rakyat geram dan menuntut
agar pemilu dipercepat.
Pada saat itu juga TNI memegang peran dwifungsi, yang dimana selain di ranah militer,
TNI juga memainkan peran dalam perpolitikan daerah. Hal ini membuat KSAD kolonel AH
Nasution mengusulkan untuk mengembalikan tantara sesuai fungsinya. Karena hal itulah
Intern AD terbagi menjadi kubu yaitu kubu Nasution–Simatupang dan Supeno-Lubis yang
mempunyai pendapat saling bertolak belakang.
Akhirnya Supeno pun mengirimkan surat ke parlemen karena merasa tak puas dengan
kepemimpinan Nasution. DPRS pun akhirnya mengeluarkan mosi yang berisi “Menuntut
perubahan pimpinan dan susunan kementerian pertahanan dan angkatan perang, serta lekas
berakhirnya pekerjaan Misi Militer Belanda (MMB).”
Kubu Nasution dan Simatupang pun merasa kecewa atas isi dari mosi tersebut, terlebih
lagi dua pertiga anggota parlemen tersebut diduduki oleh negara – negara bentukan Belanda.
Akibat dari kekecewaan ini pecahlah peristiwa 17 Oktober 1952, kubu Nasuton – Simatupang
mengerahkan pasukannya lengkap dengan senjatanya melakukan unjuk rasa di Istana Merdeka,
mereka meminta agar parlemen segera dibubarkan karena dinilai telah mencampuri urusan
TNI. Hal tersebut ditolak oleh Soekarno, beliau menilai parlemen tak begitu saja dapat
dibubarkan.
Peristiwa itu menyebabkan A.H Nasution dan T.B Simatupang diganti. Selanjutnya
Menteri Pertahanan Sultan Hamengkubuono IX pun mengundurkan diri. Untuk mengisi
lowongannya posisi KASAD, diangkatlah Kolonel Bambang Soegeng yang akhirnya
melahirkan Piagam Yogya pada tanggal 25 Februari 1955 yang isinya menyatukan kembali
TNI AD. Tetapi usaha Bambang Soegeng tidak memberi hasil. Friksi tetap terjadii dan
membuat Bambang Soegeng mengundurkan diri.
TNI AD pun terus mengalami pergantian KASAD. Setelah Bambang Soegeng pun
tidak dapat menyelesaikan permasalahan fraksi ini. Pada akhir masa Kabinet Burhanudin
kembali menunjuk A.H Nasution menjadi KASAD TNI AD. Tidak lama setelah penunjukkan
kembali A.H Nasution menjadi KASAD TNI AD, muncul berbagai dewan di daerah Sumatra.
Salah satunya adalah Dewan Banteng. Dewan ini adalah asal mula dari terjadinya
pemberontakkan PRRI/ PERMESTA.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Bagaimana jalannya Pemberontakan PRRI/PERMESTA?
2. Bagaimana situasi dan kondisi Indonesia secara umum pada saat Pemberontakan
PRRI/ PERMESTA?
3. Apa dampak dari Pemberontakan PRRI/PERMESTA bagi Bangsa Indonesia?
4. Bagaimana upaya penumpasan dari Pemberontakan PRRI/PERMESTA?
5. Bagaimana akhir dari Pemberontakan PRRI/PERMESTA?

1.3 TUJUAN PENELITIAN


1. Mengetahui hal – hal yang memicu terjadinya pemberontakan PRRI/PERMESTA
2. Memberi informasi bagaimana system pemerintahan Indonesia pada tahun
1956 – 1961
3. Melihat kronologis munculnya gerakan PRRI/PERMESTA dan upaya penyelesaiannya
oleh pemerintah pusat

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PEMBERONTAKAN PRRI/PERMESTA


Protes protes di daerah sesungguhnya sudah bermula sejak tahun 1953. Pada bulan
September 1953, telah terjadi pergolakan di Aceh dan pada September 1954 timbul
penyelundupan besar-besaran yang diorganisasi oleh Oknum-oknum Angkatan Darat. Masa
ini juga merupakan masa perpecahan partai yang bersumber pada masalah kesukuan.
Misalnya yang terjadi pada PIR (Partai Indonesia Raya) yang pecah menjadi Kelompok Jawa
dan Non-Jawa.
Tahun 1956, muncul organisasi-organisasi kedaerahan yang mempunyai tujuan untuk
mengembangkan kebudayaan mereka, namun pada prakteknya organisasi tersebut banyak
melakukan kegiatan yang berbau-bau politik. Beberapa kelompok ini merasa pemerintah
pusat dipegang oleh Orang Jawa, perasaan anti-jawa ini akhirnya muncul di kalangan Orang-
orang Minang.
Menjelang pertengahan tahun 1956, dalam tubuh Angkatan Darat terdapat tanda-
tanda perpecahan. Hal ini disebabkan munculnya keyakinan dari para Anggota TNI bahwa
pimpinan AD yang dibentuk sejak 1955 tidak berhasil memelihara ketenangan dan membina
organisasi sesuai Piagam Yogya. Hal ini menyebabkan Internal AD terbagi menjadi dua
kubu. Kubu pertama yaitu Kelompok Nasution dan pembantu-pembantunya seperti
Kelompok Gatot Subroto. Kubu yang lain adalah Kelompok Simbolon dan Zulkifli Lubis.
Dalam garis besarnya, kubu-kubu ini menyerupai pertentangan politik di luar Angkatan
Darat.
Banyaknya muncul berbagai dewan juga disebabkan oleh masalah sosial “Bekas
Pejuang” atau para pejuang ex Divisi Banteng yang dimana para pejuang tersebut di tidak
dalam kondisi yang seharusnya, banyak di antara mereka yang hidupnya tidak berkecukupan
dan tidak sejahtera. Kiranya permasalahan ini merupakan salah satu sebab khusus munculnya
Dewan Banteng di Sumatra Tengah pada bulan November 1956
Karena permasalahan tersebut tercetuslah Perjuangan Reuni ex-divisi Banteng yang
dimana dalam pertemuan yang digelar dalam kurun waktu 20-24 November 1956 dihadiri
oleh seluruh pejuang ex-divisi Banteng menghasilkan sebuah piagam yang didalamnya berisi
tuntutan kepada pemerintah pusat agar dapat memaksimalkan konsep otonomi daerah dan
segera mengganti Pimpinan AD. Selain menghasilkan beberapa tuntutan kepada pemerintah
pusat, Perjuangan Reuni ex-divisi Banteng juga melahirkan Dewan Banteng yang lahir pada
tanggal 24 November 1956.
Persoalan yang ada ternyata malah meluas pada tuntutan otonomi daerah. Ada
ketidakadilan yang dirasakan beberapa tokoh militer dan sipil di daerah terhadap pemerintah
pusat yang dianggap tidak adil dalam alokasi dana pembangunan. Kekecewaan tersebut
diwujudkan dengan pembentukan dewan-dewan daerah sebagai alat perjuangan tuntutan pada
Desember 1956 dan Februari 1957, seperti :
A. Dewan Banteng di Sumatera Barat yang dipimpin oleh Letkol Ahmad Husein.
B. Dewan Gajah di Sumatera Utara yang dipimpin oleh Kolonel Maludin Simbolan.
C. Dewan Garuda di Sumatera Selatan yang dipimpin oleh Letkol Barlian.
D. Dewan Manguni di Sulawesi Utara yang dipimpin oleh Kolonel Ventje Sumual.
Tidak lama setelah terbentuknya Dewan Banteng di Sumatra Tengah, pada tanggal 1
Desember 1956 Mohammad Hatta mengundurkan diri secara resmi dari jabatannya sebagai
wakil presiden. Alasan yang dikemukakan antara lain karena ia tidak cocok dengan
kebijaksanaan politik Soekarno yang cenderung memonopoli kekuasaan.
Rakyat Indonesia sebenarnya tetap mendukung dan menghendaki Soekarno-Hatta sang
“Dwi-Tunggal” sebagai pemimpin bangsa Indonesia sekaligus sebagai penyalur semangat
rakyat dalam perjuangan menghadapi berbagai tanttangan dan rongrongan terhadap keutuhan
NKRI. Soekarno yang karismatik diaggap pemimpin nomor satu dan Hatta dianggap sebagai
penghubung dan pengatur keseimbangan yang menjembatani kepentingan pusat (jawa) dan
daerah (Terutama Sumatra).
Hubungan yang ideal dan baik antara Soekarno-Hatta ini mulai retak dan goyah pada tahun
1955. Adanya perbedaan baik dari segi latar belakang maupun prinsip akhirnya menyebabkan
terjadinya keretakan dan keregangan Dwi Tunggal sebagai pemimpin bangsa. Perbedaan
terbesar antara Soekarno dan Hatta adalah, bahwa Soekarno bermain api dengan komunis
sedangkan Hatta anti komunis. Keduanya islam dan nasionalis, namun Soekarno cenderung ke
Marxis dan Hatta ke sosialis.
Mencuatnya pergolakan daerah juga merupakan cerminan akan keinginan daerah bahwa
kedua pimpinan bangsa itu tetap memegang kendali pemerintahan dengan tidak melupakan
daerah. Tidak lama setelah pengunduran diri Mohammad Hatta sebagai wakil presiden, pada
20 Desember 1956 meletus peristiwa lain yang bersejarah, dimana pada saat itu terjadi
pegambil alih kekuasaan dari Gubernur Ruslan Muljohardjo kepada ketua dewan banteng
Letkol A. Husein. Nampaknya pengambilalihan kekuasaan oleh Dewan Banteng telah
dipersiapkan sebelumnya. Berbeda dari anggapan kebanyakan orang, pemindahan kekuasaan
dari tangan gubernur kepada ketua Dewan Banteng berlangsung dengan damai dan jauh dari
kata kekerasan.
Setelah terjadi pengambilalihan kekuasaan oleh Letkol A. Husein, ia pun mengeluarkan
instruksi agar hubungan dalam segala bentuk dan cara antara jawatan-jawatan dengan pusat
harus diputuskan dengan segera. Dalam hal peristiwa di Sumara Tengah ini ancaman kekerasan
sama sekali tidak digunakan. Dewan Banteng juga bukan merupakan sebuah organisasi militer.
Pengambilalihan kekuasaan ini pun menimbulkan berbagai reaksi. Yang menarik pada tanggal
2 Februari 1957 baik Soekarno maupun Hatta mengirimkan surat yang dimana inti dari surat
tersebut ialah meminta kepada Letkol A. Husein agar mengutamakan keselamatan negara
diatas keselamatan kedaerahan.
Pada tanggal 2 Maret 1957 terjadi sebuah proklamasi Piagam Perjuangan Republik
Indonesia yang diproklamirkan oleh Letkol Ventje Sumual, dengan adanya proklamasi ini
maka telah resmi berdirinya PERMESTA. Latar belakang berdirinya PERMESTA pun tidak
jauh berbeda dengan latar belakang berdirinya dewan-dewan yang tersebar di wilayah Pulau
Sumatra, hal yang membedakan dari kedua pemberontakan ini ialah lokasi terjadinya
pemberontakan tersebut. Tidak berapa lama setelah berdinrinya gerakan PERMESTA, Letkol
Ventje Sumual yang merupakan ketua dari PERMESTA menyatakan mendukung gerakan
PRRI yang ada di Pulau Sumatra.
Ketegangan yang berlarut-larut antara pemerintah pusat dan daerah rupanya sudah
mencapai titik terang pada masa awal Kabinet Djuanda berlaku. Dalam rencana kerja Kabinet
Djuanda salah satunya terdapat program “Penyelesaian Daerah” melalui Musyawarah Nasional
yang akan diselenggarakan pada tanggal 10-15 September 1957 di Gedung Proklamasi Jakarta.
Keinginan Djuanda untuk menyelesaikan permasalahan daerah memang baik tetapi sangat
sulit untuk dilakukan mengingat para petinggi dewan-dewan yang tersebar di Pulau Sumatra
dan Sulawesi melarang para perwiranya untuk bergolak ke Jakarta. Pada akhirnya, dengan
menggunakan fasilitas komunikasi yang disediakan oleh Perdana Menteri, kelompok pimpinan
Korps SSKAD berhasil mendatangkan Letkol V. Sumual ke Jakarta untuk berunding dengan
Ir. Djuanda. Sedangkan para perwira lainnya mengadakan pertemuan di Palembang, Sumatra
Selatan yang nantinya akan menghasilkan Piagam Palembang.
Piagam Palembang yang ditandatangani pada tanggal 8 September 1957 mengasilkan
pokok-pokok yang akan diperjuangkan dalam Musyawarah Naional dua hari kemudian.
Program perjuangan itu terdiri dari enam pokok, yaitu (1) Pemulihan Dwi Tunggal, (2)
Penggantian pimpinan AD, (3) Otonomi Daerah, (4) Pembentukan Senat, (5) Peremajaan
anggota birokrasi, dan (6) larangan terhadap komunisme.
Musyawarah nasional berlangsung ditengah-tengah ancaman dan intimidasi pihak-pihak
yang tidak menginginkan adanya penyelesaian permasalahan yang ada di daerah, terutama
PKI. Musyawarah Nasional atau yang biasa kita sebut dengan ‘Munas’ dianggap sebagai suatu
langkah penting ke arah penyelesaian. Suatu hal yang memang patut disayangkan adalah tidak
dibicarakannya larangan komunisme.
Untuk mendampingi kabinet melaksanakan Piagam Palembang, Munas yang bersejarah itu
membentuk tiga badan. Permasalahan pembangunan ekonomi dibicarakan lebih lanjut dalam
Musyawarah Nasional Pembangunan (munap). Kedua adalah Panitia Sembilan yang dibentuk
dalam DPR untuk mengusahakan keutuhan Dwi Tunggal dan masalah ketatanegaraan. Badan
ketiga adalah Panitia Tujuh yang bertugas membicarakan masalah AD.
Menindak lanjuti pembentukan tiga badan tersebut, Panitia tujuh yang bisa langsung
bekerja segera membentuk Fact Finding Commission (FFC) untuk mengumpulkan data yang
akan dijadikan pertimbangan untuk mengambil keputusan. Setelah ditelusuri ternyata
permasalahan yang ada di Angkatan Darat tidak jauh berbeda dengan isi piagam yang dimiliki
oleh setiap dewan. Berdasarkan keterangan-keterangan yang dilaporkan oleh FFC, Panitia
Tujuh pun mulai memikirkan jalan keluar mengenai penyelesaian kemelut dalam tubuh AD.
Panitia membentuk jalan tengah yaitu membentuk tiga dewan militer. Masing masing dewan
tertinggi militer, dewan perancang militer, dan dewan kehormatan militer. Selain itu akan
dikeluarkan amnesti umum bagi para perwira di daerah yang bermasalah agar mereka bisa
datang ke Jakarta antara lain untuk mengambil bagian dalam dewan-dewan itu. Namun,
sayangnya sebelum rencana itu dirampungkan dan diumumkan, telah terjadi suatu peristiwa
yang memudarkan semua upaya tersebut, yaitu peristiwa Cikini 30 November 1957.
Singkatnya peristiwa Cikini adalah upaya untuk membunuh Presiden Soekarno,usut punya
usut Peristiwa ini di dalangi oleh PKI, tetapi pada akhirnya peristiwa tersebut tidak berhasil
membunuh presiden sesuai dengan tujuan awalnya. Para perwira yang masih menunggu hasil
dari panitia tujuh dan panitia sembilan pun ikut terseret dalam peristiwa tersebut, mereka di
tuduh melakukan upaya pembunuhan terhadap presiden. Karena hal itu lah para perwira yang
ada di Jakarta segera bertolak ke daerah mereka masing-masing dan mengadakan pertemuan
di Padang pada bulan Desember 1957 untuk bertahan diri jika sewaktu-waktu ada serangan
militer dari pusat.
Gagalnya upaya penyelasaian secara kekeluargaan pun membuat dewan-dewan yang ada
geram dengan tingkah laku pemerrintah pusat yang semakin mengesampingkan daerah-daerah
di luar Pulau Jawa. Pada 10 Februari 1958 Letkol A. Husein memberi ultimatum 5x24 jam
pada pemerintah agar tuntutannya dipenuhi. Inti dari tuntutan tersebut adalah presiden
mencabut Kabinet Djuanda dan memberikan tugas kepada Mohammad Hatta dan Sultan
Hamengkubuwono IX diberi mandat untuk membentuk kabinet.
Namun, Soekarno pun menolak dengan tegas ultimatum yang diberikan oleh Letkol A.
Husein. Karena merasa kecewa dengan jawaban Presiden Soekarno. Pada tanggal 15 Februari
1958 Letkol A. Husein memproklamirkan Telah berdirinya Pemerintahan Revolusioner
Republik Indonesia dengan Ketua Letkol A.Husein, Perdana Menteri M.Syafruddin
Prawiranegara, dan Panglima AD Letkol V. Samual (Tidak mau mengakui KSAD A.H
Nasution) sekaligus menolak kabinet yang saat itu menjabat yaitu kabinet Djuanda dengan
mendirikan kabinet perjuangan atau yang lebih kita kenal dengan kabinet PRRI. Berdirinya
PRRI mendapat dukungan penuh dari masyarakat setempat, terlebih lagi setelah beberapa
petinggi partai seperti Mohammad Natsir (pemimpin Masyumi), Syafrudin Prawiranegara
(mantan ketua PDRI dan menjadi perdana menteri PRRI), dan Soemitro Djojohadikusumo
mulai meninggalkan Jakarta karena merasa tidak aman dengan situasi setelah Peristiwa Cikini
tersebut. Karena hal ini lah masyarakat percaya bahwasanya pemerintah pusat telah benar-
benar tidak peduli lagi dengan kondisi yang ada di daerah

2.2 Penumpasan Pemberontakan PRRI/PERMESTA.


Tindakan Letkol A. Husein ini sudah dinilai sebagai gerakan separatisme secara besar-
besaran, mengingat wilayah cakupannya hampir seluruh Pulau Sumatra, dan sebagian Pulau
Sulawesi. Pemerintah pusat pun harus cekatan dalam menangani gerakan tersebut. Setelah
gagal menyelesaikannya lewat jalan kekeluargaan, pemerintah mau tidak mau mengerahkan
kekuatan militer untuk menumpas pemberontakan tersebut. Penumpasan PRRI/PERMESTA
mengerahkan operasi militer terbesar dan menyeluruh dari kesatuan-kesatuan Angkatan Perang
Operasi militernya pun dibagi menjadi beberapa daerah, yaitu :
1. Operasi 17 Agustus
Operasi militer ini dipimpin oleh Kolonel Ahmad Yani dengan sasaran daerahnya
ialah Sumatra Barat.
2. Operasi Sapta Marga
Operasi militer ini dipimpin oleh Brigjen Djatikoesomo dengan daerah sasarannya
ialah Sumatra Utara.
3. Operasi Sadar
Operasi militer ini dipimpin oleh Letkol Ibnu Sutowo dengan sasaran daerahnya
ialah Sumatra Selatan
4. Operasi Tegas
Operasi militer ini dipimpin oleh KSAD A.H Nasution dengan tujuan menduduki
ladang-ladang minyak di sekita kepulauan Sumatra dan Riau.
5. Operasi Merdeka
Operasi militer ini dipimpin oleh Letkol Rukminto Hendradiningrat dengan tujuan
menumpas gerakan PERMESTA di Sulawesi.
Awal bulan Maret 1958, pasukan dari Divisi Diponegoro dan Siliwangi yang berada di
bawah pimpinan Kolonel Ahmad Yani mendarat di Pulau Sumatra. Sebelum pasukan dari
Ahmad Yani mendarat di Pulau Sumatra, rupanya KSAD A.H Nasuion terlebih dahulu
mengirimkan Pasukan Resmi Para Komando Angkatan Darat di ladang-ladang minyak milik
Amerika Serikat yang berada di Kepulauan Sumatra dan Riau, upaya yang dilakukan oleh
KSAD A.H. Naution ini dinamakan dengan Operasi Tegas.
Alasan mengapa Kolonel Ahmad Yani memilih Riau adalah agar terebih dahulu dapat
mengepung ladang-ladang minyak milik Amerika serikat untuk menghindari campur tangan
dari Amerika Serikat. Strategi yang dipakai oleh Ahmad Yani sangatlah cerdas. Sebelum
pendaratan di Riau, Operasi yang mengerahkan hampir seluruh angkatan perang mulai dari
AU, AD, dan AL ini diawali dengan seragan pengalihan kapl-kapal perang milik AL di sekitar
perairan kota Padang. Tidak hanya Angkatan Laut saja, Angkatan Udara pun turut menjalani
serangan pengalihan tersebut dengan penembakan lewat udara. Dengan serang pengalihan ini
Letkol A. Husein pun berpikir kota Padang lah yang menjadi sasaran utama dari tentara pusat.

Karena strategi cerdas dari Kolonel Ahmad Yani ini, pada tanggal 14 Maret 1958 daerah
Pekanbaru berhasil dikuasai, dan Operasi Militer dikerahkan ke pusat pertahanan PRRI.
Gempuran pasukan APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia) secara besar-besaran baru
dilaksanakan pada tanggal 17 April 1958 melalui Operasi militer bersandi Operasi 17 Agustus.
Operasi pendaratan pasukan secara besar-besaran sebanyak 68.500 orang yang merupakan
pertama kali dalam sejarah peperangan RI berlangsung di utara Padang (Tabing) dengan
mengerahkan 6 kapal perang dan 19 kapal angkut.

Hadirnya puluhan ribu pasukan APRI melalui laut disusul penerjunan pasukan para
komando (RPKAD) lewat udara di kota Padang ternyata berhasil membuat pasukan PRRI jatuh
mentalnya dan kemudian memilih kabur ke pedalaman. Bahkan penumpasan di Kota Padang
ini hanya membutuhkan waktu 6 jam saja. Penumpasan pemberotakan PRRI dilanjutkan ke
daerah Bukit Tinggi dan Payakumbuh, yang pada tanggal 4 Mei 1958 berhasil dikuasai oleh
Pasukan TNI. Pada pertengahan tahun 1961 tokoh-tokoh PRRI yang tersisa menyerahkan diri
sesuai dengan anjuran pemerintah, yang didalamnya juga termasuk Letkol A.Husein yang
menyerahkan diri pada tanggal 29 Mei 1961.

Sedangkan penumpasan PERMESTA di daerah Sulawesi, Pemerintah melakukan operasi


militer yang disebut Operasi Merdeka pada April 1958 yang dipimpin oleh Letkol Rukminto
Hendradiningrat. Organisasi PERMESTA yang ada di Sulawesi ini mendapat bantuan
persenjataan dari pihak asing, sebenernya bukan hanya PERMESTA saja tetapi PRRI pun juga
mendapat bantuan dari pihak asing. Bukti bantuan asing tersebut adalah jatuhnya pesawat yang
dikemudikan oleh A.L Pope yang tertembak jatuh di Ambon pada tanggal 18 Mei 1958.
Operasi Merdeka yang dipimpin oleh Letkol Rukminto Hendradiningrat ini dibagi lagi
menjadi beberapa operasi militer, yaitu :

Operasi militer ini pun membuahkan hasil, terbukti bersamaan dengan penyerahan diri
yang dilakukan oleh tokoh-tokoh PRRI, tokoh-tokoh PERMESTA pun juga menyerahkan diri
pada pertengahan tahun 1961 yang didalamnya termasuk Letkol V. Sumual. Dengan
penyerahan diri yang dilakukan oleh PRRI/PERMESTA maka berakhirlah pemberontakan
besar-besaran pada sebagian besar wilayah Pulau Sumatra dan Pulau Sulawesi ini.

Dampak :
1. Jatuhnya korban jiwa
Dari pihak PRRI sendiri, korban yang jatuh kurang lebih sebanyak 22.174 jiwa, 4.360
mengalami luka-luka dan 8.072 orang ditahan. Sedangkan dari pihak APRI (Angkatan
Perang Republik Indonesia) pusa, telah merenggut 10.150 jiwa meninggal dunia yang
terdiri dari 2.499 tentara, 956 anggota OPR, 274 polisi dan 5.592 orang sipil.

2. Keadaan Ekonomi terganggu


Ketika gerakan ini terjadi, maka secara otomatis terjadi ketidakseimbangan pada roda
perekonomian masyarakat. Jika perekonomian masyarakat lumpuh, berhenti pula
pergerakan manusia diekitarnya. Kegiatan ekonominya lebih terarah pada sektor
konsumsi daripada produksi sehingga hal ini mengakibatkan banyak terjadinya
masalah. Sebab keuangan saat itu sedang tidak stabil lalu ditambah dengan
berhentinya perekonomian masyarakat.

3. Pembangunan Terhenti
Dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain, daerah di Sumatera mengalami krisis
pembangunan sehingga berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan ekonomi.
Pembangunan sendiri lumpuh akibat dari dampak masyarakat yang lebih tertarik pada
kegiatan konsumi daripada membuat produk sendiri.

4. Penurunan SDM
Dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain, daerah di Sumatera mengalami krisis
pembangunan sehingga berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan ekonomi.
Pembangunan sendiri lumpuh akibat dari dampak masyarakat yang lebih tertarik pada
kegiatan konsumi daripada membuat produk sendiri.

5. Hubungan Indonesia dengan Amerika Serikat terganggu


Adanya pergerakan PRRI yang tujuannya sama dengan tujuan pemberontakan
PKI dan tujuan pemberontakan DI / TII juga membawa dampak yang signifikan bagi
hubungan politik luar negeri Amerika Serikat dengan Indonesia. Ketidakharmonisan
ini terjadi karena adanya dukungan Amerika terhadap pemberontakan yang terjadi di
Indonesia. Dukungan ini terbukti ketika pesawat pengebom B-26 yang dikemudikan
oleh pilot bernama Allen Pope jatuh tanggal 18 Mei 1958 di sekitar Ambon.

6. Hubungan Indonesia dengan Malaysia terganggu


Selain hubungan dengan Amerika Serikat yang tidak membaik, hubungan Indonesia
dengan Malaysia juga terganggu. Malaysia yang baru merdeka pada tahun 1957
mendukung gerakan PRRI dengan menjadi negara pemasok senjata bagi pasukan
PRRI. Selain itu, Filipina, Singapura, Korea Selatan dan Taiwan juga terbukti
mendukung pergerakan PRRI.

7. Kesadaran berotonomi
Selain dampak-dampak yang bersifat negatif, pergerakan PRRI juga menimbulkan
dampak positif diantaranya adalah menimbulkan kesadaran pimpinan negara bahwa
Indonesia terdiri dari berbagai pulau dalam satu unsur-unsur negara kesatuan republik
Indonesia. Untuk itu penting bagi mereka untuk mendapatkan hak otonomi yang luas
bagi setiap daerah yang ada di Indonesia. Dimana hak otonomi tersebut disesuaikan
dengan potensi dan kemampuan masyarakat di daerah itu sendiri. Dengan demikian,
mereka dapat mengembangkan potensi yang ada di daerahnya sebagai upaya menjaga
keutuhan NKRI dan pergerakan semacam ini tidak terjadi lagi. Demikian dampak
adanya gerakan PRRI, semoga bermanfaat.
Kondisi Indonesia pasca pengakuan kedaulatan oleh belanda pada tahun 1948
memang belum sepenuhnya stabil. cabinet yang ada pun terus mengalami pergantian
yang menyebabkan persoalan persoalan-persoalan yang ada tak kunjung tuntas.
Keadaan itu membuat rakyat geram dan menuntut agar pemilu dipercepat.
Pada saat itu juga TNI memegang peran dwifungsi yang mana selain dari
tanah militer TNI juga memainkan peran dalam perpolitikan daerah. Hal ini membuat
KSAD kolonel AH Nasution mengusulkan untuk mengembalikan tantara sesuai
fungsinya. Karena hal itulah internal AD terbagi menjadi 2 kubu nasution-simatupang
dan supeno-lubis yang mempunyai pendapat saling bertolak belakang.
Akhirnya supeno pun mengirimkan surat ke parlemen karena merasa tidk

Anda mungkin juga menyukai