Anda di halaman 1dari 9

TUGAS PKN

TENTANG PEMERINTAHAN REVOLUSIONER REPUBLIK INDONESIA


(PRRI)

Disusun oleh :
Kelas : 9H
1. Novia Asri Safitri
2. Deavid Kristanto
3. Zenal Farhan
4. Riziq
5. Erik ADP
6. Sigit Alphandi
7. Ikhsan KW

SMP NEGERI 3 PURWAKARTA


GERAKAN REVOLUSIONER REPUBLIK INDONESIA (PRRI)
PERJUANGAN SEMESTA (PERMESTA)

1 Jalannya Pemberontakan PRRI/PERMESTA


Sebelum lahirnya PRRI, telah terjadi diskursus antara pusat dengan daerah. Pada Bulan November 1956, berkumpul di Padang
sekitar 600 pejuang eks-divisi Banteng. Dari pertemuan tersebut mereka membicarakan tentang tuntutan perbaikan dalam tentara AD
dan pemimpin negara. Pertemuan tersebut menyebabkan terbentuknya dewan-dewan di Sumatera dan Sulawesi. Pada awalnya,
dewan-dewan tersebut dibentuk dalam rangka mengatasi situasi perpolitikan Indonesia yang semakin mengarah pada perpecahan.
Selain itu, pembentukan dewan-dewan tersebut juga ditujukan untuk mengimbangi parlemen dalam rangka memajukan pembangunan
daerah yang masih tertinggal sehingga lebih terarah. Dewan-dewan yang di bentuk antara lain :
1) Dewan Gajah yang dipimpin oleh Kol Simbolon di sumatera Utara.
2) Dewan Banteng di sumatera tengah dipimpin oleh Ahmad Husein
3) dewan garuda di Sumatera selatan dipimpin oleh dhlan Djambek.
4) Dewan Manguni di Sulawesi yang dipimpin oleh Kol. Ventje Sumual.
Dewan-dewan tersebut menuntut adanya perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, terutama dalam melaksanakan
eksploitasi hasil bumi. Namun dengan adanya berbagai sebab seperti yang telah di uraikan di atas, maka dalam perkembangannya
bersifat agresif dan bertindak mencari kesalahan pusat. Hal tersebut terkait pula dengan pemberhentian Kol. Simbolon. Pemecatan
tersebut terkait dengan keterlibatannya dalam peristiwa penyelundupan di Teluk Nibung.
Melalui dewan gajah tersebut, Kol. Simbolon menentang pemerintah pusat yaitu dengan pernyataan:
 Melepaskan hubungan sementara dengan pemerintah pusat
 Mulai tanggal 22 Desember 1956 tidak lagi mengakui Kabinet Djuanda.
 Mulai tanggal 22 Desember 1956 mengambil alih pemerintahan di wilayah tertera dan tetorium I
Melalui pengumuman tersebut maka resmilah bahwa PRRI berjalan di Sumatera Utara. Pada tanggal 24 Desember 1956
mengeluarkan keputusan melalui Keputusan Presiden No.200/1956 yang menyatakan bahwa karesidenan Sumatera Timur dan
Tapanuli, serta semua perairan yang mengelilingnya dinyatakan dalam darurat perang (SOB).
Kericuhan juga terjadi di Sulawesi. Pada akhir Februari 1957, Panglima TT-VII Letkol Ventje Sumual mengadakan ”pertemuan
pendapat dan ide” dengan para Staffnya. Pertemuan tersebut melahirkan konsepsi yang isinya antara lain disebutkan bahwa
penyelesaian keamanan harus segera dilaksanakan agar pembangunan semesta segera dapat dimulai.
Kegiatan selanjutnya adalah mengadakan pertemuan di kantor Gubernur Makasar yang dihadiri oleh tokoh militer dan sipil
pada tanggal 2 Maret 1957. Pertemuan tersebut melahirkan Piagam Perjuangan Semesta [Permesta] yang ditandatangani oleh 51
tokoh masyarakat Indonesia Timur. Wilayah gerakan tersebut meliputi kepulauan Nusa Tenggara dan Maluku.untuk melancarkan
program kerja Permesta, maka Kol. Ventje Sumual menyatakan bahwa daerah Indonesia Timuur dalam keadaan bahaya [SOB=Staat
Van Oorlog en Bleg]. Seluruh pemerintahan daerah diambil alih oleh militer untuk menjaga ketenteraman rakyat dan demi
terlaksananya cita-cita Piagam Perjuangan Permesta.
Diantara dewan-dewan di daerah terdapat kerjasama dan saling berhubungan. Para pemimpin pemberontakan di Sumatra
mengadakan pertemuan di Sungai Dareh sekitar 109 kilo meter arah Timur, Padang, pada tanggal 9-10 Januari 1958. Dalam
pertemuan tersebut, telah dilakukan pertemuan yang dihadiri Letkol Ahmad Hussein, Kolonel Simbolon, Letkol Ventje Sumual,
Letkol Barlian, Kolonel Zulkifli Lubis, Sumitro Djojohadikusumo, Syafruddin Prawira Negara, Mohammad Natsir dan Burhanuddin
Harahap. Pertemuan itu mengamanatkan forum perwira pembangkang ini untuk aktif mencari senjata di luar negeri dan untuk
mematangkan rencana pemberontakan, serta membicarakan soal rencana pemberian ultimatum kepada pemerintah pusat dan
pembentukan negara secara terpisah dari RI jika ultimatum tersebut tidak dipenuhi dalam waktu 5×24 jam. Isi Ultimatum tersebut
antara lain: di bidang pemerintahan dituntut agar pemerintah memberikan Otonomi yang luas kepada daerah. Pada bidang
pembangunan menuntut agar pemerintah melakukan perbaikan radikal di segala bidang, sedangkan di bidang militer, dewan Banteng
menuntut supaya dibentuk komandan utama di Sumatera Utara.
Pemerintah menolak dengan tegas ultimatum tersebut, bahkan para perwira yang terlibat didalamnya justru dipecat oleh
Pemerintah Pusat. Kemudian di Sumatra, kolonel Simbolon membacakan proklamasi Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia
(PRRI) pada 15 Februari 1958, dengan ibukota di Bukittinggi. Sedangkan Safrudin Prawiranegara diangkat sebagai Perdana Menteri.
Di Sulawesi, proklamasi PRRI disambut oleh kaum separatis Permesta. Kol Somba, Komandan Deputi Wilayah Militer
Sulawesi Utara dan Tengah mengumumkan bahwa sejak 17 Februari 1958, mendukung PRRI dan menyatakan memisahkan diri dari
pusat. Permesta menjadi praktis sayap timur PRRI. Pusat pemberontakan ini berada di Makassar yang pada waktu itu merupakan ibu
kota Sulawesi. Setahun kemudian, pada 1958 markas besar Permesta dipindahkan ke Manado. Disini timbul kontak senjata dengan
pasukan pemerintah pusat sampai mencapai gencatan senjata. Masyarakat di daerah Manado waktu itu tidak puas dengan keadaan
ekonomi mereka. Pada waktu itu masyarakat Manado juga mengetahui bahwa mereka juga berhak atas hak menentukan diri sendiri
(self determination).
Para pemimpin Permesta mencari dukungan dari pihak manapun untuk mencapai tujuannya mengingat keyakinan akan adanya
tindakan tegas dari pemerintah pusat. Berkaitan dengan pengeboman Manado oleh pasukan RI, maka perwakilan Permesta
mengadakan hubungan dengan para pemberontak Permesta di Filiphina, dan menemui pejabat CIA untuk mendapatkan bantuan
persenjataan. Pemimpin Permesta di Taiwan meminta bantuan kepada pemerintah setempat untuk mendukung permesta, sehingga
mendapat dukungan dari dinas rahasia Taiwan. Para presiden dari Korea Selatan dan Filiphina juga memberikan bantuan kepada
kaum pemberontak.

2. Situasi dan Kondisi Bangsa Indonesia Secara Umum pada Saat Pemberontakan PRRI/PERMESTA
a. Kondisi Politik
Tatanan politik yang diatur oleh UUDS 1950 menuntut sikap formal-legalistik. Bangsa indonesia memasuki periode demokrasi
liberal yang berdasarkan demokrasi parlementer. Para menteri bertanggungjawab kepada perdana menteri, bukan kepada presiden.
Setelah dibentuknya kabinet Parlemen, kondisi politik Indonesia semakin kacau. Pergantian kabinet secara terus menerus yang terjadi
hampir setiap tahun. Berbagai kebijakan silih berganti tiap periode menimbulkan keadaan yang tidak kondusif.
Pecahnya Dwi-tunggal Soekarto-Hatta memperburuk kondisi perpolitikan bangsa. Pada 1 Desember 1956 Hatta mengundurkan
diri secara resmi dari jabatanya sebagai wakil presiden. Hubungan Soekarno-Hatta mulai retak sejak tahun 1955. Perbedaan pendapat
dan latar belakang walaupun keduanya sebagai tokh muslim yang nasionalis, namun Soekarno cenderung ke Marxis serta bermain api
dengan komunis, sedangkan Hatta cenderung ke Sosialis dan anti komunis. Akhir tahun 1956, Bung Karno telah sering
mengungkapkan ketidakpuasannya terhadap sistem parlementer yang ada dan berencana memperbaharui sistem pemerintahan
menjadi sistem pemerintahan ”Demokrasi Terpimpin”, demokrasi yang dianggap oleh Soekarno sebagai demokrasi yang lebih
didasarkan atas mufakat daripada demokrasi secara Barat yang memecah belah berdasar keputusan”50%+1”. Demokrasi terpimpin
dijalankan dengan Dasar ”Kabinet Gotong Royong” yang merangkul semua partai politik yang ada, termasuk PKI. Soekarno juga
ingin menyampaikan ”konsepsi”nya mengenai fraksi politik di Indonesia. Konsepsi presiden merupakan cerminan kekecewaan Bung
Karno terhadap sistem parlementer. Mencakup dukungan publik Soekarno supaya PKI memainkan peranan yang lebih besar dalam
dunia politik Indonesia.

b. Kondisi Perekonomian
Kegagalan ekonomi yang sedang dialami oleh pemerintah sejak awal kemerdekaan berada pada titik kekacauan. Kegagalan
pembangunan ekonomi yang di alami bangsa ini sangat dirasakan oleh berbagai golongan. Kebijakan ekonomi Kabinet Hatta yang
akomodatif terhadap modal asing dipertahankan oleh kabinet-kabinet berikutnya, antara lain kabinet Natsir, Sukiman, dan kabinet
Wilopo. Tetapi sejak kabinet Ali I (1953-1954), haluan politik itu sama sekali ditinggalkan. Program ekonomi kabinet seringkali
hanyalah sembohyan. Kabinet ini menganggap bahwa modal asing sangat merugikan bagi negara. Namun disisi lain, pembangunan
administratif sangat diperhatikan. Penggalangan persatuan dilakukan dengan cara dropping pegawai dari pusat ke daerah. Partai PNI
semakin nampak diperkuat.
Pada masa kabinet Ali II, membawa permasalahan yang semakin parah. Sentralisme melalui sistem dropping pegawai
mendesak putra-putra daerah dalam mengatur urusan daerah sendiri, serta peranan mereka di pusat. Semua administrator pemerintah
mayoritas berasal dari Jawa, sedangkan yang berasal dari putera daerah hanyalah pimpinan militernya saja. Sistem birokrasi sangat
berkaitan dengan partai politik yang sedang berkuasa. Sedangkan keinginan untuk ber-otonomi semakin kuat di setiap daerah.
Permasalahan Militer di Indonesia
Di dalam tubuh suatu negara pastilah terdapat separangkat alat-alat negara. Setiap alat mempunyai fungsi khusus dan saling
terkait antara satu dengan yang lain. Salah satu alat yang sangat vital peranannya dalam pemeliharaan keutuhan serta pertahanan
negara adalah tentara atau militer. Militer merupakan lembaga yang mempunyai eksklusivitas tersendiri. Keprofesionalisme-annya
perlu di hormati oleh sipil. Keberadaanya harus diperhatikan. Militer di suatu negara baru merdeka cenderung melangkah ke arah
politik. Hal tersebut terkait dengan peranannya dalam perjuangan mereka pra-kemerdekaan suatu bangsa. Militer selalu menjadi
oposan bagi pemerintahan sipil. Jika pemerintahan sipil dirasa tidak mampu memerintah dengan baik maka pemberontakan maupun
perebutan kekuasaan oleh militer mustahil untuk tidak terjadi. Salah satu contohnya adalah gerakan PRRI/PERMESTA di Indonesia.
Tekanan pada tentara yang profesional memang penting, namun dalam kondisi politik yang tidak menentu menenggelamkan
potensi laten yang terbukti ampuh pada masa perang kemerdekaan. Oleh sebab itu, berbagai problem sosial dan ekonomi yang
muncul nyaris tidak dapat teratasi. Sebenarnya gerakan PRRI/Permesta hanyalah koreksi terhadap kebijakan pemerintah pusat serta
keadaan yang morat-marit demi kepentingan bangsa secara umum.

c. Situasi di Daerah
Peristiwa pemberontakan PRRI/Permesta yang terjadi juga tidak lepas dari berbagai factor yang menyebabkannya. Factor
politis dan ekonomis sangat berperan sebagai penyebab dari pemberontakan ini. Sejak 1950, daerah tetap menjadi produsen ekspor,
namun hasilnya lebih dimanfaatkan oleh pusat. Kondisi inilah yang menyebabkan kecenderungan ”sentralistik” dalam pandangan
permesta. Hubungan antara pusat dan daerah menjadi kurang harmonis. Hal tersebut dikarenakan perbedaan pendapat antara daerah
dengan pusat. Daerah menganggap bahwa kebijakan pemerintah tidak sesuai dengan daerah. Sedangkan pemerintah pusat
menganggap bahwa daerah kurang mampu dalam melaksanakan tugasnya.
Daerah luar Jawa merasa tidak puas dengan keadaan yang ada, karena mereka menganggap bahwa dana alokasi untuk daerah
dirasakan sangat kurang dan tidak mencukupi untuk melaksanakan pembangunan. Pada akhirnya muncul upaya dari pihak militer
yang mendapat dukungan dari beberapa tokoh sipil untuk melakukan koreksi terhadap kebijakan- kebijakan pemerintah.
Kegagalan pembangunan ekonomi yang di alami bangsa ini sangat dirasakan oleh berbagai golongan. Salah satunya adalah
golongan prajurit yang merasakan kesulitan tersebut. Tindakan-tindakan pemerintah dalam masalah ekonomi seperti penyalahgunaan
devisa, pemberian ijin istimewa kepada anggota partai penyokongnya serta birokrasi yang berbelit-belit menghambat para pedagang.
Para pimpinan pasukan di berbagai wilayah juga dibuat kesal oleh alokasi keuangan yang tidak terlaksana semestinya bagi operasi-
operasi militer serta kesejahteraan prajurit. Akhirnya tindakan ekspor/“barter” dilakukan tanpa disesuaikan dengan prosedur di
Jakarta. Hal tersebut dilakukan di Sulawesi Utara dan Sumatera Utara, serta panglima pasukan dari wilayah lainnya. Keterlibatan TT
I dalam peristiwa ”barter” yaitu keterlibatan mereka dalam memberikan perlindungan kepada pengusaha-pengusaha yang melakukan
ekspor–ekspor yang dianggap merugikan negara menyebabkan KASAD Nasution memberhentikan Kolonel Simbolon untuk
sementara. Selain itu, beberapa perwira tinggi militer Sumatera terlibat dalam peristiwa Cikini dan merencanakan pemberontakan
diberhentikan dengan tidak hormat. Di Sulawesi, situasi yang mendorong lahirnya Permesta yaitu masalah otonom intern di
Indonesia Timur dan di pengaruhi oleh pembentukan dewan-dewan di Sumatera.

3. Dampak dari Pemberontakan PRRI/PERMESTA bagi Bangsa Indonesia


Terjadinya PRRI/Permesta membawa luka luar dalam bagi masyarakat di dalamnya. Di Minang, korban yang jatuh dari pihak
PRRI kurang lebih berjumlah 22.174 jiwa, 4.360 luka-luka, 8.072 ditahan. Dari pihak APRI pusat jumlah yang meninggal adalah
10.150 jiwa, terdiri dari 2.499 tentara, 956 anggota OPR, 274 Polisi, dan 5.592 orang sipil. Pembangunan fisik yang selama ini
dibangun menjadi hancur. Masyarakat Minang menjadi rendah diri, muno, lalu cigin ke rantau.
Perubahan kebijakan oleh Pemerintah Pusat terhadap daerah. Dekrit presiden 5 juli 1959 yang menetapkan kembalinya
pemerintahan sesuai dengan UUD 1945. Dengan berhasil ditumpasnya PRRI/Permesta maka PKI justru berkembang sebagai
kekuatan yang semakin kuat di tubuh TNI AD dan semakin berpengaruh terhadap Soekarno dalam kaitannya dengan perpolitikan
Indonesia yaitu diakuinya Nasakom [nasionalisme, sosialisme, dan agama]. Dampak selanjutnya adalah menimbulkan kesadaran di
kalangan pimpinan negara bahwa wilayah NKRI terdiri dari kepulauan yang luas dan beraneka ragam masalah di setiap daerah.
Sembohya Binneka tunggal Ika harus dihayati makna dan hakekatnya. Hak otonomi yang luas memang perlu diberika kepada setiap
daerah agar setia ebijakan sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan masing-masing daerah.
Peristiwa gerakan separatis tersebut menyebabkan jatuhnya kabinet Ali II pada tanggal 14 Maret 1957 yang ditandai dengan
penyerahan mandat dari Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo kepada Presiden. Kabinet tersebut digantikan oleh kabinet Djuanda
yang secara resmi di bentuk pada tanggal 9 April 1957.

4. Upaya Penumpasan dari Pemberontakan PRRI/PERMESTA


a. Upaya Diplomatis
Melihat realita yang terjadi, Pemerintah Pusat melakukan berbagai cara untuk menyelesaikannya. Langkah pertama yang
dilakukan oleh Kasad Nasution terhadap timbulnya awal gejolak pada bulan Desember 1956 adalah dengan mengeluarkan surat
perintah tanggal 2 januari 1957 untuk Kolonel Gatot Subroto, Kol. Ahmad Yani, Letkol. Sjoeib, Mayor Alwin Nurdin, Ayor Sahala
Hutabarat, dan Mayor Ali Hasan untuk menemui kolo. Simbolon dan para komandan resimennya untuk mengusahakan agar tidak
terjadi bentrok secara fisik. Namun usaha ini tidak berhasil karena cenderung kontroversif dengan keadaan. Mayjen Nasution telah
melakukan pendekatan terselubung terhadap bawahan Simbolon sendiri, yaitu Letkol. Djamin Ginting dan Letkol Wahab Makmur
untuk mengambil kedudukan panglima.
Usaha Pemerintah Pusat untuk memenuhi tuntutan daerah yaitu dengan mengirim sejumlah misi, seperti misi Kol. Dahlan
Djambel, menteri pertanian Eny Karim, Dr.J Leimena/ Sanusi, Prof. Zairin Zein/ Nazir Pamuntjak, dan Kol. Mokoginta Cs. Misi-misi
tersebut ditujukan untuk menyelesaikan masalah di Sumatera Tengah. Misi tersebut kemudian disusul dengan pembentukan Panitia
Tujuh dan penyelenggaraan Munas serta Musyawarah pembangunan. Namun semua usaha diplomatis yang dilakukan Pemerintah
Pusat tidak berhasil.

b. Tindakan dari RI terhadap PRRI dan Permesta secara Bersenjata


Penolakan terhadap ultimatum PRRI oleh Pusat diikuti dengan pemboman terhadap Padang dan daerah kantong pemberontakan
lainnya. Kemudian pemberontakan terang-terangan terjadi di Sumatera dan diikuti oleh Permesta di Sulawesi. Setelah melihat situasi
tersebut, pemerintah Pusat melakukan upaya lebih lanjut dengan operasi militer. Operasi tersebut antara lain :
1) Operasi yang dilaksanakan di Sumatera
 Operasi tegas dilaksanakan pada 12 Maret 1958 di Sumatra Timur.
 16 April 1958, pengiriman pasukan dalam ”Operasi 17 Agustus” di bawah Kolonel Achmad Yani, yang dibantu oleh
seorang perwira Angkatan Darat AS, Benson. Tanggal 17 April, pasukan Yani telah menguasai Padang sepenuhnya.
 Operasi Sapta Marga dibawah Brigadir Jenderal Jatikusuma dengan sasaran Sumatera Timur dan Sumatera Utara.
 Operasi Sadar dibawah pimpinan Letkol. Ibnu Sutowo dengan daerah sasaran Sumatera Selatan.
2) Pemecatan terhadap para pemimpin pemberontakan dari jajaran militer Indonesia, dan dilaksanakan Operasi Marga pada
bulan April untuk menumpas Permesta.
 Operasi Sapta Marga I dibawah pimpinan Letkol. Soemarsono dengan sasaran Sulawesi Tengah
 Operasi Sapta Marga II dibawah pimpinan Letkol. Agus Pramono dengan sasaran Sulawesi Utara bagian Selatan
 Operasi Sapta Marga III dibawah pimpinan Letkol. Magenda dengan sasaran sebelah Utara Menado.
 Operasi Sapta Marga IV dibawah pimpinan Letkol. Rukminto Hendraningrat dengan sasaran Sulawesi Utara
 Operasi Sapta Marga V dibawah pimpinan Pieters dengan sasaran Jailolo.
 Operasi Sapta Marga VI dibawah pimpinan Letkol. KKO. H.H W. Huhnhloz dengan sasaran Murotai

5. Akhir dari Pemberontakan PRRI/PERMESTA


Pemberontakan di Sumatra dapat dengan mudah ditumpas oleh pemerintah. Mereka tidak melakukan perlawanan yang berarti.
Pasukan banyak yang melarikan diri, bersebunyi dan menyerah. Para tentara kebanyakan dari para pelajar dan mahasiswa yang belum
berpengalaman dalam perang. Tawaran Soekarno dan Nasution tentang pemberian amnesti, abolisi dan rehabilitasi diterima oleh
mereka.

Anda mungkin juga menyukai