Disusun oleh :
Kelas : 9H
1. Novia Asri Safitri
2. Deavid Kristanto
3. Zenal Farhan
4. Riziq
5. Erik ADP
6. Sigit Alphandi
7. Ikhsan KW
2. Situasi dan Kondisi Bangsa Indonesia Secara Umum pada Saat Pemberontakan PRRI/PERMESTA
a. Kondisi Politik
Tatanan politik yang diatur oleh UUDS 1950 menuntut sikap formal-legalistik. Bangsa indonesia memasuki periode demokrasi
liberal yang berdasarkan demokrasi parlementer. Para menteri bertanggungjawab kepada perdana menteri, bukan kepada presiden.
Setelah dibentuknya kabinet Parlemen, kondisi politik Indonesia semakin kacau. Pergantian kabinet secara terus menerus yang terjadi
hampir setiap tahun. Berbagai kebijakan silih berganti tiap periode menimbulkan keadaan yang tidak kondusif.
Pecahnya Dwi-tunggal Soekarto-Hatta memperburuk kondisi perpolitikan bangsa. Pada 1 Desember 1956 Hatta mengundurkan
diri secara resmi dari jabatanya sebagai wakil presiden. Hubungan Soekarno-Hatta mulai retak sejak tahun 1955. Perbedaan pendapat
dan latar belakang walaupun keduanya sebagai tokh muslim yang nasionalis, namun Soekarno cenderung ke Marxis serta bermain api
dengan komunis, sedangkan Hatta cenderung ke Sosialis dan anti komunis. Akhir tahun 1956, Bung Karno telah sering
mengungkapkan ketidakpuasannya terhadap sistem parlementer yang ada dan berencana memperbaharui sistem pemerintahan
menjadi sistem pemerintahan ”Demokrasi Terpimpin”, demokrasi yang dianggap oleh Soekarno sebagai demokrasi yang lebih
didasarkan atas mufakat daripada demokrasi secara Barat yang memecah belah berdasar keputusan”50%+1”. Demokrasi terpimpin
dijalankan dengan Dasar ”Kabinet Gotong Royong” yang merangkul semua partai politik yang ada, termasuk PKI. Soekarno juga
ingin menyampaikan ”konsepsi”nya mengenai fraksi politik di Indonesia. Konsepsi presiden merupakan cerminan kekecewaan Bung
Karno terhadap sistem parlementer. Mencakup dukungan publik Soekarno supaya PKI memainkan peranan yang lebih besar dalam
dunia politik Indonesia.
b. Kondisi Perekonomian
Kegagalan ekonomi yang sedang dialami oleh pemerintah sejak awal kemerdekaan berada pada titik kekacauan. Kegagalan
pembangunan ekonomi yang di alami bangsa ini sangat dirasakan oleh berbagai golongan. Kebijakan ekonomi Kabinet Hatta yang
akomodatif terhadap modal asing dipertahankan oleh kabinet-kabinet berikutnya, antara lain kabinet Natsir, Sukiman, dan kabinet
Wilopo. Tetapi sejak kabinet Ali I (1953-1954), haluan politik itu sama sekali ditinggalkan. Program ekonomi kabinet seringkali
hanyalah sembohyan. Kabinet ini menganggap bahwa modal asing sangat merugikan bagi negara. Namun disisi lain, pembangunan
administratif sangat diperhatikan. Penggalangan persatuan dilakukan dengan cara dropping pegawai dari pusat ke daerah. Partai PNI
semakin nampak diperkuat.
Pada masa kabinet Ali II, membawa permasalahan yang semakin parah. Sentralisme melalui sistem dropping pegawai
mendesak putra-putra daerah dalam mengatur urusan daerah sendiri, serta peranan mereka di pusat. Semua administrator pemerintah
mayoritas berasal dari Jawa, sedangkan yang berasal dari putera daerah hanyalah pimpinan militernya saja. Sistem birokrasi sangat
berkaitan dengan partai politik yang sedang berkuasa. Sedangkan keinginan untuk ber-otonomi semakin kuat di setiap daerah.
Permasalahan Militer di Indonesia
Di dalam tubuh suatu negara pastilah terdapat separangkat alat-alat negara. Setiap alat mempunyai fungsi khusus dan saling
terkait antara satu dengan yang lain. Salah satu alat yang sangat vital peranannya dalam pemeliharaan keutuhan serta pertahanan
negara adalah tentara atau militer. Militer merupakan lembaga yang mempunyai eksklusivitas tersendiri. Keprofesionalisme-annya
perlu di hormati oleh sipil. Keberadaanya harus diperhatikan. Militer di suatu negara baru merdeka cenderung melangkah ke arah
politik. Hal tersebut terkait dengan peranannya dalam perjuangan mereka pra-kemerdekaan suatu bangsa. Militer selalu menjadi
oposan bagi pemerintahan sipil. Jika pemerintahan sipil dirasa tidak mampu memerintah dengan baik maka pemberontakan maupun
perebutan kekuasaan oleh militer mustahil untuk tidak terjadi. Salah satu contohnya adalah gerakan PRRI/PERMESTA di Indonesia.
Tekanan pada tentara yang profesional memang penting, namun dalam kondisi politik yang tidak menentu menenggelamkan
potensi laten yang terbukti ampuh pada masa perang kemerdekaan. Oleh sebab itu, berbagai problem sosial dan ekonomi yang
muncul nyaris tidak dapat teratasi. Sebenarnya gerakan PRRI/Permesta hanyalah koreksi terhadap kebijakan pemerintah pusat serta
keadaan yang morat-marit demi kepentingan bangsa secara umum.
c. Situasi di Daerah
Peristiwa pemberontakan PRRI/Permesta yang terjadi juga tidak lepas dari berbagai factor yang menyebabkannya. Factor
politis dan ekonomis sangat berperan sebagai penyebab dari pemberontakan ini. Sejak 1950, daerah tetap menjadi produsen ekspor,
namun hasilnya lebih dimanfaatkan oleh pusat. Kondisi inilah yang menyebabkan kecenderungan ”sentralistik” dalam pandangan
permesta. Hubungan antara pusat dan daerah menjadi kurang harmonis. Hal tersebut dikarenakan perbedaan pendapat antara daerah
dengan pusat. Daerah menganggap bahwa kebijakan pemerintah tidak sesuai dengan daerah. Sedangkan pemerintah pusat
menganggap bahwa daerah kurang mampu dalam melaksanakan tugasnya.
Daerah luar Jawa merasa tidak puas dengan keadaan yang ada, karena mereka menganggap bahwa dana alokasi untuk daerah
dirasakan sangat kurang dan tidak mencukupi untuk melaksanakan pembangunan. Pada akhirnya muncul upaya dari pihak militer
yang mendapat dukungan dari beberapa tokoh sipil untuk melakukan koreksi terhadap kebijakan- kebijakan pemerintah.
Kegagalan pembangunan ekonomi yang di alami bangsa ini sangat dirasakan oleh berbagai golongan. Salah satunya adalah
golongan prajurit yang merasakan kesulitan tersebut. Tindakan-tindakan pemerintah dalam masalah ekonomi seperti penyalahgunaan
devisa, pemberian ijin istimewa kepada anggota partai penyokongnya serta birokrasi yang berbelit-belit menghambat para pedagang.
Para pimpinan pasukan di berbagai wilayah juga dibuat kesal oleh alokasi keuangan yang tidak terlaksana semestinya bagi operasi-
operasi militer serta kesejahteraan prajurit. Akhirnya tindakan ekspor/“barter” dilakukan tanpa disesuaikan dengan prosedur di
Jakarta. Hal tersebut dilakukan di Sulawesi Utara dan Sumatera Utara, serta panglima pasukan dari wilayah lainnya. Keterlibatan TT
I dalam peristiwa ”barter” yaitu keterlibatan mereka dalam memberikan perlindungan kepada pengusaha-pengusaha yang melakukan
ekspor–ekspor yang dianggap merugikan negara menyebabkan KASAD Nasution memberhentikan Kolonel Simbolon untuk
sementara. Selain itu, beberapa perwira tinggi militer Sumatera terlibat dalam peristiwa Cikini dan merencanakan pemberontakan
diberhentikan dengan tidak hormat. Di Sulawesi, situasi yang mendorong lahirnya Permesta yaitu masalah otonom intern di
Indonesia Timur dan di pengaruhi oleh pembentukan dewan-dewan di Sumatera.