Anda di halaman 1dari 4

Pemberontakan PRRI/Permesta

November 10, 2015iisduasmansa

Pemberontakan PPRI dan Permesta terjadi karena adanya ketidakpuasan


beberapa daerah di Sumatra dan Sulawesi terhadap alokasi biaya pembangunan
dari pemerintah pusat. Ketidakpuasan tersebut didukung oleh beberapa panglima
militer. Tujuan dari pemberontakan PRRI ini adalah untuk mendorong
pemerintah supaya memperhatikan pembangunan negeri secara menyeluruh,
sebab pada saat itu pemerintah hanya fokus pada pembangunan yang berada di
daerah Pulau jawa. PRRI memberikan usulan atas ketidakseimbangan
pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah pusat.

Meskipun alasan yang dilakukan oleh PRRI ini benar, namun cara yang
digunakan untuk mengoreksi pemerintah pusat itu salah. PRRI menuntut kepada
pemerintah pusat dengan nada paksaan, sehingga pemerintah menganggap
bahwa tuntutannya itu bersifat memberontak. Hal tersebut menimbulkan kesan
bagi pemerintah pusat bahwa PRRI adalah suatu bentuk pemberontakan. Akan
tetapi, jika PRRI itu dikatakan sebagai pemberontak, hal ini merupakan
anggapan yang tidak tepat sebab sebenarnya PRRI ingin membenahi dan
memperbaiki sistem pembangunan yang dilakukan pemerintah pusat, bukan
untuk menjatuhkan pemerintahan Republik Indonesia.

Selanjutnya mereka membentuk dewan-dewan militer daerah, seperti :

1. Dewan Banteng di Sumatra Barat dipimpin oleh Kolonel Achmad Husein


(Komandan Resimen Infanteri 4) dibentuk pada 20 Desember 1956
2. Dewan Gajah di Medan dipimpin oleh Kolonel Maludin Simbolon, Panglima
Tentara dan Teritorium I (TTI) pada tanggal 22 Desember 1956.
3. Dewan Garuda, dibentuk pada pertengahan bulan Januari 1957 oleh Letnan
Kolonel Barlian.
4. Dewan Manguni, dibentuk pada tanggal 17 Pebruari 1957 di Manado oleh
Mayor Somba.

Sementara itu di Indonesia bagian timur juga terjadi pergolakan. Tanggal 2 Maret
1957 di Makassar, Panglima TT VII Letkol Ventje Sumual
memproklamasikan Piagam Perjoangan Rakyat Semesta (Permesta). Piagam
tersebut ditandatangani oleh 51 tokoh. Wilayah gerakannya meliputi Sulawesi,
Nusa Tenggara, dan Maluku. Untuk memperlancar gerakannya dinyatakan
bahwa daerah Indonesia bagian timur dalam keadaan bahaya. Seluruh
pemerintahan daerah diambil alih oleh militer pemberontak.

Untuk meredakan pergolakan di daerah maka pada tanggal 14 September 1957


dilaksanakan Musyawarah Nasional (Munas) yang dihadiri tokoh-tokoh nasional
baik di pusat maupun di daerah. Membicarakan mengenai masalah
pemerintahan, masalah daerah, ekonomi, keuangan, angkatan perang,
kepartaian, serta masalah dwitunggal Soekarno-Hatta. Sebagai tindak lanjut
Munas maka diselenggarakan Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap)
yang bertempat di Gedung Olah raga Medan Merdeka Selatan Jakarta. Dengan
Tujuan merumuskan usaha-usaha pembangunan sesuai dengan keinginan
daerah-daerah. Untuk membantu mengatasi persoalan di lingkungan Angkatan
Darat dibentuklah panitia Tujuh, akan tetapi sebelum panitia tujuh
mengumumkan hasil pekerjaannya terjadilah peristiwa Cikini.

Peristiwa Cikini ini semakin memperburuk keadaan di Indonesia. Daerah-daerah


yang bergejolak semakin menunjukkan jati dirinya sebagai gerakan melepaskan
diri dari pemerintah pusat. Bahkan pada tanggal 9 Januari 1958 diselenggarakan
pertemuan di Sumatra Barat yang dihadiri tokoh-tokoh sipil dan militer daerah.
Pada 10 Januari 1958 diselenggarakan rapat raksasa di Padang. Dalam
pidatonya, Ketua Dewan Banteng, Achmad Husein menyampaikan ultimatum
kepada pemerintah pusat yang berisi:

1. Mendesak kabinet Djuanda supaya mengundurkan diri dan mengembalikan


mandatnya kepada Presiden Soekarno.
2. Mendesak pejabat presiden, Mr. Sartono untuk membentuk kabinet baru yang
disebut Zaken Kabinet Nasional yang bebas dari pengaruh PKI (komunis).
3. Mendesak kabinet baru tersebut diberi mandat sepenuhnya untuk bekerja
hingga pemilihan umum yang akan datang.
4. Mendesak Presiden Soekarno membatasi kekuasaannya dan mematuhi
konstitusi.
5. Jika tuntutan tersebut di atas tidak dipenuhi dalam waktu 5×24 jam maka
Dewan Perjuangan akan mengambil kebijakan sendiri.

Menanggapi ultimatum tersebut, Sidang Dewan Menteri memutuskan untuk


menolaknya dan memecat secara tidak terhormat perwira-perwira TNI-AD yang
duduk dalam pimpinan gerakan sparatis, yaitu Letkol Achmad Husein, Kolonel
Zulkifli Lubis, Kolonel Dachlan Djambek, dan Kolonel Simbolon. Pada 12
Februari 1958, KSAD A.H Nasution mengeluarkan perintah untuk membekukan
Kodim Sumatra Tengah dan selanjutnya dikomando langsung oleh KSAD.
Sementara itu pada, 15 Februari 1958, Achmad Husein memproklamasikan
berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia
(PRRI) dengan Syarifudin Prawiranegara sebagai perdana menterinya. Kabinet
PRRI terdiri dari:

 Sjafruddin Prawiranegara sebagai Perdana Menteri merangkap Menteri


Keuangan,
 Assaat Dt. Mudo sebagai Menteri Dalam Negeri, Dahlan Djambek sempat
memegangnya sebelum Mr. Assaat sampai di Padang,
 Maluddin Simbolon sebagai Menteri Luar Negeri,
 Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo sebagai Menteri Perhubungan dan
Pelayaran,
 Muhammad Sjafei sebagai Menteri PPK dan Kesehatan,
 F. Warouw sebagai Menteri Pembangunan,
 Saladin Sarumpaet sebagai Menteri Pertanian dan Perburuhan,
 Muchtar Lintang sebagai Menteri Agama,
 Saleh Lahade sebagai Menteri Penerangan,
 Ayah Gani Usman sebagai Menteri Sosial,
 Dahlan Djambek sebagai Menteri Pos dan Telekomunikasi setelah Mr. Assaat
sampai di Padang

Proklamasi PRRI mendapatkan sambutan dari Indonesia bagian Timur. Dalam


rapat-rapat raksasa yang dilaksanakan di beberapa daerah Komando Daerah
Militer Sulawesi Utara dan Tengah, Kolonel D. J Somba mengeluarkan
pernyataan bahwa sejak tanggal 17 Februari 1958 Kodim Sulawesi Utara dan
Tengah (KDMSUT) menyatakan putus hubungan dengan pemerintah pusat dan
mendukung PRRI.

Untuk memulihkan keamanan Negara, pemerintah bersama dengan KSAD


memutuskan untuk melakukan operasi militer. Operasi gabungan AD-AL-AU
terhadap PRRI ini diberi nama Operasi 17 Agustus yang dipimpin oleh Letnan
Kolonel Ahmad Yani. Operasi pertama kali ditujukan ke Pekanbaru untuk
mengamankan sumber-sumber minyak. Pada tanggal 14 Maret 1958 Pekanbaru
berhasil dikuasai. Operasi militer kemudian dikembangkan ke pusat pertahanan
PRRI. Pada tanggal 4 Mei 1958 Bukittinggi berhasil direbut kembali. Selanjutnya,
pasukan TNI membersihkan daerah-daerah bekas kekuasaan PRRI. Banyak
anggota PRRI yang melarikan diri ke hutan-hutan.

Untuk mengatasi pemberontakan PERMESTA, KSAD sebagai Penguasa Perang


Pusat memecat Kolonel Somba dan Mayor Runturambi, sedangkan Batalion
yang berada di bawah KDMSUT diserahkan kepada Komando Antardaerah
Indonesia Timur. Untuk menumpas aksi Permesta, pemerintah melancarkan
operasi gabungan yang disebut Operasi Merdeka yang dipimpin oleh Letkol
Rukminto Hendraningrat pada bulan April 1958. Operasi ini terdiri dari beberapa
bagian:

1. Operasi Saptamarga I di bawah pimpinan Letnan Kolonel Soemarsono


dengan daerah sasaran Sulawesi Utara bagian Tengah.
2. Operasi Saptamarga II di bawah pimpinan Letnan Kolonel Agus Prasmono
dengan sasaran Sulawesi Utara bagian Selatan.
3. Operasi Saptamarga III di bawah pimpinan Letnan Kolonel Magenda dengan
daerah sasaran kepulauan Sebelah utara Manado.
4. Operasi Saptamarga IV di bawah pimpinan langsung Letnan Kolonel Rukmito
Hendradiningrat dengan daerah sasaran Sulawesi Utara.
5. Operasi Mena I di bawah pimpinan Letnan Kolonel Pieters dengan daerah
sasaran Jailolo; dan
6. Operasi Mena II di bawah pimpinan Letnan Kolonel KKO Hunholz untuk
merebut lapangan udara Morotai di sebelah utara Halmahera.

Gerakan Permesta diduga mendapat bantuan dari petualang asing terbukti


dengan jatuhnya pesawat yang dikemudikan oleh A.L. Pope (seorang
warganegara Amerika) yang tertembak jatuh di Ambon pada 18 Mei 1958. Pada
29 Mei 1961, Achmad Husein menyerahkan diri. Pada pertengahan tahun 1961
tokoh-tokoh Permesta juga menyerahkan diri.

Anda mungkin juga menyukai