GERAKAN PRRI/PERMESTA
a. Jalannya Pemberontakan
Sebelum lahirnya PRRI, telah terjadi diskursus antara pusat dengan daerah. Pada
Bulan November 1956, berkumpul di Padang sekitar 600 pejuang eks-divisi Banteng.
Dari pertemuan tersebut mereka membicarakan tentang tuntutan perbaikan dalam
tentara AD dan pemimpin negara. Pertemuan tersebut menyebabkan terbentuknya
dewan-dewan di Sumatera dan Sulawesi.
Melalui dewan gajah tersebut, Kol. Simbolon menentang pemerintah pusat yaitu
dengan pernyataan:
1. melepaskan hubungan sementara dengan pemerintah pusat
2. Mulai tanggal 22 desember 1956 tidak lagi mengakui kabinet Djuanda.
3. Mulai tanggal 22 desember 1956 mengambil alih pemerintahan di wilayah Tertera
dan Tetorium I
Kericuhan juga terjadi di Sulawesi. Pada akhir Februari 1957, Panglima TT-VII
Letkol Ventje Sumual mengadakan ”pertemuan pendapat dan ide” dengan para
Staffnya. Pertemuan tersebut melahirkan konsepsi yang isinya antara lain
disebutkan bahwa penyelesaian keamanan harus segera dilaksanakan agar
pembangunan semesta segera dapat dimulai.
Pertemuan itu mengamanatkan forum perwira pembangkang ini untuk aktif mencari
senjata di luar negeri dan untuk mematangkan rencana pemberontakan, serta
membicarakan soal rencana pemberian ultimatum kepada pemerintah pusat dan
pembentukan negara secara terpisah dari RI jika ultimatum tersebut tidak dipenuhi
dalam waktu 5×24 jam. Isi Ultimatum tersebut antara lain: di bidang pemerintahan
dituntut agar pemerintah memberikan Otonomi yang luas kepada daerah. Pada
bidang pembangunan menuntut agar pemerintah melakukan perbaikan radikal di
segala bidang , sedangkan di bidang militer, dewan Banteng menuntut supaya
dibentuk komandan utama di Sumatera Utara.
Pemerintah menolak dengan tegas ultimatum tersebut, bahkan para perwira yang
terlibat didalamnya justru dipecat oleh Pemerintah Pusat. Kemudian di Sumatra,
kolonel Simbolon membacakan proklamasi Pemerintahan Revolusioner Republik
Indonesia (PRRI) pada 15 Februari 1958, dengan ibukota di Bukittinggi. Sedangkan
Safrudin Prawiranegara diangkat sebagai Perdana Menteri.
Di Sulawesi, proklamasi PRRI disambut oleh kaum separatis Permesta. Kol Somba,
Komandan Deputi Wilayah Militer Sulawesi Utara dan Tengah mengumumkan bahwa
sejak 17 Februari 1958, mendukung PRRI dan menyatakan memisahkan diri dari
pusat. Permesta menjadi praktis sayap timur PRRI .
Pusat pemberontakan ini berada di Makassar yang pada waktu itu merupakan ibu
kota Sulawesi. Setahun kemudian, pada 1958 markas besar Permesta dipindahkan ke
Manado. Disini timbul kontak senjata dengan pasukan pemerintah pusat sampai
mencapai gencatan senjata. Masyarakat di daerah Manado waktu itu tidak puas
dengan keadaan ekonomi mereka. Pada waktu itu masyarakat Manado juga
mengetahui bahwa mereka juga berhak atas hak menentukan diri sendiri (self
determination).
Para pemimpin Permesta mencari dukungan dari pihak manapun untuk mencapai
tujuannya mengingat keyakinan akan adanya tindakan tegas dari pemerintah pusat.
Berkaitan dengan pengeboman Manado oleh pasukan RI, maka perwakilan Permesta
mengadakan hubungan dengan para pemberontak Permesta di Filiphina, dan menemui
pejabat CIA untuk mendapatkan bantuan persenjataan. Pemimpin Permesta di
Taiwan meminta bantuan kepada pemerintah setempat untuk mendukung permesta,
sehingga mendapat dukungan dari dinas rahasia Taiwan. Para presiden dari Korea
Selatan dan Filiphina juga memberikan bantuan kepada kaum pemberontak.
b. Upaya Penumpasan
-Upaya Diplomatis
Melihat realita yang terjadi, Pemerintah Pusat melakukan berbagai cara untuk
menyelesaikannya. Langkah pertama yang dilakukan oleh Kasad Nasution terhadap
timbulnya awal gejolak pada bulan Desember 1956 adalah dengan mengeluarkan
surat perintah tanggal 2 januari 1957 untuk Kolonel Gatot Subroto, Kol. Ahmad
Yani, Letkol. Sjoeib, Mayor Alwin Nurdin, Ayor Sahala Hutabarat, dan Mayor Ali
Hasan untuk menemui kolo. Simbolon dan para komandan resimennya untuk
mengusahakan agar tidak terjadi bentrok secara fisik. Namun usaha ini tidak
berhasil karena cenderung kontroversif dengan keadaan. Mayjen Nasution telah
melakukan pendekatan terselubung terhadap bawahan Simbolon sendiri, yaitu
Letkol. Djamin Ginting dan Letkol Wahab Makmur untuk mengambil kedudukan
panglima.
Usaha Pemerintah Pusat untuk memenuhi tuntutan daerah yaitu dengan mengirim
sejumlah misi, seperti misi Kol. Dahlan Djambel, menteri pertanian Eny Karim, Dr.J
Leimena/ Sanusi, Prof. Zairin Zein/ Nazir Pamuntjak, dan Kol. Mokoginta Cs. Misi-
misi tersebut ditujukan untuk menyelesaikan masalah di Sumatera Tengah. Misi
tersebut kemudian disusul dengan pembentukan Panitia Tujuh dan penyelenggaraan
Munas serta Musyawarah pembangunan. Namun semua usaha diplomatis yang
dilakukan Pemerintah Pusat tidak berhasil.
Leirissa. ___. PRRI PERMESTA, Strategi Pembangunan Indonesia Tanpa Komunis. __: Grafiti (
Buku Ini Tersimpan Di Perpustakaan Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret Surakarta
Dengan Nomor Kode 959.8 Lei. P2)
Redi Rachmat, Et all. 1992. Tantangan Dan Rongrongan Terhadap Keutuhan Bangsa, Kasus
PRRI. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan
Sartono Kartodirjo. 1981. Elit Dalam Perspektif Sejarah. Jakarta: Yayasan Obor
Sugeng Sudarto, Et al. 1992. Patahnya Sayap Permesta. Jakarta: Pustaka Bahari
Sumber : http://mustaqimzone.wordpress.com/category/sejarah-xii-ips/