Selain Dewan Banteng yang bertempat di daerah Sumatra Barat, di Medan terdapat juga
Dewan Gajah yang dipimpin oleh Kolonel Maludin Simbolon, Panglima Tentara dan Teritorium
I, pada tanggal 22 Desember 1956. Dan juga di Sumatra Selatan terbentuknya Dewan Garuda
yang dipimpin oleh Letkol Barlian.
Selain itu pemberontakan ini juga disebabkan karena ada pengaruh dari PKI terhadap
pemerintah pusat dan hal ini menimbulkan terjadinya kekecewaan pada daerah tertentu. Keadaan
tersebut diperparah dengan pelanggaran konstitusi yang dilakukan oleh pejabat-pejabat yang
berada di dalam pemerintah pusat, tidak terkecuali Presiden Soekarno.
Selanjutnya, PRRI membentuk Dewan Perjuangan dan tidak mengakui kabinet Djuanda.
Dewan Perjuangan PRRI akhirnya membentuk Kabinet baru yang disebut Kabinet Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia (Kabinet PRRI). Pembentukan kabinet ini terjadi pada saat
Presiden Soekarno sedang melakukan kunjungan kenegaraan di Tokyo, Jepang. Pada tanggal 10
Februari 1958, Dewan Perjuangan PRRI melalui RRI Padang mengeluarkan pernyataan berupa
“Piagam Jakarta” yang berisi sejumlah tuntutan yang ditujukan kepada Presiden Soekarno
supaya “bersedia kembali kepada kedudukan yang konstitusional, menghapus segala akibat dan
tindakan yang melanggar UUD 1945 serta membuktikan kesediaannya itu dengan kata dan
perbuatan…”. Tuntutan tersebut antara lain :
Pada tanggal 2 Maret 1957, di Makasar yang berada di wilayah timur Negara Indonesia
terjadi sebuah acara proklamasi Piagam Perjuangan Republik Indonesia (PERMESTA) yang
diproklamasikan oleh Panglima TT VII, Letkol Ventje Sumual. Pada hari berikutnya,
PERMESTA mendukung kelompok PRRI dan pada akhirnya kedua kelompok itu bersatu
sehingga gerakan kedua kelompok itu disebut PRRI/PERMESTA. Tokoh-tokoh PERMESTA
terdiri dari beberapa pasukan militer yang diantaranya adalah Letnan Kolonel D.J Samba, Letnan
Kolonel Vantje Sumual, Letnan Kolonel saleh Lahade, Mayor Runturambi, dan Mayor
Gerungan.
Tujuan dari pemberontakan PRRI ini adalah untuk mendorong pemerintah supaya
memperhatikan pembangunan negeri secara menyeluruh, sebab pada saat itu pemerintah hanya
fokus pada pembangunan yang berada di daerah Pulau jawa. PRRI memberikan usulan atas
ketidakseimbangan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah pusat.
Meskipun alasan yang dilakukan oleh PRRI ini benar, namun cara yang digunakan untuk
mengoreksi pemerintah pusat itu salah. PRRI menuntut kepada pemerintah pusat dengan nada
paksaan, sehingga pemerintah menganggap bahwa tuntutannya itu bersifat memberontak. Hal
tersebut menimbulkan kesan bagi pemerintah pusat bahwa PRRI adalah suatu bentuk
pemberontakan. Akan tetapi, jika PRRI itu dikatakan sebagai pemberontak, hal ini merupakan
anggapan yang tidak tepat sebab sebenarnya PRRI ingin membenahi dan memperbaiki sistem
pembangunan yang dilakukan pemerintah pusat, bukan untuk menjatuhkan pemerintahan
Republik Indonesia.
Karena ketidakpuasan PRRI terhadap keputusan pemerintah pusat, akhirnya PRRI membentuk
dewan-dewan daerah yang terdiri dari Dewan Banteng, Dewan Gajah, dan Dewan Garuda. Pada
tanggal 15 Februari 1958, Achmad Husein memproklamasikan bahwa berdirinya Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia dengan Syarifudin Prawiranegara sebagai perdana menterinya.
Proklamasi PRRI tersebut mendapat sambutan hangat dari masyarakat Indonesia bagian Timur.
Tidak lama setelah proklamasi PRRI dilakukan, pasukan gerakan PERMESTA memutuskan
untuk bergabung ke dalam kelompok PRRI. Dalam rapat raksasa yang diselenggarakan di
beberapa daerah, Kolonel D.J Somba menyatakan bahwa pada tanggal 17 Februari 1958,
Komando Daerah Sulawesi Utara dan Sulawesi tengah menyatakan putus hubungan dengan
pemerintahan pusat dan mendukung PRRI.
3. Usaha Pemerintah Untuk Menumpas Pemberontakan PRRI/PERMESTA
Pada awal bulan Maret, pasukan dari Divisi Diponogoro dan Siliwangi yang berada di
bawah pimpinan Kolonel Achmad Yani didaratkan di daratan Pulau Sumatera. Sebelum
pendaratan itu dilakukan, Nasution telah mengiriman Pasukan Resmi Para Komando Angkatan
Darat di ladang-ladang minyak yang berada di kepulauan Sumatera dan Riau. Pada tanggal 14
Maret 1958, daerah Pecan Baru berhasil dikuasai, dan Operasi Militer kemudian dikerahkan ke
pusat pertahanan PRRI. Pada tanggal 4 Mei 1958 Bukit tinggi berhasil dikuasai dan selanjutnya
Pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) membereskan daerah-daerah bekas pemberontakan
PRRI. Pada penyerangan tersebut, banyak pasukan PRRI yang melarikan diri ke area perhutanan
yang berada di daerah tersebut.
Akibat dari pemberontakan ini, pemerintah pusat akhirnya membentuk sebuah pasukan
untuk menumpas pemberontakan yang dilakukan oleh PRRI. Hal ini mengakibatkan
pertumpahan darah dan jatuhnya korban jiwa baik dari TNI maupun PRRI. Selain itu,
pembangunan menjadi terbengakalai dan juga menimbulkan rasa trauma di masyarakat Sumatera
terutama daerah Padang.
5. Tokoh-Tokoh PRRI/PERMESTA
Sebelum lahirnya PRRI, telah terjadi diskursus antara pusat dengan daerah. Pada Bulan
November 1956, berkumpul di Padang sekitar 600 pejuang eks-divisi Banteng. Dari pertemuan
tersebut mereka membicarakan tentang tuntutan perbaikan dalam tentara AD dan pemimpin
negara. Pertemuan tersebut menyebabkan terbentuknya dewan-dewan di Sumatera dan Sulawesi.
Pada awalnya, dewan-dewan tersebut dibentuk dalam rangka mengatasi situasi perpolitikan
Indonesia yang semakin mengarah pada perpecahan. Selain itu, pembentukan dewan-dewan
tersebut juga ditujukan untuk mengimbangi parlemen dalam rangka memajukan pembangunan
daerah yang masih tertinggal sehingga lebih terarah. Dewan-dewan yang di bentuk antara lain :
Dewan-dewan tersebut menuntut adanya perimbangan keuangan antara pusat dan daerah,
terutama dalam melaksanakan eksploitasi hasil bumi. Namun dengan adanya berbagai sebab
seperti yang telah di uraikan di atas, maka dalam perkembangannya bersifat agresif dan
bertindak mencari kesalahan pusat. Hal tersebut terkait pula dengan pemberhentian Kol.
Simbolon. Pemecatan tersebut terkait dengan keterlibatannya dalam peristiwa penyelundupan di
Teluk Nibung.
Melalui dewan gajah tersebut, Kolonel Simbolon menentang pemerintah pusat yaitu dengan
pernyataan:
Melalui pengumuman tersebut maka resmilah bahwa PRRI berjalan di Sumatera Utara. Pada
tanggal 24 Desember 1956 mengeluarkan keputusan melalui Keputusan
Presiden No.200/1956 yang menyatakan bahwa karesidenan Sumatera Timur dan Tapanuli, serta
semua perairan yang mengelilingnya dinyatakan dalam darurat perang (SOB).
Kericuhan juga terjadi di Sulawesi. Pada akhir Februari 1957, Panglima TT-VII Letkol Ventje
Sumual mengadakan ”pertemuan pendapat dan ide” dengan para Staffnya. Pertemuan tersebut
melahirkan konsepsi yang isinya antara lain disebutkan bahwa penyelesaian keamanan harus
segera dilaksanakan agar pembangunan semesta segera dapat dimulai.
Kegiatan selanjutnya adalah mengadakan pertemuan di kantor Gubernur Makasar yang dihadiri
oleh tokoh militer dan sipil pada tanggal 2 Maret 1957. Pertemuan tersebut melahirkan Piagam
Perjuangan Semesta [Permesta] yang ditandatangani oleh 51 tokoh masyarakat Indonesia Timur .
Wilayah gerakan tersebut meliputi kepulauan Nusa Tenggara dan Maluku.untuk melancarkan
program kerja Permesta, maka Kol. Ventje Sumual menyatakan bahwa daerah Indonesia Timuur
dalam keadaan bahaya [SOB=Staat Van Oorlog en Bleg]. Seluruh pemerintahan daerah diambil
alih oleh militer untuk menjaga ketenteraman rakyat dan demi terlaksananya cita-cita Piagam
Perjuangan Permesta .
Diantara dewan-dewan di daerah terdapat kerjasama dan saling berhubungan. Para pemimpin
pemberontakan di Sumatra mengadakan pertemuan di Sungai Dareh sekitar 109 kilo meter arah
Timur, Padang, pada tanggal 9-10 Januari 1958. Dalam pertemuan tersebut, telah dilakukan
pertemuan yang dihadiri Letkol Ahmad Hussein, Kolonel Simbolon, Letkol Ventje Sumual,
Letkol Barlian, Kolonel Zulkifli Lubis, Sumitro Djojohadikusumo, Syafruddin Prawira Negara,
Mohammad Natsir dan Burhanuddin Harahap. Pertemuan itu mengamanatkan forum perwira
pembangkang ini untuk aktif mencari senjata di luar negeri dan untuk mematangkan rencana
pemberontakan, serta membicarakan soal rencana pemberian ultimatum kepada pemerintah pusat
dan pembentukan negara secara terpisah dari RI jika ultimatum tersebut tidak dipenuhi dalam
waktu 5×24 jam. Isi Ultimatum tersebut antara lain: di bidang pemerintahan dituntut agar
pemerintah memberikan Otonomi yang luas kepada daerah. Pada bidang pembangunan menuntut
agar pemerintah melakukan perbaikan radikal di segala bidang , sedangkan di bidang militer,
dewan Banteng menuntut supaya dibentuk komandan utama di Sumatera Utara.
Pemerintah menolak dengan tegas ultimatum tersebut, bahkan para perwira yang terlibat
didalamnya justru dipecat oleh Pemerintah Pusat. Kemudian di Sumatra, kolonel Simbolon
membacakan proklamasi Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada 15
Februari 1958, dengan ibukota di Bukittinggi. Sedangkan Safrudin Prawiranegara diangkat
sebagai Perdana Menteri.
Di Sulawesi, proklamasi PRRI disambut oleh kaum separatis Permesta. Kol Somba,
Komandan Deputi Wilayah Militer Sulawesi Utara dan Tengah mengumumkan bahwa sejak 17
Februari 1958, mendukung PRRI dan menyatakan memisahkan diri dari pusat. Permesta menjadi
praktis sayap timur PRRI . Pusat pemberontakan ini berada di Makassar yang pada waktu itu
merupakan ibu kota Sulawesi. Setahun kemudian, pada 1958 markas besar Permesta dipindahkan
ke Manado. Disini timbul kontak senjata dengan pasukan pemerintah pusat sampai mencapai
gencatan senjata. Masyarakat di daerah Manado waktu itu tidak puas dengan keadaan ekonomi
mereka. Pada waktu itu masyarakat Manado juga mengetahui bahwa mereka juga berhak atas
hak menentukan diri sendiri (self determination).
Para pemimpin Permesta mencari dukungan dari pihak manapun untuk mencapai
tujuannya mengingat keyakinan akan adanya tindakan tegas dari pemerintah pusat. Berkaitan
dengan pengeboman Manado oleh pasukan RI, maka perwakilan Permesta mengadakan
hubungan dengan para pemberontak Permesta di Filiphina, dan menemui pejabat CIA untuk
mendapatkan bantuan persenjataan. Pemimpin Permesta di Taiwan meminta bantuan kepada
pemerintah setempat untuk mendukung permesta, sehingga mendapat dukungan dari dinas
rahasia Taiwan. Para presiden dari Korea Selatan dan Filiphina juga memberikan bantuan kepada
kaum pemberontak.