1. Latar belakang
PRRI adalah singkatan dari Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia, sementara
Permesta adalah singkatan dari Perjuangan Semesta atau Perjuangan Rakyat Semesta.
Pemberontakan keduanya sudah muncul saat menjelang pembentukan Republik Indonesia
Serikat (RIS) tahun 1949. Akar masalahnya yaitu saat pembentukan RIS tahun 1949
bersamaan dengan dikerucutkan Divisi Banteng hingga hanya menyisakan 1 brigade saja.
Kemudian, brigade tersebut diperkecil menjadi Resimen Infanteri 4 TT I BB. Kejadian itu
membuat para perwira dan prajurit Divisi IX Banteng merasa kecewa dan terhina, karena
mereka merasa telah berjuang hingga mempertaruhkan jiwa dan raganya untuk kemerdekaan
Indonesia. Selain itu, ada pula ketidakpuasan dari beberapa daerah seperti Sumatera dan
Sulawesi terhadap alokasi biaya pembangunan yang diberikan oleh pemerintah pusat.
Pemberontakan ini juga disebabkan karena adanya pengaruh dari PKI terhadap pemerintah
pusat dan hal ini menimbulkan terjadinya kekecewaan pada daerah tertentu. Keadaan tersebut
diperparah dengan pelanggaran konstitusi yang dilakukan oleh pejabat-pejabat yang berada di
dalam pemerintah pusat, tidak terkecuali Presiden Soekarno.
Selanjutnya, PRRI membentuk Dewan Perjuangan dan tidak mengakui kabinet Djuanda.
Dewan Perjuangan PRRI akhirnya membentuk Kabinet baru yang disebut Kabinet
Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (Kabinet PRRI). Pembentukan kabinet ini
terjadi pada saat Presiden Soekarno sedang melakukan kunjungan kenegaraan di Tokyo,
Jepang. Pada tanggal 10 Februari 1958, Dewan Perjuangan PRRI melalui RRI Padang
mengeluarkan pernyataan berupa “Piagam Jakarta” yang berisi sejumlah tuntutan yang
ditujukan kepada Presiden Soekarno supaya “bersedia kembali kepada kedudukan yang
konstitusional, menghapus segala akibat dan tindakan yang melanggar UUD 1945 serta
membuktikan kesediaannya itu dengan kata dan perbuatan…”. Tuntutan tersebut antara lain :
2. Tujuan
Tujuan dari pemberontakan PRRI ini adalah untuk mendorong pemerintah supaya
memperhatikan pembangunan negeri secara menyeluruh, sebab pada saat itu pemerintah
hanya fokus pada pembangunan yang berada di daerah Pulau jawa. PRRI memberikan usulan
atas ketidakseimbangan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah pusat.
Meskipun alasan yang dilakukan oleh PRRI ini benar, namun cara yang digunakan untuk
mengoreksi pemerintah pusat itu salah. PRRI menuntut kepada pemerintah pusat dengan nada
paksaan, sehingga pemerintah menganggap bahwa tuntutannya itu bersifat memberontak. Hal
tersebut menimbulkan kesan bagi pemerintah pusat bahwa PRRI adalah suatu bentuk
pemberontakan. Akan tetapi, jika PRRI itu dikatakan sebagai pemberontak, hal ini
merupakan anggapan yang tidak tepat sebab sebenarnya PRRI ingin membenahi dan
memperbaiki sistem pembangunan yang dilakukan pemerintah pusat, bukan untuk
menjatuhkan pemerintahan Republik Indonesia.
3. Tokoh
4. Penyelesaian
Terjadinya pemberontakan PRRI/PERMESTA ini mendorong pemerintahan RI untuk
mendesak Kabinet Djuanda dan Nasution aupaya menindak tegas pemberontakan yang
dilakukan oleh organisasi PRRI/PERMESTA tersebut. Kabinet Nasution dan para mayoritas
pimpinan PNI dan PKI menghendaki supaua pemberontakan tersebut untuk segera di
usnahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara itu, untuk pimpinan Masyumi
dan PSI yang berada di Jakarta sedang mendesak adanya perundingan dan penyelesaian
secara damai. Namun pada akhirnya, pemerintah RI memilih untuk menindak para
pemberontak itu dengan tegas. Pada akhir bulan Februari, Angkatan Udara Republik
Indonesia memulai pengeboman instansi-instansi penting yang berada di kota Padang, Bukit
Tinggi, dan Manado.
Pada awal bulan Maret, pasukan dari Divisi Diponogoro dan Siliwangi yang berada di bawah
pimpinan Kolonel Achmad Yani didaratkan di daratan Pulau Sumatera. Sebelum pendaratan
itu dilakukan, Nasution telah mengiriman Pasukan Resmi Para Komando Angkatan Darat di
ladang-ladang minyak yang berada di kepulauan Sumatera dan Riau. Pada tanggal 14 Maret
1958, daerah Pecan Baru berhasil dikuasai, dan Operasi Militer kemudian dikerahkan ke
pusat pertahanan PRRI. Pada tanggal 4 Mei 1958 Bukit tinggi berhasil dikuasai dan
selanjutnya Pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) membereskan daerah-daerah bekas
pemberontakan PRRI. Pada penyerangan tersebut, banyak pasukan PRRI yang melarikan diri
ke area perhutanan yang berada di daerah tersebut.
5. Dampak
Pemberontakan yang dilakukan oleh gerakan PRRI/PERMESTA ini membawa dampak besar
terhadap hubungan dan politik luar negeri Indonesia. Dukungan dari negara Amerika Serikat
terhadap pemberontakan tersebut membuat hubungan antara Indonesia dengan Amerika
menjadi tidak harmonis. Apalagi dukungan dari Amerika Serikat terhadap PRRI/PERMESTA
terbukti benar dengan jatuhnya pesawat pengebom B-26 yang dikemudikan oleh seorang
pilot bernama Allen Pope pada tanggal 18 Mei 1958 di lokasi yang tidak jauh dari kota
Ambon. Presiden RI, Ir. Soekarno beserta para pemimpin sipil, dan militernya memiliki
perasaan curiga terhadap negara Amerika Serikat dan Negara lainnya. Malaysia yang baru
merdeka pada tahun 1957 ternyata juga mendukung gerakan PRRI dengan menjadikan
wilayahnya sebagai saluran utama pemasok senjata bagi pasukan PRRI. Begitu pula dengan
Filipina, Singapura, Korea Selatan (Korsel), dan Taiwan juga mendukung gerakan
pemberontakan yang dilakukan oleh PRRI.
Akibat dari pemberontakan ini, pemerintah pusat akhirnya membentuk sebuah pasukan untuk
menumpas pemberontakan yang dilakukan oleh PRRI. Hal ini mengakibatkan pertumpahan
darah dan jatuhnya korban jiwa baik dari TNI maupun PRRI. Selain itu, pembangunan
menjadi terbengakalai dan juga menimbulkan rasa trauma di masyarakat Sumatera terutama
daerah Padang.
BFO (Bijeenkomst Federal Overleg)
Permasalahan ini muncul dimulai sejak Perundingan Linggarjati disetujui dan ditanda
tangani dan di perparah dengan penandatanganan perundingan yang lainnya, seperti Roem-
Royen. Konsep Negara Federal dan “Persekutuan” Negara Bagian (BFO/Bijeenkomst Federal
Overleg) mau tidak mau menimbulkan potensi perpecahan di kalangan bangsa Indonesia
sendiri setelah kemerdekaan. Persaingan yang timbul terutama adalah antara golongan
federalis yang ingin bentuk negara federal dipertahankan dengan golongan unitaris yang
ingin Indonesia menjadi negara kesatuan.
Dalam konferensi Malino di Sulawesi Selatan pada 24 Juli 1946 misalnya, pertemuan
untuk membicarakan tatanan federal yang diikuti oleh wakil dari berbagai daerah non RI itu,
ternyata mendapat reaksi keras dari para politisi pro RI yang ikut serta. Mr. Tadjudin Noor
dari Makasar bahkan begitu kuatnya mengkritik hasil konferensi.
Perbedaan keinginan agar bendera Merah-Putih dan lagu Indonesia Raya digunakan
atau tidak oleh Negara Indonesia Timur (NIT) juga menjadi persoalan yang tidak bisa
diputuskan dalam konferensi. Kabinet NIT juga secara tidak langsung ada yang jatuh karena
persoalan negara federal ini (1947).
1. Perundingan Linggarjati
Perjanjian Linggarjati sebagaimana kita ketahui memiliki dampak negatif khususnya bagi
rakyat indonesia dan hal ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia,
contohnya beberapa partai seperti Partai Masyumi, PNI, Partai Rakyat Indonesia, dan Partai
Rakyat Jelata. Partai-partai tersebut menyatakan bahwa perjanjian itu adalah bukti lemahnya
pemerintahan Indonesia untuk mempertahankan kedaulatan negara Indonesia. Untuk
menyelesaikan permasalahan ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 6/1946,
dimana bertujuan menambah anggota Komite Nasional Indonesia Pusat agar pemerintah
mendapat suara untuk mendukung perundingan linggarjati.
Meskipun kemerdekaan Indonesia telah diproklamasikan, Belanda tetap saja tidak mau
mengakui kelahiran negara indonesia. Dan Belanda pun membuat negara boneka yang
bertujuan mempersempit wilayah kekuasaan Republik Indonesia. Negara boneka tersebut
dipimpin oleh Van Mook. Dan Belanda mengadakan konferensi pembentukan Badan
Permusyawaratan Federal(BFO) 27 Mei 1948.
Dan pada tanggal 19 Desember 1948, Belanda mengadakan Agresi Militer Belanda
dengan menyerang kota Yogyakarta dan menawan Presiden dan Wakil Presiden beserta
pejabat lainnya. Namun sebelum itu Presiden mengirimkan radiogram kepada Mr. Syafrudin
Prawiranegara yang mengadakan perjalanan di Sumatera untuk membentuk Pemerintahan
Darurat Republik Indonesia (PDRI).
BFO yang didirikan di Bandung pada 29 Mei 1948 merupakan lembaga permusyawaratan
dari negara-negara federal yang memisahkan dari RI. Perdana Menteri negara Pasundan, Mr.
Adil Poeradiredja, dan Perdana Menteri Negara Indonesia Timur, Gede Agung, memainkan
peran penting dalam pembentukan BFO. Dalam tubuh BFO juga bukan tidak terjadi
pertentangan. Sejak pembentukannya di Bandung pada bulan Juli 1948, BFO telah terpecah
ke dalam dua kubu. Kelompok pertama menolak kerjasama dengan Belanda dan lebih
memilih RI untuk diajak bekerjasama membentuk Negara Indonesia Serikat. Kubu ini
dipelopori oleh Ide Anak Agung Gde Agung (NIT) serta R.T. Adil Puradiredja dan R.T.
Djumhana (Negara Pasundan). Kubu kedua dipimpin oleh Sultan Hamid II (Pontianak) dan
dr. T. Mansur (Sumatera Timur).
Setelah Konferensi Meja Bundar atau KMB (1949), persaingan antara golongan federalis
dan unitaris makin lama makin mengarah pada konflk terbuka di bidang militer,
pembentukan Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) telah menimbulkan
masalah psikologis. Salah satu ketetapan dalam KMB menyebutkan bahwa inti anggota
APRIS diambil dari TNI, sedangkan lainnya diambil dari personel mantan anggota KNIL.
TNI sebagai inti APRIS berkeberatan bekerjasama dengan bekas musuhnya, yaitu KNIL.
Sebaliknya anggota KNIL menuntut agar mereka ditetapkan sebagai aparat negara bagian dan
mereka menentang masuknya anggotaTNI ke negara bagian (TaufiAbdullah danAB Lapian,
2012.).
2. Maksud dan tujuan belanda membentuk BFO di indonesia :
a. agar terbentuk pemerintah yg kuat di daerah
b. menghancurkan dan melemahkan wibawa RI
tokoh - tokoh yang terlibat di dalam PEMBENTUKANnya adalah Dr. Hubertus Johanes Van
Mook.
Upaya Negara Federal dan “Persekutuan” Negara Bagian (BFO/ Bijeenkomst Federal
Overleg) mau tidak mau menimbulkan potensi perpecahan di kalangan bangsa Indonesia
sendiri setelah kemerdekaan. Persaingan yang timbul terutama adalah antara golongan
federalis yang ingin bentuk negara federal dipertahankan dengan golongan unitaris yang
ingin Indonesia menjadi negara kesatuan.