PEMBERONTAKAN PRRI/PERMESTA
OLEH
WINDA FEBRIYANTI
C1G119087
KENDARI
2021
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
PRRI selanjutnya membentuk Dewan Perjuangan dan sekaligus tidak mengakui kabinet
Djuanda, maka terbentuklah kabinet PRRI. Pada tanggal 9 Januari 1958 para tokoh militer dan
sipil mengadakan pertemuan di Sungai Dareh, Sumatera Barat. Pertemuan tersebut menghasilkan
sebuah pernyataan berupa “Piagam Jakarta” dengan isi berupa tuntutan agar Presiden Soekarno
bersedia kembali kepada kedudukan yang konstitusional, serta menghapus segala akibat dan
tindakan yang melanggar UUD 1945 dan membuktikan kesediaannya itu dengan kata dan
perbuatan.
2. Rumusan Masalah
Perumusan masalah yang kami buat dalam makalah yang berjudul Gerakan Separatis
Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI/PERMESTA) dengan pertanyaan-
pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana jalannya Pemberontakan PRRI/PERMESTA?
2. Bagaimana situasi dan kondisi Indonesia secara umum pada saat
Pemberontakan PRRI/PERMESTA?
3. Apakah dampak dari Pemberontakan PRRI/PERMESTA bagi Bangsa
Indonesia?
4. Bagaimanakah upaya penumpasan dari Pemberontakan PRRI/PERMESTA?
5. Bagaimana akhir dari Pemberontakan PRRI/PERMESTA?
BAB II
PEMBAHASAN
Sebelum lahirnya PRRI, telah terjadi diskursus antara pusat dengan daerah. Pada Bulan
November 1956, berkumpul di Padang sekitar 600 pejuang eks-divisi Banteng. Dari pertemuan
tersebut mereka membicarakan tentang tuntutan perbaikan dalam tentara AD dan pemimpin
negara. Pertemuan tersebut menyebabkan terbentuknya dewan-dewan di Sumatera dan Sulawesi.
Pada awalnya, dewan-dewan tersebut dibentuk dalam rangka mengatasi situasi perpolitikan
Indonesia yang semakin mengarah pada perpecahan. Selain itu, pembentukan dewan-dewan
tersebut juga ditujukan untuk mengimbangi parlemen dalam rangka memajukan pembangunan
daerah yang masih tertinggal sehingga lebih terarah. Dewan-dewan yang di bentuk antara lain :
1. Dewan Gajah yang dipimpin oleh Kol Simbolon di sumatera Utara.
2. Dewan Banteng di sumatera tengah dipimpin oleh Ahmad Husein
3. dewan garuda di Sumatera selatan dipimpin oleh dhlan Djambek.
4. Dewan Manguni di Sulawesi yang dipimpin oleh Kol. Ventje Sumual.
1. Kondisi Politik
Tatanan politik yang diatur oleh UUDS 1950 menuntut sikap formal-legalistik. Bangsa
indonesia memasuki periode demokrasi liberal yang berdasarkan demokrasi parlementer. Para
menteri bertanggungjawab kepada perdana menteri, bukan kepada presiden. Setelah dibentuknya
kabinet Parlemen, kondisi politik Indonesia semakin kacau. Pergantian kabinet secara terus
menerus yang terjadi hampir setiap tahun. Berbagai kebijakan silih berganti tiap periode
menimbulkan keadaan yang tidak kondusif.
Pecahnya Dwi-tunggal Soekarto-Hatta memperburuk kondisi perpolitikan bangsa. Pada
1 Desember 1956 Hatta mengundurkan diri secara resmi dari jabatanya sebagai wakil presiden.
Hubungan Soekarno-Hatta mulai retak sejak tahun 1955. Perbedaan pendapat dan latar belakang
walaupun keduanya sebagai tokh muslim yang nasionalis, namun Soekarno cenderung ke Marxis
serta bermain api dengan komunis, sedangkan Hatta cenderung ke Sosialis dan anti komunis.
Akhir tahun 1956, Bung Karno telah sering mengungkapkan ketidakpuasannya terhadap sistem
parlementer yang ada dan berencana memperbaharui sistem pemerintahan menjadi sistem
pemerintahan ”Demokrasi Terpimpin”, demokrasi yang dianggap oleh Soekarno sebagai
demokrasi yang lebih didasarkan atas mufakat daripada demokrasi secara Barat yang memecah
belah berdasar keputusan”50%+1”. Demokrasi terpimpin dijalankan dengan Dasar ”Kabinet
Gotong Royong” yang merangkul semua partai politik yang ada, termasuk PKI. Soekarno juga
ingin menyampaikan ”konsepsi”nya mengenai fraksi politik di Indonesia.
2. Kondisi Perekonomian
Kegagalan ekonomi yang sedang dialami oleh pemerintah sejak awal kemerdekaan
berada pada titik kekacauan. Kegagalan pembangunan ekonomi yang di alami bangsa ini sangat
dirasakan oleh berbagai golongan. Kebijakan ekonomi Kabinet Hatta yang akomodatif terhadap
modal asing dipertahankan oleh kabinet-kabinet berikutnya, antara lain kabinet Natsir, Sukiman,
dan kabinet Wilopo. Tetapi sejak kabinet Ali I (1953-1954), haluan politik itu sama sekali
ditinggalkan. Program ekonomi kabinet seringkali hanyalah sembohyan. Kabinet ini
menganggap bahwa modal asing sangat merugikan bagi negara. Namun disisi lain, pembangunan
administratif sangat diperhatikan. Penggalangan persatuan dilakukan dengan cara dropping
pegawai dari pusat ke daerah. Partai PNI semakin nampak diperkuat.
Pada masa kabinet Ali II, membawa permasalahan yang semakin parah. Sentralisme
melalui sistem dropping pegawai mendesak putra-putra daerah dalam mengatur urusan daerah
sendiri, serta peranan mereka di pusat. Semua administrator pemerintah mayoritas berasal dari
Jawa, sedangkan yang berasal dari putera daerah hanyalah pimpinan militernya saja. Sistem
birokrasi sangat berkaitan dengan partai politik yang sedang berkuasa. Sedangkan keinginan
untuk ber-otonomi semakin kuat di setiap daerah.
4. Situasi di Daerah
Peristiwa pemberontakan PRRI/Permesta yang terjadi juga tidak lepas dari berbagai
factor yang menyebabkannya. Factor politis dan ekonomis sangat berperan sebagai penyebab
dari pemberontakan ini.Sejak 1950, daerah tetap menjadi produsen ekspor, namun hasilnya lebih
dimanfaatkan oleh pusat. Kondisi inilah yang menyebabkan kecenderungan ”sentralistik” dalam
pandangan permesta. Hubungan antara pusat dan daerah menjadi kurang harmonis. Hal tersebut
dikarenakan perbedaan pendapat antara daerah dengan pusat. Daerah menganggap bahwa
kebijakan pemerintah tidak sesuai dengan daerah. Sedangkan pemerintah pusat menganggap
bahwa daerah kurang mampu dalam melaksanakan tugasnya.
Daerah luar Jawa merasa tidak puas dengan keadaan yang ada, karena mereka
menganggap bahwa dana alokasi untuk daerah dirasakan sangat kurang dan tidak mencukupi
untuk melaksanakan pembangunan. Pada akhirnya muncul upaya dari pihak militer yang
mendapat dukungan dari beberapa tokoh sipil untuk melakukan koreksi terhadap kebijakan-
kebijakan pemerintah.
A. Kesimpulan
Terjadinya suatu peristiwa tidak lepas dari hal-hal yang telah terjadi sebelumnya, seperti
yang telah diketahui bahwa dalam disiplin ilmu sejarah berlaku hukum kausalitas atau sebab-
akibat. Peristiwa pemberontakan PRRI/Permesta yang terjadi juga tidak lepas dari berbagai
factor yang menyebabkannya. Factor politis dan ekonomis sangat berperan sebagai penyebab
dari pemberontakan ini. Posisi militer sebagai opsan pemerintah berusaha mengambil alih
kekuasaan sipil setelah melihat berbagai kekurangan dalam berbagai kebijakannya.
Kondisi yang dianggap ”sentralistik” oleh daerah menyebabkan hubungan antara pusat
dan daerah menjadi kurang harmonis. Hal tersebut dikarenakan perbedaan pendapat antara daerah
dengan pusat. Daerah menganggap bahwa kebijakan pemerintah tidak sesuai dengan daerah.
Sedangkan pemerintah pusat menganggap bahwa daerah kurang mampu dalam melaksanakan
tugasnya. Gerakan PRRI/Permesta merupakan gejolak daerah yang berusaha melakukan koreksi
terhadap kondisi bangsa yang morat-marit.
B. Saran
Dari penjelasan di atas, kita sebagai Bangsa Indonesia dapat mengambil pelajaran dari
Peristiwa Pemberontakan PRRI/PERMESTA. Kita sebagai bangsa yang baik patut melanjutkan
perjuangan para pahlawan yang telah memerdekakan Bangsa Indonesia ini dengan lebih giat
belajar, serta menjaga persatuan dan kesatuan Bangsa Indonesia
DAFTAR PUSTAKA