Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

PEMBERONTAKAN PRRI/PERMESTA

OLEH

WINDA FEBRIYANTI

C1G119087

PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2021
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) adalah gerakan pertentangan antara


pemerintah RI dan daerah. Gerakan ini muncul pada 1950 di Sumatera. PRRI muncul karena
ketidakpuasan di daerah terhadap kebijakan pemerintah pusat saat itu. Perlawanan PRRI dan
upaya penumpasannya diyakini menimbulkan korban hingga puluhan ribu jiwa.

Pada tanggal 15 Februari 1956, meletus Pemberontakan PRRI/PERMESTA. Achmad


Huesin memproklamasikan berdirinya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PPRI)
dengan Syarifuddin Prawiranegara sebagai perdana menteri Proklamasi PPRI segera mendapat
sambutan di Indonesia Bagian Timur. Pada tanggal 17 Februari 1958, Letkol D.J. Somba dengan
Pemerintah Pusat mendukung sepenuhnya PRRI. Gerakan di Sulawesi ini dikenal dengan
gerakan Piagam Perjuangan Semesta atau Perjuangan Semesta atau PERMESTA.

Dengan diproklamasikannya PRRI di Sumatera dan PERMESTA di Sulawesi.


Pemerintah memutuskan untuk tidak membiarkan masalah tersebut berlarut-larut dan segera
menyelesaikan dengan kekuatan senjata.

PRRI adalah singkatan dari Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia, sementara


Permesta adalah singkatan dari Perjuangan Semesta atau Perjuangan Rakyat Semesta.
Pemberontakan keduanya sudah muncul saat menjelang pembentukan Republik Indonesia
Serikat (RIS) tahun 1949. Akar masalahnya yaitu saat pembentukan RIS tahun 1949 bersamaan
dengan dikerucutkan Divisi Banteng hingga hanya menyisakan 1 brigade saja.

Kemudian, brigade tersebut diperkecil menjadi Resimen Infanteri 4 TT I BB. Kejadian


itu membuat para perwira dan prajurit Divisi IX Banteng merasa kecewa, karena mereka merasa
telah berjuang hingga mempertaruhkan jiwa dan raganya untuk kemerdekaan Indonesia. Selain
itu, ada pula ketidakpuasan dari beberapa daerah seperti Sumatera dan Sulawesi terhadap alokasi
biaya pembangunan yang diberikan oleh pemerintah pusat. Kondisi ini pun diperparah dengan
tingkat kesejahteraan prajurit dan masyarakat yang sangat rendah.

PRRI selanjutnya membentuk Dewan Perjuangan dan sekaligus tidak mengakui kabinet
Djuanda, maka terbentuklah kabinet PRRI. Pada tanggal 9 Januari 1958 para tokoh militer dan
sipil mengadakan pertemuan di Sungai Dareh, Sumatera Barat. Pertemuan tersebut menghasilkan
sebuah pernyataan berupa “Piagam Jakarta” dengan isi berupa tuntutan agar Presiden Soekarno
bersedia kembali kepada kedudukan yang konstitusional, serta menghapus segala akibat dan
tindakan yang melanggar UUD 1945 dan membuktikan kesediaannya itu dengan kata dan
perbuatan.

Selanjutnya Letnan Kolonel Ahmad Husein pada tanggal 15 Februari 1958


memproklamirkan berdirinya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dengan
perdana menteri Syafruddin Prawiranegara. Hal ini merupakan respon atas penolakan tuntutan
yang diajukan oleh PRRI. Pada saat dimulainya pembangunan pemerintahan, PRRI mendapat
dukungan dari PERMESTA dan rakyat setempat. Dengan bergabungnya PERMESTA dengan
PRRI, gerakan kedua kelompok itu disebut PRRI/PERMESTA.

Untuk menumpas pemberontakan, pemerintah melancarkan operasi militer gabungan yang


diberi nama Operasi Merdeka, dipimpin oleh Letnan Kolonel Rukminto Hendraningrat. Operasi
ini sangat kuat karena musuh memiliki persenjataan modern buatan Amerika Serikat. Terbukti
dengan ditembaknya Pesawat Angkatan Udara Revolusioner (Aurev) yang dikemudikan oleh
Allan L. Pope seorang warga negara Amerika Serikat.

2. Rumusan Masalah

Perumusan masalah yang kami buat dalam makalah yang berjudul Gerakan Separatis
Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI/PERMESTA) dengan pertanyaan-
pertanyaan sebagai berikut:
                    1.            Bagaimana jalannya Pemberontakan PRRI/PERMESTA?
                   2.            Bagaimana situasi dan kondisi Indonesia secara umum pada saat
Pemberontakan PRRI/PERMESTA?
3. Apakah dampak dari Pemberontakan PRRI/PERMESTA bagi Bangsa
Indonesia?
4. Bagaimanakah upaya penumpasan dari Pemberontakan PRRI/PERMESTA?
5. Bagaimana akhir dari Pemberontakan PRRI/PERMESTA?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Jalannya Pemberontakan PRRI/PERMESTA

Sebelum lahirnya PRRI, telah terjadi diskursus antara pusat dengan daerah. Pada Bulan
November 1956, berkumpul di Padang sekitar 600 pejuang eks-divisi Banteng. Dari pertemuan
tersebut mereka membicarakan tentang tuntutan perbaikan dalam tentara AD dan pemimpin
negara. Pertemuan tersebut menyebabkan terbentuknya dewan-dewan di Sumatera dan Sulawesi.
Pada awalnya, dewan-dewan tersebut dibentuk dalam rangka mengatasi situasi perpolitikan
Indonesia yang semakin mengarah pada perpecahan. Selain itu, pembentukan dewan-dewan
tersebut juga ditujukan untuk mengimbangi parlemen dalam rangka memajukan pembangunan
daerah yang masih tertinggal sehingga lebih terarah. Dewan-dewan yang di bentuk antara lain :
1.      Dewan Gajah yang dipimpin oleh Kol Simbolon di sumatera Utara.
2.      Dewan Banteng di sumatera tengah dipimpin oleh Ahmad Husein
3.      dewan garuda di Sumatera selatan dipimpin oleh dhlan Djambek.
4.      Dewan Manguni di Sulawesi yang dipimpin oleh Kol. Ventje Sumual.

Dewan-dewan tersebut menuntut adanya perimbangan keuangan antara pusat dan


daerah, terutama dalam melaksanakan eksploitasi hasil bumi. Namun dengan adanya berbagai
sebab seperti yang telah di uraikan di atas, maka dalam perkembangannya bersifat agresif dan
bertindak mencari kesalahan pusat. Hal tersebut terkait pula dengan pemberhentian Kol.
Simbolon. Pemecatan tersebut terkait dengan keterlibatannya dalam peristiwa penyelundupan di
Teluk Nibung.
Melalui dewan gajah tersebut, Kol. Simbolon menentang pemerintah pusat yaitu dengan
pernyataan:
1.    Melepaskan hubungan sementara dengan pemerintah pusat
2.    Mulai tanggal 22 Desember 1956 tidak lagi mengakui Kabinet Djuanda.
3.    Mulai tanggal 22 Desember 1956 mengambil alih pemerintahan di wilayah tertera dan tetorium I
Melalui pengumuman tersebut maka resmilah bahwa PRRI berjalan di Sumatera Utara.
Pada tanggal 24 Desember 1956 mengeluarkan keputusan melalui Keputusan Presiden
No.200/1956 yang menyatakan bahwa karesidenan Sumatera Timur dan Tapanuli, serta semua
perairan yang mengelilingnya dinyatakan dalam darurat perang (SOB).
Kericuhan juga terjadi di Sulawesi. Pada akhir Februari 1957, Panglima TT-VII Letkol
Ventje Sumual mengadakan ”pertemuan pendapat dan ide” dengan para Staffnya. Pertemuan
tersebut melahirkan konsepsi yang isinya antara lain disebutkan bahwa penyelesaian keamanan
harus segera dilaksanakan agar pembangunan semesta segera dapat dimulai.
Kegiatan selanjutnya adalah mengadakan pertemuan di kantor Gubernur Makasar yang
dihadiri oleh tokoh militer dan sipil pada tanggal 2 Maret 1957. Pertemuan tersebut melahirkan
Piagam Perjuangan Semesta [Permesta] yang ditandatangani oleh 51 tokoh masyarakat Indonesia
Timur. Wilayah gerakan tersebut meliputi kepulauan Nusa Tenggara dan Maluku.untuk
melancarkan program kerja Permesta, maka Kol. Ventje Sumual menyatakan bahwa daerah
Indonesia Timuur dalam keadaan bahaya [SOB=Staat Van Oorlog en Bleg]. Seluruh
pemerintahan daerah diambil alih oleh militer untuk menjaga ketenteraman rakyat dan demi
terlaksananya cita-cita Piagam Perjuangan Permesta.
Diantara dewan-dewan di daerah terdapat kerjasama dan saling berhubungan. Para
pemimpin pemberontakan di Sumatra mengadakan pertemuan di Sungai Dareh sekitar 109 kilo
meter arah Timur, Padang, pada tanggal 9-10 Januari 1958. Dalam pertemuan tersebut, telah
dilakukan pertemuan yang dihadiri Letkol Ahmad Hussein, Kolonel Simbolon, Letkol Ventje
Sumual, Letkol Barlian, Kolonel Zulkifli Lubis, Sumitro Djojohadikusumo, Syafruddin Prawira
Negara, Mohammad Natsir dan Burhanuddin Harahap. Pertemuan itu mengamanatkan forum
perwira pembangkang ini untuk aktif mencari senjata di luar negeri dan untuk mematangkan
rencana pemberontakan, serta membicarakan soal rencana pemberian ultimatum kepada
pemerintah pusat dan pembentukan negara secara terpisah dari RI jika ultimatum tersebut tidak
dipenuhi dalam waktu 5×24 jam. Isi Ultimatum tersebut antara lain: di bidang pemerintahan
dituntut agar pemerintah memberikan Otonomi yang luas kepada daerah. Pada bidang
pembangunan menuntut agar pemerintah melakukan perbaikan radikal di segala bidang,
sedangkan di bidang militer, dewan Banteng menuntut supaya dibentuk komandan utama di
Sumatera Utara.
B. Situasi dan Kondisi Bangsa Indonesia Secara Umum pada Saat Pemberontakan
PRRI/PERMESTA

1.      Kondisi Politik
Tatanan politik yang diatur oleh UUDS 1950 menuntut sikap formal-legalistik. Bangsa
indonesia memasuki periode demokrasi liberal yang berdasarkan demokrasi parlementer. Para
menteri bertanggungjawab kepada perdana menteri, bukan kepada presiden. Setelah dibentuknya
kabinet Parlemen, kondisi politik Indonesia semakin kacau. Pergantian kabinet secara terus
menerus yang terjadi hampir setiap tahun. Berbagai kebijakan silih berganti tiap periode
menimbulkan keadaan yang tidak kondusif.
Pecahnya Dwi-tunggal Soekarto-Hatta memperburuk kondisi perpolitikan bangsa. Pada
1 Desember 1956 Hatta mengundurkan diri secara resmi dari jabatanya sebagai wakil presiden.
Hubungan Soekarno-Hatta mulai retak sejak tahun 1955. Perbedaan pendapat dan latar belakang
walaupun keduanya sebagai tokh muslim yang nasionalis, namun Soekarno cenderung ke Marxis
serta bermain api dengan komunis, sedangkan Hatta cenderung ke Sosialis dan anti komunis.
Akhir tahun 1956, Bung Karno telah sering mengungkapkan ketidakpuasannya terhadap sistem
parlementer yang ada dan berencana memperbaharui sistem pemerintahan menjadi sistem
pemerintahan ”Demokrasi Terpimpin”, demokrasi yang dianggap oleh Soekarno sebagai
demokrasi yang lebih didasarkan atas mufakat daripada demokrasi secara Barat yang memecah
belah berdasar keputusan”50%+1”. Demokrasi terpimpin dijalankan dengan Dasar ”Kabinet
Gotong Royong” yang merangkul semua partai politik yang ada, termasuk PKI. Soekarno juga
ingin menyampaikan ”konsepsi”nya mengenai fraksi politik di Indonesia.
2.       Kondisi Perekonomian
Kegagalan ekonomi yang sedang dialami oleh pemerintah sejak awal kemerdekaan
berada pada titik kekacauan. Kegagalan pembangunan ekonomi yang di alami bangsa ini sangat
dirasakan oleh berbagai golongan. Kebijakan ekonomi Kabinet Hatta yang akomodatif terhadap
modal asing dipertahankan oleh kabinet-kabinet berikutnya, antara lain kabinet Natsir, Sukiman,
dan kabinet Wilopo. Tetapi sejak kabinet Ali I (1953-1954), haluan politik itu sama sekali
ditinggalkan. Program ekonomi kabinet seringkali hanyalah sembohyan. Kabinet ini
menganggap bahwa modal asing sangat merugikan bagi negara. Namun disisi lain, pembangunan
administratif sangat diperhatikan. Penggalangan persatuan dilakukan dengan cara dropping
pegawai dari pusat ke daerah. Partai PNI semakin nampak diperkuat.
Pada masa kabinet Ali II, membawa permasalahan yang semakin parah. Sentralisme
melalui sistem dropping pegawai mendesak putra-putra daerah dalam mengatur urusan daerah
sendiri, serta peranan mereka di pusat. Semua administrator pemerintah mayoritas berasal dari
Jawa, sedangkan yang berasal dari putera daerah hanyalah pimpinan militernya saja. Sistem
birokrasi sangat berkaitan dengan partai politik yang sedang berkuasa. Sedangkan keinginan
untuk ber-otonomi semakin kuat di setiap daerah.

3.       Permasalahan Militer di Indonesia


Di dalam tubuh suatu negara pastilah terdapat separangkat alat-alat negara. Setiap alat
mempunyai fungsi khusus dan saling terkait antara satu dengan yang lain. Salah satu alat yang
sangat vital peranannya dalam pemeliharaan keutuhan serta pertahanan negara adalah tentara
atau militer. Militer merupakan lembaga yang mempunyai eksklusivitas tersendiri.
Keprofesionalisme-annya perlu di hormati oleh sipil. Keberadaanya harus diperhatikan. Militer
di suatu negara baru merdeka cenderung melangkah ke arah politik. Hal tersebut terkait dengan
peranannya dalam perjuangan mereka pra-kemerdekaan suatu bangsa. Militer selalu menjadi
oposan bagi pemerintahan sipil. Jika pemerintahan sipil dirasa tidak mampu memerintah dengan
baik maka pemberontakan maupun perebutan kekuasaan oleh militer mustahil untuk tidak
terjadi. Salah satu contohnya adalah gerakan PRRI/PERMESTA di Indonesia.

4.      Situasi di Daerah
Peristiwa pemberontakan PRRI/Permesta yang terjadi juga tidak lepas dari berbagai
factor yang menyebabkannya. Factor politis dan ekonomis sangat berperan sebagai penyebab
dari pemberontakan ini.Sejak 1950, daerah tetap menjadi produsen ekspor, namun hasilnya lebih
dimanfaatkan oleh pusat. Kondisi inilah yang menyebabkan kecenderungan ”sentralistik” dalam
pandangan permesta. Hubungan antara pusat dan daerah menjadi kurang harmonis. Hal tersebut
dikarenakan perbedaan pendapat antara daerah dengan pusat. Daerah menganggap bahwa
kebijakan pemerintah tidak sesuai dengan daerah. Sedangkan pemerintah pusat menganggap
bahwa daerah kurang mampu dalam melaksanakan tugasnya.
Daerah luar Jawa merasa tidak puas dengan keadaan yang ada, karena mereka
menganggap bahwa dana alokasi untuk daerah dirasakan sangat kurang dan tidak mencukupi
untuk melaksanakan pembangunan. Pada akhirnya muncul upaya dari pihak militer yang
mendapat dukungan dari beberapa tokoh sipil untuk melakukan koreksi terhadap kebijakan-
kebijakan pemerintah.

C.   Dampak dari Pemberontakan PRRI/PERMESTA bagi Bangsa Indonesia


Terjadinya PRRI/Permesta membawa luka luar dalam bagi masyarakat di dalamnya. Di
Minang, korban yang jatuh dari pihak PRRI kurang lebih berjumlah 22.174 jiwa, 4.360 luka-
luka, 8.072 ditahan. Dari pihak APRI pusat jumlah yang meninggal adalah 10.150 jiwa, terdiri
dari 2.499 tentara, 956 anggota OPR, 274 Polisi, dan 5.592 orang sipil. Pembangunan fisik yang
selama ini dibangun menjadi hancur. Masyarakat Minang menjadi rendah diri, muno, lalu cigin
ke rantau.
Perubahan kebijakan oleh Pemerintah Pusat terhadap daerah. Dekrit presiden 5 juli 1959
yang menetapkan kembalinya pemerintahan sesuai dengan UUD 1945. Dengan berhasil
ditumpasnya PRRI/Permesta maka PKI justru berkembang sebagai kekuatan yang semakin kuat
di tubuh TNI AD dan semakin berpengaruh terhadap Soekarno dalam kaitannya dengan
perpolitikan Indonesia yaitu diakuinya Nasakom [nasionalisme, sosialisme, dan agama].
Dampak selanjutnya adalah menimbulkan kesadaran di kalangan pimpinan negara
bahwa wilayah NKRI terdiri dari kepulauan yang luas dan beraneka ragam masalah di setiap
daerah. Sembohya Binneka tunggal Ika harus dihayati makna dan hakekatnya. Hak otonomi yang
luas memang perlu diberika kepada setiap daerah agar setia ebijakan sesuai dengan kebutuhan
dan kepentingan masing-masing daerah.
Peristiwa gerakan separatis tersebut menyebabkan jatuhnya kabinet Ali II pada tanggal
14 Maret 1957 yang ditandai dengan penyerahan mandat dari Perdana Menteri Ali
Sastroamidjojo kepada Presiden. Kabinet tersebut digantikan oleh kabinet Djuanda yang secara
resmi di bentuk pada tanggal 9 April 1957.

D.  Upaya Penumpasan dari Pemberontakan PRRI/PERMESTA


1.      Upaya Diplomatis
Melihat realita yang terjadi, Pemerintah Pusat melakukan berbagai cara untuk
menyelesaikannya. Langkah pertama yang dilakukan oleh Kasad Nasution terhadap timbulnya
awal gejolak pada bulan Desember 1956 adalah dengan mengeluarkan surat perintah tanggal 2
januari 1957 untuk Kolonel Gatot Subroto, Kol. Ahmad Yani, Letkol. Sjoeib, Mayor Alwin
Nurdin, Ayor Sahala Hutabarat, dan Mayor Ali Hasan untuk menemui kolo. Simbolon dan para
komandan resimennya untuk mengusahakan agar tidak terjadi bentrok secara fisik. Namun usaha
ini tidak berhasil karena cenderung kontroversif dengan keadaan. Mayjen Nasution telah
melakukan pendekatan terselubung terhadap bawahan Simbolon sendiri, yaitu Letkol. Djamin
Ginting dan Letkol Wahab Makmur untuk mengambil kedudukan panglima.
Usaha Pemerintah Pusat untuk memenuhi tuntutan daerah yaitu dengan mengirim
sejumlah misi, seperti misi Kol. Dahlan Djambel, menteri pertanian Eny Karim, Dr.J Leimena/
Sanusi, Prof. Zairin Zein/ Nazir Pamuntjak, dan Kol. Mokoginta Cs. Misi-misi tersebut ditujukan
untuk menyelesaikan masalah di Sumatera Tengah. Misi tersebut kemudian disusul dengan
pembentukan Panitia Tujuh dan penyelenggaraan Munas serta Musyawarah pembangunan.
Namun semua usaha diplomatis yang dilakukan Pemerintah Pusat tidak berhasil.
2.      Tindakan dari RI terhadap PRRI dan Permesta secara Bersenjata
Penolakan terhadap ultimatum PRRI oleh Pusat diikuti dengan pemboman terhadap
Padang dan daerah kantong pemberontakan lainnya. Kemudian pemberontakan terang-terangan
terjadi di Sumatera dan diikuti oleh Permesta di Sulawesi. Setelah melihat situasi tersebut,
pemerintah Pusat melakukan upaya lebih lanjut dengan operasi militer. Operasi tersebut antara
lain :
a.      Operasi yang dilaksanakan di Sumatera
1)      Operasi tegas dilaksanakan pada 12 Maret 1958 di Sumatra Timur.
2)      16 April 1958, pengiriman pasukan dalam ”Operasi 17 Agustus” di bawah Kolonel Achmad
Yani, yang dibantu oleh seorang perwira Angkatan Darat AS, Benson. Tanggal 17 April,
pasukan Yani telah menguasai Padang sepenuhnya.
3)      Operasi Sapta Marga dibawah Brigadir Jenderal Jatikusuma dengan sasaran Sumatera Timur
dan Sumatera Utara.
4)      Operasi Sadar dibawah pimpinan Letkol. Ibnu Sutowo dengan daerah sasaran Sumatera
Selatan.
b.   Pemecatan terhadap para pemimpin pemberontakan dari jajaran militer Indonesia, dan
dilaksanakan Operasi Marga pada bulan April untuk menumpas Permesta.
1)      Operasi Sapta Marga I dibawah pimpinan Letkol. Soemarsono dengan sasaran Sulawesi
Tengah
2)      Operasi Sapta Marga II dibawah pimpinan Letkol. Agus Pramono dengan sasaran Sulawesi
Utara bagian Selatan
3)      Operasi Sapta Marga III dibawah pimpinan Letkol. Magenda dengan sasaran sebelah Utara
Menado.
4)      Operasi Sapta Marga IV dibawah pimpinan Letkol. Rukminto Hendraningrat dengan sasaran
Sulawesi Utara
5)      Operasi Sapta Marga V dibawah pimpinan Pieters dengan sasaran Jailolo.
6)      Operasi Sapta Marga VI dibawah pimpinan Letkol. KKO. H.H W. Huhnhloz dengan sasaran
Murotai

E.  Akhir dari Pemberontakan PRRI/PERMESTA

Pemberontakan di Sumatra dapat dengan mudah ditumpas oleh pemerintah. Mereka


tidak melakukan perlawanan yang berarti. Pasukan banyak yang melarikan diri, bersebunyi dan
menyerah. Para tentara kebanyakan dari para pelajar dan mahasiswa yang belum berpengalaman
dalam perang. Tawaran Soekarno dan Nasution tentang pemberian amnesti, abolisi dan
rehabilitasi diterima oleh merek
BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Terjadinya suatu peristiwa tidak lepas dari hal-hal yang telah terjadi sebelumnya, seperti
yang telah diketahui bahwa dalam disiplin ilmu sejarah berlaku hukum kausalitas atau sebab-
akibat. Peristiwa pemberontakan PRRI/Permesta yang terjadi juga tidak lepas dari berbagai
factor yang menyebabkannya. Factor politis dan ekonomis sangat berperan sebagai penyebab
dari pemberontakan ini. Posisi militer sebagai opsan pemerintah berusaha mengambil alih
kekuasaan sipil setelah melihat berbagai kekurangan dalam berbagai kebijakannya.
Kondisi yang dianggap ”sentralistik” oleh daerah menyebabkan hubungan antara pusat
dan daerah menjadi kurang harmonis. Hal tersebut dikarenakan perbedaan pendapat antara daerah
dengan pusat. Daerah menganggap bahwa kebijakan pemerintah tidak sesuai dengan daerah.
Sedangkan pemerintah pusat menganggap bahwa daerah kurang mampu dalam melaksanakan
tugasnya. Gerakan PRRI/Permesta merupakan gejolak daerah yang berusaha melakukan koreksi
terhadap kondisi bangsa yang morat-marit.

B.  Saran
Dari penjelasan di atas, kita sebagai Bangsa Indonesia dapat mengambil pelajaran dari
Peristiwa Pemberontakan PRRI/PERMESTA. Kita sebagai bangsa yang baik patut melanjutkan
perjuangan para pahlawan yang telah memerdekakan Bangsa Indonesia ini dengan lebih giat
belajar, serta menjaga persatuan dan kesatuan Bangsa Indonesia
DAFTAR PUSTAKA

Buku LKS Sejarah Kelas XII Semester I


 http://yanuaridho.wordpress.com/2012/01/29/prri-dan-permesta/
 Agung Leo dan Aris Listiyani Dwi. 2009. Mandiri Sejarah. Jakarta: Erlangga
https://molamakalah.blogspot.com/2018/10/makalah-pemberontakan-prripermesta.html
https://www.ruangguru.com/blog/latar-belakang-dan-tujuan-pemberontakan-prri/permesta

Anda mungkin juga menyukai