Anda di halaman 1dari 18

TUGAS MAKALAH

MAKALAH PENULISAN ILMIAH

MASALAH KESEHATAN MENTAL AKIBAT PANDEMI COVID-19

DOSEN PMBIMBING

Muh. Ikhsan Akbar, SKM,M.Kes

OLEH

NAMA :ICHE APRIYANI

NIM :K201801020

KELAS :EPIDEMIOLOGI (VI)

PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MANDALA WALUYA
KENDARI
2021
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam yang telah
melimpahkan rahmat serta hidaya-Nya sehingga Penulis dapat
menyelesaikan makalah PENULISAN IILMIAH tentang “MASALAH
KESEHATAN MENTAL AKIBAT PANDEMI COVID-19” tepat pada
waktunya.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pengajar mata kuliah


Penulisan Ilmiah atas arahan dan bimbingannya dalam proses penyelesaian
makalah ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih
terdapat kekurangan. Sehubungan dengan hal tersebut, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna mewujudkan
makalah yang lebih baik di masa mendatang.

Akhir kata, penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan


konstribusi positif kepada para pembaca.

Kendari , 11 juni
2021

Penulis
DAFTAR ISI

BAB I………………………………………………………………………..

PENDAHULUAN………………………………………………………….

1.1LATAR BELAKANG………………………………………………
1.2RUMUSAN MASALAH……….…………………………………...
1.3TUJUAN MASALAH…………….…………………………………

BAB II PEMBAHASAN………………………………….……………….

2.1DAMPAK PSIKIS PANDEMI COVID-19 MENYEBABKA


STRESS DAN TRAUMA…………………………………………….
2.2KESEHATAN MENTAL………………………………………..
………………..….
2.3EFEK PSIKOSOSIAL DARI PANDEMI OVID-
19………………………………………………………………..……
2.4STRATEGI
PENGENDALIAN…………………………………………………
2.5SOSIALISASI MENGATASI MENTAL HEALTH
TERDAMPAK COVID-19 MELALUI VIDEO
EDUKASI…………………………………………
2.6DATA PERKEMBANGAN COVID-19 DI
IINDONESIA………………………………………………………...

BAB III………………………………….………………………………….

PENUTUP…………………………………………………………………..

3.1KESIMPULAN……………………………………………………...
3.2SARAN……………………………………………………………….

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………...…
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Saat ini, dampak dari pandemi Covid 19 membuat krisis
kesehatan global dan sosial ekonomi yang belum pernah terjadi
sebelumnya di dunia. Di Indonesia, kehidupan jutaan anak dan
keluarga seakan terhenti. Menurut data Unicef, April 2020,
menyatakan bahwa 99 persen anak-anak dan remaja di bawah 18 tahun
di seluruh dunia (2,34 miliar) tinggal di salah satu dari 186 negara
dengan beberapa bentuk pembatasan gerakan yang berlaku karena
Covid 19. Enam puluh persen anak tinggal di salah satu dari 82 negara
dengan lockdown penuh (7 persen) atau sebagian (53 persen) – yang
jumlahnya mencakup 1,4 miliar jiwa muda.
(https://www.unicef.org/indonesia/id/p ress-releases/jangan-biarkan-
anak- anak-menjadi-korban-tersembunyi- pandemi-covid-19).

Bila ditinjau dari angka penderita Covid 19 dari usia anak maka
awalnya banyak kalangan memperkirakan bahwa anak-anak tidak
akan terinfeksi karena ketahanan tubuh mereka. Asumsi tersebut
terbukti keliru. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyebut
hingga 18 Mei lalu ada 584 anak terkonfirmasi positif COVID-19, 14
di antaranya meninggal. Lalu, jumlah Pasien Dalam Pengawasan
(PDP) berusia anak jumlahnya mendapai 3.324, 129 di antaranya
meninggal. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak menyebut penderita COVID-19 berusia 0 sampai 17 tahun
mencapai lima persen dari total kasus (Nawangsih, 2020).
Menurut Riset Kesehatan Nasional Indonesia (RISKESDAS)
2013: (1) sekitar 3,7% (9 juta) orang menderita depresi, dari populasi
250 juta orang, (2) sekitar 6% (14 juta) orang berusia 15 tahun ke
atas menderita gangguan mood (suasana hati) seperti dperesi dan
kecemasan, (3) sekitar 1,7 per 1000 orang menderita gangguan
psikologis kronis, seperti skizofrenia. Untuk meningkatkan kesehatan
mental di Indonesia perlu adanya: (1) kolaborasi antara berbagai sector
sangat penting, karena kesehatan mental adalah hasil interaksi antara
factor psikologis, social dan biologis, (2) strategi yang menyertakan
dorongan, pencegahan, penyembuhan dan rehabilitasi harus
ditekankan, (3) organisasi kesehatan mental, pemerintah dan
masyarakat umum harus bekerja sama untuk menciptakan perubahan
(D. Ayuningtyas and M. Rayhani, 2018).

Sedangkan bila ditinjau dari aspek pendidikan, UNESCO


menyebutkan, total ada 39 negara yang menerapkan penutupan sekolah
dengan total jumlah pelajar yang terpengaruh mencapai 421.388.462
anak. Total jumlah pelajar yang berpotensi berisiko dari pendidikan
pra-sekolah dasar hingga menengah atas adalah 577.305.660.
Sedangkan jumlah pelajar yang berpotensi berisiko dari pendidikan
tinggi sebanyak 86.034.287 orang. Saat ini di Indonesia, beberapa
kampus dan sekolah mulai menerapkan kebijakan kegiatan belajar
mengajar dari jarak jauh atau kuliah online (Purwanto, 2020).

Kondisi pandemi yang menuntut banyak perubahan ini


menimbulkan kekhawatiran tentang bagaimana anak-anak akan
mengingat pandemi virus corona ke depannya. Anak akan memiliki
dampak tertentu bila mereka adalah kakak/adik/teman dari anak yang
sakit/meninggal; anak yang ditinggalkan orangtua/pengasuh yang
meninggal akibat COVID-19; anak yang ditinggalkan
orangtua/pengasuh yang diisolasi karena status PDP; atau anak yang
tinggal bersama individu atau diasuh oleh seseorang dengan status
ODP; anak yang orangtuanya kehilangan pekerjaan; anak yang
orangtuanya adalah dokter atau perawat yang bekerja di garis depan.
Kondisi di atas dapat membuat anak memiliki kenangan permanen yang
menyakitkan. Potensi kekerasan terhadap anak juga meningkat,
padahal sebelum pandemi pun tergolong tinggi. Unicef menyebut
potensi ini, yang dampak traumatiknya bisa seumur hidup (Pearson,
2020).
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yaitu:

1. Apakah dampak dari psikis pandemic covid-19 sehingga


mennyebabkan stress dan trauma?
2. Apakah pengertian dari kesehatan mental?
3. Bagaimana efek dari psikososial dari pandemic covid-19?
4. Apa saja trategi pengendalian covid-19?
5. Bagaimanakah sosialisasi mengatasi mental health terdampak
covid-19 melalui video edukasi?
6. Data perkembangan covid 19!

C. Tujuan penulisan
Adapun tujuan penuulisan yaitu :
1. Untuk mengetahui dampak dari psikis pandemic covid-19 sehingga
mennyebabkan stress dan trauma
2. Untuk mengetahui pengertian dari kesehatan mental
3. Untukk mengetahui efek dari psikososial darii pandemic covid-19
4. Untuk mengetahui strategi pengendalian covid-19
5. Untuuk mengetahui sosialisasi mengatasi mental health terdampak
covid-19 melalui video edukasi
6. Untuuk mengetahui data perkembangan covid-19
BAB II

PEMBAHASAN

A. Dampak Psikis Pandemi Covid 19 Menyebabkan Stres dan


Trauma
Pandemi Covid dianggap sebagai peristiwa besar yang terjadi
atau yang dialami dalam kehidupan seseorang. Kondisi ini tidak
hanya menimbulkan perasaan yang tidak nyaman, tetapi juga akan
memberikan perubahan pada kehidupan individu sebagai akibat
yang dialaminya. Perubahan-perubahan tersebut dapat menimbulkan
stres. Stres yang dialami dapat menimbulkan adanya tekanan atau
tuntutan yang dialami individu agar ia beradaptasi atau
menyesuaikan diri. Stres berimplikasi secara luas pada masalah-
masalah fisik maupun psikologis

Pandemi COVID-19 tentu saja merupakan peristiwa yang


tidak biasa dan tidak terduga yang menyebabkan banyak orang
khawatir dan bahkan panik. Anak banyak melihat dan mendengar
berita menakutkan di televisi. Anak memiliki anggota keluarga atau
orang lain yang mereka kenal sakit atau mungkin meninggal. Stres
juga bisa timbul karena anak tidak dapat melakukan aktifitas sosial
seperti biasanya. Demikian juga dengan aktifitas sekolah yang
mengharuskan anak di rumah saja. Sekolah diliburkan terlalu lama
membuat anak-anak jenuh. Anak yang tadinya terbiasa berada di
sekolah, akhirnya kehilangan interaksi dan kesempatan bermain
bersama dengan teman-temannya. Dampak negatif juga dirasakan
oleh anak ketika dipaksa belajar dari rumah karena pembelajaran
tatap muka ditiadakan untuk mencegah penularan covid-19. Padahal
tidak semua pelajar, siswa dan mahasiswa terbiasa belajar melalui
Online. Apalagi guru dan masih banyak belum mahir mengajar
dengan menggunakan teknologi internet atau media sosial terutama
di berbagai daerah.
Menurut data Lembaga Bantuan Anak Indonesia (LBAI), di
saat pandemi COVID-19 banyak anak yang mengalami stres karena
tekanan yang ada di rumah. Oleh karena tubuh anak-anak sedang
berkembang, mereka lebih peka terhadap stres berulang ini dan
menanggung bagian yang terberat dari sistem ini.(Meutia 2020)\
Beberapa gejala yang menunjukkan anak yang mengalami
stres dapat dilihat dari adanya perubahan perilaku yang ditunjukkan,
beberapa di antaranya:
 Bersikap lebih menuntut.
 Merasa cemas.
 Terlihat mulai menarik diri.
 Mengigau.
 Ketakutan, seperti takut pada kegelapan, takut sendiri, atau takut
pada orang asing.
 Sulit konsentrasi.
 Mengalami perubahan suasana hati.
 Menunjukkan perilaku gelisah, seperti menggigit kuku, dan
lainnya.

Secara fisik, beberapa gejalanya antara lain:


 Penurunan atau peningkatan nafsu makan.
 Mengeluh rasa sakit pada perut atau kepala, gejala sudah
memengaruhi metabolisme tubuh.
 Mengompol.

 Gangguan tidur atau mimpi buruk, dan lainnya.

(https://lifestyle.kompas.com/read/202 0/04/20/071500020/anak-juga-
bisa- stres-simak- gejalanya?page=all#page2.)
Trauma masa kanak-kanak sering melibatkan reaksi negatif, yang
disebut stres traumatis, mengikuti pengalaman yang luar biasa,
menjengkelkan, atau menakutkan — disebut peristiwa traumatis —
yang menantang kemampuan anak untuk mengatasinya. Peristiwa
traumatis biasanya adalah situasi yang berada di luar kendali, di luar
pengalaman yang biasa, dan membuat seseorang merasa seolah-olah
hidupnya atau hidup orang lain mungkin dalam bahaya (Brown, 2020).
Dampak psikologis dari situasi COVID-19 adalah hal yang perlu
diperhatikan selain perlindungan fisik.

Gross (2020) menyatakan bahwa ketakutan, kecemasan dan stres


menghasilkan gejala trauma pada beberapa anak dan mengganggu
pembelajaran, keterlibatan sosial dan kesehatan fisik.

Secara umum pengertian trauma berkaitan dengan cedera fisik,


kerusakan jaringan, luka atau shock. Sedangkan trauma secara
psikologis diartikan sebagai kecemasan hebat dan mendadak akibat
peristiwa di lingkungan seseorang yang melampaui batas
kemampuannya untuk bertahan, mengatasi atau menghindar
(Nevid,2005).

Reaksi anak-anak setelah peristiwa traumatis akan bervariasi


tergantung pada usia mereka, tingkat perkembangan, tingkat dukungan
sosial, dan keterampilan mengatasi masalah. Beberapa anak
menunjukkan tanda-tanda stres traumatis dalam menanggapi peristiwa
stres, sementara yang lain tidak (Brown, 2020)
Penelitian telah menunjukkan bahwa sementara beberapa anak
menunjukkan tanda-tanda stres sebagai reaksi terhadap peristiwa
traumatis, gejala-gejala ini kemungkinan akan sembuh dalam beberapa
hari atau minggu, sementara beberapa mungkin memiliki dampak yang
lebih tahan lama. Jika gejala anak tidak berkurang dalam dua hingga
empat minggu setelah kejadian, sebaiknya anak dikonsultasikan ke
psikiater atau psikolog anak.
Situasi lain yang mungkin memerlukan penanganan khusus dengan
spesialis kesehatan mental termasuk yang berikut:

 Jika keluarga tidak dapat memenuhi kebutuhan anak, termasuk jika


orangtua atau pengasuh lainnya berjuang karena peristiwa
traumatis dan menginginkan atau membutuhkan dukungan. Jika
gejala anak parah atau secara signifikan mengganggu rutinitas
hariannya, kemampuan anak untuk bersosialisasi, atau mengerjakan
tugas sekolah.
 Jika anak sebelumnya pernah terkena trauma, sebelumnya
didiagnosis dengan gangguan kesehatan mental, atau berjuang
dengan kecemasan atau masalah suasana hati lainnya. Anak-anak ini
lebih rentan untuk mengembangkan masalah stres traumatis yang
sedang berlangsung.
 Jika anak mengalami kehilangan atau kesedihan, ini mungkin
memerlukan dukungan tambahan bahkan jika situasinya tidak
tampak traumatis.

B. Kesehatan Mental
Kesehatan mental adalah keadaan sejahtera di mana setiap
individu bisa mewujudkan potensi mereka sendiri berdasarkan
referensi junal tahun 2015 berjudul “Kesehatan Mental Masyarakat
Indonesia (Pengetahuan, dan Keterbukaan Masyarakat terhadap
Gangguan Kesehatan Mental)”. Kesehatan mental menurut APA
(2018) adalah kondisi kesehatan yang melibatkan perubahan emosi,
pemikiran atau perilaku. Penyakit mental dikaitkan dengan
kesusahan atau masalah dalam kegiatan sosial, pekerjaan atau
keluarga. Meskipun masalah kesehatan mental saat ini banyak
ditemui mengganggu orang dewasa seperti depresi, kecemasan,
gangguan makan, dan psikosis, namun menurut O’Reilly (2015)
banyak masalah kesehatan mental tersebut yang sudah memunculkan
gejala atau hambatan saat masih anak- anak dan remaja. Artinya,
mereka dapat mengatasi tekanan kehidupan yang normal, dapat
berfungsi secara produktif dan bermanfaat, dan mampu memberikan
kontribusi kepada komunitas mereka. Kesehatan mental yang sehat
dan positif penting untuk dimiliki karena hal itu memungkinkan
orang untuk bekerja secara produktif. Ini termasuk memberikan
kontribusi yang berarti bagi komunitas kita, mewujudkan potensi kita
sepenuhnya dan memiliki kemampuan untuk mengatasi tekanan
hidup. Beberapa penelitian menemukan bahwa kesehatan mental
positif tidak tergantung pada kondisi mental atau penyakit. Orang
yang memiliki penyakit mental masih mungkin memiliki tingkat
kesehatan mental positif yang berbeda dan orang yang tidak sakit
mental mungkin kekurangan kesehatan mental positif. Ada banyak
cara untuk menjaga kesehatan mental yang positif seperti cukup
tidur, mempelajari keterampilan untuk menghadapinya, aktif secara
fisik, berhubungan dengan orang lain dan banyak lagi. Beberapa
orang mungkin juga memerlukan bantuan profesional.

Kesehatan dan kesejahteraan mental dapat dipengaruhi oleh


berbagai faktor termasuk genetika, hubungan keluarga atau teman,
fungsi fisiologis, gaya hidup, pekerjaan, faktor sosial, ekonomi,
budaya, politik, pendidikan dan faktor lingkungan lainnya. Infeksi
perinatal, stres dan pajanan terhadap bahaya lingkungan juga dapat
menjadi faktor penyebab masalah kesehatan mental. Tentunya
selama pandemi Covid-19, semua faktor tersebut sangat berpengaruh
dalam memberikan tekanan pada setiap orang. Semua konflik saat ini
dalam keluarga, pekerjaan, komunitas, dan negara berada pada waktu
yang relatif kompleks. Dalam mengkomunikasikan jarak dalam
masyarakat, setiap orang terpaksa secara tidak langsung memberikan
jarak dengan orang lain, dan aktivitas sosial secara langsung pasti
akan cepat menurun. Tekanan psikologis individu yang mengalami
stres membuat mereka sulit untuk berinteraksi langsung dengan
orang lain, yang dapat mengganggu keseimbangan emosi dan emosi
mereka. Ini akan berdampak pada kesehatan mentalnya yang
berkelanjutan. (Meutia 2020)
1. Emosi

Emosi adalah suatu reaksi tubuh menghadapi situasi tertentu.


Sifat dan intensitas emosi biasanya terkait erat dengan aktivitas
kognitif (berpikir) manusia sebagai hasil persepsi terhadap situasi
berdasarkan referensi jurnal tahun 2016 berjudul “Memahami Mood
Dalam Konteks Indonesia: Adaptasi Dan Uji Validitas Four
Dimensions Mood Scale”. Emosi didefinisikan sebagai impuls yang
dihasilkan oleh rangsangan internal atau eksternal. Emosi itu
bermacam-macam, seperti kesedihan, kemarahan, kebahagiaan, dan
bentuk emosi lainnya. Emosi dalam bahasa awam biasanya hanya
digunakan untuk mendeskripsikan amarah, namun nyatanya emosi
memiliki arti yang lebih eksternal dan mewakili ragam perasaan.
Emosi terkait dengan psikologi seseorang dan emosi yang
berkelanjutan. Emosi dapat diekspresikan dalam bentuk perilaku
tertentu. Emosi mengacu pada isi hati yang diekspresikan dalam
ekspresi fisik.
2. Suasana Hati atau Mood
Suasana hati atau mood adalah perasaan yang hampir mirip
dengan emosi namun tidak sekuat emosi, dan seringkali tidak ada
rangsangan situasional. Kemarahan yang begitu kuat bisa datang dan
pergi dengan sangat cepat bahkan dalam hitungan beberapa detik.
Namun saat seseorang sedang dalam mood yang buruk, seseorang
mungkin merasa berjam-jam. Sebaliknya, mood tidak ditujukan pada
emosi ketika kehilangan perhatian pada objek kontekstual. Penyebab
emosional biasanya umum, dan penyebab yang tidak jelas biasanya
bertahan lebih lama daripada emosi. Emosi bersifat kognitif
berdasarkan referensi jurnal tahun 2016 berjudul “Memahami Mood
Dalam Konteks Indonesia: Adaptasi Dan Uji Validitas Four
Dimensions Mood Scale”.(Rifani and Rahadi 2021)

Mood atau suasana hati memiliki pengaruh positif dan negatif,


yaitu pengaruh positif adalah dimensi ketika suasana hati atau mood
meliputi emosi positif seperti kebahagiaan, ketenangan dan
kegembiraan pada puncaknya berupa kebosanan, kemalasan dan
kelelahan pada kepala bagian bawah. Efek negatif adalah dimensi
suasana hati yang meliputi kegugupan, stres dan kecemasan di
puncak, dan relaksasi, ketenangan dan keseimbangan di punggung
bawah. Menjaga diri tetap menjadi pribadi yang positif di tengah
pandemi covid- 19 memang bukanlah perkara mudah menurut
psikoterapis Lillyana Morales (Bisnis, 2020:9). Ada begitu banyak
pergeseran mulai dari perekonomian yang jatuh hingga pola gaya
hidup. Meskipun demikian, penting untuk menjaga hingga
meningkatkan mood atau suasana hati di masa krisis. Ada beberapa
cara sederhana yang bisa dilakukan setiap hari untuk menjaga
semangat tetap stabil yaitu:
1. Mengenali diri sendiri dengan mengetahui apa yang membuat
diri sendiri merasa bahagia, senang, tenang dan nyaman.
2. Selalu bersyukur dengan hal apapun yang dialami setiap saat
dan selalu melihat dari sudut pandang positif setiap hal apapun
yang di alami.
3. Menyibukkan diri dengan hal-hal yang produktif sesuai dengan
hobi.
4. Berada dilingkungan orang-orang yang positif.

Ada beberapa tips menjaga kesehatan mental menurut Departemen


Psikologi Klinik dan Kesehatan Mental UNAIR, antara lain:
1. Selfhealing
a. Mindfullness
Yaitu suatu kondisi dimana pikiran, perasaan dan tubuh kita berada
pada saat ini, tidak mengembara ke masa lalu maupun masa depan
(Kabat-Zinn, 1990).

b. Guided Imagery
Yaitu pejamkan mata lalu bayangkan sesuatu yang menyenangkan.
Meskipun kenyamanan ini hanya bersifat jangka pendek, namun bisa
menjadi pertolongan pertama psikologis dalam menanggulangi
kecemasan berlebihan.
c. Selftalk
Yaitu bicaralah kepada diri sendiri dengan kalimat positif, karena
pikiran positif akan meningkatkan kualitas emosi dan perasaan.
d. Expessive Writing
Yaitu refleksikan pikiran dan perasaan yang dialami selama pandemi
dalam bentuk tulisan (Z. V Segal, J. D. Teasdale, and J. M.
G. Williams, 2004).
2. Pendekatan spiritualisme, yaitu pahami bahwa ada Dzat yang Maha
Kuasa dan Maha Mengendalikan segala sesuatu. Meningkatkan
spiritualisme bisa diterapkan dengan menulis jurnal kebersyukuran.
3. Bijak dalam menyaring informasi seputar COVID-19, bisa dilakukan
dengan beberapa cara yaitu kita bisa mempercayai informasi yang
reliabel atau valid (misalnya WHO), batasi waktu dalam membaca
berita, tidak semua informasi dari berbagai sumber harus kita ketahui,
dan saring informasi sebelum di sharing.
4. Menerapkan hidup bersih dan sehat, dengan cara sering mencuci tangan,
menggunakan masker dan pastikan asupan gizi tercukupi dan istirahat
teratur.
5. Olahraga teratur, dengan berolahraga, hormon endorfin yang dihasilkan
tubuh kita meningkat.

6. Berpikir positif hadapi corona virus, dapat menjadi cara yang efektif
untuk menanggulangi rasa cemas berlebihan (E. R. Surjaningrum,
2012).
C. EFEK PISKOSOSIAL DARI COVID-19PANDEMI

1.Dampak psikososial pandemic

perspektif psikososial digunakan terutama untuk menjelaskan efek


dari struktur social pada karakteristik individu (Şahan,
2016 ) . Sebagai kepedulian sosial, pandemi atau epidemic
mempengaruhi orang tidak hanya secara fisik tetapi juga
psikososial. Masih terlalu dini untuk mengatakan dengan pasti apa
yang akan menjadi konsekuensi jangka panjang dari pandemi
COVID-19 pada kesehatan mental global. Para peneliti di selu untuk
membantu mengatasi konsekuensi psikologis dari pandemi (Holmes
et al., 2020).

Untuk tujuan ini, pengalaman dari pandemi dan epidemi


sebelumnya dapat memberi tahu kami tentang dampak buruk
pandemi terhadap kesehatan mental, stigmatisasi, altruisme,
danpenimbunan, baik dalam jangka pendek maupun jangka
panjangTingkat kematian sangat bervariasi di setiap negara. Apalagi
saat ini, influenza Spanyol adalahpandemi terbesar yang diketahui
dalam sejarah manusia (Aşkın, Bozkurt, & Zeybek,
2020). Menurutterhadap hasil penelitian yang dilakukan di Arab
Saudi pada MERS (Batawi et al., 2019) adalahMasuk akal untuk
berasumsi bahwa masalah mental akan bertahan lama setelah
berakhirnya pandemi.Misalnya, karena tindakan isolasi diri selama
epidemi MERS pada tahun 2015,7,6% peserta mengalami
peningkatan tingkat kecemasan, dan 16,6% merasa marah. Empat
sampai enambulan setelah isolasi diri, 3% tetap cemas, dan 6,4%
merasa agresif (Jeong et al.,2016). Dalam penelitian lain yang
dilakukan di Hong Kong selama epidemi SARS, ditemukan bahwa
kesehatan mental individu memburuk, dan mereka merasakan
tingkat ketidakberdayaan yang tinggi, terror dan kecemasan. Selain
itu, beberapa dari individu ini (16%) memiliki gejala pasca-trauma,
dan sebagian besar (40%) dilaporkan merasakan peningkatan stres
dalam keluarga atau pekerjaan lingkungan setelah pandemi (Aşkın et
al., 2020). Selain itu, stigmatisasi adalah public masalah kesehatan
yang perlu ditangani sebagai stressor eksternal dengan potensi untuk
dilakukan sebanya membahayakan seperti depresi dan gejala mental
lainnya (“Fenomena Stress Dan Pembiasaan Belajar Daring Dimasa
Pandemi Covid-19 | Jatira | EDUKATIF : JURNAL ILMU
PENDIDIKAN” n.d.)

2.Efek psikologis yang menekan

gangguan atrik seperti depresi, kecemasan dan substansi


gangguan penggunaan (Pascoe et al., 2020). Stres berkepanjangan
paparan pada anak-anak dan remaja juga dapat menyebabkan
perkembangan masalah kesehatan fisik seperti meta- sindrom bolik,
obesitas dan penurunan sensitivitas insulin sebagai serta pengurangan
harapan hidup (Pervanidou & Chrousos, 2012). Lulusan baru di India
takut penarikan tawaran pekerjaan dari perusahaan karena Situasi
saat ini. Pusat Pemantauan India Perkiraan ekonomi tentang
pengangguran melonjak hingga 23% dalam awal April dan tingkat
pengangguran perkotaan menjadi 30,9% (Choudhary, 2020)
D. Strategi penanggulangan
Ada tiga bagian penting untuk mendukung ketahanan anak dalam
menghadapi keadaan yang penuh tekanan (Raviv, 2020)
a. Pertama adalah memastikan keamanan fisik dan emosional. Ini
termasuk memastikan kebutuhan fisik mereka terpenuhi
(makanan, tempat tinggal, perawatan kesehatan) serta
memberikan keamanan emosional dengan memberikan
informasi yang akurat dalam bahasa yang sesuai usia,
membatasi paparan liputan media, dan menciptakan atau
membangun kembali struktur yang sudah dikenal dan rutinitas
yang dapat diprediksi.
b. Kedua adalah membangun dan menjaga hubungan yang sehat.
Ini termasukmembangun dan memperkuat koneksi dengan
orang dewasa yang mendukung seperti pengasuh, anggota
keluarga, guru, dan pelatih serta teman sebaya. Anak juga dapat
dihubungkan ke komunitas yang lebih besar, seperti kelompok
atau sekolah berbasis agama yang dianggap dapat membantu
anak-anak membangun ketahanan.
c. Ketiga, mengajarkan keterampilan pendukung untuk mengatasi
dan mengatur emosi. Ini termasuk membantu anak-anak belajar
bagaimana mengekspresikan emosi dalam kata-kata, terlibat
dalam kegiatan positif, menggunakan strategi relaksasi seperti
pernapasan dalam, mengakses dukungan sosial, dan
menyelesaikan masalah. Mengingat ketiga komponen utama ini
dapat membantu anak-anak tidak hanya melewati masa penuh
tekanan ini tetapi juga tumbuh dan berkembang.(Çaki, Krupić,
and Corr, n.d.)

E. Sosialisasi Mengatasi Mental Health Terdampak COVID-19


Melalui Video Edukasi

1. Pemasangan spanduk
Spanduk ini dibuat dan dipasang karena kurangnya
pengetahuan masyarakat umum khususnya masyarakat di
Kelurahan Air Putih mengenai pentingnya kesehatan mental
selama COVID-19 agar bisa di lihat oleh banyak orang dan
menambah pengetahuan untuk masyarakat umum mengenai
pentingnya mental health dimasa COVID-19. Kegiatan
berlangsung di Mushalla Ibadurrahman Kelurahan Air Putih,
dilaksanakan pemasangan spanduk tentang Sehat Mental Selama
Masa Pandemi Covid-19.
Gambar 3. Spanduk Edukasi Kesehatan Mental yang Telah Terpasang

2. Penyebaran brosur
Brosur ini dibuat dan disebarkan kepada warga setempat di
Kelurahan Air Putih dengan mendatangi rumah-rumah warga
RT/RW 06/02 karena banyak warga yang tidak keluar rumah dan
diberi kepada beberapa warga yang ikut membantu tim dalam
pemasangan spanduk. Tujuan program ini agar membiasakan
masyarakat untuk membaca sehingga mendapatkan informasi
mengenai kesehatan mental selama masa pandemi COVID- 19.

3. Pembagian masker

Pembagian masker dilakukan sebagai bentuk kepedulian tim


pengabdian kepada masyarakat untuk memenuhi protokol
kesehatan dari pemerintah. Karena masih banyak warga yang
belum mengaplikasikan protokol kesehatan untuk mencegah
penyebaran COVID-19, sehingga tim berinisiatif untuk
membagikan masker kepada warga setempat. Hal tersebut
bertujuan untuk membantu warga dalam mencegah penyebaran
COVID-19.

F. Data covid-19 di indonesiA


BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Saat ini, dampak dari pandemi Covid 19 membuat krisis kesehatan
global dan sosial ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya di
dunia. Di Indonesia, kehidupan jutaan anak dan keluarga seakan
terhenti. Menurut data Unicef, April 2020, menyatakan bahwa 99
persen anak-anak dan remaja di bawah 18 tahun di seluruh dunia (2,34
miliar) tinggal di salah satu dari 186 negara dengan beberapa bentuk
pembatasan gerakan yang berlaku karena Covid 19. Enam puluh
persen anak tinggal di salah satu dari 82 negara dengan lockdown
penuh (7 persen) atau sebagian (53 persen) – yang jumlahnya
mencakup 1,4 miliar jiwa muda.
(https://www.unicef.org/indonesia/id/p ress-releases/jangan-biarkan-
anak- anak-menjadi-korban-tersembunyi- pandemi-covid-19).

B. SARAN
Kondisi pandemi yang menuntut banyak perubahan ini menimbulkan
kekhawatiran tentang bagaimana anak-anak akan mengingat pandemi
virus corona ke depannya
DAFTAR PUSTAKA

Çaki, Neşe, Dino Krupić, and Philip J Corr. n.d. “PYSCHOSOCIAL EFFECTS
OF THE COVID-19 PANDEMIC,” 16.
“Fenomena Stress Dan Pembiasaan Belajar Daring Dimasa Pandemi Covid-19 |
Jatira | EDUKATIF : JURNAL ILMU PENDIDIKAN.” n.d. Accessed
July 16, 2021.
https://www.edukatif.org/index.php/edukatif/article/view/187.
Meutia, Amalia. 2020. “DAMPAK PANDEMI COVID 19 PADA PSIKIS DAN
INGATAN ANAK” 10 (1): 7.
Rifani, Dira Anjania, and Dedi Rianto Rahadi. 2021. “Ketidakstabilan Emosi
dan Mood Masyarakat Dimasa Pandemi Covid-19.” Jurnal Manajemen
Bisnis 18 (1): 22–34. https://doi.org/10.38043/jmb.v18i1.2747.

Anda mungkin juga menyukai