Anda di halaman 1dari 24

INVESTIGASI WABAH

INVESTIGASI WABAH PENYAKIT ISPA DI PUSKESMAS WUA-WUA


KOTA KENDARI

DOSEN PEMBIMBING
DR. Yunita Amraeni, SKM, M.Kes

OLEH :
KELOMPOK I

SARTI K201801023
DELLA MITASARI K201801076
PUTRI ANGGRAENI K201801018
TIARA AMALIA PUTRI K201801042

KELAS : PEMINATAN EPIDEMIOLOGI

PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MANDALA WALUYA
KENDARI
2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas
yang berjudul tentang “Investigasi Wabah Penyakit ISPA di Puskesmas Wua-wua
Kota Kendari”
Pada kesempatan ini kami tidak lupa pula menghaturkan rasa terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada Ibu DR. Yunita Amraeni, SKM, M.Kes selaku
dosen mata kuliah Investigasi Wabah yang telah memberikan tugas ini dan
mengarahkan kami dalam melakukan Investigasi Wabah/KLB.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa hasil tugas ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, saran-saran dari semua pihak yang sifatnya
membangun untuk perbaikan laporan ini.
Demikian semoga hasil laporan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Kendari, 10 Juli 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL.............................................................................................. i
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.......................................................................................1
B. Tujuan....................................................................................................4
BAB II ANALISIS DATA PENYAKIT
A. Hasil Pengumpulan/ Pengamatan Data Penyakit...................................7
B. Gambaran Penyakit Terbesar di Puskesmas Yang Potensial Menjadi
KLB Dalam Kurun Waktu 3 Tahun Terakhi…………………………..8
C. Prioritas Penyakit KLB........................................................................10
BAB III PEMBAHASAN
A. Gambaran Wilayah...............................................................................12
B. Distribusi Penyakit Berdasarkan Variabel Epidemiologi....................16
C. Faktor Risiko ISPA melalui Studi Literatur.........................................19

BAB IV RENCANA PENYELIDIKAN DAN TINDAKAN


..................PENANGGULANGAN
A. Rencana Penyelidikan....................................................................27
B. Tindakan Penangulangan...............................................................27

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Wabah adalah peningkatan kejadian kesakitan atau kematian, yang
meluas secara cepat baik dalam jumlah kasus maupun luas daerah penyakit,
dan dapat menimbulkan malapetaka (undang-undang wabah, 1969).
Sedangkan yang dimaksud dengan Kejadian Luar Biasa atau yang
biasa dikenal dengan KLB adalah timbulnya suatu kejadian kesakitan atau
kematian dan atau meningkatnya suatu kejadian atau kematian yang
bermakna secara epidemiologis pada suatu kelompok penduduk dalam kurun
waktu tertentu (undang-undang wabah, 1969).
Jika kita membicarakan wabah atau Kejadian Luar Biasa (KLB),
tentunya tidak lepas dari peranan seorang Sarjana Kesehatan Masyarakat atau
SKM. Sebagai ahli kesehatan masyarakat kita tidak hanya berteori atau
sekedar berbicara tentang penyakit-penyakit dan segala jenis penyebaran serta
penanggulangannya saja, melainkan kita harus mampu mengaplikasikan dan
juga mengimplementasikan di lapangan.
Dalam memenuhi tuntutan tersebut, maka kami sebagai calon sarjana
Kesehatan Masyarakat harus mampu mengenali masalah yang ada di
masyarakat, penyebab terjadinya masalah dan alternatif pemecahan masalah
di masyarakat serta mampu mengelola secara teknis, administrasi dan
evaluasi program masyarakat dalam skala mikro di tingkat pedesaan.
Sebagai bahan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan
diatas maka perlu adanya kegiatan praktikum lapangan dari mata kuliah
investigasi (penyelidikan) wabah yaitu dalam bentuk survei untuk
memperoleh data tentang berbagai penyakit yang terjadi di masyarakat yang
kemungkinan potensial menjadi suatu kejadian luar biasa (wabah).

1
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran besarnya masalah KLB penyakit
ISPA di Puskesmas Wua-wua Kota Kendari.
2. Tujuan Khusus
a. Mengumpulkan data penyakit (data rutin) di Puskesmas dan
menganalisis data penyakit (10 penyakit) terbesar
b. Membuat deskripsi atau gambaran dan interprestasi data penyakit
terbesar di puskesmas yang potensial menjadi KLB.
c. Prioritas Penyakit KLB
d. Distribusi Penyakit Berdasarkan Variabel Epidemiologi (variabel
orang, tempat dan waktu)
e. Menentukan faktor risiko melalui studi literatur
f. Rencana Penyelidikan Dan Tindakan Penanggulangan

C. Manfaat
1. Bagi Mahasiswa
a. Mendapatkan pengalaman dalam mengaplikasi teori tentang
investigasi wabah.
b. Mendapatkan kemampuan dalam mengumpulkan data, menganalisis
dan membuat kesimpulan dari data rutin di puskesmas tentang
penyakit potensial wabah.
c. Mampu menyusun rencana kegiatan tentang penyelidikan dan tindakan
yang akan dilakukan dalam penanggulangan KLB.
2. Bagi Program Studi Kesehatan Masyarakat
a. Meningkatkan kerjasama dengan instansi terkait dalam mendukung
proses pembelajaran aktif.
b. Pengembangan akademik bagi mahasiswa dan staf pengajar.
c. Memperoleh masukan dari instansi tempat praktikum lapangan
(Stakeholder) dalam penyempurnaan pembelajar sesuai kompetensi
kritis kesehatan masyarakat.

2
3. Bagi Institusi (Dinas dan Puskesmas)
a. Terjalinnya kerjasama saling menguntungkan antara dinas kesehatan
dan puskesmas dengan Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas
Mandala Waluya.
b. Mendapatkan bantuan dari mahasiswa dalam pengelolaan data
penyakit di puskesmas.
4. Bagi Masyarakat Setempat Memberi pengetahuan kepada masyarakat
mengenai penyakit KLB yang terjadi serta mengetahui tingkat kegawatan
penyakit tersebut sehingga masyarakat lebih cepat dan tanggap dalam
tahap pengobatan penderita serta cara pencegahannya.

3
BAB II
ANALISIS DATA PENYAKIT

A. Hasil Pengumpulan/ Pengamatan Data Penyakit


Berdasarkan data rutin tahunan yang kami peroleh di Puskesmas Wua-
wua Kota Kendari dari tahun 2018-2020 terdapat urutan 10 penyakit terbesar
di puskesmas Wua-wua Kota Kendari, yang dapat dilihat pada grafik dibawah
ini.

Grafik 1. 10 besar penyakit di Puskesmas Wua-wua tahun 2018-2020


Dari grafik diatas dapat dilihat bahwa 10 besar penyakit yang terjadi di
puskesmas Wua-wua didominasi oleh penyakit tidak menular dan di wilayah
kerja puskesmas Wua-wua bukan merupakan puskesmas yang memiliki
endemis KLB suatu penyakit. sehingga dari 10 besar penyakit tersebut kami
tidak menemukan KLB yang sedang terjadi selama kurun waktu 3 tahun
terakhir.
Dari grafik 10 besar penyakit diatas, penyakit yang berada pada urutan
pertama adalah ISPA yaitu dengan jumlah 4.004 kasus dalam kurung 3 tahun
terakhir. Berdasarkan survei yang dilakukan, hal ini dipicu karena faktor
lingkungan dimana masih adanya rumah yang belum tergolong dalam kriteria

4
rumah sehat. Urutan kedua yaitu penyakit gastritis dengan jumlah 2.279
kasus, penyakit hipertensi 2.196 kasus, dermatitis alergi 1.307 kasus, diabetes
melitus 942 kasus, hiperkoresterol 546 kasus, tonsillitis 541 kasus, Diare 437
kasus,ppok 363 kasus dan yang terakhir penyakit mata 216 kasus.

B. Gambaran penyakit terbesar di Puskesmas yang potensial menjadi KLB


dalam Kurun Waktu 3 Tahun Terakhir
Untuk menentukan adanya KLB di suatu daerah yaitu dengan melihat
kriteria sebagai berikut:
1. Timbulnya suatu penyakit menular yang sebelumnya tidak ada.
2. Peningkatan suatu kejadian penyakit atau kematian terus menerus selama
tiga kurun waktu berturut turut menurut penyakitnya.
3. Peningkatan kejadian penyakit 2 kali atau lebih dibandingkan periode
sebelumnya.
4. Jumlah penderita baru dalam 1 bulan menunjukan kenaikan 2 kali lipat
atau lebih bila dibandingkan dengan angka rata-rata perbulan tahun
sebelumnya.
5. Angka rata-rata per bulan dalam 1 tahun menunjukkan kenaikan 2 kali
atau lebih dibandingkan dengan rata-rata perbulan tahun sebelumnya.
6. Case Fatality Rate (CFR) dari suatu penyakit dari suatu kurun waktu
tertentu menunjukkan kenaikan 50% atau lebih, dibandingkan CFR
periode sebelumnya.
7. Proportional Rate (PR) penderita baru dari suatu periode tertentu
menunjukkan kenaikan 2 kali atatu lebih dibanding periode yang sama dan
kurun waktu tahun sebelumnya.
Kemudian berdasarkan kriteria penetuan adanya KLB tersebut diatas,
maka diperoleh penyakit potensi KLB yaitu sebagai berikut :
1. ISPA
2. Hipertensi

5
Berikut adalah grafik dari kedua penyakit tersebut:

Grafik 2. 2 besar penyakit potensi KLB tahun 2018 – 2020


Dari grafik diatas dapat disimpulkan bahwa kasus penyakit yang
mengalami peningkatan tajam adalah kasus ISPA. Peningkatan kasus ISPA
tersebut terjadi pada tahun 2019, di mana hal tersebut terjadi karena banyak
rumah warga yang memiliki ventilasi rumah yang kurang memenuhi kriteria
rumah sehat. Pada kasus hipertensi setiap bulan terjadi kasus, hal tersebut
terjadi karena perilaku gaya hidup seperti kebiasaan merokok dan asupan gizi
yang kurang.
C. Prioritas Penyakit KLB
Untuk menentukan prioritas KLB dari kedua penyakit potensial KLB
tersebut, kami menggunakan analisis dengan teknik skoring yakni
memberikan penilaian (scor) terhadap masalah tersebut dengan menggunakan
ukuran parameter sebagai berikut:
Prevalensi penyakit (prevalence) atau besarnya masalah.
1. Berat ringannya akibat yang ditimbulkan oleh masalah tersebut
(saverity).
2. Kenaikan atau meningkatnya prevalensi (rate increase).

6
3. Keinginan masyarakat untuk menyelesaikan masalah tersebut (degree of
unmeet need).
4. Keuntungan social yang diperoleh bila masalah tersebut diatasi (social
benefit).
5. Teknologi yang tersedia dalam mengatasi masalah (technical feasibility).
6. Sumber daya yang tersedia yang dapat digunakan untuk mengatasi
masalah (resource availability).
Dari berbagai parameter diatas kami memberikan nilai angka 5 untuk
kategori sangat tinggi, 4 untuk tinggi, 3 untuk sedang, 2 untuk rendah dan 1
untuk kategori sangat rendah. Dan hasil analis dengan teknik skoring dapat
dilihat pada table berikut :
Tabel 1. Prioritas Masalah dengan Skoring

Parameter
Degre
Techni Resourc
Rate e of Social
No Penyakit Prevale Seve cal es Jml
Increa Unme Benefi
nce rity Feasibi Availabi
se et t
lity lity
Need
1 ISPA 3 2 3 3 3 4 4 22
Hipertens
2 i 2 2 2 3 3 4 4 20

Dari angka tabel diatas didapatkan angka skor tertinggi adalah 2 maka
penyakit ISPA menjadi prioritas 1 dan penyakit diare mendapatkan prioritas
masalah kesehatan nomor 2.

7
BAB III
PEMBAHASAN

A. Keadaan Wilayah dan Letak Geografis

Puskesmas Wua-wua merupakan Puskesmas induk non-perawatan yang


definitif berdiri sejak 1 Mei 2009 diatas lahan seluas 1703 m 2 (26mx65,5m)
yang terletak tepat dibelakang Kantor Camat Wua-wua, Jalan
AnawaiKelurahan Anawai atau kurang lebih 500 meter dari Jl. Ahmad yani
porosLepo-Lepo – Bandara.Puskesmas dapatdijangkau oleh masyarakat yang
berdomisili di Kelurahan Anawai dengan berjalan kaki tetapi untuk
masyarakat di dua Kelurahan lainnya harus menempuh perjalanan lebih
panjang yaitu dengan mobil angkutan umum kemudian harus dilanjutkan
dengan motor ojek, Puskesmas ini adalah pemekaran dari Puskesmas Mekar.
Meskipun Kecamatan Wua-wua mempunyai 4 Kelurahan tetapi Wilayah
kerja Puskesmas Wua-wua hanya mencakup 3Kelurahan yaitu :
1. Kelurahan Anawai dengan luas wilayah 3 km2
2. Kelurahan Wua-wua dengan luas wilayah 5,89 km2,
3. Kelurahan Mataiwoi dengan luas wilayah 3,2 Km2
Peta wilayah kerja dapat dilihat pada gambar berikut ini :

Sumber :BPS data tahun 2017

8
Luas wilayah kerja secara keseluruhan menjadi 13,91 Km2. Sejumlah
kompleks perumahan yang tercakup dalam wilayah kerjanya adalah :BTN
Tunggala, Griya permata Anawaidi Kelurahan Anawaidan perumahan Villa
Ibis diKelurahan Wua-wua sedangkan Kelurahan Mataiwoi tidak ada
perumahan khusus. Sebagian besar wilayah kerja merupakan daerah
berbukit-bukit dengan sedikit dataran sehingga sebagian besar rumah
penduduk di bangun di daerah berbukit.

Adapun Batas Wilayah kerja:

• Sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Bonggoeya


• Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Kadia
• Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Baruga
• Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Puwatu
B. Kependudukan
Jumlah penduduk wilayah kerja Puskesmas Wua-wua pada tahun 2019
dapat dilihat pada tabel 1 dan diagram sebagai berikut :

Tabel 2. Data Jumlah Penduduk di Wilayah KerjaPuskesmas Wua-


Tahun 2019
Jumlah Jumlah Penduduk Jumlah
No. Kelurahan
KK L P Penduduk
1. Anawai 1661 3168 3108 6.276
2. Wua-Wua 1814 4433 4350 8.783
3. Mataiwoi 1275 3778 3707 7.485
Total 4.750 11.379 11.165 22.544

Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa jumlah penduduk di Wilayah Kerja


Puskesmas Wua-wua pada tahun 2019 sebanyak 22.544 jiwa yang
terdistribusi pada tiga Kelurahan yakni Kelurahan Anawai sebanyak 6276
jiwa, Kelurahan Wua-wua sebanyak 8783 jiwa, dan Kelurahan Mataiwoi
sebanyak 7485 jiwa.Sebagian besar penduduk berdomisili diwilayah
Kelurahan Wua-wua.

9
Kecamatan Wua-wua terhimpun dalam 4.750 KK yang terdiri dari
kelurahan anawai sebanyak 1661 KK,Kelurahan Wua-wua sebanyak 1814
dan Kelurahan Mataiwoi sebanyak 1275 KK
Dari tabel 1 diatas dapat dilihat bahwa distribusi penduduk menurut
jenis kelamin di wilayah kerja Puskesmas Wua-wua hampir sama antara
Jumlah penduduk Laki-Laki dengan Perempuan dan di wilayah Kerja
Puskesmas Wua-wua jenis kelamin terbanyak adalah Laki-Laki.

C. Distribusi Penyakit Berdasarkan Variabel Epidemiologi


Penyakit ISPA di puskesmas Wua-wua merupakan trend penyakit yang
muncul setiap tahun. Namun dengan kemunculan penyakit Covid 19 di
Indonesi pada awal tahun 2020 menjadikan keresahan dan ketakutan
masyarakat akan penyakit ISPA dikarenakan gejalanya yang mirip. Sehingga
hal tersebut membuat masyarakat takut untuk mengunjungi fasilitas kesehatan
masyarakat sehingga angka kunjungan pasien dari tahun 2020 sampai
sekarang mengalami penurunan yang signifikan dari tahun-tahun sebelumnya.
1. Disribusi ISPA menurut Orang (Person)
Kasus ISPA yang terjadi berdasarkan usia rata-rata menyerang
Balita berusia 1-5 tahun karena pada usia tersebut merupakan usia rentan
terserang penyakit ISPA, dengan jumlah kasus sebanyak 2.198 kasus
dalam 3 tahun terakhir yaitu tahun 2018 sebanyak 701 kasus, tahun 2019
sebanyak 882 kasus dan pada tahun 2020 sebanyak 615 kasus .
2. Disribusi ISPA menurut Tempat (Place)
Distribusi ISPAberdasarkan tempat dalam penyebarannya
kebanyakan terjadi di kelurahan anawai, hal ini terjadi karena pemukiman
warga berada dekat dengan jalan raya yang memiliki kualitas udara yang
rendah.
3. Disribusi ISPA menurut waktu tahun (Time)
Berdasarkan hasil survei melalui catatan laporan bulanan penderita
penyakit ISPA di Puskesmas Wua-wua menyebutkan bahwa kasus ISPA
cenderung meningkat jumlahnya pada waktu atau musim hujan. Hal ini

10
disebabkan oleh karena pada musim hujan menyebabkan terjadinya
kelembapan yang tinggi yang menyebabkan bakteri bertahan lebih lama
sehingga mudah terjadi penularan. Selain itu musim hujan menyebabkan
terjadinya kepadatan hunian yang akan memengaruhi terhadap terjadinya
cross infection.

D. Faktor Risiko ISPA melalui Studi Literatur


1. Ventilasi
Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah
untuk menjaga agar aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Hal
ini berarti keseimbangan O2 yang diperlukan oleh penghuni rumah
tersebut tetap terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan O2
(oksigen) didalam rumah yang berarti kadar CO2 (karbondioksida) yang
bersifat racun bagi penghuninya menjadi meningkat. Tidak cukupnya
ventilasi akan menyebabkan kelembaban udara didalam ruangan naik
karena terjadinya proses penguapan dari kulit dan penyerapan.
Kelembaban ini akan merupakan media yang baik untuk bakteribakteri,
patogen (bakteri-bakteri penyebab penyakit). Membuat ventilasi udara
serta pencahayaan di dalam rumah sangat di perlukan karena akan
mengurangi polusi asap yang ada dalam rumah sehingga dapat mencegah
seseorang menghirup asap tersebut yang lama kelamaan bisa menyebabkan
terkena penyakit ISPA (Notoatmodjo, 2011).
Perlu diperhatikan di sini bahwa sistem pembuatan ventilasi harus
dijaga agar udara tidak mandeg atau membalik lagi, harus mengalir artinya
dalam ruangan rumah harus ada jalan masuk dan keluarnya udara.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No.829/Menkes/
SK/VII/1999 tentang peraturan rumah sehat menetapkan bahwa luas
ventilasi alamiah yang permanen yaitu lebih dari satu sama dengan 10%
dari luas lantai rumah, sedangkan tidak memenuhi syarat jika kurang dari
10% luas lantai rumah.

11
Hal ini sejalan dengan penelitian Winardi (2015) yang menyatakan
bahwa adanya hubungan yang signifikan antara luas ventilasi dengan
penyakit ISPA. Penelitian ini menyimpulkan bahwa ventilasi rumah di
kecamatan Sario kota Manado rata-rata tidak di buka pada siang hari,
sehingga proses keluar masuknya udara tidak baik.Ventilasi merupakan
proses penyediaan udara segar ke dalam dan mengeluarkan udara kotor
dari suatu ruangan tertutup secara alamiah maupun mekanis.
Penelitian lain yang sejalan dengan penelitian ini adalah yang
dilakukan oleh Lady Diana BR Sinuraya (2017), yang menunjukkan
bahwa ada hubungan antara ventilasi dengan kejadian ISPA di Kabupaten
Karo dan ventilasi yang tidak memenuhi syarat mempunyai risiko terkena
ISPA 3,1 kali lebih besar dibanding dengan ventilasi yang memenuhi
syarat.
2. Kepadatan hunian
Penduduk di kota meningkat memicu terjadinya peningkatan
pembangunan sebagai tempat tinggal. Namun terkadang dalam satu rumah
yang seharusnya hanya bisa menampung beberapa orang saja, dipaksakan
untuk menampung melebihi kapasitas rumah. Hal ini mengakibatkan
terjadinya kepadatan dalam rumah yang dimungkinkan dapat
mempengaruhi kesehatan penghuni rumah. Menurut keputusan menteri
kesehatan nomor RI No.1077/MENKES/PER/V/2011 tentang persyaratan
rumah dikatakan padat penghuni apabila perbandingan luas lantai seluruh
ruangan dengan jumlah penghuni lebih kecil dari 10 m²/orang sedangkan
ukuran untuk kamar tidur diperlukan luas lantai minimum 3 m²/orang.
Pencegahan terjadinya penularan penyakit (misalnya penyakit pernafasan)
jarak antara tepi tempat tidur yang satu dengan yang lain minimum 90 cm
dan sebaiknya kamar tidur tidak dihuni lebih dari 2 orang. Berbagai
penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan secara bermakna antara
kepadatan hunian dengan terjadinya ISPA seperti penelitian Irianto (2006)
mengatakan bahwa kepadatan hunian berpengaruh pada besarnya kejadian
ISPA, yaitu besarnya anak terkena ISPA adalah 2,27 kali lipat dari rumah

12
yang padat penghuninya dibandingkan dengan rumah tidak padat
penghuninya. Menurut Achmadi (2008) semakin tingginya kepadatan
rumah, maka penularan penyakit khususnya melalui udara akan semakin
cepat.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Lady
Diana BR Sinuraya (2017) hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan
antara kepadatan hunian dengan kejadian ISPA di Kabupaten Karo dan
kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat mempunyai risiko terkena
ISPA 4,5 kali lebih besar dibanding dengan kepadatan hunian yang
memenuhi syarat.
3. Kebiasaan merokok penghuni rumah
Merokok merupakan kebiasaan yang sering dilakukan oleh penghuni
rumah terutama oleh bapak-bapak. Cenderung bapak-bapak merokok
didalam rumah sambil istirahat seperti menonton tv, membaca koran dan
sebagainya. Asap rokok yang dikeluarkan adalah gas beracun dari hasil
pembakaran produk tembakau yang biasa mengandung Poliyclinic
Aromatic Hydrocarbons (PAHs) yang berbahaya bagi kesehatan. Asap
rokok yang di keluarkan oleh seorang perokok mengandung bahan toksik
yang berbahaya dan akan menimbulkan penyakit serta menambah resiko
kesakitan dari bahan toksik tersebut (Kusnoputranto, 2000).
Hasil penelitian Citra (2012) mengemukakan bahwa perokok pasiflah
yang mengalami resiko lebih besar daripada perokok aktif. Anak-anak
yang keluarganya terdapat perokok lebih rentan terkena penyakit gangguan
pernafasan dibanding dengan anak-anak yang bukan keluarga perokok.
Pada hasil uji statistik penelitian Lindawaty (2010) menyatakan bahwa
balita yang tinggal bersama penguni yang merokok beresiko 2,04 kali
lebih besar terkena ISPA dibanding dengan balita yang tidak terdapat
penghuni rumah yang merokok. Oleh karena itu untuk melindungi
bayi/anak-anak dari asap rokok perlu diusahakan untuk tidak merokok
didalam rumah, atau menyediakan tempat khusus bagi keluarga yang
merokok supaya asap tidak tersebar ke ruangan lain didalam rumah.

13
Asap rokok dari seseorang yang merokok dalam rumah, tidak saja
merupakan bahan pencemaran dalam ruang yang serius melainkan juga
akan menyebabkan kesakitan dari toksik yang lain dan anak-anak yang
terpapar asap rokok dapat menimbulkan gangguan pernapasan terutama
memperberat timbulnya Infeksi Saluran Pernapaasan Akut dan gangguan
paru-paru pada waktu dewasa nanti ( Avrianto, 2011). Menurut penelitian
Wattimena (2004) bahwa rumah yang penghuninya mempunyai kebiasaan
merokok di dalam rumah berpeluang meningkatkan kejadian ISPA pada
balita 7,83 kali dibandingkan dengan rumah balita yang penghuninya tidak
merokok.
4. Jenis dinding
Dinding rumah yang baik menggunakan tembok, tetapi dinding rumah
di daerah tropis khususnya di pedesaan banyak yang berdinding papan,
kayu dan bambu. Hal ini disebabkan masyarakat pedesaan
perekonomiannya kurang. Rumah yang berdinding tidak rapat seperti
papan, kayu dan bambu dapat menyebabkan penyakit pernafasan yang
berkelanjutan seperti ISPA, karena angin malam yang langsung masuk ke
dalam rumah. Jenis dinding mempengaruhi terjadinya ISPA, karena
dinding yang sulit dibersihkan akan menyebabkan penumpukan debu,
sehingga akan dijadikan sebagai media yang baik bagi berkembangbiaknya
kuman (Suryanto , 2008).
Dinding rumah yang tidak memenuhi syarat (tidak kedap air)
menyebabkan udara dalam rumah menjadi lembab, sehingga menjadi
tempat pertumbuhan kuman maupun bakteri patogen yang dapat
menimbulkan penyakit bagi penghuninya. Selain itu, partikel atau debu
halus yang dihasilkan dapat menjadi pemicu iritasi saluran pernapasan.
Saluran pernapasan yang terititasi menjadi media pertumbuhan bakteri
maupun virus penyebab ISPA. Dinding yang tidak rapat akan
menyebabkan masuknya sumber pencemaran dari luar seperti debu, asap
dan sumber pencemaran lainnya (Gunarni, 2012).
5. Kepemilikan Lubang Asap

14
Pembakaran yang terjadi di dapur rumah merupakan aktivitas
manusia yang menjadi sumber pengotoran atau pencemaran udara.
Pengaruh terhadap kesehatan akan tampak apabila kadar zat pengotor
meningkat sedemikian rupa sehingga timbul penyakit. Pengaruh zat kimia
ini pertama-tama akan ditemukan pada sistem pernafasan dan kulit serta
selaput lendir, selanjutnya apabila zat pencemar dapat memasuki
peredaran darah, maka efek sistemik tak dapat dihindari.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
829/Menkes/SK/VIII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan,
dapur yang sehat harus memiliki lubang asap dapur. Di perkotaan, dapur
sudah dilengkapi dengan penghisap asap. Lubang asap dapur menjadi
penting artinya karena asap dapat mempunyai dampak terhadap kesehatan
manusia terutama penghuni didalam rumah atau masyarakat pada
umumnya.
Lubang asap dapur tidak memenuhi persyaratan menyebabkan:
a. Gangguan terhadap pernapasan dan mungkin dapat merusak alat- alat
pernapasan
b. Lingkungan rumah menjadi kotor
c. Gangguan terhadap penglihatan/mata menjadi pedih.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Suparman (2004)
bahwa ada hubungan yang bermakna antara kepemilikan lubang asap
dengan kejadian ISPA di Desa Guyung Kecamatan Gerih. Hasil uji Chi
Square diperoleh nilai p-value sebesar 0,041 < α = 0,05 yang berarti ada
hubungan yang bermakna antara kepemilikan lubang asap dengan kejadian
ISPA dan nilai risiko (OR) sebesar 4,200, menunjukkan bahwa yang
tinggal lama dalam rumah dengan kondisi dapur yang tidak memenuhi
syarat 4,200 kali lebih berisiko terkena ISPA dibanding dengan yang
tinggal di rumah dengan kondisi dapur yang memenuhi syarat.
6. Jenis Lantai Rumah
Lantai yang baik adalah lantai yang dalam keadaan kering dan
tidak lembab. Lantai rumah yang tidak memenuhi syarat adalah lantai

15
rumah yang terbuat dari tanah, semen atau belum berubin. Bahan lantai
harus kedap air dan mudah dibersihkan, jadi paling tidak lantai perlu
diplester dan akan lebih baik kalau dilapisi ubin atau keramik yang mudah
dibersihkan (Ditjen, P2PL, 2011).
Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Safrizal (2017)
mengenai hubungan ventilasi, lantai, dinding dan atap dengan kejadian
ISPA digampong Bang Muko. Hasil penelitian menunjukkan ada
hubungan bermakna antara jenis lantai dengan kejadian ISPA. Rata-rata
berupa lantai semen yang tidak di plaster dan lantai dari tanah, sehingga
pada saat musim kemarau akan menghasilkan debu. Lantai yang terbuat
dari semen rata-rata sudah rusak dan tidak kedap air, sehingga lantai
menjadi berdebu dan lembab.
Penelitian lain yang mendukung adalah penelitian Marten (2017)
mengenai hubungan antara kondisi hubungan antara kondisi fisik rumah
dan tingkat pendapatan keluarga dengan kejadian ispa. Hasil penelitian
tersebut menunjukkan ada hubungan signifikan antara jenis lantai dengan
kejadian ispa di Desa Marinsow dan Pulisan. Sebagian besar masyarakat
desa Marinsow dan Pulisan masih memiliki rumah dengan jenis lantai
tidak permanen (tanah dan semen) jenis lantai ini akan
mempermudah timbul dan berkembangnya penyakit terutama penyakit
pernapasan.

16
BAB IV
RENCANA PENYELIDIKAN DAN TINDAKAN PENANGGULANGAN

Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan salah satu penyakit


potensial wabah yang menjadi masalah kesehatan masyarakat. Penemuan dan
peningkatan kasus ISPA ini telah terjadi di Kelurahan Anawai khususnya di
wilayah kerja Puskesmas Wua-wua Kota Kendari.
a. Rencana Penyelidikan
Upaya penyelidikan yang dapat dilakukan antara lain dengan melakukan
survey lapangan, observasi, dan metode wawancara. Tujuan dari penyelidikan
penyakit ISPA antara lain:
1. Menentukan dan memastikan etiologi peningkatan penyakit ISPA.
2. Mengidentifikasi sumber penularan penyakit ISPA.
3. Menggambarkan distribusi/penyebaran penyakit ISPA berdasarkan variabel
epidemiologi (Time, Place, Person).
4. Meningkatkan Sistem Kewaspadaan Dini (SKD).

b. Tindakan Penanggulangan
1. Tujuan
Menurunkan angka kesakitan dan kematian ISPA karena pneumonia
2. Strategi program
a) Membangun komitmen dengan pengambil kebijakan
Dapat dilakukan melalui pertemuan dalam rangka mendapatkan
komitmen dari semua pengambil kebijakan.
b) Penguatan jejaring internal dan eksternal
Untuk keberhasilan program Pengendalian ISPA diperlukan
peningkatan jejaring kerja (networking) dengan pemangku kepentingan.
Berbagai manfaat yang dapat diperoleh dari jejaring antara lain
pengetahuan, keterampilan, informasi, keterbukaan, dukungan,
membangun hubungan, dll dalam upaya pengendalian pneumonia di
semua tingkat. Jejaring dapat dibangun dengan berbagai pemangku

17
kepentingan sesuai dengan kebutuhan wilayah (spesifik wilayah) baik
sektor pemerintah, swasta, perguruan tinggi, lembaga/organisasi non
pemerintah, dll. Jejaring dapat dibangun melalui pertemuan atau
pembuatan kesepahaman (MOU). Untuk menjaga kesinambungan
jejaring, maka komunikasi perlu secara intensif melalui pertemuan-
pertemuan berkala dengan mitra terkait.
c) Penemuan kasus secara aktif dan pasif
Penemuan penderita pasif dan aktif melalui proses sebagai berikut:
1) Menanyakan Balita yang batuk dan atau kesukaran bernapas
2) Melakukan pemeriksaan dengan melihat tarikan dinding dada bagian
bawah ke dalam (TDDK) dan hitung napas.
3) Melakukan penentuan tanda bahaya sesuai golongan umur
4) Melakukan klasifikasi Balita batuk dan atau kesukaran bernapas;
Pneumonia berat, pneumonia dan batuk bukan pneumonia.
d) Peningkatan mutu pelayanan
e) Peningkatan peran serta masyarakat
Peran serta masyarakat merupakan faktor penting untuk menunjang
keberhasilan program Pengendalian ISPA. Peran serta masyarakat, lintas
program, lintas sektor terkait dan pengambil keputusan termasuk
penyandang dana diharapkan dapat lebih ditingkatkan, sehingga
pendekatan pelaksanaan pengendalian ISPA khususnya Pneumonia dapat
terlaksana secara terpadu dan komprehensif. Intervensi pengendalian
ISPA tidak hanya tertuju pada penderita saja tetapi terhadap faktor risiko
(lingkungan dan kependudukan) dan faktor lain yang berpengaruh
melalui dukungan peran aktif sektor lain yang berkompeten. Kegiatan
kemitraan meliputi pertemuan berkala dengan:
• lintas program dan sektor terkait;
• organisasi kemasyarakatan,
• lembaga swadaya masyarakat,
• tokoh masyarakat,
• tokoh agama,

18
• perguruan tinggi,
• organisasi profesi kesehatan,
• sektor swasta
f) ..Pelaksanaan autopsi verbal balita di masyarakat
Autopsi verbal Balita merupakan kegiatan meminta keterangan atau
informasi tentang berbagai kejadian yang berkaitan dengan kesakitan
dan/atau tindakan yang dilakukan pada Balita sebelum yang
bersangkutan meninggal dunia, guna mencari penyebab kematian serta
faktor determinan yang sangat esensial dalam pengelolaan kesehatan
masyarakat. Kegiatan ini dilakukan melalui wawancara kepada ibu atau
pengasuh Balita yang dianggap paling tahu terhadap keadaan anak
menjelang meninggal. Petugas yang akan melaksanakan AV adalah
petugas yang sudah mengikuti pelatihan Autopsi Verbal Kematian
Pneumonia Balita. Peran aktif petugas ISPA/Puskemas sangat penting
dalam memantau kematian Balita di wiliyah kerja Puskesmas, baik yang
datang maupun tidak datang ke sarana pelayanan kesehatan setempat.
Dari hasil AV akan didapat data kematian Balita berdasarkan waktu,
tempat dan orang sebagai sumber informasi manajemen dalam
menentukan intervensi yang efisien dan efektif.
g) Pencatatan dan pelaporan
h) Monitoring dan Evaluasi program
Monitoring atau pemantauan pengendalian ISPA dan kesiapsiagaan
menghadapi pandemi influenza perlu dilakukan untuk menjamin proses
pelaksanaan sudah sesuai dengan jalur yang ditetapkan sebelumnya.
Apabila terdapat ketidaksesuain maka tindakan korektif dapat dilakukan
dengan segera. Monitoring hendaknya dilaksanakan secara berkala
(mingguan, bulanan, triwulan).
Evaluasi lebih menitikberatkan pada hasil atau keluaran/output yang
diperlukan untuk koreksi jangka waktu yang lebih lama misalnya 6
bulan, tahunan dan lima tahunan. Keberhasilan pelaksanaan seluruh

19
kegiatan pengendalian ISPA akan menjadi masukan bagi perencanaan
tahun/periode berikutnya

BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan
1. ISPA merupakan suatu penyakit yang berpotensial terjadinya KLB.
Apabila terjadi kasus/penderita ISPA di suatu wilayah, dalam waktu 3
tahun berturut-turut maka wilayah tersebut merupakan wilayah endemis.
2. Di wilayah kerja Puskesmas Wua-wua terdiri 3 kelurahan diantaranya
termasuk daerah potensial KLB ISPA dan membutuhkan upaya
pengendalian serta penanggulangan yang tepat.
3. Berdasarkan variabel epidemiologi, distribusi kasus menurut waktu jumlah
kasus tertinggi pada tahun 2018-2020 yaitu sebanyak 10 kasus. Untuk
distribusi kasus menurut tempat, kasus terbanyak terjadi di Kelurahan
Anawai Sedangkan untuk distribusi kasus menurut orang, kasus ISPA rata-
rata menyerang Balita berumur di bawah 5 tahun.
4. Berdasarkan data yang kami peroleh dari Puskesmas Wua-wua cara
penularan penyakit ISPA dapat disebabkan oleh letak geografis dan
kurangnya kesadaran masyarakat.

B. Saran
1. Upaya penanganan intensif dari tim medis Puskesmas di masing-masing
wilayah.
2. Upaya Penanganan dan Pencegahan harus dilakukan sedini mungkin.
3. Melaksanakan upaya penyelidikan dengan Sistem Kewaspadaan Dini
(SKD).

20
DAFTAR PUSTAKA

Putra, Y., & Wulandari, S. S. (2019). Faktor Penyebab Kejadian Ispa. Jurnal
Kesehatan, 10(1), 37-40
Suhandayani, I. (2007). Faktor–faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA
pada balita di Puskesmas Pati I Kabupaten Pati Tahun 2006 (Doctoral
dissertation, Universitas Negeri Semarang).
Kartiningrum, E. D. (2016). Faktor yang Mempengaruhi Kejadian ISPA pada
Balita di Desa Kembang Sari Kec. Jatibanteng Kab. Situbondo. Hospital
Majapahit (JURNAL ILMIAH KESEHATAN POLITEKNIK
KESEHATAN MAJAPAHIT MOJOKERTO), 8(2).

21

Anda mungkin juga menyukai