Anda di halaman 1dari 3

Faktor penyebab konflik PRRI/PERMESTA

Munculnya PRRI atau Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia adalah


suatu reaksi dari bangsa Indonesia atasa ketidak puasan pada pemerintah pusat.
Pergolakan pertama kali terjadi di Sumatra pada akhirnya 1956. Pada awal 1957,
muncul Dewan Banteng di Sumatra Tengah (Sumatra Barat dan Riau) dipimpin
Letkol Ahmad Husein, Dewan Gajah di Sumatra Utara dipimpin Kolonel M
Simbolon dan Dewan Garuda di Sumatra Tengah dipimpin oleh Letkol Barlian
kesemuanya tergabung dalam PRRI.

Dewan-dewan ini lahir sebagai reaksi dari situasi bangsa dan negara ketika itu.
Awal pemberontakan PRRI di Sumatra Tengah terjadi menjelang pembentukan
Republik Indonesia Serkat (RIS) pada tahun 1949. Penciutan Divisi Banteng pada
Oktober 1949 menjadi satu brigade terdiri atas batalyon-batalyon besar di
Sumatra Tengah. Akibatnya sejumlah prajurit terpaksa pulang kampung termasuk
Ahmad Husein. Selain itu, pembangunan di Sumatra Tengah terasa sangat lambat
dan menghadapi masalah.

Keadaan ini juga menggugah hati sejumlah perwira bekas Divisi Banteng yang
masih bertugas. Selain itu juga menggugah berbagai tokoh politik dan sasta yang
pernah bergabung dengan Divisi Banteng. Keprihatinan ini melahirkan gagasan
mencari penyelesaian dengan mengadakan pertemuan pada 21 September 1956
di kompleks perumahan Persari milik Jamaludin Malik di Jakarta. Kemudian
disusul dengan reuni di Padang 11 Oktober 1956 dan menyusul pertemuan-
pertemuan yang lain. Reuni divisi Banteng ini menghasilkan keputusan untuk
menyelesaikan masalah-masalah negara terutama perbaikan progressive di tubuh
angkatan darat diantaranya adalah dengan menetapkan peabat-pejabat daerah
yang jujur dan kreatif, menuntut agar diberi otonomi luas untuk daerah Sumatra
tengah serta menuntut ditetapkannya eks Divisi Banteng Sumatra Tengah yang
diciutkan menjadi kesatuan pelaksana Proklamasi sebagai satu korps dalam
angkatan darat.

Pada tanggal 22 Desember 1956 Kolonel Simbolon pemimpin Dewan Gajah


melalui RRI Medan mengumumkan pemutusan hubungan wilayah bukit barisan
dengan pemerintah pusat. Ia mengubah nama kodam TT I menjadi Kodam TT I
Bukit Barisan. Dia melihat pada permasalahan kesejahteraan danb perumahan
prajurit yang sangat memprihatinkan. Karena keterbatasan dana dari pusat maka
Kolonel Simbolon mencari jalan sendiri membangun asrama dan perumahan
prajurit. Dia mencari dana sendiri namun sayang cara yang digunakan adalah cara
ilegal. Dia menjual secara illegal hasil perkebunan di wilayah Sumatra Utara.
Ekspor hasil perkebunan dijual melalui Teluk Nibungh di Muara Sungai Asahan
Tanjung Balai. Namun, pers ibukota memberitakan penyulundupan itu dan kasad
memerintahkan pemeriksaan pada ksus ini. Kasad pun bermaksud menggantikan
panglima TT I Bukit Barisan dengan kolonel Lubis. Melihat situasi yang gawat,
simbolon mengadakan rapat perwira yang disebut “Ikrar 4 Desember 1956”. Pada
27 Desember 1956 subuh, simbolon menerima berita ada pasukan yang
diperintahkan menangkapnya. Dengan perlindungan dari Batalyon 132 dibawah
Kapten Sinta Pohan, dia bergerak ke Tapanuli bergabung dengan Resimen III
Mayor J Samosir.

Di Sumatra Selatan Dewan Garuda menjadi tuan rumah penyelenggaraan


pertemuan tokoh-tokoh militer di wilayah tersebut. Ini berlangsung menjelang
Musyawarah Nasional September 1957 dan melahirkan Piagam Palembang
sebagai dasar perjuangan bersama dari daerah-daerah bergolak. Namun
sebenarnya dalam tubuh Dewan garuda terjadi keretakan. Dewan Garuda bersifat
mendua. Ini disebabkan tokoh-tokoh militer masih berhubungan dengan kasad
sehingga segala perkembangan Dewan garuda Dapat diketahui oleh pemerintah
pusat di Jakarta. Tetapi dilain fihak Dewan Garuda juga memihak pada dewan
Banteng. Keretakan ini juga mengakibatkan pada saat konflik bersenjata antara
PRRI dengan pemerintash pusat Dewan Garuda memihak pada pemerintah Pusat.

PRRI membentuk Dewan Perjuangan dan tidak mengakui kabinet Djuanda. Dewan
Perjuangan PRRI membentuk Kabinet baru, Kabinet Pemerintahan Revolusioner
Republik Indonesia (Kabinet PRRI). Pembentukan kabinet ini berlangsung saat
Persiden Soekarno sedang berada di Tokyo, Jepang. Pada tanggal 10 Februari
1958 sebuah Dewan Perjuangan melalui RRI Padang mengeluarkan pernyataan
“Piagam Jakarta” yang berisi sejumlah tuntutan yang ditujukan pada Persiden
Soekarno agar “bersedia kembali kepada kedudukan yang konstitusional
menghapus segala akibat dan tindakan yang melanggar UUD 1945 serta
membuktikan kesediaannya itu dengan kata dan perbuatan…”. Tuntutan tersebut
diantaranya adalah:

1. Supaya kabinet Djuanda mengundurkan diri dan mengembalikan


mandatnya pada Persiden.

2. Agar pejabat persiden Sartono membentuk kabinet baru Zaken kabinet


nasional yang bebas dari pengaruh komunis dibawah Mohammad Hatta dan
Hamengkubuwono IX.

3. Agar kabinet baru diberi mandat sepenuhnya untuk bekerja sampai


pemilihan umum yang akan dating.

4. Agar Persiden Soekarno membetasi diri menurut konstitusi.

5. Apabila tuntutan diatas tidak dipenuhi dalam tempo 5×24 jam maka Dewan
Perjuangan akan mengambil langkah kebijakan sendiri.

Tuntutan-tuntutan ini ditolak oleh pemerintah pusat. Reaksi dari PRRI adalah
dengan mengumumkan pendirian Pemerintahan Tandingan yaitu Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) lengkap dengan kabinetnya pada tanggal
15 Februari 1958. Susunan Kabinet PRRI adalah sebagai berikut:

1. Syarifuddin Prawiranegara sebagai Perdana Mentri dan Mentri Keuangan.

2. M Simbolon sebagai Mentri Luar Negri.

3. Burhanudin Harahap sebagai Mentri Pertahanan dan mentri kehakiman.

4. Dr. Sumitro Djojohadikusumo sebagai Mentri Perhubungan/Pelayaran.

Anda mungkin juga menyukai