Namun, alih-alih membuat kabinet yang kuat, Ali justru gagal. Selama satu tahun
masa kabinet ini, terjadi sejumlah ketidakstabilan dalam negara. Beberapa di
antaranya adalah, parlemen pemilihan umum telah berputar, Konstituante baru
saja melangkah, rencana pembangunan lima tahun sudah disetujui tetapi
berjalan seret, pimpinan pusat TNI berhasil distabilkan (angkatan darat), gerakan
daerah mengancam kesatuan dan persatuan bangsa dan negara, Hatta
mengundurkan diri dari pemerintahan hingga munculnya Konsepsi Presiden dan
Pemberontakan daerah berlangsung terus.
Kemudian setelah itu, pada tanggal 15 Maret 1957 Presiden Soekarno menunjuk
Ketua Umum PNI, Soewiryo sebagai formatur untuk membentuk dan menyusun
kabinet baru. Usaha pertama ini gagal, tanggal 25 Maret 1957 Presiden memberi
tugas baru kepada Soerwiryo, tugas tersebut ialah membentuk sebuah zaken
Kabinet. Namun, lagi-lagi gagal. Hingga akhirnya, Soekarno menjadi formatur
kabinet sendirian.
Namun, keberhasilan pembentukan kabinet zaken ini baru bisa dimulai saat
Djuanda Kartawijaya dilantik menjadi menteri pada 9 April 1957. Langkah yang
diambil oleh Perdana Menteri Djuanda adalah menentukan program kerja.
Kabinet Karya atau zaken kabinet ini mempunyai Program kerja yang sederhana
saja tapi efektif dalam menjaga kestabilan negara. Kabinet ini punya lima
Program dalam kerjanya, lima program kerja tersebut di sebut dengan
pancakarya. Adapun kelima program kerja tersebut ialah membentuk Dewan
Nasional, normalisasi Keadaan Republik Indonesia, melanjutkan Pembatalan
KMB, perjuangan Irian Barat dan mempergiat Pembangunan.
Beberapa menteri ahli dalam kabinet zaken bentukan Djuanda, misalnya seperti
menteri perdagangan Soenarjo yang ahli dalam bidang ekonomi perdagangan,
menteri sosial Johannes Leimena yang ahli dalam bidang gerakan sosial, menteri
pendidikan Prijono yang ahli dalam pendidikan atau menteri negara A.M Hanafi
yang lihai dalam lobi-lobi internasional.