Anda di halaman 1dari 19

INDONESIA PADA MASA DEMOKRASI LIBERAL( 1950-1959 )

1. PENGERTIAN DEMOKRASI

Kata Demokrasi berasal dari Yunani, yaitu demos, yang berarti rakyat, dan
kratos, yang berarti pemerintahan atau kekuasaan. Jadi demokrasi ialah rakyat yang
berkuasa.

Setelah Perang Dunia ke-II, secara formal demokrasi merupakan dasar dari
kebanyakan negara di dunia. Di antara semakin banyak aliran pemikiran yang
menamakan dirinya sebagai demokrasi, ada dua aliran penting, yaitu demokrasi
konstitusional dan kelompok yang mengatasnamakan dirinya “demokrasi” namun
pada dasarnya menyandarkan dirinya pada komunisme.

Demokrasi yang dianut di Indonesia, yaitu demokrasi berdasarkan Pancasila,


masih dalam taraf perkembangan. Dan mengenai sifat dan cirinya masih terdapat
pelbagai tafsiran serta pandangan. Pada perkembangannya, sebelum berdasarkan
pada demokrasi pancasila, Indonesia mengalami tiga periodeisasi penerapan
demokrasi, yaitu:

a. Demokrasi Liberal ( 1950-1959 )

b. Demokrasi Terpimpin ( 1959-1966 )

c. Demokrasi Pancasila ( 1966-sekarang )

2. MASA DEMOKRASI LIBERAL ( 1950-1959 )


Pada tahun 1950, Negara Kesatuan Republik Indonesia mempergunakan
Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) atau juga disebut Undang-Undang Dasar
1950. Berdasarkan UUD tersebut pemerintahan yang dilakukan oleh kabinet sifatnya
parlementer, artinya kabinet bertanggung jawab pada parlemen. Jatuh bangunnya
suatu kabinet bergantung pada dukungan anggota parlemen.
Ciri utama masa Demokrasi Liberal adalah sering bergantinya kabinet. Hal ini
disebabkan karena jumlah partai yang cukup banyak, tetapi tidak ada partai yang
memiliki mayoritas mutlak. Setiap kabinet terpaksa didukung oleh sejumlah partai
berdasarkan hasil usaha pembentukan partai ( kabinet formatur ). Bila dalam
perjalanannya kemudian salah satu partai pendukung mengundurkan diri dari
kabinet, maka kabinet akan mengalami krisis kabinet. Presiden hanya menunjuk
seseorang ( umumnya ketua partai ) untuk membentuk kabinet, kemudian setelah
berhasil pembentukannya, maka kabinet dilantik oleh Presiden.
Suatu kabinet dapat berfungsi bila memperoleh kepercayaan dari parlemen, dengan
kata lain ia memperoleh mosi percaya. Sebaliknya, apabila ada sekelompok anggota
parlemen kurang setuju ia akan mengajukan mosi tidak percaya yang dapat berakibat
krisis kabinet. Selama sepuluh tahun (1950-1959) ada tujuh kabinet, sehingga rata-
rata satu kabinet hanya berumur satu setengah tahun. Kabinet-kabinet pada masa
Demokrasi Parlementer adalah :
a. Kabinet Natsir (7 September 1950-21 Maret 1951)
b. Kabinet Soekiman (27 April 1951-23 Februari 1952)
c. Kabinet Wilopo (3 April 1952-3 Juni 1953)
d. Kabinet Ali-Wongso ( 1 Agustus 1953-24 Juli 1955 )
e. Kabinet Burhanudin Harahap
f. Kabinet Ali II (24 Maret 1957)
g. Kabinet Djuanda ( 9 April 1957-10 Juli 1959 )
Program kabinet pada umumnya tidak dapat diselesaikan. Mosi yang diajukan
untuk menjatuhkan kabinet lebih mengutamakan merebut kedudukan partai
daripada menyelamatkan rakyat.
Sementara para elit politik sibung dengan kursi kekuasaan, rakyat mengalami
kesulitan karena adanya berbagai gangguan keamanan dan beratnya perekonomian
ysng menimbulkan labilnya sosial-ekonomi. Adapun gangguan-gangguan keamanan
tersebut antara lain :
a. Pemberontakan Kahar Muzakar
Kahar Muzakar adalah putra Sulawesi yang pada zaman perang kemerdekaan
berjuang di Jawa. Setelah kembali ke Sulawesi bergabung dengan Komando
Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) dan pada tahun 1950 menuntut agar
pasukannya masuk APRIS. Tuntutannya ditolak tetapi kepada anggotanya yang
memenuhi syarat diperbolehkan masuk, sedangkan sisanya dimasukkan ke
dalam Corps Cadangan Nasional. Kahar akan diberikan pangkat letkol, tetapi
saat pelantikan, tanggal 17 Agustus 1951, ia bersama anak buahnya melarikan
diri ke hutan dan mengacau. Januari 1952 menyatakan diri ikut sebagai bagian
anggota Kartosuwiryo. Selama empat belas tahun memberontak, namun
akhirnya berhasi dilumpuhkan setelah salah seorang anak buahnya, yaitu Bahar
Matiliu menyerahkan diri. Ia berhasil ditembak oleh pasukan Divisi Siliwangi
pada bulan Februari 1965.
b. Pemberontakan di Jawa Tengah
Pengaruh DI meluas di Jawa Tengah, yaitu di daerah Brebes, Tegal, dan
Pekalongan yang dihadapi pemerintah dengan operasi-operasi militer. Di
Kebumen pemberontakan dilakukan oleh Angkatan Umat Islam (AUI) di bawah
pimpinan Kyai Somalangu, yang setelah intinya dapat ditumpas, sisanya
bergabung dengan DI/TII. Di lingkunganAngkatan Darat juga terjadi perembesan
pemberontakan ini, sehingga Batalyon 426 di Kudus dan Magelang juga
memberontak dan bergabung dengan DI/TII (Desember 1951). Sebagian dari
mereka mengadakan gerilya di Merbabu-Merapi Complex (MMC). Untuk
menghadapi mereka, pemerintah membentuk pasukan khusus yang diberi
namaBanteng Raiders. Juni 1954 kekuatan mereka bisa dipatahkan.
c. Pemberontakan di Aceh
Pengikut DI di Aceh memproklamirkan daerahnya sebagai bagian dari NII pada
tanggal 20 September 1953. Pemimpinnya adalah Daud Beureueh, seorang
ulama dan pejuang kemerdekaan yang pernah menjabat gubernur Militer
Daerah Aceh tahun 1947. Pada mulanya mereka dapat menguasai sebagian
besar daerah Aceh termasuk kota-kotanya. Setelah pemerintah mengadakan
operasi, mereka menyingkir ke hutan. Panglima Kodam I/Iskandar Muda, Kol. M.
Jasin mengambil prakarsa mengadakan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh
yang berhasil mengembalikan Daud Beureueh ke masyarakat (Desember 1962).
d. Peristiwa 17 Oktober 1952
Peristiwa ini bersumber pada kericuhan yang terjadi di lingkungan Angkatan
Darat. Kol. Bambang Supeno tidak menyetujui kebijaksanaan Kol. A.H. Nasution
selaku KSAD. Ia mengajukan surat kepada Mentri Pertahanan dan Presiden
dengan tembusan kepada parlemen berisi soal tersebut dan meminta agar Kol.
A.H. Nasution diganti. Manai Sophian selaku anggota parlemen mengajukan
mosi agar pemerintah segera membentuk panitia untuk mempelajari
masalahnya dan mengajukan pemecahannya. Hal ini dianggap usaha campur
tangan parlemen terhadap tubuh Angkatan Darat. Pimpinan AD mendesak
kepada Presiden untuk membubarkan Parlemen. Desakan ini jugas dilakukan
oleh rakyat dengan mengadakan demonstrasi ke gedung parlemen dan Istana
Merdeka. Presiden menolak tuntutan ini dewngan alasan tidak ingin menjadi
seorang diktator, tetapi akan berusaha segera mempercepat pemilu. Kol. A.H.
Nasution akhirnya mengundurkan diri, diikuti oleh Mayjen T.B. Simatupang.
Jabatan ini akhirnya digantikan oleh Kol. Bambang Sugeng.
e. Peristiwa 27 Juni 1955
Peristiwa ini merupakan lanjutan peristiwa sebelumnya. Karena dianggap
bahwa pemerintah belum mampu menyelesaiakan persolan tersebut. Bambang
Sugeng mengundurkan diri dari jabatannya. Sementara belum terpilih KSAD
yang baru, pimpinan KSAD dipegang oleh Wakil KSAD yaitu Kol. Zulkifli Lubis.
Kemudian pemerintah mengangkat Kol. Bambang Utoyo sebagai KSAD yang
baru, tetapi pada saat pelantikannya, 27 Juni 1955, tidak ada satupun perwira
AD yang hadir. Peristiwa ini menyebabkan kabinet Ali-Wongso jatuh. Kemudian
pada masa Kabinet Burhanudin Harahap, bekas KSAD yang lama, yaitu Kol. A.H.
Nasution, kembali diangkat menjadi KSAD (7 November 1955). Peristiwa di
Angkatan Perang yang bersifat liberal juga terjadi pada tanggal 14 Desember
1955. Yaitu ketika Komodor Udara Hubertus Suyono dilantik menjadi Staf
Angkatan Udara di Pangkalan Udara Cililitan (Halim Perdanakusuma),
segerombolan prajurit pasukan kehormatan maju dan menolak pelantikan
tersebut. Kemudian mereka meninggalkan barisdan diikuti oleh pasukan
pembawa panji-panji Angkatan Udara, sehingga upacara batal.
f. Dewan-dewan Daerah
Diawali dengan pembentukan Bewan Banteng oleh Kol (pensiun) Ismail Lengah
di Padang (20 November 1956), dengan ketuanya Ahmad Husein, Komandan
Resimen IV Tentara Teritorium (TT) I di Padang. Mereka mengajukan tuntutan
kepada pemerintah pusat tentang otonomi daerah. Larangan KSAD agar tentara
tidak berpolitik tidak dihiraukan. Mereka malah mengambil alaih pemerintahan
daerah Sumatra Tengah dari Gubernur Ruslan Mulyodiharjo (20 Desember
1956).
Tindakan tersebut diikuti oleh daerah-daerah lain seperti pembentukan Dewan
Gajah di Sumatra Utara (Kol. M. Simbolon), Dewan Garuda di Sumatra Selatan
(Kol. Barlian), dan Dewan Manguni di Sulawesi Utara (Letkol. H.N.V. Samual).
Peristiwa-peristiwa ini dilatarbelakangi oleh karena pembangunan yang tidak
merata, padahal daerah-daerah tersebut telah memberikan devisa bagi negara.
Pemerintah berusaha mengatasi masalah tersebut dengan mengadakan
perundingan dan janji pemerataan pembangunan. Namun usaha tersebut tidak
berhasil. Akhirnya operasi militerpun dilancarkan (17 Desember 1957).
g. Usaha Pembunuhan terhadap Kepala Negara
Rasa tidak puas golongan ekstrim kanan memuncak dan dilampiaskan dalam
bentuk usaha pembunuhan terhadap Presiden Soekarno di Perguruan Cikini
Jakarta (30 November 1957). Usaha tersebut gagal, tetapi menimbulkan banyak
korban. Para pelaku dapat ditangkap, dan dijatuhi hukuman mati.
Usaha kedua terjadi pada saat Idhul Adha di halaman Istana Jakarta. Kemudian
terjadi lagi. Pelakunya Letnan Udara II D.A. Maukar dengan mempergunakan
pesawat Mig 17. Istana Merdeka dan Bogor ditembakinya dari udara (9 Maret
1960). Dilakukan Maukar bersama kelompoknya, Manguni, dengan tujuan agar
pemerintah mau berunding dengan PRRI dan Permesta. Usaha tersebut sia-sia.
h. Pemberontakan PRRI dan Permesta
Akhmad Husein, beserta para tokoh Masyumi dan dewan daerah mengadakan
rapat di Sungai Dareh, Sumatra Barat (9 Januari 1958). Keesokan harinya pada
saat rapat akbar di Padang, Akhmad Husein mengultimatum pemerintah agar
Kabinet Juanda dalam waktu 5×24 jam menyerahkan mandat kepada Drs. Moh.
Hatta dan Sultan Hamengku Buwono IX agar membentuk zaken kabinet dan agar
Presiden kembali sebagai Presiden Konstitusional. Ultimatum tersebut ditolak
oleh Pemerintah. Akhirnya Husein membentuk Pemerintahan Revolusioner
Republik Indonesia (PRRI) berikut pembentukan kabinetnya dengan Syafrudin
Prawiranegara sebaga Perdana Mentri (15 Februari 1958). Hal tersebut diikuti
oleh Sulawesi Utara di bawah pimpinan Letkol D.J. Somba yang membentuk
Gerakan Piagam Perjuangan Semerta (Permesta). Pemberontakan ini ditumpas
dengaan operasi militer selama beberapa tahun.
Selain gangguan keamanan, kesulitan juga dialami oleh Pemerintah dalam
beberapa bidang. Sehingga pada akhir Demokrasi Liberal terasa terjadi
kemunduran. Kesulitan-kesulitan tersebut antara lain dalam bidang:
a. Politik
Politik sebagai Panglima merupakan semboyan partai-partai pada umumnya,
sehingga berlomba-lombalah para partai politik untuk memperebutkan
posisi panglima ini. Lembaga seperti DPR dan Konstituante hasil PEMILU
merupakan forum utama politik, sehingga persoalan ekonomi kurang
mendapat perhatian.
Pemilihan umum merupakan salah satu program beberapa kabinet,
tetapi karena umur kabinet pada umumnya singkat program itu sulit
dilakukan. Setelah Peristiwa 17 Oktober 1952, pemerintah berusaha keras
untuk melaksanakannya. Dalam suasana liberal, PEMILU diikuti oleh puluha
partai, organisasi maupun perorangan. Anggota ABRI pun ikut serta sebagai
pemilih.
Pada tanggal 15 Desember 1955 pemilihan dilaksanakan dengan tenang dan
tertib. Ada empat partai yang memenangkan Pemilu, yaitu Masyumi, PNI,
Nahdatul Ulama, dan PKI.
Namun pada prakteknya, kedua lembaga (DPR dan Konstituante) tidak
memberikan hasil seperti yang diharapkan. DPR tetap sebagai tempat
perebutan pengaruh dan kursi pemerintahan, sedangkan konstituante
setelah lebih dari dua tahun belum juga dapat menghasilkan UUD baru
untuk menggantikan UUDS.
Politik Luar Negeri Indonesia semakin mantap setelah diterima sebagai
anggota PBB ke-60 (27 Desember 1950). Cara-cara damai yang dilakukan
pemerintah Indonesia terhadap Pemerintah Belanda tentang Irian Jaya (
Papua ) tidak memperoleh penyelesaian yang memuaskan, seperti telah
tercantum dalam persetujuan KMB, sehingga secara sepihak Pemerintah
Indonesia membatalkan perjanjian tersebut dengan UU No. 13 Tahun 1956.
Sumbangan positif Indonesia dalam dunia Internasional adalah
dikirimkannya tentara Indonesia dalam United Nations Amergency Forces
(UNEF) untuk menjaga perdamaian di Timur Tengah. Pasukan ini diberi nama
Garuda I dan diberangkatkan Januari 1957.
b. Ekonomi
Untuk menyehatkan perekonomian, dilakukan penyehatan keuangan
dengan mengadakan sanering yang dikenal dengan Gunting Syafrudin (19
Maret 1950). Uang Rp. 5,00 ke atas dinyatakan hanya bernilai setengahnya,
sedangkan setengahnya lagi merupakan obligasi. Bari tindakan tersebut
Pemerintah dapat menarik peredaran uang sebanyak Rp. 1,5 milyar untuk
menekan inflasi. Pemerintah juga mengeluarkan peraturan tentang Bukti
Eksport (BE) untuk mengimbangi import. Eksportir yang telah mengeksport
kemudian memperoleh BE yang dapat diperjualbelikan. Harga BE meningkat,
sehingga pemerintah membatasinya sampai 32,5%. Karena ternyats BE tidak
berhasil meningkatkan perekonomian, akhirnya peraturan tersebut
dihapuskan (1959). Pemerintah kemudian membentuk Dewan Perancang
Nasional (Depernas) yang bertugas menyusun rencana pembangunan
Nasional untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur (1959). Tetapi
peningkatan belum juga terjadi, karena labilnya politik dan inflasi yang
mengganas. Pemerintah juga cenderung bersikap konsumtif. Jaminan emas
menurun , sehingga rupiah merosot.
c. Sosial
Partai Politik menggalakkan masyarakat dengan membentuk organisasi
massa (ormas), khususnya dalam menghadapi Pemilu tahun 1955. Keadaan
sosial-ekonomi yang kian merosot menguntungkan partai-partai kiri yang
tidak duduk dalam pemerintahan karena dapat menguasai massa. PKI makin
berkembang, dalam Pemilu tahun 1955 dapat merupakan salah satu dari
empat besar dan kegiatannya ditingkatkan yang mengarah pada perebutan
kekuasaan (1965).
d. Budaya
Meskipun banyak kesulitan yang dihadapi, Pemerintah dianggap berhasil
dalam bidang budaya ini. Untuk mencukupi tenaga terdidik dari perguruan
tinggi, Pemerintah membuka banyak universitas yang disebarkan di daerah.
Prestasi lain adalah dalam bidang olah raga. Dalam perebutan Piala Thomas
(Thomas Cup) Indonesia yang baru pertama kali mengikuti kejuaraan ini
berhasilmemperoleh piala tersebut (Juni 1958). Selain itu juga Indonesia
berhasil menyelenggarakan Konfrensi Asia-Afrika dengan sukses.
Karena wilayah Indonesia berupa kepualauan, maka Pemerintah mengubah
peraturan dari pemerintah kolonial Belanda, yaitu Peraturan Wilayah Laut
dan Lingkungan Maritim Tahun 1939, yang menyebutkan wilayah teritorial
Hindia-Belanda dihitung tiga mil laut diukur dari garis rendah pulau-pulau
dan bagian pulau yang merupakan wilayah daratannya. Peraturan ini dinilai
sangat merugikan bangsa Indonesia. Karena itu Pemerintah Indonesia
mengeluarkan Deklarasi 13 Desember 1957 yang juga disebut sebagai
Deklarasi Juanda tentang Wilayah Perairan Indonesia.
Indonesia juga membuat peraturan tentang landas kontinen, yaitu peraturan
tentang batas wilayah perairan yang boleh diambil kekayaannya. Peraturan
ini tertuang dalam Pengumuman Pemerintah tentang Landas Kontinen
tanggal 17 Februari 1969. Pemerintah Indonesia mengadakan perjanjian
dengan negara-negara tetangga tentang batas-batas Landas Kontinen agar
kelak tidak terjadi kesalahpahaman.
II. Latar Belakang
Latar belakang dicetuskannya sistem demokrasi terpimpin oleh Presiden Soekarno :
1. Dari segi keamanan nasional : Banyaknya gerakan separatis pada masa demokrasi
liberal, menyebabkan ketidakstabilan negara.
2. Dari segi perekonomian : Sering terjadinya pergantian kabinet pada masa demokrasi
liberal menyebabkan program-program yang dirancang oleh kabinet tidak dapat
dijalankan secara utuh, sehingga pembangunan ekonomi tersendat.
3. Dari segi politik : Konstituante gagal dalam menyusun UUD baru untuk
menggantikan UUDS 1950.

Masa Demokrasi Terpimpin yang dicetuskan oleh Presiden Soekarno diawali oleh
anjuran Soekarno agar Undang-Undang yang digunakan untuk
menggantikan UUDS 1950adalah UUD 1945. Namun usulan itu menimbulkan pro dan
kontra di kalangan anggota konstituante. Sebagai tindak lanjut usulannya,
diadakan pemungutan suara yang diikuti oleh seluruh anggota
konstituante. Pemungutan suara ini dilakukan dalam rangka mengatasi konflik yang
timbul dari pro kontra akan usulan Presiden Soekarno tersebut.

Hasil pemungutan suara menunjukan bahwa :

· 269 orang setuju untuk kembali ke UUD 1945


· 119 orang tidak setuju untuk kembali ke UUD 1945

Melihat dari hasil voting, usulan untuk kembali ke UUD 1945 tidak dapat direalisasikan.
Hal ini disebabkan oleh jumlah anggota konstituante yang menyetujui usulan tersebut tidak
mencapai 2/3 bagian, seperti yang telah ditetapkan pada pasal 137 UUDS 1950.

Bertolak dari hal tersebut, Presiden Soekarno mengeluarkan sebuah dekrit yang
disebut Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Isi Dekrit Presiden 5 Juli 1959 :

a. Tidak berlaku kembali UUDS 1950


b. Berlakunya kembali UUD 1945
c. Dibubarkannya konstituante
d. Pembentukan MPRS dan DPAS

III. III. Sejarah Demokrasi Terpimpin


Masa Demokrasi Terpimpin di Indonesia (1960-1965)
Ketegangan-ketegangan politik yang terjadi pasca Pemilihan Umum 1955 membuat situasi
politik tidak menentu. Kekacauan politik ini membuat keadaan negara menjadi dalam
keadaan darurat. Hal mi diperparah dengan Dewan Konstituante yang mengalami
kebuntuan dalam menyusun konstitusi baru, sehingga negara Indonesia tidak mempunyai
pijakan hukum yang mantap. Berikut latar belakang munculnya penerapan demokrasi
terpimpin oleh Presiden Soekarno.

a. Konstituante Gagal Menyusun Undang Undang Dasar Baru

Hasil pemilihan umum memunculkan NU dan PKI sebagai partai besar di samping PNI
dan Masyumi. Setelah pemilihan umum itu dibentuk Kabinet Ali Sastroamidjojo II pada
tanggal 24 Maret 1956 berdasarkan perimbangan partai-partai di dalam pariemen. Kabinet
ini juga tidak lama bertahan, karena adanya oposisi dari daerah-daerah di luar Jawa dengan
alasan bahwa pemerintah mengabaikan pembangunan di daerah.

Pada bulan Februari 1957, Presiden Soekamo memanggil semua pejabat sipil dan
militer beserta semua pimpinan partai politik ke Istana Merdeka. Dalam pertemuan itu
untuk pertama kalinya Presiden Soekarno mengaju-kan konsepsi yang berisi antara lain
sebagai berikut.

 Dibentuk Kabinet Gotong-Royong yang terdiri atas wakil-wakil semua partai


ditambah dengan golongan fungsional.
 Dibentuk Dewan Nasional (kemudian bernama Dewan Pertimbangan Agung).
Anggota-anggotanya adalah wakil-wakil partai dan golongan fungsional dalam
masyarakat. Fungsi dewan ini adalah member! nasehat kepada kabinet baik diminta
maupun tidak.
Konsepsi itu ditolak oleh beberapa partai, yakni Masyumi, NU, PSII, Partai Katolik, dan
PRI. Mereka berpendapat bahwa mengubah susunan ketatanegaraan secara radikal hams
diserahkan kepada Konstituante. Suhu politik pun semakin bertambah panas. Dalam
peringatan Sumpah Pemuda pada tahun 1957, Presiden Soekamo menyatakan bahwa
segala kesulitan yang dihadapi negara pada waktu itu disebabkan adanya banyak partai
politik, sehingga merusak persatuan dan kesatuan negara. Oleh karena itu, ada baiknya
parta-partai politik dibubarkan.
Kemudian, dengan alasan menyelamatkan negara, Presiden Soekarno mengajukan
suatu konsepsi dengan nama Demokrasi Terpimpin. Konsepsi Presiden itu mendapat
tantangan yang hebat. Untuk sementara waktu, masalah politik dan perdebatan Konsepsi
Presiden menjadi beku, karena perhatian masyarakat diarahkan kepada upaya penumpasan
pem-berontakan FRRI-Permesta. Setelah pemberontakan itu berhasil diatasi, masalah
politik muncul kembali. Masalah menjadi sangat serius, karena konstituante mengalami
kemacetan dalam menetapkan dasar negara. Kemacetan itu teriadi karena masing-masing
partai hanya mengejar kepentingan partainya saja tanpa mengutamakan atau
mendahulukan kepentingan negara dan bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Masalah utama yang dihadapi oleh konstituante adalah tentang penetapan dasar negara.
Terjadi tarik-ulur di antara golongan-golongan dalam konstituante. Sekelompok partai
menghendaki agar Pancasila menjadi dasar negara, namun sekelompok partai lainnya
menghendaki agama Islam sebagai dasar negara.

Dalam upaya mengatasi kemacetan konstituante, muncul gagasan untuk kembali ke


UUD 1945 dari kalangan ABRI. Dengan kembali ke UUD 1945, maka berbagai kekalutan
politik dapat diselesaikan dengan dasar yang kokoh untuk diselesaikan, yaitu pemerintahan
yang stabil, masalah dasar negara teratasi, semangat 45 dapat dipulihkan, sehingga
persatuan dapat dipulihkan juga. Berbagai partai politik ada yang memberikan dukungan
terhadap gagasan tersebut, kemudian Kabinet juga menerima gagasan kembali ke UUD
1945 pada tanggal 19 Februari 1959.

Pada tanggal 22 April 1959, Presiden Soekarno menyampaikan anjuran pemerintah


supaya konstituante menetapkan UUD 1945 menjadi konsdtusi Negara Republik Indonesia.
Menanggapi anjuran pemerintah itu dan sesuai dengan aturan yang berlaku, konstituante
dapat menentukan sikap atau melakukan pemungutan suara. Pemungutan suara
dilaksanakan riga kali dan hasilnya yaitu suara yang setuju selalu lebih banyak dari suara
yang menolak kembali ke UUD 1945, tetapi anggota yang hadir selalu kurang dari dua
pertiga. Hal ini menjadi masalah, karena masih belum memenuhi quorum. Keadaan politik
masih tetap tidak menentu. Kegagalan konstituante mengambil keputusan itu menunjukkan
bahwa anggota dari partai-partai politik yang hadir masih tetap mengabdi kepada
kepentingin partainya. Hal ini membukdkan bahwa selama tiga tahun konstituante ti-iak
mampu mengambil keputusan untuk menetapkan UUD baru sebagai pengganti UUD
Sementara 1950.

Dengan kegagalan konstituante mengambil suatu keputusan, maka sebagian


anggotanya menyatakan tidak akan menghadiri sidang konstituante lagi. Sementara itu
sejak tanggal 3 Juni 1959, konstituante memasuki masa reses dan ternyata merupakan
resesnya yang terakhir. Pada saat itu pula Penguasa Perang Pusat dengan peraturan Nomor
: PRT/PEPERPU/040/1959 melarang adanya kegiatan politik. Berbagai partai dan ABRI
mendukung usul supaya UUD 1945 diberlakukan kembali.

b. Dekrit Presiden 5 Juli 1959

Sampai tahun 1959 Konstituante tidak pernah berhasil merumuskan Undang-Undang


Dasar baru. Keadaan itu semakin mengguncangkan situasi politik di Indonesia pada saat
itu.Bahkan, masing-masing partai politik selalu berusaha untuk menghalalkan segala cara
agar tujuan partainya tercapai. Oleh sebab itu, sejak tahun 1956 kondisi dan situasi politik
negara Indonesia semakin buruk dan kacau.

Keadaan yang semakin bertambah kacau ini bisa membahayakan dan mengancam
keutuhan negara dan bangsa Indonesia. Suasana semakin bertambah panas karena adanya
ketegangan yang diikuti dengan keganjilan-keganjilan sikap dari setiap partai politik yang
berada di Konstituante. Rakyat sudah tidak sabar lagi dan menginginkan agar pemerintah.
mengambil tindakan yang bijaksana untuk mengatasi kemacetan sidang Konstituante.
Namun, Konstituante ternyata tidak dapat diharapkan lagi.

Kegagalan Konstituante untuk melaksanakan sidang-sidangnya untuk membuat


undang-undang dasar baru, menyebabkan negara Indonesia dilanda kekalutan
konstitusional. Undang-Undang Dasar yang menjadi dasar hukum pelaksanaan
pemerintahan negara belum berhasil dibuat, sedang-kan Undang-Undang Dasar Sementara
(UUDS 1950) dengan sistem pemerintahan demokrasi liberal dianggap tidak sesuai dengan
kondisi kehidupan masyarakat Indonesia. Untuk mengatasi situasi yang tidak menentu itu,
pada bulan Februari 1957 Presiden Soekarno mengajukan gagasan yang disebut dengan
Konsepsi Presiden.

Dalam situasi dan kondisi seperti itu, beberapa tokoh partai politik mengajukan usul kepada
Presiden Soekarno agar mendekritkan berlakunya kembali UUD 1945 dan pembubaran
Konstituante. Pemberlakuan kembali Undang-undang Dasar 1945 merupakan langkah
terbaik untuk mewujud-kan persatuan dan kesatuan nasional. Oleh karena itu, pada tanggal
5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang berisi sebagai berikut: (1)
Pembubaran Konstituante. (2) berlakunya kembali UUD 1945 dan idak berlakunya UUDS
1950, (3) Pembentukkan MPRS dan DPAS.
Dekrit Presiden mendapat dukungan penuh dari masyarakat Indonesia. KSAD
langsung mengeluarkan perintah harian kepada seluruh anggota TNI untuk mengamankan
Dekrit Presiden. Mahkamah Agung juga membenarkan keberadaan Dekrit itu. DPR hasil
pemilihan umum tahun 1955 juga menyatakan kesediaannya untuk terus bekerja
berdasarkan UUD 1945.
c. Pengaruh Dekrit Presiden

Tindakan yang dilakukan oleh Presiden Soekarno dengan mengeluarkan Dekrit


Presiden tanggal 5 Juli 1959 telah memenuhi harapan rakyat. Namun demikian, harapan itu
akhirnya hilang, karena ternyata UUD 1945 tidak dilaksanakan secara murni dan konsekuen.
UUD 1945 yang menjadi dasar hukum konstitusional penyelenggaraan pemerintahan hanya
menjadi slogan-slogan kosong belaka. Hal ini terlihat dengan jelas dari masalah-masalah
berikut ini,

Kedudukan Presiden Berdasarkan UUD 1945, kedudukan Presiden berada di bawah


MPR. Akan tetapi, pada kenyataannya MPRS tunduk kepada Presiden. Presiden
menentukan apa yang harus diputuskan oleh MPRS. Hal ini terlihat dengan jelas dari
tindakan presiden ketika mengangkat ketua MPRS yang dirangkap oleh wakil perdana
menteri III dan mengangkat wakil-wakil ketua MPRS yang dipilih dari pimpinan partai-partai
besar (PNI, NU, dan PKI) serta wakil ABRI yang masing-masing diberi kedudukan sebagai
menteri yang tidak memimpin departemen.
Pembentukan MPRS Presiden Soekarno juga membentuk MPRS ber-dasarkan
Penetapan Presiden No. 2 tahun 1959. Tindakan yang dilakukan oleh Presiden Soekarno itu
bertentangan dengan UUD 1945, karena dalam UUD 1945 telah ditetapkan bahwa
pengangkatan anggota MPR sebagai lembaga tertinggi negara hams melalui pemilihan
umum, sehingga partai-partai yang terpilih oleh rakyat memiliki anggota-anggotanya yang
duduk di MPR.
Manifesto Politik Republik Indonesia Pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1959
berjudul "Penemuan Kembali Revolusi Kita", dikenal dengan Manifesto Politik Republik
Indonesia. Atas usulan dari DPA yang bersidang tanggal 23-25 September 1959 agar
Manifestio Politik Republik Indoneia itu dijadi-kan Garis-garis Besar Haluan Negara. Inti
Manifesto Politik itu adalah USDEK (Undang Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia,
Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Keperibadian Indonesia).

Pembubaran DPR hasil pemilu dan pembentukkan DPR-GR Anggota DPR hasil pemilu
tahun 1955 mencoba menjalankan fungsinya dengan menolak RAPBN yang diajukan oleh
Presiden. Sebagai akibat dari penolakan itu, DPR hasil pemilu dibubarkan dan diganti
dengan pembentukkan DPR-GR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong). Padahal
langkah ini bertentangan dengan UUD 1945 yang menyebutkan bahwa Presiden tidak dapat
membubarkan DPR.
Keanggotaan dalam DPR-GR diduduki oleh tokoh-tokoh beberapa partai besar, seperti
PNI, NU, dan PKI. Ketiga partai ini dianggap telah mewakili seluruh golongan seperti
golongan nasionalis, agama, dan komunis yang sesuai dengan konsep Nasakom. Dalam
pidato Presiden Soekarno pada upacara pelantikan DPR-GR pada tanggal 25 Juni 1960
disebutkan tugas DPR-GR adalah melaksanakan Manifesto Politik, me-realisasikan Amanat
Penderitaan Rakyat dan melaksanakan Demokrasi Terpimpin. Selanjutnya, untuk
menegakkan Demokrasi Terpimpin, Presiden Soekarno mendirikan lembaga-lembaga
negara lainnya, misalnya Front Nasional yang dibentuk melalui Penetapan Presiden No. 13
tahun 1959.

Masuknya pengaruh PKI Konsep Nasakom memberi peluang kepada PKI untuk
memperluas dan mengembangkan pengaruhnya. Secara perlahan dan hati-hati, PKI
berusaha untuk menggeser kekuatan-kekuatan yang yang berusaha menghalanginya.
Sasaran PKI selanjutnya adalah berusaha menggeser kedudukan Pancasila dan UUD 1945
digantikan menjadi komunis. Setelah itu, PKI mengambil alih kedudukan dan kekuasaan
pemerintahan yang sah. Untuk mewujudkan rencananya, PKI memengaruhi sistem
Demokrasi Terpimpin. Hal ini terlihat dengan jelas bahwa konsep terpimpin dari Presiden
Soekarno yang berporos nasionalis, agama, dan komunis (Nasakom) mendapat dukungan
sepenuhnya dari pimpinan PKI, D.N. Aidit. Bahkan melalui Nasakom, PKI berhasil
meyakinkan Presiden Soekarno bahwa Presiden Soekarno tanpa PKI akan menjadi lemah
terhadap TNI.

Arah politik luar negeri Indonesia terjadi penyimpangan dari politik luar negeri bebas-
aktif menjadi condong pada salah satu poros. Pada masa itu diberlakukan politik
konfrontasi yang diarahkan pada negara-negara kapitalis, seperti negara-negara Eropa
Barat dan Amerika Serikat. Politik konfrontasi dilandasi oleh pandangan tentang Nefo (New
Emerging Forces) dan Oldefo (Old Established Forces). Nefo merupakan kekuatan baru yang
sedang muncul yaitu negara-negara progresif revolusioner (termasuk Indonesia dan negara-
negara kornunis umumnya) yang anti imperialisme dan kolonialisme. Sedangkan Oldefo
merupakan kekuatan lama yang telah mapan yakni negara-negara kapitalis yang
neokolonialis dan imperialis (Nekolim).
Bentuk perwujudan poros anti imperialis dan kolonialis itu dibentuk poros Jakarta -
Phnom Penh - Hanoi - Peking - Pyong Yang. Akibatnya ruang gerak diplomasi Indonesia di
forum internasional menjadi sempit, karena berkiblat ke negera-negara komunis. Selain itu,
pemerintah juga menjalankan politik konfrontasi dengan Malaysia. Hal ini disebabkan
pemerintah tidak setuju dengan pembentukkan negara federasi Malaysia yang dianggap
proyek neokolonialisme Inggris yang membahayakan Indonesia dan negara-negara blok
Nefo. Dalam rangka konfrontasi itu, Presiden Soekarno mengumumkan Dwi Komando
Rakyat (Dwikora) pada tanggal 3 Mei 1964 yang isinya sebagai berikut :
• Perhebat Ketahanan Revolusi Indonesia.
• Bantu perjuangan rakyat Malaysia untuk membebaskan diri dari Nekolim Inggris.
Pelaksanaan Dwikora itu diawali dengan pembentukan Komando Siaga dipimpin
Marsekal Omar Dani. Komando Siaga ini bertugas untuk mengirimkan sukarelawan ke
Malaysia Timur dan Barat. Hal ini menunjuk-kan adanya campur-tangan Indonesia pada
masalah dalam negeri Malaysia.
d. Kehidupan Politik di Masa Demokrasi Terpimpin
Sebagai tindak lanjut Dekrit Presiden adalah penataan kehidupan politik sesuai
ketentuan-ketentuan demokrasi terpimpin. Selain dibentuk kabinet kerja, juga dibentuk
lembaga-lembaga negara seperti MPRS, DPR-GR dan Front Nasional. Keanggotaan umum
lembaga itu disusun berdasarkan komposisi gotong-royong sebagai perwujudan dari
demokrasi terpimpin.
TNI dan POLRI disatukan menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang
terdiri atas empat angkatan yaitu TNI Angkatan Darat, TNI Angkatan Laut, TNI Angkatan
Udara, dan Angkatan Kepolisian. Masing-masing angkatan dipimpin oleh seorang Menteri
Panglima Angkatan yang kedudukannya langsung berada di bawah Presiden atau Panglima
Tertinggi ABRI. Golongan ABRI diakui sebagai salah satu golongan fungsional dan menjadi
salah satu kekuatan sosial politik. Dengan demikian, ABRI dapat memainkan peranannya
sebagai salah satu kekuatan sosial politik.
Berdasarkan Penpres No. 7 Tahun 1959 tanggal 31 Desember 1959, kehidupan partai
politik ditata dengan menetapkan syarat-syarat yang hams dipenuhi oleh partai politik.
Partai politik yang tidak memenuhi syarat dihapuskan, misalnya jumlah anggotanya terlalu
sedikit. Dengan dikeluarkannya Penpres itu
partai politik yang masih dapat bertahan antara lain PNI, Partai Masyumi, Partai NU,
PKI, Partai Katolik, Parkindo, PSI, Partai Murba, Partai IPKI, PSII, dan Partai Perti. Tindakan
yang dilakukan oleh pemerintah lebih dikenal dengan tindakan penyederhanaan
kepartaian. Sementara itu, sejumlah tokoh dari Partai Masyumi dan PSI terlibat dalam
gerakan PRRI-Permesta, sehingga kedua partai ini dibubarkan oleh pemerintah.
Dalam keadaan seperti itu, kekuatan politik yang ada pada waktu itu adalah presiden
dan ABRI serta partai-partai, terutama PKI. Presiden Soekamo dalam politiknya selalu
berusaha untuk menjaga keseimbangan (balance of power) dalam tubuh ABRI dan juga
antara ABRI dengan partai politik. Untuk menjaga keseimbangan itu, Presiden Soekarno
memerlukan dukungan dari PKI. Namun, PKI hanya mengutamakan kepentingannya sendiri
agar dapat memainkan perannya yang dominan di bidang politik. Dominasi PKI itu diperoleh
dengan mendukung konsep Nasakom Presiden Soekarno.

7
Sementara itu, tuduhan terhadap PKI yang bersifat internasional (kurang nasional) dan
anti agama dijawab bahwa PKI menerima Manipol (Manifesto Politik) yang di dalamnya
mencakup Pancasila. Ajakan Presiden Soekarno supaya jangan komunistophobi (takut
terhadap komunis) sangat menguntung-kan PKI dan menjadikan PKI aman. PKI mendapat
keuntungan dan perlindungan dari kebijakan politik Presiden Soekarno.

Dalam rangka mewujudkan sosialisme (dan kelak komunisme) di Indonesia, PKI


menempuh tindakan-tindakan sebagai berikut.

a) Dalam Negeri; berusaha menyusup ke partai-partai politik atau organisasi massa


(ormas) yang menjadi lawannya, kemudian memecah belah. Di bidang pendidikan
mengusahakan agar marxisme-leninisme menjadi salah satu mata pelajaran wajib. Di
bidang militer mencoba meng-indoktrinasi para perwira dengan ajaran komunis dan
membina sel-sel di kalangan ABRI.

b) Luar Negeri; berusaha mengubah politik luar negeri Indonesia yang bebas-aktif
menjadi politik yang menjurus ke negara-negara komunis.

PKI dicurigai mempunyai keinginan untuk merebut kekuasaan pemerintahan.


Kecurigaan ini berdasarkan pengalaman masa lalu, yaitu pemberontakan PKI di Madiun
tahun 1948. Pada tahun 1964, ditemukan dokumen yang memuat rencana PKI merebut
kekuasaan. PKI menyatakan bahwa dokumen itu palsu.

Berkat perlindungan Presiden Soekarno dan dominasi di bidang politik, tidak ada
tindakan lebih lanjut atas tuduhan itu. D.N. Aidit (Ketua PKI) di hadapan peserta kursus
Kader Revolusi menyatakan bahwa Pancasila hanya merupakan alat pemersatu dan kalau
sudah bersatu, Pancasila tidak diperlukan lagi. Pemyataan ini tidak mendapat tindakan dan
peringatan dari Presiden Soekamo, sehingga PKI dapat melakukan intimidasi dan teror
politik di segala bidang. -

Pada bidang kebudayaan dan pers, PKI memengaruhi Presiden Soekarno untuk
melarang Manifesto Kebudayaan (Manikebu) dan Barisan Pendukung Soekarno (BPS).
Alasannya keduanya didukung dinas intelijen Amerika Serikat (CIA). Sebenarnya yang
ditentang PKI bukan manifesto kebudayaan, tetapi terselenggaranya Konferensi Karyawan
Pengarang Indonesia (KKPI) yang berhasil membentuk organisasi pengarang dengan nama
Persatuan Karyawan Pengarang Indonesia (PKPI). PKI juga berhasil memengaruhi Antara
(Kantor berita) dan RRI.
Di bidang kepartaian, PKI berhasil menfitnah Partai Murba, sehingga partai itu
dibubarkan oleh Presiden Soekarno. PKI juga mengadakan penyusupan ke partai-partai lain.
PNI yang dipimpin oleh Ali Sastroamidjojo sebagai ketua dan Jenderal Surachman sebagai
sekretaris jenderalnya disusupi PKI. Besarnya pengaruh PKI pada PNI (Ali - Surachman)
menyebabkanmarhaenisme diberi arti marxisme yang diterapkan di Indonesia. Tokoh-tokoh
marhaenisme sejati seperti Osa Maliki dipecat dari keanggotaan partai. Golongan Osa
Maliki membentuk pengurus tandingan, sehingga terbentuklah PNI Osa-Usep (Ketuanya
Osa Maliki dan sekretaris jenderalnya Usep Ranuwijaya). Dengan demikian, PNI pecah
menjadi dua.

Pada bidang agraria dan pertanian, PKI melalui ormasnya, Barisan Tani Indonesia (BTI)
berhasil mengacaukan pelaksanaan landreform di beberapa tempat dan melakukan aksi
sepihak dalam bentuk penyerobotan tanah, seperti di Klaten, Boyolali, Kediri (Peristiwa
Jengkol), dan Sumatera Utara (Peristiwa Bandar Betsy). Aksi sepihak itu bertujuan untuk
mengacaukan keadaan dan juga sebagai alat ukur untuk mengetahui reaksi dan tindakan
yang akan dilakukan oleh pihak ABRI.

Dalam usaha memengaruhi ABRI, PKI mempergunakan jalur resmi dan jalur tidak
resmi. Jalur resmi adalah Komisaris Politik Nasakom yang mendampingi Panglima atau
Komandan Kesatuan. Sedangkan jalur tidak resmi adalah melalui Biro Khusus yang diketuai
oleh Kamaruzaman (Syam).

Rupanya melalui penempatan Komisaris Politik Nasakom yang terdiri atas PNI dan
NU, PKI kurang berhasil karena ketangguhan sikap pimpinan ABRI. ABRI mampu
menanggulangi pengaruh PKI, bahkan dapat menjadi penghalang bagi PKI dalam usahanya
membentuk negara komunis. Oleh karena itu, pada peristiwa Gerakan 30 September, yang
dijadikan sasaran PKI adalah ABRI, khususnya angkatan darat.

Republik Rakyat Cina (RRC) menyarankan agar Presiden Soekarno membentuk


Angkatan Kelima untuk melengkapi empat angkatan yang sudah ada. Tujuannya adalah
untuk memperkuat kedudukan PKI. Presiden Soekarno tidak setuju dengan pembentukan
angkatan kelima, dan dengan tegas ditolak oleh pimpinan Angkatan Darat. Akhimya, PKI
menganjurkan agar dibentuk Kabinet Nasakom. Namun, anjuran itu hanya membawa hasil
sedikit, yaitu dengan diangkatnya beberapa tokoh PKI, seperti D.N.Aidit, M.H. Lukman, dan
Nyoto menjadi Menteri Negara.

I. Pelaksanaan Demokrasi Terpimpin

Demokrasi Terpimpin berlaku di Indonesia antara tahun 1959-1966, yaitu dari


dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 hingga Jatuhnya kekuasaan Sukarno. Disebut
Demokrasi terpimpin karena demokrasi di Indonesia saat itu mengandalkan pada
kepemimpinan Presiden Sukarno. Terpimpin pada saat pemerintahan Sukarno adalah
kepemimpinan pada satu tangan saja yaitu presiden.

Tugas Demokrasi Terpimpin


Demokrasi Terpimpin harus mengembalikan keadaan politik negara yang tidak setabil
sebagai warisan masa Demokrasi Parlementer/Liberal menjadi lebih mantap/stabil.
Demokrasi Terpimpin merupakan reaksi terhadap Demokrasi Parlementer/Liberal. Hal ini
disebabkan karena :
 Pada masa Demokrasi parlementer, kekuasaan presiden hanya terbatas sebagai
kepala Negara
 Sedangkan kekuasaan Pemerintah dilaksanakan oleh partai.
Dampaknya dari Penataan kehidupan politik yang menyimpang dari tujuan awal adalah
demokratisasi (menciptakan stabilitas politik yang demokratis) menjadi sentralisasi
(pemusatan kekuasaan di tangan presiden).
Penyimpangan Yang Dilakukan dari Demokrasi Terpimpin Terhadap UUD 1945
1. Kedudukan Presiden
Berdasarkan UUD 1945, kedudukan Presiden berada di bawah MPR. Akan
tetapi, kenyataannya bertentangan dengan UUD 1945, sebab MPRS tunduk kepada
Presiden. Presiden menentukan apa yang harus diputuskan oleh MPRS. Hal tersebut
tampak dengan adanya tindakan presiden untuk mengangkat Ketua MPRS dirangkap
oleh Wakil Perdana Menteri III serta pengagkatan wakil ketua MPRS yang dipilih dan
dipimpin oleh partai-partai besar serta wakil ABRI yang masing-masing berkedudukan
sebagai menteri yang tidak memimpin departemen.
2. Pembentukan MPRS
Presiden juga membentuk MPRS berdasarkan Penetapan Presiden No. 2 Tahun
1959. Tindakan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 karena Berdasarkan UUD
1945 pengangkatan anggota MPRS sebagai lembaga tertinggi negara harus melalui
pemilihan umum sehingga partai-partai yang terpilih oleh rakyat memiliki anggota-
anggota yang duduk di MPR. Anggota MPRS ditunjuk oleh presiden dengan syarat
adalah Setuju kembali kepada UUD 1945, Setia kepada perjuangan Republik
Indonesia, dan Setuju pada manifesto Politik.
penuruan Keanggotaan MPRS terdiri dari 61 orang anggota DPR, 94 orang utusan
daerah, dan 200 orang wakil golongan. Tugas MPRS terbatas pada menetapkan Garis-
Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
3. Pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara
Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) dibentuk berdasarkan
Penetapan Presiden No.3 tahun 1959. Lembaga ini diketuai oleh Presiden sendiri.
Keanggotaan DPAS terdiri atas satu orang wakil ketua, 12 orang wakil partai politik, 8
orang utusan daerah, dan 24 orang wakil golongan. Tugas DPAS adalah memberi
jawaban atas pertanyaan presiden dan mengajukan usul kepada pemerintah.

Pelaksanaannya kedudukan DPAS juga berada dibawah pemerintah/presiden sebab


presiden adalah ketuanya. Hal ini disebabkan karena DPAS yang mengusulkan dengan suara
bulat agar pidato presiden pada hari kemerdekaan RI 17 AGUSTUS 1959 yang berjudul
”Penemuan Kembali Revolusi Kita” yang dikenal dengan Manifesto Politik Republik
Indonesia (Manipol)ditetapkan sebagai GBHN berdasarkan Penpres No.1 tahun 1960. Inti
Manipol adalah USDEK (Undang-undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi
Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia). Sehingga lebih dikenal
dengan MANIPOL USDEK.

V. Kehidupan Ekonomi pada Masa Demokrasi Terpimpin

Seiring dengan perubahan politik menuju demokrasi terpimpin maka ekonomipun


mengikuti ekonomi terpimpin. Sehingga ekonomi terpimpin merupakan bagian dari
demokrasi terpimpin. Dimana semua aktivitas ekonomi disentralisasikan di pusat
pemerintahan sementara daerah merupakan kepanjangan dari pusat. Langkah yang
ditempuh pemerintah untuk menunjang pembangunan ekonomi adalah sebagai berikut.

Pembentukan Badan Perencana Pembangunan Nasional


Untuk melaksanakan pembangunan ekonomi di bawah Kabinet Karya maka
dibentuklah Dewan Perancang Nasional (Depernas) pada tanggal 15 Agustus 1959 dipimpin
oleh Moh. Yamin dengan anggota berjumlah 50 orang.
Tugas Depernas :
- Mempersiapkan rancangan Undang-undang Pembangunan Nasional yang berencana
- Menilai Penyelenggaraan Pembangunan
Hasil yang dicapai, dalam waktu 1 tahun Depenas berhasil menyusun Rancangan
Dasar Undang-undang Pembangunan Nasional Sementara Berencana tahapan tahun 1961-
1969 yang disetujui oleh MPRS. Mengenai masalah pembangunan terutama mengenai
perencanaan dan pembangunan proyek besar dalam bidang industri dan prasarana tidak
dapat berjalan dengan lancar sesuai harapan. 1963 Dewan Perancang Nasional (Depernas)
diganti dengan nama Badan Perancang Pembangunan Nasional (Bappenas) yang dipimpin
oleh Presiden Sukarno.
Penurunan Nilai Uang
Tujuan dilakukan devaluasi :
- Guna membendung inflasi yang tetap tinggi
- Untuk mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat
- Meningkatkan nilai rupiah sehingga rakyat kecil tidak dirugikan.

Maka pada tanggal 25 Agustus 1959 pemerintah mengumumkan keputusannya


mengenai nilai uang (devaluasi), yaitu sebagai berikut.
- Uang kertas pecahan bernilai Rp. 500 menjadi Rp. 50
- Uang kertas pecahan bernilai Rp. 1.000 menjadi Rp. 100
- Pembekuan semua simpanan di bank yang melebihi Rp. 25.000

Tetapi usaha pemerintah tersebut tetap tidak mampu mengatasi kemerosotan ekonomi
yang semakin jauh, terutama perbaikan dalam bidang moneter. Para pengusaha daerah di
seluruh Indonesia tidak mematuhi sepenuhnya ketentuan keuangan tersebut.
Pada masa pemotongan nilai uang memang berdampak pada harga barang menjadi murah
tetapi tetap saja tidak dapat dibeli oleh rakyat karena mereka tidak memiliki uang. Hal ini
disebabkan karena :
- Penghasilan negara berkurang karena adanya gangguan keamanan akibat pergolakan
daerah yang menyebabkan ekspor menurun.
- Pengambilalihan perusahaan Belanda pada tahun 1958 yang tidak diimbangi oleh
tenaga kerja manajemen yang cakap dan berpengalaman.
- Pengeluaran biaya untuk penyelenggaraan Asian Games IV tahun 1962, RI sedang
mengeluarkan kekuatan untuk membebaskan Irian Barat.

Kenaikan Laju Inflasi


Latar Belakang meningkatnya laju inflasi :
- Penghasilan negara berupa devisa dan penghasilan lainnya mengalami kemerosotan.
- Nilai mata uang rupiah mengalami kemerosotan
- Anggaran belanja mengalami defisit yang semakin besar
- Pinjaman luar negeri tidak mampu mengatasi masalah yang ada
- Upaya likuidasi semua sektor pemerintah maupun swasta guna penghematan dan
pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran belanja tidak berhasil
- Penertiban administrasi dan manajemen perusahaan guna mencapai keseimbangan
keuangan tak memberikan banyak pengaruh
- Penyaluran kredit baru pada usaha-usaha yang dianggap penting bagi kesejahteraan
rakyat dan pembangunan mengalami kegagalan.

Kegagalan-kegagalan tersebut disebabkan karena:


- Pemerintah tidak mempunyai kemauan politik untuk menahan diri dalammelakukan
pengeluaran.
- Pemerintah menyelenggarakan proyek-proyek mercusuar seperti GANEFO (Games of
the New Emerging Forces ) dan CONEFO (Conference of the New Emerging Forces)
kekeuranganneraca pembayaran dari cadangan emas dan devisa
- Ekspor semakin buruk dan pembatasan Impor karena lemahnya devisa.
- 1965, cadangan emas dan devisa telah habis bahkan menunjukkan saldo negatif
sebesar US$ 3 juta sebagai dampak politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara
barat.
Kebijakan Pemerintah :
- Keadaan defisit negara yang semakin meningkat ini diakhiri pemerintah dengan
pencetakan uang baru tanpa perhitungan matang. Sehingga menambah berat angka inflasi.
- 13 Desember 1965 pemerintah mengambil langkah devaluasi dengan menjadikan
uang senilai Rp. 1000 menjadi Rp. 1.
-
Dampaknya dari kebijakan pemerintah tersebut :
- Uang rupiah baru yang seharusnya bernilai 1000 kali lipat uang rupiah lama akan
tetapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai sekitar 10 kali lipat lebih tinggi dari
uang rupiah baru.
- Tindakan moneter pemerintah untuk menekan angka inflasi malahan menyebabkan
meningkatnya angka inflasi.
VI. Perjuangan Pembebasan Irian barat

Ada 3 bentuk perjuangan dalam rangka pembebesan Irian Barat : Diplomasi, Konfrontasi
Politik dan Ekonomi serta Konfrontasi Militer.

Perjuangan Diplomasi
Ditempuh guna menunjukkan niat baik Indonesia mandahulukan cara damai dalam
menyelesaikan persengketaan. Perjuangan tersebut dilakukan dengan perundingan. Jalan
diplomasi ini sudah dimulai sejak Kabinet Natsir (1950) yang selanjutnya dijadikan program
oleh setiap kabinet. Meskipun selalu mengalami kegagalan sebab Belanda masih menguasai
Irian Barat bahkan secara sepihak memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah Kerajaan
Belanda.

Konfrontasi Politik dan Ekonomi


Konfrontasi ekonomi dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap aset-aset dan
kepentingan-kepentingan ekonomi Belanda di Indonesia. Konfrontasi ekonomi tersebut
sebagai berikut.

ü Tahun 1956 secara sepihak Indonesia membatalkan hasil KMB, diumumkan pembatalan
utang-utang RI kepada Belanda.
ü Selama tahun 1957 dilakukan :
- Pemogokan buruh di perusahaan-perusahaan Belanda
- Melarang terbitan-terbitan dan film berbahasa Belanda
- Memboikot kepentingan-kepentingan Belanda di Indonesia
ü Selama tahun 1958-1959 dilakukan :
- Nasionalisasi terhadap ± 700 perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia
- Mengalihkan pusat pemasaran komoditi RI dan Rotterdam (Belanda) ke Bremen,
Jerman.
Konfrontasi Militer
Dampak dari tindakan konfrontasi politik dan ekonomi tersebut maka tahun 1961
dalam Sidang Majelis Umum PBB terjadi perdebatan mengenai masalah Irian
Barat. Diputuskan bahwa Diplomat Amerika Serikat Ellsworth Bunker bersedia menjadi
penengah dalam perselisihan antara Indonesia dan Belanda.
Bunker mengajukan usul yang dikenal dengan Rencana Bunker, yaitu :
ü Pemerintah Irian Barat harus diserahkan kepada Republik Indonesia.
ü Setelah sekian tahun, rakyat Irian Barat harus diberi kesempatan untuk menentukan
pendapat apakah tetap dalam negara Republik Indonesia atau memisahkan diri.
ü Pelaksanaan penyelesaian masalah Irian Barat akan selesai dalam jangka waktu dua
tahun.
ü Guna menghindari bentrokan fisik antara pihak yang bersengketa, diadakan pemerintah
peralihan di bawah pengawasan PBB selama satu tahun.
Indonesia menyetujui usul itu dengan catatan jangka waktu diperpendek. Pihak Belanda
tidak mengindahkan usul tersebut bahkan mengajukan usul untuk menyerahkan Irian Barat
di bawah pengawasan PBB. Selanjutnya PBB membentuk negara Papua dalam jangka waktu
16 tahun.
Jadi Belanda tetap tidak ingin Irian Barat menjadi bagian dari Indonesia. Keinginan Belanda
tersebut tampak jelas ketika tanpa persetujuan PBB, Belanda mendirikan negara Papua,
lengkap dengan bendera dan lagu kebangsaan. Tindakan Belanda tersebut tidak
melemahkan semangat bangsa Indonesia. Indonesia menganggap bahwa sudah saatnya
menempuh jalan kekuatan fisik (militer).

Perjuangan jalur militer ditempuh dengan tujuan untuk :


ü Menunjukkan kesungguhan Indonesia dalam memperjuangankan apa pun yang memang
menjadi haknya.
ü Menunjukkan kesungguhan dan memperkuat posisi Indonesia.
ü Menunjukkan sikap tidak kenal menyerah dalam merebut Irian Barat.

Anda mungkin juga menyukai