di susun oleh :
Aldira Fitri Alfiani
X-TKJ 1
03
FDR ini didukung oleh Partai Sosialis Indonesia, Pemuda Sosialis Indonesia, PKI, dan Sentral
Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Pada tanggal 11 Agustus 1948, Muso tiba dari Moskow.
Semenjak kedatangan Muso bersatulah kekuatan PKI dan FDR dibawah pimpinan Muso dan Amir
Syarifuddin.
Dalam menghadapi pemberontakan DI/TII di Aceh ini semula pemerintah menggunakan kekuatan
senjata. Selanjutnya atas prakarsa Kolonel M. Yasin, Panglima Daerah Militer Iskandar Muda, pada
tanggal 17-21 Desember 1962 diselenggarakan “Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh” yang mendapat
dukungan tokoh-tokoh masyarakat Aceh sehingga pemberontakan DI/TIl di Aceh dapat dipadamkan.
4. Pemberontakan DI/TIl di Sulawesi Selatan
Di Sulawesi Selatan juga timbul pemberontakan DI/TIl yang dipimpin oleh Kahar Muzakar. Pada
tanggal 30 April 1950 Kahar Muzakar menuntut kepada pemerintah agar pasukannya yang tergabung
dalam Komando Gerilya Sulawesi Selatan dimasukkan ke dalam Angkatan Perang RIS (APRIS). Tuntutan
ini ditolak karena harus melalui penyaringan. Untuk menghadapi pemberontakan DI/TIT di Sulawesi
Selatan ini pemerintah melakukan operasi militer.
5. Pemberontakan DI ITII di Kalimantan Selatan
Pada bulan Oktober 1950 DI/TII juga melakukan pemberontakan di Kalimantan Selatan yang dipimpin
oleh Ibnu Hajar. Dalam menghadapi gerombolan DI/TII tersebut pemerintah pada mulanya melakukan
pendekatan kepada Ibnu Hajar dengan diberi kesempatan untuk menyerah, dan akan diterima menjadi
anggota TNI. Ibnu Hajar pun menyerah, akan tetapi setelah menyerah melarikan diri dan melakukan
pemberontakan lagi. Selanjutnya pemerintah mengerahkan pasukan TNI sehingga pada akhir tahun
1959 Ibnu Hajar beserta seluruh anggota gerombolannya tertangkap dan dimusnahkan.
C. Peristiwa G30S/PKI
Doktrin Nasakom yang dikembangkan oleh Presiden Soekarno memberi keleluasaan PKI untuk
memperluas pengaruh. Usaha PKI untuk mencari pengaruh didukung oleh kondisi ekonomi bangsa yang
semakin memprihatinkan. Dengan adanya nasakomisasi tersebut, PKI menjadi salah satu kekuatan yang
penting pada masa Demokrasi Terpimpin bersama Presiden Soekarno dan Angkatan Darat. Pada akhir
tahun 1963, PKI melancarkan sebuah gerakan yang disebut “aksi sepihak”. Para petani dan buruh,
dibantu para kader PKI, mengambil alih tanah penduduk, melakukan aksi demonstrasi dan pemogokan.
Untuk melancarkan kudeta, maka PKI membentuk Biro Khusus yang diketuai oleh Syam Kamaruzaman.
Biro Khusus tersebut mempunyai tugas-tugas berikut:
a. Menyebarluaskan pengaruh dan ideologi PKI ke dalam tubuh ABRI.
b. Mengusahakan agar setiap anggota ABRI yang telah bersedia menjadi anggota PKI dan telah
disumpah dapat membina anggota ABRI lainnya.
c. Mendata dan mencatat para anggota ABRI yang telah dibina atau menjadi pengikut PKI agar
sewaktu-waktu dapat dimanfaatkan untuk kepentingannya.
D.N. Aidit sebagai pemimpin PKI beserta Biro Khususnya, mulai meletakkan siasat-siasat untuk
melawan komando puncak AD. Berikut ini siasat-siasat yang ditempuh oleh Biro Khusus PKI:
a. Memojokkan dan mencemarkan komando AD dengan tuduhan terlibat dalam persekongkolan
(konspirasi) menentang RI, karena bekerja sama dengan Inggris dan Amerika Serikat.
b. Menuduh komando puncak AD telah membentuk “Dewan Jenderal” yang tujuannya menggulingkan
Presiden Soekarno.
c. Mengorganisir perwira militer yang tidak mendukung adanya “Dewan Jenderal”.
d. Mengisolir komando AD dari angkatan-angkatan lain.
e. Mengusulkan kepada pemerintah agar membentuk Angkatan Kelima yang terdiri dari para buruh
dan petani yang dipersenjatai.
A. Pemberontakan APRA.
Kepercayaan rakyat Indonesia akan datangnya Ratu Adil dimanfaatkan Westerling untuk meraih
massa guna mewujudkan keinginannya. Kepercayaan tersebut memperlihatkan bahwa sebagian rakyat
Indonesia yang telah lama menderita karena penjajahan, baik oleh Belanda atau Jepang, mendambakan
datangnya suatu masa kemakmuran seperti yang terdapat dalam ramalan Jayabaya.
Peran Westerling dalam Pembentukan APRA.
Raymond Pierre Paul Westerling lahir di Istanbul, 31 Agustus 1919 dan meninggal di Belanda, 26
November 1987 pada usia 68 tahun. Dia komandan pasukan Belanda yang terkenal karena memimpin
Pembantaian Westerling pada tahun 1946 sampai 1947 di Sulawesi Selatan dan percobaan kudeta APRA
di Bandung, Jawa Barat. Dia masuk dinas militer pada 26 Agustus 1941 di Kanada. Pada 27 Desember
1941 dia tiba di Inggris dan bertugas di Brigade Prinses Irene di Wolverhampton, dekat Birmingham.
Westerling termasuk 48 orang Belanda sebagai angkatan pertama yang memperoleh latihan khusus
di Commando Basic Training Centre di Achnacarry, di Pantai Skotlandia yang tandus, dingin dan tak
berpenghuni. Setelah bertugas di Eastbourne sejak 31 Mei 1943, maka bersama 55 orang sukarelawan
Belanda lainnya pada 15 Desember 1943, Sersan Westerling berangkat ke India untuk betugas di bawah
Laksamana Madya Mountbatten Panglima Komando Asia Tenggara. Mereka tiba di India pada 15 Januari
1944 dan ditempatkan di Kedgaon, 60 km di utara kota Poona.
Pada 20 Juli 1946, Westerling diangkat menjadi komandan Depot Speciale Troepen (DST) atau Depot
Pasukan Khusus. Namun dia berhasil meningkatkan mutu pasukan menjelang penugasan ke Sulawesi
Selatan dan setelah berhasil menumpas perlawanan rakyat pendukung Republik di Sulawesi Selatan, dia
dianggap sebagai pahlawan namanya membumbung tinggi.
Latar Belakang Terjadinya Pemberontakan APRA
APRA merupakan pemberontakan yang paling awal terjadi setelah Indonesia diakui kedaulatannya
oleh Belanda. Hasil Konferensi Meja Bundar yang menghasilkan suatu bentuk negara Federal untuk
Indonesia dengan nama RIS (Republik Indonesia Serikat) Tapi juga tidak sedikit yang tetap menginginkan
Indonesia dengan bentuk negara federal, hal ini menimbulkan banyak pemberontakan-pemberontakan
atau kekacauan-kekacauan yang terjadi pada saat itu. Pemberontakan- pemberontakan ini dilakukan
oleh golongan- golongan tertentu yang mendapatkan dukungan dari Belanda karena merasa takut jika
Belanda meninggalkan Indonesia maka hak-haknya atas Indonesia akan hilang.
Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) dibawah pimpinan Kapten Raymond Westerling merupakan
gerakan yang didalangi oleh golongan kolonialis Belanda. Salah satu landasan bagi gerakan APRA ini
adalah kepercayaan rakyat Indonesia akan datangnya Ratu Adil. Tidak hanya rakyat-rakyat biasa yang
dihimpun Westerling untuk menjadi tentaranya tetapi mantan tentara KNIL yang pro terhadap Belanda
juga ikut menjadi bagian dari tentara APRA. Ada satu hal yang menarik bahwa kendaraan-kendaraan
yang digunakan oleh KNIL maupun KL dalam melancarkan aksinya diberi tanda segitiga orange sebagai
lambang negara Belanda
Sebenarnya organisasi ini sudah dibentuk sebelum Konferensi Meja Bundar itu disahkan. Pada bulan
November 1949, dinas rahasia militer Belanda menerima laporan, bahwa Westerling telah mendirikan
organisasi rahasia yang mempunyai pengikut sekitar 500.000 orangDia juga mendapat bantuan dari
temannya orang Tionghoa, Chia Piet Kay, yang dikenalnya sejak berada di kota Medan.
Tujuan Westerling membentuk APRA ini adalah mengganggu prosesi pengakuan kedaulatan dari
Kerajaan Belanda kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 27 Desember 1949. Upaya
itu dihalangi oleh Letnan Jenderal Buurman van Vreeden, Panglima Tertinggi Tentara Belanda. Tujuan
lainnya adalah untuk mempertahankan bentuk negara federal di Indonesia dan adanya tentara
tersendiri pada negara-negara bagian RIS .
Jalannya Pemberontakan APRA
Pemberontakan yang dilakukan oleh Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang dipimpin oleh mantan
Kapten KNIL Raymond Westerling bukanlah pemberontakan yang dilancarkan secara spontan.
Pemberontakan ini telah direncanakan sejak beberapa bulan sebelumnya oleh Westerling dan bahkan
telah diketahui oleh pimpinan tertinggi militer Belanda.
Pada 25 Desember 1949 malam, sekitar pukul 20.00 Westerling menghubungi Letnan Jenderal
Buurman van Vreeden, Panglima Tertinggi Tentara Belanda untuk menanyakan bagaimana pendapat van
Vreeden mengenai rencananya untuk melakukan kudeta terhadap Soekarno setelah penyerahan
kedaulatan dari Belanda terhadap Indonesia. Jenderal van Vreeden, sebagai yang harus bertanggung-
jawab atas kelancaran penyerahan kedaulatan pada 27 Desember 1949 tersebut memperingatkan
Westerling agar tidak melakukan tindakan seperti apa yang diungkapkan padanya.
Pada hari Kamis tanggal 5 Januari 1950, Westerling mengirim surat kepada pemerintah RIS yang
isinya adalah sebuah ultimatum. Pemerintah RIS harus memberikan jawaban positif terkait ultimatum
tersebut dalm waktu 7 hari dan apabila ditolak, maka akan timbul perang besar. Ultimatum Westerling
ini tentu menimbulkan kegelisahan tidak saja di kalangan RIS, namun juga di pihak Belanda dan dr. H.M.
Hirschfeld, Nederlandse Hoge Commissaris (Komisaris Tinggi Belanda) yang baru tiba di
IndonesiaMenteri Dalam Negeri Belanda, Stikker menginstruksikan kepada Hirschfeld untuk menindak
semua pejabat sipil dan militer Belanda yang bekerjasama dengan Westerling.
Pada 10 Januari 1950 Hatta menyampaikan kepada Hirschfeld, bahwa pihak Indonesia telah
mengeluarkan perintah penangkapan terhadap Westerling. Westerling menerangkan tujuannya, dan
meminta Hamid menjadi pemimpin gerakan mereka. Hamid ingin mengetahui secara rinci mengenai
organisasi Westerling tersebut, namun dia tidak memperoleh jawaban yang memuaskan dari
Westerling. Pertemuan hari itu tidak membuahkan hasil apapun.
Pertengahan Januari 1950, Menteri UNI dan Urusan Provinsi Seberang Lautan, Mr.J.H. van
Maarseven berkunjung ke Indonesia untuk mempersiapkan pertemuan Uni Indonesia-Belanda yang
akan diselenggarakan pada bulan Maret 1950. Pada 21 Januari Hirschfeld menyampaikan kepada Götzen
bahwa Jenderal Buurman van Vreeden dan Menteri Pertahanan Belanda Schokking telah menggodok
rencana untuk evakuasi pasukan RST.
pada 23 Januari 1950 Westerling melancarkan "kudetanya”. ." Subuh pukul 4.30 hari itu, Letnan
Kolonel KNIL T. Cassa menelepon Jenderal Engles dan melaporkanEngles juga melaporkan kejadian ini
kepada Jenderal Buurman van Vreeden di Jakarta.
Mulanya penduduk kota Bandung tidak terlalu curiga karena adalah hal yang biasa tentara hilir
mudik keluar masuk kota Bandung pada masa itu, walau Perang kemerdekaan dianggap sudah
berakhir. Tentara APRA pada saat itu menggunakan truk, jeep, motorfiets, serta ada yang berjalan kaki
dengan seragam dan bersenjata lengkap dan jumlahnya ditaksir antara 500-800 personel
Tentara APRA juga mengadakan aksi di depan Hotel Preanger. Mereka menyerang sebuah truk berisi
tiga orang TNI. Perlawanan yang cukup hebat terjadi di Kantor Kwartir Divisi Siliwangi Oude
Hospitaalweg. Satu regu stafdekking TNI terdiri dari 15 orang dipimpin Letkol (Overste ) Sutoko
dikepung tentara APRA yang jumlahnya lebih banyak. Benar-benar pertempuran sampai peluru
terakhir.
Pertempuran juga terjadi di kantor stafkwartier Divisi Siliwangi Jalan Lembang. Satu rgu stafdekking
TNI terdiri dari 15 orang dipimpin Overste Sutoko dengan tiba2 dikerubungi oleh ratusan APRA.
Pertempuran berlangsung kurang lebih setengah jam
Perwira TNI lainnya yang gugur ialah Letkol Lembong dan ajudannya Leo Kailola. Mereka dihujani
peluru ketika hendak masuk Markas Divisi Siliwangi yang ternyata sudah diduki oleh gerombolan APRA.
Sementara Westerling memimpin penyerangan di Bandung, sejumlah anggota pasukan RST dipimpin
oleh Sersan Meijer menuju Jakarta dengan maksud menangkap Presiden Sukarno dan menduduki
gedung-gedung pemerintahan. Namun dukungan dari pasukan KNIL lain dan TII (Tentara Islam
Indonesia) yang diharapkan Westerling tidak muncul, sehingga "serangan" ke Jakarta gagal total.
Demikian juga secara keseluruhan, pelaksanaan "kudeta" tidak seperti yang diharapkan oleh Westerling
dan anak buahnya
Setelah puas melakukan pembantaian di Bandung, seluruh pasukan RST dan satuan-satuan yang
mendukungnya kembali ke tangsi masing-masing. Setelah itu terdengar berita bahwa Westerling
merencanakan untuk mengulang tindakannya. Pada 25 Januari Hatta menyampaikan kepada Hirschfeld,
bahwa Westerling, didukung oleh RST dan Darul Islam, akan menyerbu Jakarta. Engles juga menerima
laporan, bahwa Westerling melakukan konsolidasi para pengikutnya di Garut, salah satu basis Darul
Islam waktu itu.
Aksi militer yang dilancarkan oleh Westerling bersama APRA yang antara lain terdiri dari pasukan elit
tentara Belanda, tentu menjadi berita utama media massa di seluruh dunia. Duta Besar Belanda di AS,
van Kleffens melaporkan bahwa di mata orang Amerika, Belanda secara licik sekali lagi telah mengelabui
Indonesia, dan serangan di Bandung dilakukan oleh "de zwarte hand van Nederland" (tangan hitam dari
Belanda).
Penumpasan APRA
Ketika terjadi pemberontakan APRA tidak dilakukan perlawanan yang berarti, hal ini disebabkan
karena beberapa faktor. Pertama, karena serangan dilakukan dengan sangat tiba-tia, pembalasan
tembakan pun tidak dilakukan karena orang-orang APRA bercampur dengan orang KNIL dan KL. Secara
umum boleh pasukan Divisi Siliwangi TNI tidak siap karena baru saja memasuki Kota Bandung setelah
perjanjian KMB
Di kota Bandung juga diadakan pembersihan dan penahanan terhadap mereka yang terlibat,
termasuk beberapa orang tokoh Negara Pasundan. Gerakan tersebut dapat digagalkan dan kemudian
diketahui bahwa otaknya adalah Sultan Hamid II, yang juga menjadi anggota Kabinet RIS sebagai
Menteri tanpa portofolio. Sultan Hamid II dapat segera ditangkap, sedangkan Westerling sempat
melarikan diri ke luar negeri pada 22 Februari 1950 dengan menumpang pesawat Catalina milik
Angkatan Laut Belanda. Dengan kaburnya Wasterling, maka gerakannya pun jadi bubar
Dampak Pemberontakan APRA
Bila dilihat dari latar belakang pemberontakan yang dilakukan oleh APRA (Angkatan Perang Ratu
Adil) yang diketuai oleh Raymond Pierre Westerling ini bertujuan untuk mendapat pengakuan dari
pemerintah RIS yang ingin diakui sebagai tentara Pasundan.
Perisitiwa merupakan suatu konspirasi diantara Raymond Pierre Westerling dan Sultan Hamid II dari
Pontianak. Ketika pemberontakan yang di Bandung itu berakhir, Jakarta menjadi target berikutnya.
Dalam misi kali ini APRA ingin menyerang Jakarta serta ingin membunuh menteri-menteri RIS seperti Sri
Sultan Hamengkubuwono IX, Mr. Ali Budiarjo dan Kolonel TB Simatupang pada tanggal 26 Januari 1950.
konspirasi diantara Westerling dan Sultan Hamid II ini terbongkar dan ketika akan ditangkap,
Westerling kabur ke Singapura dan Sultan Hamid II berhasil ditangkap. Maka berakhir pemberontakan
APRA ini.
B. PEMBERONTAKAN ANDI AZIS
Salah asatu gangguan keamanan yang terjadi pada masa RIS adalah pemberontakan yang dilakukan
oleh Kapten Andi Azis di Makassar, Sulawesi Selatan yang bertujuan menolak masuknya pasukan-
pasukan APRIS dari kesatuan TNI ke Sulawesi Selatan.
Untuk mengatasi pemberontakan Andi Azis, pemerintah mengeluarkan ultimatum pada tanggal 8
April 1950 yang meminta agar dalam waktu 4 X 24 jam Andi Aziz harus datang ke Jakarta guna
mempertanggungjawabkan perbuatannya. Selain itu Andi Azis diperintahkan untuk menarik mundur
pasukannya, menyerahkan senjata dan melepaskan semua tawanannya.Akan tetapi karena sampai
batas waktu yang ditentukan Andi Azis tidak memenuhi ultimatum tersebut maka pemerintah segera
mengirim ekspedisi militer untuk menumpas grkan Andi Azis. . Untuk membersihkan sisa-sisa gerakan
Andi Azis, pemerintah mengadakan Operasi Militer dibawah pimpinan Mayor H.V. Worang dan Kolonel
A.E. Kawilarang.
C. PEMBERONTAKAN REPUBLIK MALUKU SELATAN (RMS)
pemberontakan RMS dilakukan dengan tujuan memisahkan diri dari Republik Indonesia dan
menggantinya dengan negara sendiri. Upaya penyelesaian secara damai awalnya dilakukan oleh
pemerintah Indonesia, yang mengutus dr. Leimena untuk berunding. Namun upaya ini mengalami
kegagalan. Pemerintahpun langsung mengambil tindakan tegas, dengan melakukan operasi militer di
bawah pimpinan Kolonel Kawilarang. Kelebihan pasukan KNIL RMS adalah mereka memiliki kualifikasi
sebagai pasukan komando
Meski kota Ambon sebagai ibukota RMS berhasil direbut dan pemberontakan ini akhirnya ditumpas,
namun TNI kehilangan komandan Letnan Kolonel Slamet Riyadi dan Letnan Kolonel Soediarto yang
gugur tertembak. Soumokil sendiri awalnya berhasil melarikan diri ke pulau Seram, namun ia akhirnya
ditangkap tahun 1963 dan dijatuhi hukuman mati.
D. PEMBERONTAKAN PEMERINTAHAN REVOLUSIONER REPUBLIK INDONESIA (PRRI)
Munculnya pemberontakan PRRI diawali dari ketidakharmonisan hubungan pemerintah daerah dan
pusat. Daerah kecewa terhadap pemerintah pusat yang dianggap tidak adil dalam alokasi dana
pembangunan. Kekecewaan tersebut diwujudkan dengan pembentukan dewan-dewan daerah seperti
berikut.
a. Dewan Banteng di Sumatra Barat yang dipimpin oleh Letkol Ahmad Husein.
b. Dewan Gajah di Sumatra Utara yang dipimpin oleh Kolonel Maludin Simbolan.
c. Dewan Garuda di Sumatra Selatan yang dipimpin oleh Letkol Barlian.
d. Dewan Manguni di Sulawesi Utara yang dipimpin oleh Kolonel Ventje Sumual.
Tanggal 10 Februari 1958 Ahmad Husein menuntut agar Kabinet Djuanda mengundurkan diri dalam
waktu 5 x 24 jam, dan menyerahkan mandatnya kepada presiden. Tuntutan tersebut jelas ditolak
pemerintah pusat.
Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Sebagai perdana menterinya adalah Mr.
Syafruddin Prawiranegara.Proklamasi PRRI ternyata mendapat dukungan dari Indonesia bagian Timur.
Tanggal 17 Februari 1958 Somba memutuskan hubungan dengan pemerintah pusat dan mendukung
PRRI. Gerakannya dikenal dengan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta). Gerakan ini jelas melawan
pemerintah pusat dan menentang tentara sehingga harus ditumpas. Untuk menumpas gerakan
Permesta, pemerintah melancarkan operasi militer beberapa kali. Berikut ini operasi-operasi militer
tersebut.
a. Komando operasi Merdeka yang dipimpin oleh Letkol Rukminto Hendraningrat.
b. Operasi Saptamarga I dipimpin Letkol Sumarsono, menumpas Permesta di Sulawesi Utara
bagian Tengah.
c. Operasi Saptamarga II dipimpin Letkol Agus Prasmono dengan sasaran Sulawesi Utara bagian
Selatan.
d. Operasi Saptamarga III dipimpin Letkol Magenda dengan sasaran kepulauan sebelah Utara
Manado.
e. operasi Saptamarga IV dipimpin Letkol Rukminto Hendraningrat, menumpas Permesta di
Sulawesi Utara.
f. Operasi Mena I dipimpin Letkol Pieters dengan sasaran Jailolo.
g. Operasi Mena II dipimpin Letkol Hunholz untuk merebut lapangan udara Morotai.
Ternyata Gerakan Permesta mendapat dukungan asing, terbukti dengan ditembak jatuhnya pesawat
yang dikemudikan oleh Alan Pope warga negara Amerika Serikat tanggal 18 Mei 1958 di atas Ambon.
Meskipun demikian, pemberontakan Permesta dapat dilumpuhkan sekitar bulan Agustus 1958,
walaupun sisa-sisanya masih ada sampai tahun 1961.