Anda di halaman 1dari 6

Nindya Waskitaningtyas Prasetyo (29)

12 MIPA 1

KD 3.1
Menganalisis upaya bangsa Indonesia dalam menghadapi ancaman disintegrasi bangsa.
1. PKI Madiun
Pemberontakan PKI 1948 atau yang juga disebut Peristiwa Madiun adalah sebuah
konflik antara pemerintah Republik Indonesia dan kelompok oposisi sayap kiri
yaitu Front Demokrasi Rakyat selama Revolusi Nasional Indonesia. Konflik ini dimulai
pada tanggal 18 September 1948 di Madiun, Jawa Timur, dan berakhir tiga bulan
kemudian ketika sebagian besar pemimpin dan anggota FDR ditahan dan dieksekusi oleh
pasukan TNI.[1]
Pada tanggal 18 September 1948, PKI melakukan pemberontakan terhadap
pemerintahan Indonesia yang dipimpin oleh Muso-Amir. PKI/FDR pimpinan Musso
menguasai Madiun dan mendeklarasikan "Republik Soviet Indonesia". Di Pati, Jawa
Tengah, diproklamirkan pula hal serupa.

Hal ini membuat pemerintah RI bertindak tegas dengan cara meminta rakyat memilih
Soekarno-Hatta atau Muso-Amir, setelah itu mengirimkan operasi penumpasan dibantu
para santri dimulai pada 20 September 1948 di bawah komando Kolonel A. H. Nasution.
Akhirnya pemberontakan dapat diakhiri, yang mana pada tanggal 31 Oktober 1948,
Musso ditembak mati saat lari tidak jauh dari Ponorogo. Selain itu, mantan perdana
menteri Amir Sjarifuddin dan tokoh-tokoh kiri lainnya juga ditangkap dan dijatuhi
hukuman mati.

Dengan demikian, upaya bangsa Indonesia dalam menghadapi ancaman disintegrasi


bangsa antara lain dalam menghadapi PKI Madiun 1948 adalah
1. Ir. Soekarno menunjukan pengaruhnya, dengan meminta rakyat memilih Soekarno-
Hatta atau Muso-Amir.
2. Menjalankan operasi penumpasan dibantu para santri.

Deklarasi :

Pukul sepuluh malam tanggal 19 September 1948, Presiden Soekarno menyatakan


bahwa pemberontakan Madiun adalah upaya untuk menggulingkan Pemerintah
Republik Indonesia dan Musso telah membentuk "Republik Soviet Indonesia".

2. DI/TII
Gerakan Darul Islam (DI) merupakan gerakan politik yang bertujuan mendirikan Negara
Islam Indonesia. Gerakan ini mempunyai pasukan yang disebut Tentara Islam Indonesia
(TII). Sehingga biasa disebut dengan DI/TII.
Dalam perkembangannya, DI menyebar hingga di beberapa wilayah, terutama Jawa
Barat (berikut dengan daerah yang berbatasan di Jawa Tengah), Sulawesi
Selatan, Aceh dan Kalimantan selatan .
Pemberontakan ini pertama kali meletus di Jawa Barat pada tanggal 7 Agustus 1949 di
bawah kepemimpinan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Pemberontakan DI/TII
selanjutnya menyebar ke berbagai daerah di Indonesia, seperti Jawa Tengah, Sulawesi
Selatan, Kalimantan Selatan, dan Aceh.

Upaya yang ditempuh bangsa Indonesia dalam menghadapi ancaman disintegrasi


bangsa antara lain dalam menghadapi DI/TII adalah dengan menempuh kesepakatan
damai dan operasi militer.

• Kesepakatan damai ditempuh untuk menumpas pemberontakan DI/TII di Aceh. Selain


DI/TII Aceh, dijalankan pula kesepakatan damai pada pemberontakan DI/TII di Jawa
Barat dan di Kalimantan Selatan, namun gagal.
• Operasi militer dijalankan karena kesepakatan damai yang berujung pada kegagalan.
Beberapa operasi militer tersebut diantaranya ialah Operasi Bharatayudha dengan taktik
Pagar Betis untuk menumpas pemberontakan DI/TII di Jawa Barat, Operasi Gerakan
Benteng Negara di bawah pimpinan Letkol Sarbini untuk menumpas pemberontakan
DI/TII di Jawa Tengah, pengiriman Divisi Siliwangi untuk pemberontakan DI/TII di
Sulawesi Selatan, dan Gerakan Operasi Militer (GOM) yang dikirim untuk menumpas
pemberontakan DI/TII di Kalimantan Selatan.

Rician pertempuran :
Untuk melindungi kereta api, Kavaleri Kodam VI Siliwangi (sekarang Kodam III)
mengawal kereta api dengan panzer tak bermesin yang didorong oleh lokomotif uap D-
52 buatan Krupp Jerman Barat. Panzer tersebut berisi anggota TNI yang siap dengan
senjata mereka. Bila ada pertempuran antara TNI dan DI/TII di depan, maka kereta api
harus berhenti di halte terdekat.

Pemberontakan bersenjata yang selama 13 tahun itu telah menghalangi pertumbuhan


ekonomi masyarakat. Ribuan ibu-ibu menjadi janda dan ribuan anak-anak menjadi
yatim-piatu. Diperkirakan 13.000 rakyat Sunda, anggota organisasi keamanan desa
(OKD) serta tentara gugur. Anggota DI/TII yang tewas tak diketahui dengan tepat.

3. APRA
Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) adalah milisi dan tentara swasta pro-Belanda yang
didirikan pada masa Revolusi Nasional Indonesia. pada tanggal 09 Januari 1949, APRA
(Angkatan Perang Ratu Adil) didirikan oleh bekas perwira KNIL (Tentara Hindia Belanda),
Raymond Westerling. Nama milisi ini diambil dari ramalan Jayabaya tentang pemimpin
yang akan datang membawa keadilan dan kesejahteraan di Jawa. Anggota milisi ini
kebanyakan direkrut dari bekas prajurit KNIL, terutama dari prajurit Regiment Speciale
Troepen (Regimen Pasukan Khusus). Jumlah tentara APRA pada tahun 1950 berjumlah
sekitar 2000 orang.

APRA tidak menyetujui rencana pembubaran Republik Indonesia Serikat (RIS) hasil
konferensi Meja Bundar di Den Haag tahun 1949. Dengan bekerjasama dengan Sultan
Pontianak, Sultan Hamid II yang beraliran federalis, APRA dan Westerling mencoba
melakukan kudeta pada Januari 1950. Kudeta ini merupakan upaya mempertahankan
negara federal RIS saat sebagian besar negara bagian RIS ingin membubarkan diri dan
bergabung kembali dengan Republik Indonesia.

Pada tanggal 23 Januari 1950, APRA meluncurkan kudeta menentang


pemerintah Republik Indonesia. Walaupun milisi ini berhasil untuk sementara
menduduki Bandung, mereka gagal untuk menduduki Jakarta dan Blora. Mereka telah
merencanakan untuk menggulingkan Kabinet RIS dan membunuh beberapa tokoh
Republik terkemuka termasuk Menteri Pertahanan Sultan Hamengkubuwana IX dan
Sekretaris-Jenderal Ali Budiardjo. Kegagalan kudeta ini menyebabkan adanya
demoralisasi anggota milisi terhadap Westerling dan terpaksa melarikan diri ke Belanda.
Tanpa pemimpin yang kuat, APRA akhirnya berhenti berfungsi pada Februari 1950.
Tindakan APRA tersebut pada akhirnya menyebabkan penahanan Sultan Hamid II dan
justru mempercepat pembubaran Republik Indonesia Serikat pada tanggal 17
Agustus 1950, mengubah Indonesia menjadi negara kesatuan yang didominasi oleh
pemerintahan pusat di Jakarta.

4. Andi Azis
Peristiwa Andi Azis adalah upaya pemberontakan yang dilakukan oleh Andi Azis, seorang
mantan perwira KNIL, yang berusaha untuk mempertahankan keberadaan Negara
Indonesia Timur dan enggan kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Banyak gangguan dalam negeri yang terjadi pasca kemerdekaan Indonesia 17 Agustus
1945. Karena kondisi politik yang belum stabil dan banyak golongan yang ingin
mendirikan negara sendiri ini yang menyebabkan banyak pemberontakan. Salah satunya
adalah Pemberontakan Andi Azis. Kapten Andi Azis, yang merupakan bekas ajudan
Presiden NIT di Makassar. Pasukan Andi Azis menamakan diri mereka adalah “pasukan
bebas”. Latar belakang pemberontakan Andi Azis adalah untuk mempertahankan
keberadaan Negara Indonesia Timur (NIT) dan enggan bergabung dengan NKRI. Latar
belakang kedua adalah pada saat itu para anggota Koninklijk Nederlandsch Indische
Leger (KNIL) menolak untuk bergabung dengan APRIS di bawah komando TNI. Anggota
KNIL menginginkan jika mereka gabung bersama APRIS, maka APRIS di bawah komando
KNIL. Ketika hal tersebut dikabulkan, maka para anggota KNIL akan secara sukarela
bergabung dengan APRIS. Ketika syarat ini dimunculkan dalam pembicaraan 27 Maret
1950, muncul masalah baru. Mereka merasa malu jika pasukan APRIS dari unsur TNI dari
Jawa dikirimkan ke Makassar. Para mantan KNIL ini merasa mampu untuk menjaga
ketertiban.
Upaya pemerintah untuk menanggulangi pemberontakan ini adalah dengan
mengultimatum Andi Azis agar melapor ke Jakarta dengan batas 4 x 24 jam. Namun,
karena Andi Azis terlambat melapor, maka pemerintah menyatakan bahwa Andi Azis
adalah pemberontak sehingga pemerintah mengirimkan pasukan ekspedisi di bawah
pimpinan Kolonel Kawilarang untuk menumpas Pemberontakan Andi-Azis.

5. RMS
Republik Maluku Selatan atau RMS adalah sebuah republik di Kepulauan Maluku yang
diproklamasikan tanggal 25 April 1950. Pulau-pulau terbesarnya adalah Seram, Ambon,
dan Buru.
RMS dipimpin oleh Christian Robert Steven Soumokil, yang pada saat itu sebagai bekas
Jaksa Agung Negara Indonesia Timur (NIT). Latar belakang terjadinya pemberontakan
RMS diawali dari bergabungnya Federasi Sumatra Selatan dan Kalimantan Timur
bergabung dengan NKRI pada akhir Maret 1950. Sedangkan Soumokil enggan untuk
bergabung dengan NKRI, dan ingin mempertahankan negara federasi NIT. Soumokil
dibantu oleh pasukan istimewa KNIL bentukan Raymond Westerling. Pada awalnya
upaya damai dilakukan oleh pemerintah dengan mengirimkan dr. Leimena, namun misi
damai ini ditolak oleh Soumokil. Akhirnya pemerintah mengirimkan pasukan APRIS di
bawah Kolonel Kawilarang untuk menumpas gerakan RMS.

RMS di Ambon dikalahkan oleh militer Indonesia pada November 1950, tetapi konflik di
Seram masih berlanjut sampai Desember 1963. Kekalahan di Ambon berujung pada
pengungsian pemerintah RMS ke Seram, kemudian mendirikan pemerintahan dalam
pengasingan di Belanda pada tahun 1966. Ketika pemimpin pemberontak Dr. Christian
Soumokil ditangkap militer Indonesia dan dieksekusi tahun 1966, presiden dalam
pengasingan dilantik di Belanda. Pemerintahan terasing ini masih berdiri dan dipimpin
oleh John Wattilete, pengacara berusia 55 tahun, yang dilantik pada April 2010.

6. PRRI/Permesta
Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (biasa disingkat dengan PRRI)
merupakan gerakan oposisi pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat yang
melahirkan pemerintah tandingan pada 15 Februari 1958. Gerakan ini didahului oleh
keluarnya ultimatum Piagam Perjuangan untuk Menyelamatkan Negara dari Dewan
Perjuangan yang dipimpin oleh Ahmad Husein di Padang, Sumatra Barat, Indonesia.
Latar belakang pemberontakan PRRI/Permesta adalah rasa ketidakpuasan dari angkatan
militer di daerah terhadap pusat, berawal dari tuntutan tokoh militer dan sipil Sumatra
Tengah mengenai otonomi daerah dan desentralisasi. Ahmad Husein mendeklarasikan
PRRI pada 15 Februari 1958 setelah merasa pemerintah tidak proaktif menanggapi
tuntutan tersebut, terutama muncul dari Sumatera dan Sulawesi. Situasi kian pelik
karena beberapa tokoh militer di daerah-daerah tersebut mulai menunjukkan
ketidakpatuhan kepada pimpinan pusat. Bahkan, urusan ini semakin serius ketika
tuntutan-tuntutan otonomi daerah mulai diajukan. Beberapa dewan daerah perjuangan
yang dibentuk PRRI/Permesta pada 1956-1957 meliputi:
1. Dewan Banteng, dipimpin oleh Letkol Ahmad Husein dengan wilayah Sumatera Barat.
2. Dewan Gajah, berpusat Sumatera Utara dengan pemimpinnya Kolonel Maludin
Simbolon.
3. Dewan Garuda, berlokasi di Sumatera Selatan dan dipimpin oleh Letkol Barilan.
4. Dewan Manguni, satu-satunya dewan yang berlokasi di Sulawesi. Berada di Manado,
Sulawesi Utara, dengan Kolonel Ventje Sumual sebagai pemimpinnya.

Untuk menumpas pemberontakan PRRI, pemerintah melancarkan operasi militer


gabungan yang diberi nama Operasi Militer Merdeka, dipimpin oleh Letnan Kolonel
Rukminto Hendraningrat. Lalu ditugaskanlah Letkol Kaharudin Nasution untuk
menumpas pemberontakan PRRI di Riau.
Kemudian pada bulan April 1958 menunjuk Kolonel Ahmad Yani pemimpin penumpasan
pemberontakan PRRI di daerah Sumatera Barat. Letkol Ibnu Sutowo diberikan tugas
untuk membebaskan wilayah Sumatera Selatan. Kemudian Brigjen Djatikusuma
ditugaskan untuk membebaskan daerah Sumatera Utara.
Sedangkan dalam menumpas pemberontakan Permesta, pemerintah mengupayakan
jalan damai. Pada 5 Januari 1960 mulai dilakukan perundingan antara pihak Permesta
dengan Pemerintah Indonesia. Hingga pada 17 Desember 1960, pihak Pemesta
menyetujui untuk menghentikan pemberontakan. Upaya damai tercapai, karena
Pemerintah Pusat menyetujui Provinsi Sulawesi dibagi menjadi dua, yaitu Sulawesi Utara
dan Sulawesi Tengah.

tindakan PRRI malah melahirkan sesuatu yang bertentangan dengan tujuan Piagam


Perjuangan untuk Menyelamatkan Negara yang hendak dicapai. Pasca-PRRI, demokrasi
parlementer runtuh dan berganti dengan sistem Demokrasi Terpimpin yang cenderung
otoriter. Tiga kekuatan yang menghantam PRRI, yakni Soekarno, Partai Komunis
Indonesia (PKI), dan tentara tampil ke permukaan menjadi kekuatan utama dalam
perpolitikan di Indonesia.

7. G30S PKI
Gerakan 30 September (G30S) adalah sebuah peristiwa berlatarbelakang kudeta yang
terjadi selama satu malam pada tanggal 30 September hingga 1 Oktober 1965 yang
mengakibatkan gugurnya enam jenderal serta satu orang perwira pertama militer
Indonesia dan jenazahnya dimasukkan ke dalam suatu lubang sumur lama di
area Lubang Buaya, Jakarta Timur.
Pada saat masa Demokrasi Terpimpin, ada tiga unsur yang mendominasi kekuatan
politik Indonesia, yaitu: unsur kekuatan Presiden RI, unsur kekuatan TNI AD, dan unsur
kekuatan PKI (Partai Komunis Indonesia). PKI melakukan sebuah pemberontakan pada
Pada 1 Oktober 1965 dini hari, tahun 1965 yang kemudian dikenal dengan G30S/PKI.
Peristiwa mencekam tersebut telah menewaskan tujuh perwira tinggi militer Tanah Air.
Pemberontakan ini bertujuan untuk menggantikan ideologi Pancasila dengan komunis.
Lalu disisi lain tersebar isu jika Dewan Jendral AD akan melakukan kudeta terhadap
pemerintahan Sukarno. Para petinggi PKI menganggap jika Dewan Jendral AD adalah
lawan utama mereka. Dalam pemberontakan ini ada korban dari pihak TNI AD,
diantaranya adalah Jenderal Ahmad Yani, Mayjen R. Suprapto, Mayjen MT Haryono,
Mayjen S. Parman, Brigjen D.I Panjaitan, Brigjen Sutoyo Siswomiharjo, dan Lettu Pierre
Andreas Tendean. yang disalahkan kepada para pengawal istana (Cakrabirawa) yang
dianggap loyal kepada PKI dan pada saat itu dipimpin oleh Letkol. Untung. Panglima
Komando Strategi Angkatan Darat saat itu
Upaya yang pemerintah dalam meredam gerakan G30S/PKI adalah dengan melakukan
operasi militer di bawah komando Jendral Suharto dan pengejaran terhadap para
pemimpin dan pendukung PKI.

Anda mungkin juga menyukai