Anda di halaman 1dari 12

Peristiwa PKI/Madiun,Pemberontakan DI/TII,Pemberontakan APRA,Pemberontakan Andi Azis,pemberontakan

RMS,Permesta,dan G-30-S/PKI

Setelah Indonesia mencapai kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, berarti Indonesia mempunyai sistem
pemerintahan sendiri. Akan tetapi, ada beberapa golongan yang tidak setuju dengan sistem pemerintahan tersebut.
Sehingga mereka melakukan pemberontakan, seperti Peristiwa Madiun/PKI, DI /TII, G 30 S /PKI dan konflik-konflik
internal lainnya.

1. Peristiwa PKI/Madiun
Pemberontakan ini terjadi pada tahun 1948 ini merupakan pengkhianatan terhadap bangsa Indonesia ketika sedang
berjuang melawan Belanda yang berupaya menanamkan kembali kekuasaannya di Indonesia. Pemimpin
pemberontakan ini di antaranya adalah Amir Syarifuddin dan Musso. Amir Syarifudin adalah mantan Perdana
Menteri dan menandatangani Perjanjian Renville. Ia merasa kecewa karena kabinetnya jatuh kemudian membentuk
Front Demokrasi Rakyat (FDR) pada tanggal 28 Juni 1948 dan melakukan pemberontakan di Madiun. Sedangkan
Musso adalah Tokoh PKI yang pernah gagal melakukan pemberontakan terhadap pemerintah Hindia Belanda pada
tahun 1926. Setelah gagal ia melarikan diri ke luar negeri. Selanjutnya ia pulang ke Indonesia bergabung dengan
Amir Syarifuddin untuk mengadakan propaganda-propaganda anti pemerintah di bawah pimpinan Sukarno-Hatta.
Front Demokrasi Rakyat (FDR) ini didukung oleh Partai Sosialis Indonesia, Pemuda Sosialis Indonesia, PKI, dan
Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Kelompok ini seringkali melakukan aksi-aksinya antara lain:
(1) melancarkan propaganda anti pemerintah,
(2) mengadakan pemogokan-pemogokan kerja bagi para buruh di perusahaan misalnya di pabrik karung di Delanggu
Klaten.
(3) melakukan pembunuhan-pembunuhan misalnya dalam bentrokan senjata di Solo tanggal 2 Juli 1948, Komandan
Divisi LIV yakni Kolonel Sutarto secara tiba-tiba terbunuh. Pada tanggal 13 September 1948 tokoh pejuang 1945, Dr.
Moewardi diculik dan dibunuh.
Aksi pengacauan di Solo yang dilakukan PKI ini selanjutnya meluas dan mencapai puncaknya pada tanggal 18
September 1948. PKI berhasil menguasai Madiun dan sekitarnya seperti Blora, Rembang, Pati, Kudus, Purwadadi,
Ponorogo, dan Trenggalek. PKI mengumumkan berdirinya “Soviet Republik Indonesia.” Setelah menguasai
Madiun para pemberontak melakukan penyiksaan dan pembunuhan besar-besaran. Pejabat-pejabat pemerintah,
para perwira TNI dan polisi, pemimpin-pemimpin partai, para ulama, dan tokoh-tokoh masyarakat banyak yang
menjadi korban keganasan PKI.

Pemberontakan PKI di Madiun ini bertujuan meruntuhkan pemerintah RI yang berdasarkan Proklamasi 17 Agustus
1945 yang akan diganti dengan pemerintahan yang berdasar paham komunis. Kekejaman PKI ketika melakukan
pemberontakan pada tanggal 18 September 1948 tersebut mengakibatkan kemarahan rakyat. Oleh karena itu
pemerintah bersama rakyat segera mengambil tindakan tegas terhadap kaum pemberontak. Dalam usaha mengatasi
keadaan, Pemerintah mengangkat Kolonel Gatot Subroto sebagai Gubernur Militer Daerah Istimewa Surakarta dan
sekitarnya, yang meliputi Semarang, Pati, dan Madiun. Panglima Jenderal Sudirman segera memerintahkan kepada
Kolonel Gatot Soebroto di Jawa Tengah dan Kolonel Soengkono di Jawa Timur agar mengerahkan kekuatan
kekuatan TNI dan polisi untuk menumpas kaum pemberontak. Karena Panglima Besar Jenderal Sudirman sedang
sakit maka pimpinan operasi penumpasan diserahkan kepada Kolonel A. H. Nasution, Panglima Markas Besar
Komando Jawa (MBKD). Walaupun dalam operasi penumpasan PKI Madiun ini menghadapi kesulitan karena
sebagian besar pasukan TNI menjaga garis demarkasi menghadapi Belanda, dengan menggunakan dua brigade
kesatuan cadangan umum Divisi III Siliwangi dan brigade Surachmad dari Jawa Timur serta kesatuan-kesatuan
lainnya yang setia kepada negara Indonesia maka pemberontak dapat ditumpas. Pada tanggal 30 September 1948
seluruh kota Madiun dapat direbut kembali oleh TNI. Musso yang melarikan diri ke luar kota dapat dikejar dan
ditembak TNI. Sedangkan Amir Syarifuddin tertangkap di hutan Ngrambe, Grobogan, daerah Puwadadi dan dihukum
mati. Akhirnya pemberontakan PKI di Madiun dapat dipadamkan meskipun banyak memakan korban dan
melemahkan kekuatan pertahanan RI.

2. Pemberontakan DI/TII
Pemberontakan DI / TII di Jawa Barat
Pada tanggal 7 Agustus 1949 di suatu desa di Kabupaten Tasikmalaya (Jawa Barat), Sekarmadji Maridjan
Kartosuwirjo memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia. Gerakannya dinamakan Darul Islam (DI) sedang
tentaranya dinamakan Tentara Islam Indonesia (TII). Gerakan ini dibentuk pada saat Jawa Barat ditinggal oleh
pasukan Siliwangi yang berhijrah ke Yogyakarta dan Jawa Tengah dalam rangka melaksanakan ketentuan dalam
Perundingan Renville. Usaha untuk menumpas pemberontakan DI/TII ini memerlukan waktu yang lama disebabkan
oleh beberapa faktor, yakni :
(1) medannya berupa daerah pegunungan-pegunungan sehingga sangat mendukung pasukan DI/TII untuk
bergerilya,
(2) pasukan Kartosuwiryo dapat bergerak dengan leluasa di kalangan rakyat,
(3) pasukan DI /TII mendapat bantuan dari beberapa orang Belanda, antara lain pemilik-pemilik perkebunan dan
para pendukung negara Pasundan,
(4) suasana politik yang tidak stabil dan sikap beberapa kalangan partai politik telah mempersulit usaha-usaha
pemulihan keamanan.
Selanjutnya dalam menghadapi aksi DI/TII pemerintah mengerahkan pasukan TNI untuk menumpas gerombolan ini.
Pada tahun 1960 pasukan Siliwangi bersama rakyat melakukan operasi “Pagar Betis” dan operasi “Bratayudha.”
Pada tanggal 4 Juni 1962 SM. Kartosuwiryo beserta para pengawalnya dapat ditangkap oleh pasukan Siliwangi
dalam operasi “Bratayudha” di Gunung Geber, daerah Majalaya, Jawa Barat. Kemudian SM. Kartosuwiryo oleh
Mahkamah Angkatan Darat dijatuhi hukuman mati sehingga pemberontakan DI/ TII di Jawa Barat dapat dipadamkan.
2. Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah
Gerombolan DI/TII ini tidak hanya di Jawa Barat akan tetapi di Jawa Tengah juga muncul pemberontakan yang
didalangi oleh DI/ TII. Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah di bawah pimpinan Amir Fatah yang bergerak di daerah
Brebes, Tegal, dan Pekalongan. dan Moh. Mahfudh Abdul Rachman (Kiai Sumolangu). Untuk menumpas
pemberontakan ini pada bulan Januari 1950 pemerintah melakukan operasi kilat yang disebut “Gerakan Banteng
Negara” (GBN) di bawah Letnan Kolonel Sarbini (selanjut-nya diganti Letnan Kolonel M. Bachrun dan kemudian oleh
Letnan Kolonel A. Yani). Gerakan operasi ini dengan pasukan “Banteng Raiders.” Sementara itu di daerah Kebumen
muncul pemberontakan yang merupakan bagian dari DI/ TII, yakni dilakukan oleh “Angkatan Umat Islam (AUI)” yang
dipimpin oleh Kyai Moh. Mahudz Abdurachman yang dikenal sebagai “Romo Pusat” atau Kyai Somalangu. Untuk
menumpas pemberontakan ini memerlukan waktu kurang lebih tiga bulan.
Pemberontakan DI/TII juga terjadi di daerah Kudus dan Magelang yang dilakukan oleh Batalyon 426 yang bergabung
dengan DI/TII pada bulan Desember 1951. Untuk menumpas pemberontakan ini pemerintah melakukan “Operasi
Merdeka Timur” yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto, Komandan Brigade Pragolo. Pada awal tahun 1952
kekuatan Batalyon pemberontak terrsebut dapat dihancurkan dan sisa- sisanya melarikan diri ke Jawa Barat dan ke
daerah GBN.
3. Pemberontakan DI/TII di Aceh
Gerombolan DI/ TII juga melakukan pemberontakan di Aceh yang dipimpin oleh Teuku Daud Beureuh. Adapun
penyebab timbulnya pemberontakan DI/TII di Aceh adalah kekecewaan Daud Beureuh karena status Aceh pada
tahun 1950 diturunkan dari daerah istimewa menjadi karesidenan di bawah Provinsi Sumatera Utara. Pada tanggal
21 September 1953 Daud Beureuh yang waktu itu menjabat sebagai gubernur militer menyatakan bahwa Aceh
merupakan bagian dari Negara Islam Indonesia di bawah pimpinan SM. Kartosuwiryo. Dalam menghadapi
pemberontakan DI/ TII di Aceh ini semula pemerintah menggunakan kekuatan senjata. Selanjutnya atas prakarsa
Kolonel M. Yasin, Panglima Daerah Militer I/Iskandar Muda, pada tanggal 17-21 Desember 1962 diselenggarakan
“Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh” yang mendapat dukungan tokohtokoh masyarakat Aceh sehingga
pemberontakan DI/ TII di Aceh dapat dipadamkan.
4. Pemberontakan DI / TII di Sulawesi Selatan
Di Sulawesi Selatan juga timbul pemberontakan DI/TII yang dipimpin oleh Kahar Muzakar. Pada tanggal 30 April
1950 Kahar Muzakar menuntut kepada pemerintah agar pasukannya yang tergabung dalam Komando Gerilya
Sulawesi Selatan dimasukkan ke dalam Angkatan Perang RIS (APRIS). Tuntutan ini ditolak karena harus melalui
penyaringan.
Pemerintah melakukan pendekatan kepada Kahar Muzakar dengan memberi pangkat Letnan Kolonel. Akan tetapi
pada tanggal 17 Agustus 1951 Kahar Muzakar beserta anak buahnya melarikan diri ke hutan dan melakukan aksi
dengan melakukan teror terhadap rakyat. Untuk menghadapi pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan ini
pemerintah melakukan operasi militer. Baru pada bulan Februari 1965 Kahar Muzakar berhasil ditangkap dan
ditembak mati sehingga pemberontakan DI/TII di Sulawesi dapat dipadamkan.

5. Pemberontakan DI /TII di Kalimantan Selatan

Pada bulan Oktober 1950 DI/ TII juga melakukan pemberontakan di Kalimantan Selatan yang dipimpin oleh Ibnu
Hajar. Para pemberontak melakukan pengacauan dengan menyerang pospos kesatuan TNI. Dalam menghadapi
gerombolan DI/TII tersebut pemerintah pada mulanya melakukan pendekatan kepada Ibnu Hajar dengan diberi
kesempatan untuk menyerah, dan akan diterima menjadi anggota TNI. Ibnu Hajar pun menyerah, akan tetapi setelah
menyerah melarikan diri dan melakukan pemberontakan lagi. Selanjutnya pemerintah mengerahkan pasukan TNI
sehingga pada akhir tahun 1959 Ibnu Hajar beserta seluruh anggota gerombolannya tertangkap dan dimusnahkan.

3. Pemberontakan APRA
Pada saat pertama pemerintah RIS- yang mana Dr Moh Hatta jadi Perdana Menteri tak sedikit kesulitan yang
dihadapi oleh Pemerintah. Baik rongrongan dari luar, maupun dari dalam tubuh sendiri.
Pembentukan APRIS ternyata menimbulkan ketegangan-ketegangan yang mengakibatkan terjadinya serentetan
pertumpahan darah Diantara kalangan TNI sendiri ada tantangan dan keengganan untuk bekerjasama dengan
bekas anggota tentara Belanda, dengan KNIL, KL, KM dan sebagainya yang dilebur kedalam APRIS.
Sebaliknya dipihak KNIL ada tuntutan agar bekas kesatuannya ditetapkan sebagai alat dari Negara Bagian. Juga
tantangan dari eks serdadu KNIL yang merasa was-was akan nasib mereka jika dilebur dalam tubuh APRIS bersama
dengan TNI. Mereka takut kehilangan kedudukannya kalau Belanda pergi dari Indonesia.
Diantara mereka adalah gerakan apa yang mereka namakan "APRA" (Angkatan Perang Ratu Adil) dibawah
pimpinan Kapten Raymond Westerling. Ya, Kapten inilah yang dengan para pengikutnya pada tahun 1947 telah
membuat terror di Sulawesi Selatan yang terkenal bengis dan kejam dengan pembantaian dalam waktu singkat
mencapai sekitar 40.000 korban rakyat Indonesia.
Dengan menggunakan nama "Ratu Adil" Westerling mencoba mengetahui rakyat Indonesia, seakan-akan merekalah
yang "ditungggu-tunggu" rakyat sesuai dengan ramalan Joyoboyo, dan mereka pulalah yang akan memerintah
Indonesia yang rakyatnya sudah lama menderita.
Ketegangan-ketegangan pun terjadi dalam pertentangan politik yang menajam antara golongan "Federalis" yang
tetap ingin mempertahankan Negara Bagian terhadap golongan "Unitaris" yang menginginkan Negara Kesatuan.
Tujuan APRA sebenarnya untuk mempertahankan bentuk Federal Indonesia, oleh sebab itu beberapa Pengusaha
Perkebunan dan tokoh-tokoh Belanda berdiri di belakang Westerling.
Kebrutalan APRA menjadi-jadi, karena mereka telah memberikan "ultimatum" kepada Pemerintah RIS dan Negara
Pasundan, supaya mereka diakui sebagai "Tentara Pasundan" dan menolak untuk membubarkan Negara "boneka"
tersebut. Sudah tentu "ultimatum" tersebut tidak digubris oleh Pemerintah RIS, yang sebagaimana diketahui Perdana
Menterinya adalah Bung Hatta.
Maka pada tanggal 23 Januari 1950 pagi-pagi benar dengan diperkirakan membawahi 800 tentara KNIL, terdiri dari
pelarian-pelarian pasukan payung, barisan pengawal "Stoottroepen" dan polisi Belanda dengan dilindungi oleh
kendaraan berlapis baja, mereka "menyerbu" kota Bandung. Dan untuk beberapa lamanya mereka dapat "kuasai"
kota Bandung.
Setiap anggota APRIS (TNI) yang mereka temui-baik itu bersenjata atau tidak ditembak mati di tempat. Perlawanan
dapat dikatakan tidak ada, karena penyerbuan tersebut tidak terduga sama sekali. Pun mengingat kesatuan-
kesatuan Siliwangi baru beberapa saat saja memasuki kota Bandung, setelah perdamaian terdapat sebagai hasil
KMB. Staf Divisi Siliwangi yang pada hari itu hanya dijaga 15 prajurit, diserang dengan tak terduga. Seorang Perwira
menengah-Letkol Lembong tewas menjadi keganasan APRA. Dalam penyerbuan APRA ini 79 anggota APRIS/TNI
gugur.
Pemerintah RIS untuk memperkuat pertahanan kota Bandung mengirimkan bala bantuan antara lain dari kesatuan-
kesatuan polisi dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, yang ketika itu sedang berada di Jakarta. Pun pada hari itu juga
TNI dapat mengkonsolidasi kekuatannya, dan akhirnya gerombolan APRA dapat dipaksa mengundurkan diri kota
Bandung.
Operasi penumpasan dan pengejaran gerombolan APRA ini yang sedang melakukan gerakan mundur, segera
dilakukan oleh Kesatuan TNI. Dalam suatu pertempuran di daerah Pacet pada tanggal 24 Januari 1950 pasukan TNI
berhasil menghancurkan sisa-sisa gerombolan APRA.
Di kota Bandung juga diadakan pembersihan dan penahanan terhadap mereka yang terlibat, termasuk beberapa
tokoh Negara Pasundan. Setelah melarikan diri dari Bandung, Westerling masih ingin melanjutkan "Petualangannya"
di Jakarta. Ia merencanakan gerakannya untuk menangkap semua Menteri RIS yang sedang menghadiri Sidang
Kabinet dan membantainya, persis semacam apa yang pernah Westerling lakukan dulu dengan rakyat Sulawesi
Selatan tetapi gerakan tersebut dapat digagalkan, dan ternyata bahwa "otaknya" adalah Sultan Hamid II, yang juga
duduk di Kabinet RIS, tapi zonder portofolio.
Sultan Hamid II dapat segera ditangkap, sedangkan Westerling setelah melihat kegagalannya APRA di Bandung dan
juga gagal usahanya "menangkap" para Menteri RIS dalam Sidang Kabinet RIS di Jakarta, sempat melarikan diri ke
luar negeri dengan menumpang pesawat Catalina milik Angkatan Laut Belanda, dan dengan demikian berakhirlah
"petualangan" Westerling untuk mengacau di Indonesia yang telah membawa korban Rakyat Indonesia beribu-ribu
banyaknya, dan tak akan dilupakan oleh Bangsa Indonesia selama-lamanya. )Penulis adalah pejuang 1945)

Latar belakang
Pada bulan November 1949, dinas rahasia militer Belanda menerima laporan, bahwa Westerling telah mendirikan
organisasi rahasia yang mempunyai pengikut sekitar 500.000 orang. Laporan yang diterima Inspektur Polisi Belanda
J.M. Verburgh pada 8 Desember 1949 menyebutkan bahwa nama organisasi bentukan Westerling adalah "Ratu Adil
Persatuan Indonesia" (RAPI) dan memiliki satuan bersenjata yang dinamakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA).
Pengikutnya kebanyakan adalah mantan tentara KNIL dan yang desersi dari pasukan khusus KST/RST. Dia juga
mendapat bantuan dari temannya orang Tionghoa, Chia Piet Kay, yang dikenalnya sejak berada di kota Medan.
Pada 5 Desember malam, sekitar pukul 20.00 dia menelepon Letnan Jenderal Buurman van Vreeden, Panglima
Tertinggi Tentara Belanda, pengganti Letnan Jenderal Spoor. Westerling menanyakan bagaimana pendapat van
Vreeden, apabila setelah penyerahan kedaulatan Westerling berencana melakukan kudeta terhadap Sukarno dan
kliknya. Van Vreeden memang telah mendengar berbagai kabar, antara lain ada sekelompok militer yang akan
mengganggu jalannya penyerahan kedaulatan. Juga dia telah mendengar mengenai kelompoknya Westerling.
Jenderal van Vreeden, sebagai yang harus bertanggung-jawab atas kelancaran "penyerahan kedaulatan" pada 27
Desember 1949, memperingatkan Westerling agar tidak melakukan tindakan tersebut, tapi van Vreeden tidak segera
memerintahkan penangkapan Westerling.
Surat ultimatum
Pada hari Kamis tanggal 5 Januari 1950, Westerling mengirim surat kepada pemerintah RIS yang isinya adalah
suatu ultimatum. Dia menuntut agar Pemerintah RIS menghargai Negara-Negara bagian, terutama Negara
Pasundan serta Pemerintah RIS harus mengakui APRA sebagai tentara Pasundan. Pemerintah RIS harus
memberikan jawaban positif dalm waktu 7 hari dan apabila ditolak, maka akan timbul perang besar.
Ultimatum Westerling ini tentu menimbulkan kegelisahan tidak saja di kalangan RIS, namun juga di pihak Belanda
dan dr. H.M. Hirschfeld (kelahiran Jerman), Nederlandse Hoge Commissaris (Komisaris Tinggi Belanda) yang baru
tiba di Indonesia. Kabinet RIS menghujani Hirschfeld dengan berbagai pertanyaan yang membuatnya menjadi
sangat tidak nyaman. Menteri Dalam Negeri Belanda, Stikker menginstruksikan kepada Hirschfeld untuk menindak
semua pejabat sipil dan militer Belanda yang bekerjasama dengan Westerling.
Pada 10 Januari 1950, Hatta menyampaikan kepada Hirschfeld, bahwa pihak Indonesia telah mengeluarkan perintah
penangkapan terhadap Westerling. Sebelum itu, ketika Lovink masih menjabat sebagai Wakil Tinggi Mahkota
(WTM), dia telah menyarankan Hatta untuk mengenakan pasal exorbitante rechten terhadap Westerling. Saat itu
Westerling mengunjung Sultan Hamid II di Hotel Des Indes, Jakarta. Sebelumnya, mereka pernah bertemu bulan
Desember 1949. Westerling menerangkan tujuannya, dan meminta Hamid menjadi pemimpin gerakan mereka.
Hamid ingin mengetahui secara rinci mengenai organisasi Westerling tersebut. Namun dia tidak memperoleh
jawaban yang memuaskan dari Westerling. Pertemuan hari itu tidak membuahkan hasil apapun. Setelah itu tak jelas
pertemuan berikutnya antara Westerling dengan Hamid. Dalam otobiografinya Mémoires yang terbit tahun 1952,
Westerling menulis, bahwa telah dibentuk Kabinet Bayangan di bawah pimpinan Sultan Hamid II dari Pontianak, oleh
karena itu dia harus merahasiakannya.
Pertengahan Januari 1950, Menteri UNI dan Urusan Provinsi Seberang Lautan, Mr.J.H. van Maarseven berkunjung
ke Indonesia untuk mempersiapkan pertemuan Uni Indonesia-Belanda yang akan diselenggarakan pada bulan Maret
1950. Hatta menyampaikan kepada Maarseven, bahwa dia telah memerintahkan kepolisian untuk menangkap
Westerling.
Ketika berkunjung ke Belanda, Menteri Perekonomian RIS Juanda pada 20 Januari 1950 menyampaikan kepada
Menteri Götzen, agar pasukan elit RST yang dipandang sebagai faktor risiko, secepatnya dievakuasi dari Indonesia.
Sebelum itu, satu unit pasukan RST telah dievakuasi ke Ambon dan tiba di Ambon tanggal 17 Januari 1950. Pada 21
Januari Hirschfeld menyampaikan kepada Götzen bahwa Jenderal Buurman van Vreeden dan Menteri Pertahanan
Belanda Schokking telah menggodok rencana untuk evakuasi pasukan RST.

Desersi
Pada 22 Januari pukul 21.00 dia telah menerima laporan, bahwa sejumlah anggota pasukan RST dengan
persenjataan berat telah melakukan desersi dan meninggalkan tangsi militer di Batujajar.
Mayor KNIL G.H. Christian dan Kapten KNIL J.H.W. Nix melaporkan, bahwa kompi "Erik" yang berada di
Kampemenstraat malam itu juga akan melakukan desersi dan bergabung dengan APRA untuk ikut dalam kudeta,
namun dapat digagalkan oleh komandannya sendiri, Kapten G.H.O. de Witt. Engles segera membunyikan alarm
besar. Dia mengontak Letnan Kolonel TNI Sadikin, Panglima Divisi Siliwangi. Engles juga melaporkan kejadian ini
kepada Jenderal Buurman van Vreeden di Jakarta.
Antara pukul 8.00 dan 9.00 dia menerima kedatangan komandan RST Letkol Borghouts, yang sangat terpukul akibat
desersi anggota pasukannya. Pukul 9.00 Engles menerima kunjungan Letkol Sadikin. Ketika dilakukan apel pasukan
RST di Batujajar pada siang hari, ternyata 140 orang yang tidak hadir. Dari kamp di Purabaya dilaporkan, bahwa 190
tentara telah desersi, dan dari SOP di Cimahi dilaporkan, bahwa 12 tentara asal Ambon telah desersi.

Kudeta
Namun upaya mengevakuasi Reciment Speciaale Troepen, gabungan baret merah dan baret hijau terlambat
dilakukan. Dari beberapa bekas anak buahnya, Westerling mendengar mengenai rencana tersebut, dan sebelum
deportasi pasukan RST ke Belanda dimulai, pada 23 Januari 1950 Westerling melancarkan kudetanya. Subuh pukul
4.30, Letnan Kolonel KNIL T. Cassa menelepon Jenderal Engles dan melaporkan: "Satu pasukan kuat APRA
bergerak melalui Jalan Pos Besar menuju Bandung."
Westerling dan anak buahnya menembak mati setiap anggota TNI yang mereka temukan di jalan. 94 anggota TNI
tewas dalam pembantaian tersebut, termasuk Letnan Kolonel Lembong, sedangkan di pihak APRA, tak ada korban
seorang pun.
Sementara Westerling memimpin penyerangan di Bandung, sejumlah anggota pasukan RST dipimpin oleh Sersan
Meijer menuju Jakarta dengan maksud untuk menangkap Presiden Soekarno dan menduduki gedung-gedung
pemerintahan. Namun dukungan dari pasukan KNIL lain dan TII (Tentara Islam Indonesia) yang diharapkan
Westerling tidak muncul, sehingga serangan ke Jakarta gagal total.
Setelah puas melakukan pembantaian di Bandung, seluruh pasukan RST dan satuan-satuan yang mendukungnya
kembali ke tangsi masing-masing. Westerling sendiri berangkat ke Jakarta, dan pada 24 Januari 1950 bertemu lagi
dengan Sultan Hamid II di Hotel Des Indes. Hamid yang didampingi oleh sekretarisnya, dr. J. Kiers, melancarkan
kritik pedas terhadap Westerling atas kegagalannya dan menyalahkan Westerling telah membuat kesalahan besar di
Bandung. Tak ada perdebatan, dan sesaat kemudian Westerling pergi meninggalkan hotel.
Setelah itu terdengar berita bahwa Westerling merencanakan untuk mengulang tindakannya. Pada 25 Januari Hatta
menyampaikan kepada Hirschfeld, bahwa Westerling, didukung oleh RST dan Darul Islam, akan menyerbu Jakarta.
Engles juga menerima laporan, bahwa Westerling melakukan konsolidasi para pengikutnya di Garut, salah satu
basis Darul Islam waktu itu.
Aksi militer yang dilancarkan oleh Westerling bersama APRA yang antara lain terdiri dari pasukan elit tentara
Belanda, menjadi berita utama media massa di seluruh dunia. Hugh Laming, koresponden Kantor Berita Reuters
yang pertama melansir pada 23 Januari 1950 dengan berita yang sensasional. Osmar White, jurnalis Australia dari
Melbourne Sun memberitakan di halaman muka: "Suatu krisis dengan skala internasional telah melanda Asia
Tenggara." Duta Besar Belanda di AS, van Kleffens melaporkan bahwa di mata orang Amerika, Belanda secara licik
sekali lagi telah mengelabui Indonesia, dan serangan di Bandung dilakukan oleh "de zwarte hand van Nederland"
(tangan hitam dari Belanda).

4.PEMBERONTAKAN ANDI AZIS


Andi Azis adalah seorang mantan Letnan KNIL dan sudah masuk TNI dengan pangkat Kapten, dia ikut berontak
bahkan memimpinnya. Dia memiliki riwayat yang sama uniknya dengan petualang KNIL lainnya seperti Westerling.
Andi Azis memiliki cerita hidupnya sendiri. Cerita hidupnya sebelum berontak jauh berbeda dengan orang-orang
Sulawesi Selatan pada umumnya. Tidak heran bila Andi Azis menjalanani pekerjaan yang jauh berbeda seperti
orang-orang Sulawesi Selatan pada umumnya, sebagai serdadu KNIL. Bisa dipastikan Andi Azis adalah salah satu
dari sedikit orang Bugis yang menjadi serdadu KNIL. Bukan tidak mungkin bila Andi Azis adalah orang Bugis dengan
pangkat tertinggi dalam KNIL.
Andi Abdul Azis lahir di Sulawesi, diangkat anak oleh orang tua Eropa-nya yang membawanya lke Belanda dan ikut
terlibat dalam PD II. Dirinya lalu kembali sebagai bagian dari tentara Belanda yang ysedang menduduki Indonesia.
pasca KMB dia terlibat masalah serius dengan TNI karena kedekatannya dengan tokoh-tokoh federalis macam
Saumokil yang memiliki posisi penting dalam Negara Indonesia Timur, Jaksa Agung. Berakhirnya Negara Indonesia
Timur mengakibatkan.
Andi Abdul Azis asli Bugis putra orang Bugis. Andi Azis lahir tanggal 19 September 1924, di Simpangbinangal,
kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Pendidikan umumnya di Europe Leger School namun tidak sampai tamat. Andi
Azis kemudian dibawa seorang pensiunan Asisten Residen bangsa Belanda ke negeri Belanda. Di Negeri Belanda
tahun 1935 ia memasuki Leger School dan tamat tahun 1938, selanjutnya meneruskan ke Lyceum sampai tahun
1944. Sebenarnya Andi Azis sangat berhasrat untuk memasuki sekolah militer di negeri Belanda untuk menjadi
menjadi seorang prajurit. Tetapi niat itu tidak terlaksana karena pecah Perang Dunia II. Kemudian Andi Azis
memasuki Koninklijk Leger. Di KL, Andi Azis bertugas sebagai tim pertempuran bawah tanah melawan Tentara
Pendudukan Jerman (NAZI). Dari pasukan bawah tanah kemudian Andi Azis dipindahkan kebelakang garis
pertahanan Jerman, untuk melumpuhkan pertahanan Jerman dari dalam. Karena di Eropa kedudukan sekutu
semakin terjepit, maka secara diam-diam Andi Azis dengan kelompoknya menyeberang ke Inggris, daerah paling
aman dari Jerman—walaupun sebelum 1944 sering mendapat kiriman bom Jerman dari udara.
Di Inggris kemudian Andi Azis mengikuti latihan pasukan komando di sebuah Kamp sekitar 70 kilometer di luar
London. Andi Azis lulus dengan pujian sebagai prajurit komando. Selanjutnya mengikuti pendidikan Sekolah calon
Bintara di Inggris dan menjadi sersan kadet (1945). Di bulan Agustus 1945 karena SEAC dalam usaha mengalahkan
Jepang di front timur memerlukan anggota tentara yang dapat berbahasa Indonesia, maka Andi Abdul Azis
kemudian ditempatkan ke komando Perang Sekutu di India, berpindah-pindah ke Colombo dan akhirnya ke Calcutta
dengan pangkat Sersan.
Andi Azis mungkin satu-satunya orang Indonesia yang mendapat latihan pasukan komando. Andi Azis juga orang
Indonesia yang ikut menjadi bagian, walau tidak secara langsung, dari kelahiran pasukan-pasukan komando dunia
seperti SAS milik Inggris dan KST Belanda. Andi Azis, seperti halnya Westerling, merupakan orang-orang yang luar
di negeri Belanda yang ikut membebaskan Belanda dari pendudukan Jerman. Seperti Halim Perdana Kusuma, Andi
Azis juga orang Indonesia yang ikut serta dalam perang Dunia II di front Barat Eropa.

Setelah Jepang menyerah tidak syarat pada sekutu, Andi Azis diperbolehkan memilih tugas apakah yang akan
diikutinya, apakah ikut satuan-satuan sekutu yang akan bertugas di Jepang atau yang akan bertugas di gugus
selatan (Indonesia). Dengan pertimbangan bahwa telah 11 tahun tidak bertemu orang tuanya di Sulawesi Selatan,
akhirnya ia memilih bertugas ke Indonesia, dengan harapan dapat kembali dengan orang tuanya di Makassar. Pada
tanggal 19 Januari 1946 satuannya mendarat di Jawa (Jakarta), waktu itu ia menjabat komandan regu, kemudian
bertugas di Cilinding. Dalam tahun 1947 mendapat kesempatan cuti panjang ke Makassar dan mengakhiri dinas
militer. Tetapi di Makassar Andi Azis merasa bosan. Ditinggalkannya Makassar untuk kembali lagi ke Jakarta dan
mengikuti pendidikan kepolisian di Menteng Pulo, pertengahan 1947 ia dipanggil lagi masuk KNIL dan diberi pangkat
Letnan Dua. Selanjutnya menjadi Ajudan Senior Sukowati (Presiden NIT), karena Sukowati berhasrat memiliki
Ajudan bangsa Indonesia asal Sulawesi (Makasar), sedang ajudan seniornya selama ini adalah Kapten Belanda
totok. Jabatan ini dijalaninya hampir satu setengah tahun, kemudian ia ditugaskan sebagai salah seorang instruktur
di Bandung-Cimahi pada pasukan SSOP—sekolah pasukan payung milik KNIL bernama School tot Opleiding voor
Parachusten—(Baret Merah KNIL) dalam tahun 1948. pada tahun 1948 Andi Azis dikirim lagi ke Makasar dan
diangkat sebagai Komandan kompi dengan pangkat Letnan Satu dengan 125 orang anak buahnya (KNIL) yang
berpengalaman dan kemudian masuk TNI. Dalam susunan TNI (APRIS) kemudian Ia dinaikan pangkatnya menjadi
kapten dan tetap memegang kompinya tanpa banyak mengalami perubahan anggotanya.
Tentu saja pasukan dari kompi yang dipimpinnya itu bukan pasukan sembarangan. Kemampuan tempur pasukan itu
diatas standar pasukan reguler Belanda—juga TNI. Daerah Cimahi, adalah daerah dimana banyak prajurit Belanda
dilatih untuk persiapan agresi militer Belanda II. Ditempat ini setidaknya ada dua macam pasukan khusus Belanda
dilatih: pasukan Komando (baret hijau); pasukan penerjun (baret merah). Andi Azis kemungkinan melatih pasukan
komando—sesuai pengalamannnya di front Eropa.
Pasukan Andi Azis ini menjadi salah satu punggung pasukan pemberontak selama bulan April sampai Agustus di
Makassar—disamping pasukan Belanda lain yang desersi dan tidak terkendali. Apa yang terjadi dalam
pemberontakan APRA Westerling yang terlalu mengandalkan pasukan khusus Belanda Regiment Speciale
Troepen—yang pernah dilatih Westerling—maka dalam pemberontakan Andi Azis hampir semua unsur pasukan
Belanda terlibat terutama KNIL non pasukan komando. Westerling kurang didukung oleh pasukan KNIL—Westerling
lebih menaruh harapan pada RST yang desersi. Pasukan lain non RST hanya pasukan pendukung semata.
Pemberontakan Andi Azis, tulang punggung pemberontakan adalah semua pasukan tanpa melihat kualifikasi
pasukan.Pemberontakkan Andi Azis, salah seorang komandan bekas satuan tentera Belanda yang meletus pada
tanggal 5 April 1950 di Makasar, Ujung Pandang dengan motivasi yang menuntut status dan perlakuan khusus dari
pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS). Antara pihak pemberontak dengan utusan pihak pemerintah dari
Jakarta, semula diusahakan pemecahan masalah melalui perundingan yang kemudian disusul dengan ultimatum,
sehingga pada akhirnya harus diambil tindakan militer. Pada tanggal 20 Ogos 1950 Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia dapat menguasai seluruh kota Makasar atau Ujung Pandang.
Pemberontakan Andi Azis
-Pada tanggal 5 April 1950 di Makassar timbul pemberontakan yang dilakukan oleh kesatuan-kesatuan bekas KNIL
di bawah pimpinan Kapten Andi Azis. Adapun berbagai tuntutan Andi Azis terhadap pemerintah RIS sebagai berikut.
1) Andi Azis menuntut agar pasukan-pasukan APRIS bekas KNIL saja yang bertanggung jawab atas keamanan di
daerah NIT.
2) Andi Azis menentang dan menghalangi masuknya pasukan APRIS dari TNI yang sedang dikirim dari Jawa
Tengah di bawah pimpinan Mayor Worang.
3) Andi Azis menyatakan bahwa Negara Indonesia Timur harus dipertahankan supaya tetap berdiri.
Untuk menumpas pemberontakan Andi Azis pemerintah RIS melakukan berbagai upaya, di antaranya adalah:
1) Setelah ultimatum kepada Andi Azis untuk menghadap ke Jakarta guna mempertanggungjawabkan perbuatannya
tidak dipenuhi maka pemerintah mengirim pasukan untuk menumpas pemberontakan tersebut.
2) Pemerintah mengirimkan pasukan ekspedisi di bawah pimpinan Kolonel Alex Kawilarang dan terdiri dari berbagai
kesatuan dari ketiga angkatan dan kepolisian. Selanjutnya APRIS segera bergerak dan menguasai kota Makassar
dan sekitarnya. Pada bulan April 1950 Andi Azis menyerahkan diri akan tetapi pertempuran-pertempuran antara
pasukan APRIS dan pasukan KNIL masih berlangsung pada bulan Mei dan Agustus 1950.

5.Pemberontakan RMS
Republik Maluku Selatan (RMS) adalah daerah yang diproklamasikan merdeka pada 25 April 1950 dengan maksud
untuk memisahkan diri dari Negara Indonesia Timur (saat itu Indonesia masih berupa Republik Indonesia Serikat).
Namun oleh Pemerintah Pusat, RMS dianggap sebagai pemberontakan dan setelah misi damai gagal, maka RMS
ditumpas tuntas pada November 1950. Sejak 1966 RMS berfungsi sebagai pemerintahan di pengasingan, Belanda

Sejarah
Pada 25 April 1950 RMS hampir/nyaris diproklamasikan oleh orang-orang bekas prajurit KNIL dan pro-Belanda yang
di antaranya adalah Dr. Chr.R.S. Soumokil bekas jaksa agung Negara Indonesia Timur yang kemudian ditunjuk
sebagai Presiden, Ir. J.A. Manusama dan J.H. Manuhutu.
Pemerintah Pusat yang mencoba menyelesaikan secara damai, mengirim tim yang diketuai Dr. J. Leimena sebagai
misi perdamaian ke Ambon. Tapi kemudian, misi yang terdiri dari para politikus, pendeta, dokter dan wartawan,
gagal dan pemerintah pusat memutuskan untuk menumpas RMS, lewat kekuatan senjata. Dibentuklah pasukan di
bawah pimpinan Kolonel A.E. Kawilarang.
Pada 14 Juli 1950 Pasukan ekspedisi APRIS/TNI mulai menumpas pos-pos penting RMS. Sementara, RMS yang
memusatkan kekuatannya di Pulau Seram dan Ambon, juga menguasai perairan laut Maluku Tengah, memblokade
dan menghancurkan kapal-kapal pemerintah.
Pemberontakan ini berhasil digagalkan secara tuntas pada bulan November 1950, sementara para pemimpin RMS
mengasingkan diri ke Belanda. Pada 1951 sekitar 4.000 orang Maluku Selatan, tentara KNIL beserta keluarganya
(jumlah keseluruhannya sekitar 12.500 orang), mengungsi ke Belanda, yang saat itu diyakini hanya untuk sementara
saja.
RMS di Belanda lalu menjadi pemerintahan di pengasingan. Pada 29 Juni 2007 beberapa pemuda Maluku
mengibarkan bendera RMS di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhono pada hari keluarga nasional di Ambon.
Pada 24 April 2008 John Watilette perdana menteri pemerintahan RMS di pengasingan Belanda berpendapat bahwa
mendirikan republik merupakan sebuah mimpi di siang hari bolong dalam peringatan 58 tahun proklamasi
kemerdekaan RMS yang dimuat pada harian Algemeen Dagblad yang menurunkan tulisan tentang antipati terhadap
Jakarta menguat. Tujuan politik RMS sudah berlalu seiring dengan melemahnya keingingan memperjuangkan RMS
ditambah tidak adanya donatur yang bersedia menyisihkan dananya, kini hubungan dengan Maluku hanya
menyangkut soal sosial ekonomi. Perdana menteri RMS (bermimpi) tidak menutup kemungkinan Maluku akan
menjadi daerah otonomi seperti Aceh Kendati tetap menekankan tujuan utama adalah meraih kemerdekaan penuh.

Pemimpin
Pemimpin pertama RMS dalam pengasingan di Belanda adalah Prof. Johan Manusama, pemimpin kedua Frans
Tutuhatunewa turun pada tanggal 25 april 2009. Kini John Wattilete adalah pemimpin RMS pengasingan di Belanda.
Dr. Soumokil mengasingkan diri ke Pulau Seram. Ia ditangkap di Seram pada 2 Desember 1962, dijatuhi hukuman
mati oleh pengadilan militer, dan dilaksanakan di Kepulauan Seribu, Jakarta, pada 12 April 1966.

Dukungan
Mayoritas penduduk Maluku pada saat RMS didirikan beragama Islam dan Kristen secara berimbang, Namun
dengan adanya budaya "Pela Gandong", dapatlah dikatakan bahwa di Kepulauan Maluku, seluruh lapisan dan
segenap Masyarakat Maluku bersatu secara kekeluargaan, baik ber-agama Kristen, Islam, maupun agama Hindu
dan Budha, semuanya bersatu. Demikian saat itu RMS berbeda dengan sekarang, sudah banyak pendatang-
pendatang baru dari daerah Sulawesi Selatan, Tengah, Tenggara, Jawa Madura maupun daerah lainnya di
Indonesia. sehingga hanya sekelompok kecil lah masyarakat yang mempunyai hubungan keluarga dengan para
pengungsi RMS di Belanda yang terus memberikan dukungan, sedangkan mayoritas masyarakat Maluku
kontemporer melihat peristiwa pemberontakan RMS sebagai masa lalu yang suram dan ancaman bagi
perkembangan kedamaian dan keharmonisan serta upaya pemulihan setelah perisitiwa kerusuhan Ambon.

RMS di Belanda
Oleh karena kemerdekaan RMS yang di Proklamirkan oleh sebagian besar rakyat Maluku, pada tanggal 24 April
1950 di kota Ambon, ditentang oleh Pemerintah RI dibawah pimpinan Sukarno - Hatta, maka Pemerintah RI meng-
ultimatum semua para aktifis RMS yang memproklamirkan berdirinya Republik Maluku Selatan untuk menyerahkan
diri kepadda pemerintah RI, sehingga semua aktifis RMS itu ditangkapi oleh Pasukan2 Militer yang dikirim dari Pulau
Jawa.
Karena adanya penangkapan yang dilakukan oleh militer Pemerintah RI, maka para pimpinan teras RMS tersebut,
ber-inisiatif untuk menghindar sementara ke Negeri Belanda, kepindahan para pimpinan RMS ini mendapat bantuan
sepenuhnya dari Pemerintah Belanda pada saat itu. Dengan adanya kesediaan bantuan dari Pemerintah Belanda
untuk mengangkut sebagian besar rakyat Maluku dengan biaya sepenuhnya dari Pemerintah Belanda, maka
sebagian besar rakyat di Maluku yang beragama kristen, memilih dengan kehendaknya sendiri untuk pindah ke
Negeri Belanda. Pada waktu itu, Ada lebih dari 15.000 rakyat Maluku yang memilih pindah ke negeri Belanda.
Pindahnya sebagian rakyat maluku ini, oleh Pemerintahan Sukarno-Hatta, diissukan sebagai "PENGUNGSIAN
PARA PENDUKUNG RMS", lalu dengan dalih pemberontakan, pemerintah RI menangkapi para Menteri RMS dan
para aktifisnya, lalu mereka dipanjarakan dan diadili oleh pengadilan militer RI, dengan hukuman berat bahkan
dieksekusi Mati.
Di Belanda, Pemerintah RMS tetap menjalankan semua kebijakan Pemerintahan, seperti Sosial, Politik, Keamanan
dan Luar Negeri. Komunikasi antara Pemerintah RMS di Belanda dengan para Menteri dan para Birokrat di Ambon
berjalan lancar terkendali. Keadaan ini membuat pemerintahan Sukarno tkdak bisa berpangku tangan menyaksikan
semua aktivitas rakyat Maluku, sehingga dikeluarkanlah perintah untuk menangkap seluruh pimpinan dengan semua
jajarannya, sehingga pada akhirnya dinyatakanlah bahwa Pemerintah RMS yang berada di Belanda sebagai
Pemerintah RMS dalam pengasingan Dengan bekal dokumentasi dan bukti perjuangan RMS, para pendukung RMS
membentuk apa yang disebut Pemerintahan RMS di pengasingan.
Pemerintah Belanda mendukung kemerdekaan RMS, Namun di tahun 1978 terjadi peristiwa Wassenaar, dimana
beberapa elemen pemerintahan RMS melakukan serangan kepada Pemerintah Belanda sebagai protes terhadap
kebijakan Pemerintah Belanda. Oleh Press di Belanda dikatakanlah peristiwa itu sebagai teror yang dilakukan para
aktifis RMS di Belanda. Ada yang mengatakan serangan ini disebabkan karena pemerintah Belanda menarik
dukungan mereka terhadap RMS. Ada lagi yang menyatakan serangan teror ini dilakukan karena pendukung RMS
frustasi, karena Belanda tidak dengan sepenuh hati memberikan dukungan sejak mula. Di antara kegiatan yang di
lansir Press Belanda sabagai teror, adalah ketika di tahun 1978 kelompok RMS menyandera 70 warga sipil di
gedung pemerintah Belanda di Assen-Wassenaar.
Selama tahun 70an, teror seperti ini dilakukan juga oleh beberapa kelompok sempalan RMS, seperti kelompok
Komando Bunuh Diri Maluku Selatan yang dipercaya merupakan nama lain (atau setidaknya sekutu dekat) Pemuda
Maluku Selatan Merdeka. Kelompok ini merebut sebuah kereta api dan menyandera 38 penumpangnya di tahun
1975. Ada juga kelompok sempalan yang tidak dikenal yang pada tahun 1977 menyandera 100 orang di sebuah
sekolah dan di saat yang sama juga menyandera 50 orang di sebuah kereta api.
Sejak tahun 80an hingga sekarang aktivitas teror seperti itu tidak pernah dilakukan lagi.
Kerusuhan
Pada saat Kerusuhan Ambon yang terjadi antara 1999-2004, RMS kembali mencoba memakai kesempatan untuk
menggalang dukungan dengan upaya-upaya provokasi, dan bertindak dengan mengatas-namakan rakyat Maluku.
Beberapa aktivis RMS telah ditangkap dan diadili atas tuduhan kegiatan-kegiatan teror yang dilakukan dalam masa
itu, walaupun sampai sekarang tidak ada penjelasan resmi mengenai sebab dan aktor dibalik kerusuhan Ambon.
Pada tanggal 29 Juni 2007, beberapa elemen aktivis RMS berhasil menyusup masuk ke tengah upacara Hari
Keluarga Nasional yang dihadiri oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, para pejabat dan tamu asing. Mereka
menari tarian Cakalele seusai Gubernur Maluku menyampaikan sambutan. Para hadirin mengira tarian itu bagian
dari upacara meskipun sebenarnya tidak ada dalam jadwal. Mulanya aparat membiarkan saja aksi ini, namun tiba-
tiba para penari itu mengibarkan bendera RMS. Barulah aparat keamanan tersadar dan mengusir para penari keluar
arena. Di luar arena para penari itu ditangkapi. Sebagian yang mencoba melarikan diri dipukuli untuk dilumpuhkan
oleh aparat. Pada saat ini (30 Juni 2007) insiden ini sedang diselidiki. Beberapa hasil investigasi menunjukkan
bahwa RMS masih eksis dan mempunyai Presiden Transisi bernama Simon Saiya. Beberapa elemen RMS yang
dianggap penting ditahan di kantor Densus 88 Anti Teror.

6. Pemberontakan PERMESTA
Pemberontakan PPRI dan Permesta terjadi karena adanya ketidakpuasan beberapa daerah di Sumatra dan
Sulawesi terhadap alokasi biaya pembangunan dari pemerintah pusat. Ketidakpuasan tersebut didukung oleh
beberapa panglima militer.

Selanjutnya mereka membentuk dewan-dewan militer daerah, seperti :


1. Dewan Banteng di Sumatra Barat dipimpin oleh Kolonel Achmad Husein (Komandan Resimen Infanteri 4) dibentuk
pada 20 Desember 1956
2. Dewan Gajah di Medan dipimpin oleh Kolonel Maludin Simbolon, Panglima Tentara dan Teritorium I (TTI) pada
tanggal 22 Desember 1956.
3. Dewan Garuda di Sumatra Selatan dipimpin oleh Letkol Barlian.
Sementara itu di Indonesia bagian timur juga terjadi pergolakan. Tanggal 2 Maret 1957 di Makassar,
Panglima TT VII Letkol Ventje Sumual memproklamasikan Piagam Perjoangan Rakyat Semesta (Permesta).
Piagam tersebut ditandatangani oleh 51 tokoh. Wilayah gerakannya meliputi Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Maluku.
Untuk memperlancar gerakannya dinyatakan bahwa daerah Indonesia bagian timur dalam keadaan bahaya. Seluruh
pemerintahan daerah diambil alih oleh militer pemberontak.

Untuk meredakan pergolakan di daerah maka pada tanggal 14 September 1957 dilaksanakan Musyawarah
Nasional (Munas) yang dihadiri tokoh-tokoh nasional baik di pusat maupun di daerah. Membicarakan mengenai
masalah pemerintahan, masalah daerah, ekonomi, keuangan, angkatan perang, kepartaian, serta masalah
dwitunggal Soekarno-Hatta. Sebagai tindak lanjut Munas maka diselenggarakan Musyawarah Nasional
Pembangunan (Munap) yang bertempat di Gedung Olah raga Medan Merdeka Selatan Jakarta. Dengan Tujuan
merumuskan usaha-usaha pembangunan sesuai dengan keinginan daerah-daerah. Untuk membantu mengatasi
persoalan di lingkungan Angkatan Darat dibentuklah panitia Tujuh, akan tetapi sebelum panitia tujuh mengumumkan
hasil pekerjaannya terjadilah peristiwa Cikini.
Peristiwa Cikini ini semakin memperburuk keadaan di Indonesia. Daerah-daerah yang bergejolak semakin
menunjukkan jati dirinya sebagai gerakan melepaskan diri dari pemerintah pusat. Bahkan pada tanggal 9 Januari
1958 diselenggarakan pertemuan di Sumatra Barat yang dihadiri tokoh-tokoh sipil dan militer daerah. Pada 10
Januari 1958 diselenggarakan rapat raksasa di Padang. Dalam pidatonya, Ketua Dewan Banteng, Achmad Husein
menyampaikan ultimatum kepada pemerintah pusat yang berisi.
1. Dalam waktu 5 x 24 jam kabinet Djuanda menyerahkan mandat kepada presiden.
2. Presiden menugaskan kepada Moh. Hatta dan Sultan Hamengkubuwono IX untuk membentuk Zaken Kabinet.
3. Meminta presiden kembali kepada kedudukannya sebagai Presiden Konstitusional.

Menanggapi ultimatum tersebut, Sidang Dewan Menteri memutuskan untuk menolaknya dan memecat
secara tidak terhormat perwira-perwira TNI-AD yang duduk dalam pimpinan gerakan sparatis, yaitu Letkol Achmad
Husein, Kolonel Zulkifli Lubis, Kolonel Dachlan Djambek, dan Kolonel Simbolon. Pada 12 Februari 1958, KSAD A.H
Nasution mengeluarkan perintah untuk membekukan Kodim Sumatra Tengah dan selanjutnya dikomando langsung
oleh KSAD.
Sementara itu pada, 15 Februari 1958, Achmad Husein memproklamasikan berdirinya Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) denganSyarifudin Prawiranegara sebagai perdana menterinya.
Proklamasi PRRI mendapatkan sambutan dari Indonesia bagian Timur. Dalam rapat-rapat raksasa yang
dilaksanakan di beberapa daerah Komando Daerah Militer Sulawesi Utara dan Tengah, Kolonel D. J Somba
mengeluarkan pernyataan bahwa sejak tanggal 17 Februari 1958 Kodim Sulawesi Utara dan Tengah (KDMSUT)
menyatakan putus hubungan dengan pemerintah pusat dan mendukung PRRI.
Untuk memulihkan keamanan Negara, pemerintah bersama dengan KSAD memutuskan untuk melakukan
operasi militer. Operasi gabungan AD-AL-AU terhadap PRRI ini diberi nama Operasi 17 Agustus yang dipimpin
oleh Letnan Kolonel Ahmad Yani. Operasi pertama kali ditujukan ke Pekanbaru untuk mengamankan sumber-
sumber minyak. Pada tanggal 14 Maret 1958 Pekanbaru berhasil dikuasai. Operasi militer kemudian dikembangkan
ke pusat pertahanan PRRI. Pada tanggal 4 Mei 1958 Bukittinggi berhasil direbut kembali. Selanjutnya, pasukan TNI
membersihkan daerah-daerah bekas kekuasaan PRRI. Banyak anggota PRRI yang melarikan diri ke hutan-hutan.
Untuk mengatasi pemberontakan PERMESTA, KSAD sebagai Penguasa Perang Pusat memecat Kolonel
Somba dan Mayor Runturambi, sedangkan Batalion yang berada di bawah KDMSUT diserahkan kepada Komando
Antardaerah Indonesia Timur. Untuk menumpas aksi Permesta, pemerintah melancarkan operasi gabungan yang
disebut Operasi Merdeka yang dipimpin oleh Letkol Rukminto Hendraningrat pada bulan April 1958. Gerakan
Permesta diduga mendapat bantuan dari petualang asing terbukti dengan jatuhnya pesawat yang dikemudikan oleh
A.L. Pope (seorang warganegara Amerika) yang tertembak jatuh di Ambon pada 18 Mei 1958. Pada 29 Mei 1961,
Achmad Husein menyerahkan diri. Pada pertengahan tahun 1961 tokoh-tokoh Permesta juga menyerahkan diri.
roklamsi PRRI ternyata mendapat dukungan dari Indonesia bagian Timur. Tanggal 17 Februari 1958 Somba
memutuskan hubungan dengan pemerintah pusat dan mendukung PRRI. Gerakannya dikenal dengan Perjuangan
Rakyat Semesta (Permesta). Gerakan ini jelas melawan pemerintah pusat dan menentang tentara sehingga harus
ditumpas.
Untuk menumpas gerakan Permesta, pemerintah melancarkan operasi militer beberapa kali. Berikut ini
operasi – operasi militer tersebut.

a. Komando operasi Merdeka yang dipimpin oleh Letkol Rukminto Hendraningrat.


b. Operasi Saptamarga I dipimpin Letkol Sumarsono, menumpas Permesta di Sulawesi Utara bagian tengah.
c. Operasi Saptamarga II dipimpin Letkol Agus Prasmono dengan sasaran Sulawesi Utara bagian Selatan.
d. Operasi Saptamarga III dipimpin Letkol Magenda dengan sasaran kepulauan sebelah Utara Manado.
e. Operasi Saptamarga IV dipimpin Letkol Rukminto Hendraningrat, menumpas Permesta di Sulawesi Utara.
f. Operasi Mena I dipimpin Letkol Pieters dengan sasaran Jailolo.
g. Operasi Mena II dipimpin Letkol Hunholz untuk merebut lapangan udara Morotai.
Ternyata Gerakan Permesta mendapat dukungan asing, terbukti dengan ditembak jatuhnya pesawat yang
dikemudikan oleh Alan Pope warga negara Amerika Serikat tanggal 18 Mei 1958 di atas Ambon. Meskipun demikian,
pemberontakan Permesta dapat dilumpuhkan sekitar bulan Agustus 1958, walaupun sisa – sisanya masih ada
sampai tahun 1961.

Keadaan Politik, Ekonomi, Sosial, dan Budaya Sebelum Terjadinya Peristiwa G 30 S/PKI
Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan ideologi Pancasila menghadapi berbagai tantangan besar sejak tahun
1959, ketika Demokrasi Terpimpin dilaksanakan. Pada waktu itu terjadi ketegangan sosial politik yang menjadi-jadi.
Kondisi politik menjadi panas karena antarpartai politik saling mencurigai, antara partai politik dengan ABRI serta
antara keduanya dengan Presiden. Mereka saling bersaing untuk saling berebut pengaruh atau mendominasi. Begitu
pula pada masa Demokrasi Terpimpin kondisi ekonomi sangat memprihatinkan hingga muncul krisis ekonomi
nasional.
Prinsip Nasakom yang diterapkan waktu itu memberi peluang kepada PKI dan organisasi pendukungnya untuk
memperluas pengaruhnya. Dalam memanfaatkan peluang tersebut PKI menyatakan sebagai partai pejuang bagi
perbaikan nasib rakyat dengan janji-janji seperti kenaikan gaji atau upah, pembagian tanah dan sebagainya. Oleh
karena itu PKI banyak mendapatkan pengaruh dari para petani, buruh kecil atau pegawai rendah sipil maupun
militer, seniman, wartawan, guru, mahasiswa, dosen, intelektual, dan para perwira ABRI.

7. Pemberontakan G 30 S/PKI
Tantangan yang dihadapi NKRI ketika Demokrasi Terpimpin dilaksanakan dan munculnya krisis ekonomi nasional
merupakan peluang paham komunis untuk berkembang. Prinsip Nasakom yang dilaksanakan pada waktu itu
memberi kesempatan kepada PKI dan organisasi pendukungnya untuk memperluas pengaruhnya. Melihat kondisi
ekonomi yang memprihatinkan serta kondisi sosial politik yang penuh dengan gejolak pada awal tahun 1960-an
maka PKI berusaha menyusun kekuatan dan melakukan pemberontakan. Sebelum melakukan pemberontakan, PKI
melakukan berbagai cara agar mendapat dukungan yang luas di antaranya sebagai berikut.

1. PKI menyatakan dirinya sebagai pejuang perbaikan nasib rakyat serta berjanji akan menaikkan gaji dan upah
buruh, pembagian tanah dengan adil, dan sebagainya.
2. PKI juga mencari pendukung dari berbagai kalangan mulai dari para petani, buruh kecil, pegawai rendahan baik
sipil maupun militer, seniman, wartawan, guru, mahasiswa, dosen, intelektual, dan para perwira ABRI.
3. Pengaruh PKI yang besar dalam bidang politik sehingga memengaruhi terhadap kebijakan pemerintah. Misalnya,
semua organisasi yang anti komunis dituduh sebagai anti pemerintah. Manifesto Kebudayaan (Manikebu), sebagai
organisasi para seniman dibubarkan pemerintah pada bulan Mei 1964. Kebijakan politik luar negeri RI pada waktu itu
lebih condong ke Blok Timur yakni dengan terbentuknya Poros Jakarta-Peking.
Puncak ketegangan politik terjadi secara nasional pada dini hari tanggal 30 September 1965 atau awal tanggal 1
Oktober 1965, yakni terjadinya penculikan dan pembunuhan terhadap para perwira Angkatan Darat. Penculikan ini
dilakukan oleh sekelompok militer yang menamakan dirinya sebagai Gerakan 30 September. Aksi ini di bawah
pimpinan Letnan Kolonel Untung, komandan Batalyon I Cakrabirawa. Para pimpinan TNI AD yang diculik dan
dibunuh oleh kelompok G 30 S/ PKI tersebut adalah sebagai berikut.
a. Letnan Jenderal Ahmad Yani.
b. Mayor Jenderal R. Suprapto.
c. Mayor Jenderal Haryono MT.
d. Mayor Jenderal S. Parman.
e. Brigadir Jenderal DI. Panjaitan.
f. Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomiharjo.
g. Letnan Satu Pierre Andreas Tendean.

Dalam peristiwa tersebut Jenderal Abdul Haris Nasution yang menjabat sebagai Menteri Kompartemen Hankam/
Kepala Staf Angkatan Darat berhasil meloloskan diri dari pembunuhan akan tetapi putri beliau, Irma Suryani
Nasution tewas akibat tembakan para penculik. Letnan Satu Pierre Andreas Tendean, ajudan Jenderal Nasution juga
tewas dalam peristiwa tersebut. Selain itu Brigadir Polisi Karel Satsuit Tubun, pengawal rumah Wakil Perdana
Menteri II Dr. J. Leimena juga menjadi korban keganasan PKI. Peristiwa pembunuhan oleh G 30 S/ PKI yang terjadi
di Yogyakarta mengakibatkan gugurnya dua orang perwira TNI AD yakni Kolonel Katamso Dharmokusumo dan
Letnan Kolonel Sugiyono. Pada hari Jum’at pagi tanggal 1 Oktober 1965 “Gerakan 30 September “ telah menguasai
dua buah sarana komunikasi vital, yakni studio RRI Pusat di Jalan Merdeka Barat, Jakarta dan Kantor PN
Telekomunikasi di Jalan Merdeka Selatan. Melalui RRI pagi itu pukul 07.20 dan diulang pada pukul 08.15 disiarkan
pengumuman tentang Gerakan 30 September. Diumumkan antara lain bahwa gerakan ditujukan kepada jenderal-
jenderal anggota Dewan Jenderal yang akan mengadakan kudeta terhadap pemerintah. Dengan pengumuman ini
maka masyarakat menjadi bingung.
Menghadapi situasi politik yang panas tersebut Presiden Sukarno berangkat menuju Halim Perdanakusumah, dan
segera mengeluarkan perintah agar seluruh rakyat Indonesia tetap tenang dan meningkatkan kewaspadaan serta
memelihara persatuan dan kesatuan bangsa. Mayor Jenderal Suharto selaku Panglima Komando Strategis
Angkatan Darat (KOSTRAD) mengambil alih komando Angkatan Darat, karena belum adanya kepastian mengenai
Letnan Jenderal Ahmad Yani yang menjabat Menteri Panglima Angakatan Darat. Dengan menghimpun pasukan lain
termasuk Divisi Siliwangi, dan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) di bawah pimpinan Kolonel Sarwo
Edi Wibowo, panglima Kostrad mulai memimpin operasi penumpasan terhadap Gerakan 30 September. Tindakan-
tindakan yang dilakukan dalam operasi ini sebagai berikut.
(1) Pada tanggal 1 Oktober 1965 operasi untuk merebut kembali RRI dan Kantor Telkomunikasi sekitar pukul 19.00.
Dalam sekitar waktu 20 menit operasi ini berhasil tanpa hambatan. Selanjutnya Mayor Jenderal Soeharto selaku
pimpinan sementara Angkatan Darat mengumumkan lewat RRI yang isinya sebagai berikut.
(a) Adanya usaha usaha perebutan kekuasaan oleh yang menamakan dirinya Gerakan 30 September.
(b) Telah diculiknya enam tinggi Angkatan Darat.
(c ) Presiden dan Menko Hankam/Kasab dalam keadaan aman dan sehat.
(d) Kepada rakyat dianjurkan untuk tetap tenang dan waspada.

(2) Menjelang sore hari pada tanggal 2 Oktober 1965 pukul 06.10 operasi yang dilakukan oleh RPKAD yang dipimpin
oleh Kolonel Sarwo Edhi Wibowo dan Batalyon 328 Para Kujang. Operasi ini berhasil menguasai beberapa tempat
penting dapat mengambil alih beberapa daerah termasuk daerah sekitar bandar udara Halim Perdanakusumah yang
menjadi pusat kegiatan Gerakan 30 September.
(3) Dalam operasi pembersihan di kampung Lubang Buaya pada tanggal 3 Oktober 1965, atas petunjuk seorang
anggota polisi, Ajun Brigadir Polisi Sukitman diketemukan sebuah sumur tua tempat jenazah para perwira Angkatan
Darat dikuburkan. Mereka yang menjadi korban kebiadaban PKI tersebut mendapat penghargaan sebagai pahlawan
revolusi.
Ketika gerakan 30 September ini menyadari tidak adanya dukungan dari masyarakat maupun anggota angkatan
bersenjata lainnya, para pemimpin dan tokoh pendukung Gerakan 30 September termasuk pemimpin PKI D.N. Aidit
segera melarikan diri. Dengan demikian masyarakat semakin mengetahui bahwa Gerakan 30 September yang
sebenarnya melakukan pengkhianatan terhadap negara ini
Usaha terhadap Pemerintah RI dan mengganti dasar negara Pancasila telah dua kali dijalankan, yang
pertama di tahun 1948, dikenal sebagai pemberontakan PKI Muso di Madiun dan yang kedua ialah pemberontakan
G 30 S PKI dalam bulan September 1965.
Sebelum melancarkan Gerakan 30 September, PKI mempergunakan berbagai cara seperti mengadu
domba antara aparat Pemerintah, ABRI dan ORPOL, serta memfitnah mereka yang dianggap lawan-lawannya serta
menyebarkan berbagai isyu yang tidak benar seperti KABIR, setan desa dan lain-lain. Semua tindakan tersebut
sesuai dengan prinsip PKI yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya yaitu mengkomuniskan
Indonesia dan mengganti Pancasila dengan ideologi mereka. Bahkan menjelang saat-saat meletusnya
pemberontakan G 30 S /PKI, maka PKI di tahun 1965 melontarkan isyu bahwa Angkatan Darat akan mengadakan
kup terhadap Pemerintah RI dan di dalam TNI AD terdapat "Dewan Jenderal".
Jelaslah isyu-isyu tersebut merupakan kebohongan dan fitnah PKI, yang terbukti bahwa PKI sendiri yang
ternyata melakukan kup dan mengadakan pemberontakan terhadap Pemerintah RI yang syah dengan mengadakan
pembunuhan terhadap Pejabat Teras TNI AD yang setia kepada Pancasila dan Negara.
Di samping itu, PKI memantapkan situasi "revolusioner" dikalangan anggota-anggotanya dan massa rakyat.
Semua ini dimungkinkan karena PKI mendompleng dan berhasil mempengaruhi presiden Sukarno, dengan berbagai
aspek politiknya seperti MANIPOL, USDEK, NASAKOM dan lain-lain.
Semua kegiatan ini pada hakekatnya merupakan persiapan PKI untuk merebut kekuasaan negara dan
sesuai dengan cita-cita atau ideologi mereka yang akan membentuk pemerintah komunis sebagai alat untuk
mewujudkan masyarakat komunis.
Setelah persiapan untuk melakukan pemberontakan mereka anggap cukup matang antara lain dengan
latihan kemiliteran para SUKWAN dan Ormas-ormas PKI di Lubang Buaya, maka ditentukan hari H dan Jam D- nya.
Rapat terakhir pimpinan G 30 S /PKI terjadi pada tanggal 30 September 1965, diamana ditentukan antara lain
penentuan Markas Komando (CENKO) yang mempunyai 3 unsur :
1. Pasopati, Tugas khusus pimpinan Lettu Dul Arief dari MEN Cakrabirawa.
2. Bimasakti, tugas penguasaan dipimpin oleh Kapten Radi.
3. Gatotkaca sebagai cadangan umum juga penentuan tanda-tanda pengenal, kode-kode dan hal-hal lain yang
berhubungan dengan operasi tersebut. Untuk gerakan operasi mereka ini Jakarta dibagi dalam 6 sektor.
Dari Lubang Buaya ini PKI dan pasukan-pasukan yang telah dipersiapkan, melancarkan gerakan
pemberontakannya, dengan diawali lebih dahulu menculik dan membunuh secara keji Pemimpin-pemimpin TNI AD
yang telah difitnah oleh PKI menduduki beberapa instalasi vital di Ibukota seperti Studio RRI, pusat Telkom dan lain-
lain.
Diantara para Pemimpin TNI AD yang dibunuh secara kejam adalah Panglima Angakatan Darat Letjen TNI
A Yani, Deputy II MEN/PANGAD MAYJEN TNI Suprato, Deputy III MEN/PANGAD Mayjen TNI Haryono MT, ASS 1
MEN/PANGAD Mayjen TNI Suparman, ASS III MEN/PANGAD Brigjen TNI DI Pandjaitan, IRKEH OJEN AD Brigjen
TNI Sutoyo Siswomiharjo
Usaha PKI untuk menculik dan membunuh MEN PANGAB Jenderal TNI A.H. Nasution mengalami
kegagalan, namun Ajudan beliau Lettu Czi Piere Tendean dan putri beliau yang berumur 5 tahun Ade Irma Suryani
Nasution telah gugur menjadi korban kebiadaban gerombolan G 30 S/PKI. Dalam peristiwa ini Ade Irma Suryani
telah gugur sebagai tameng Ayahandanya. Para pemimpin TNI AD tersebut dan Ajudan Jenderal TNI Nasution
berhasil diculik dan dibunuh oleh gerombolan G 30 S/PKI tersebut, kemudian secara kejam dibuang/dikuburkan di
dalam satu tempat yakni di sumur tua di Lubang Buaya daerah Pondok Gede.
Demikian pula AIP Satuit Tubun pengawal kediaman WAPERDAM DR. A.J. Leimena gugur pula. Di
Jogyakarta, DANREM 072 Kolonel Katamso dan KASREM 072 Letkol I Sugiono gugur pula diculik dan dianiaya oleh
gerombolan G 30 S/PKI secara di luar batas-batas perikemanusiaan di desa Kentungan.
Sementara itu, sesudah PKI dengan G 30 S/PKI nya berhasil membunuh para pimpinan TNI AD, kemudian
pimpinan G 30 S/PKI mengumumkan sebuah dektrit melalui RRI yang telah berhasil pula dikuasai. Dekrit tersebut
diberinya nama kode Dekrit No 1 yang mengutarakan tentang pembentukan apa yang mereka namakan Dewan
Revolusi Indonesia di bawah pimpinan Letkol Untung. Berdasarkan revolusi merupakan kekuasaan tertinggi, dekrit
no 1 tersebut, maka Dewan Revolusi merupakan kekuasaan tertinggi, Dekrit no 2 dari G 30 S/PKI tentang penurunan
dan kenaikan pangkat (semua pangkat diatas Letkol diturunkan, sedang prajurit yang mendukung G 30 S/PKI
dinaikan pangkatnya 1 atau 2 tingkat).
Setelah adanya tindakan PKI dengan G 30 S/PKI-nya tersebut, maka keadaan di seluruh tanah air menjadi
kacau. Rakyat berada dalam keadaan kebingungan, sebab tidak diketahui di mana Pimpinan Negara berada.
Demikian pula halnya nasih para Pemimpin TNI AD yang diculikpun tidak diketahui bagaimana nasib dan beradanya
pula.
Usaha untuk mencari para pimpinan TNI AD yang telah diculik oleh gerombolan G 30 S/PKI dilakukan oleh
segenap Kesatuan TNI/ABRI dan akhirnya dapat diketahui bahwa para pimpinan TNI AD tersebut telah dibunuh
secara kejam dan jenazahnya dimasukan ke dalam sumur tua di daerah Pondok Gede, yang dikenal dengan nama
Lubang Buaya.
Dari tindakan PKI dengan G 30 S nya, maka secara garis besar dapat diutarakan :
1.) Bahwa Gerakan 30 September adalah perbuatan PKI dalam rangka usahanya untuk merebut kekuasaan di
negara Republik Indonesia dengan memperalat oknum ABRI sebagai kekuatan fisiknya, untuk itu maka Gerakan 30
September telah dipersiapkan jauh sebelumnya dan tidak pernah terlepas dari tujuan PKI untuk membentuk
pemerintah Komunis.
2.) Bahwa tujuan tetap komunis di Negara Non Komunis adalah merebut kekuasaan negara dan
mengkomuniskannya.
3.) Usaha tersebut dilakukan dalam jangka panjang dari generasi ke generasi secara berlanjut.
4.) Selanjutnya bahwa kegiatan yang dilakukan tidak pernah terlepas dari rangkaian kegiatan komunisme
internasional.
Upaya Penumpasan G-30S/PKI
Setelah melakukan aksinya, Letkol Untung kemudian mengumandangkan berdirinya Dewan Revolusi yang
selanjutnya bertindak sebagai pemegang kekuasaan dan keamanan negara. Dewan Revolusi ini diketuai oleh Letkol
Untung dengan wakil Brigjen Suparjo.
Melihat hal tersebut, Mayjen Soeharto segera melakukan tindakan tegas. Ia lalu menyuruh Sarwo Edhi Wibowo
selaku RPKAD untuk mengamankan keadaan. Dengan sekejap pasukan Sarwo Edhi berhasil menguasai RRI.
Dalam siaran tanggal 1 Oktober 1965 malam, Mayjen Soeharto menegaskan bahwa G-30S/PKI adalah
pemberontakan dan Presiden Soekarno dalam keadaan selamat.
Pada tanggal 1 Oktober juga, TNI dapat menguasai pangkalan udara Halim Perdanakusumah dan Lubang Buaya.
Lalu, pada tanggal 2 Oktober 1965 jenazah perwira TNI AD berhasil di temukan di Lubang Buaya dan pada tanggal 5
Oktober 1965 jenazah pahlawan revolusi dikebumikan di TMP Kalibata. sementara jenazah Kolonel Katamso dan
Letkol Sugiyono yang menjadi korban Gestapu di Yogya baru ditemukan tanggal 19 Oktober 1965.
Sementara itu, beberapa orang yang terlibat dalam Gestapu terus melarikan diri ke berbagai tempat di Pulau Jawa.
Akan tetapi, usaha penumpasan G-30S/PKI terus dilakukan di berbagai tempat. Akhirnya Letkol Untung dapat
ditangkap di Tegal pada tanggal 11 Oktober 1965 dan pimpinan PKI waktu itu, D.N. Aidit ditangkap di Surakarta
tanggal 22 November 1965. Selain itu, banyak pula tokoh PKI lain yang ditangkap. Kemudian mereka diajukan ke
Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmillub) untuk diadili.
Akibat dari Gestapu tersebut adalah munculnya demonstrasi menentang PKI. Para demonstran menuntut
dibubarkannya PKI. Pada demonstrasi ini, gugurlah mahasiswa Universitas Indonesia, Arif Rahman Hakim yang
mendapat gelar pahlawan Ampera (Amanat penderitaan rakyat).
Akhirnya, pada tanggal 11 Maret 1966 lahirlah Supersemar yang isinya memberikan amanat kepada Letjen Soeharto
untuk mengambil segala tindakan demi mencapai keamanan dan ketenangan. lalu, pada tanggal 12 Maret 1966, PKI
dinyatakan partai terlarang di seluruh Indonesia dan pada tanggal 18 Maret 1966 dilakukan pembersihan kabinet dari
orang-orang yang diduga terlibat Gestapu. Dengan lahirnya Supersemar inilah sebagai awal dimulainya orde baru.
G-30S/PKI Pemberontakan PKI Madiun

Anda mungkin juga menyukai