Anda di halaman 1dari 18

Integrasi nasional adalah Usaha atau proses mempersatukan perbedaan-perbedaan dalam suatu negara

berdasarkan bahasa, darah, sejarah, tanah, dan tujuan yang sama sehingga tercapai keserasian dan
keselarasan nasional. Bagi sebuah bangsa, terwujudnya integrasi dalam cakupan nasional penting untuk
mempertahankan keutuhan dan kedaulatannya. Adapun pengertian disintegrasi menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia adalah keadaan tidak bersatu padu; keadaan terpecah belah; hilangnya keutuhan atau
persatuan; perpecahan.

Peristiwa proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 ternyata bukanlah titik puncak integrasi nasional.
Pada awal kemerdekaan, tidak sedikit kesukaran yang dihadapi pemerintah dan rakyat. Sebagai negara
yang baru diakui kedaulatannya, bangsa lndonesia harus menghadapi rongrongan dari dalam negeri.

A. Berbagai Pergolakan di Dalam Negeri (1948-1965)

Dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Republik Iindonesia, pemerintah indonesia menghadapi


Berbagai pergolakan dan permberontakan dari dalam negeri. Pergolakan dan pemberontakan tersebut
seperti pemberontakan PKI Madiun tahun 1948, pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA),
pemberontakan Andi Azis, Gerakan Republik Maluku Selatan (RMS), gerakan D/TII, pemberontakan
Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), dan pemberontakan Piagam Perjuangan Rakyat
Semesta (Pemesta). Pergolakan dan pemberontakan tersebut mengancam keutuhan negara Republik
Indonesia. Pemerintah Indonesia berusaha mengatasi pergolakan dan pemberontakan tersebut.

Sejarah pergolakan dan konflik yang terjadi di Indonesia antara tahun 1948-1965 dapat dibagi ke dalam
tiga bentuk pergolakan. Berikut tiga bentuk pergolakan tersebut.

1. Peristiwa Konflik dan Pergolakan yang Berkaitan dengan ideologi peristiwa yang temasuk dalam
kategori ini, seperti peristiwa pemberontakan PKI Madiun, pemberontakan Di/TII, dan peristiwa G-30-
S/PKI. Berikut peristiwa dan pergolakan yang berkaitan dengan ideologi.

a. Pemberontakan PKI Madiun Terjadinya pemberontakan PKI Madiun berawal dari upaya yang
dilakukan oleh Amir Syarifuddin untuk menjatuhkan Kabinet Hatta. Untuk hal tersebut, Amir Syarifuddin
pada tanggal 26 Februari 1948 membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) di Surakarta. FDR terdiri dari
Partai Sosialis Indonesia, PKI, Pesindo, PBl, dan Sarbupri. Adapun strategi yang diterapkan FDR adalah
sebagai berikut.

1) FDR berusaha menumbuhkan ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintah dengan cara melakukan
pemogokan umum dan berbagai bentuk pengacauan.

2) FDR menarik pasukan pro-FDR dari medan tempur untuk memperkuat wilayah yang telah dibina.

3) FDR menjadikan Madiun sebagal basis pemerintahan dan Surakarta sebagai daerah kacau (untuk
mengalihkan perhatian dan menghadang TNI).

4) Di dalam parlemen, FDR mengusahakan terbentuknya Front Nasional yang mempersatukan berbagai
kekuatan sosial-politik untuk menggulingkan Kabinet Hatta.

Kegiatan FDR dikendalikan oleh PKI sejak Muso kembali dari Uni Soviet. Atas anjuran dari Muso, partai
yang tergabung dalam FDR meleburkan diri dalam PKI. Selanjutnya, PKI menyusun politbiro (dewan
politik) dengan ketuanya Muso dan sekretaris pertahanan Amir Syarifuddin.

Dalam rangka untuk menjatuhkan wibawa pemerintah, Muso dan Amir Syarifuddin
Berkeliling ke sejumlah kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk mempropagandakan PKI beserta
programnya. Sambil menjelek-jelekkan pemerintah, PKI mempertajam persaingan antara pasukan TNI
yang pro-PKI dan propemerintah. Adanya persaingan tersebut turut

Memicu terjadinya pemberontakan PKI Madiun (Madiun Affair).

Di Surakarta pada tanggal 11 September 1948 terjadi bentrokan antara pasukan

Propemerintah RI (Divisi Siliwangi) dan pro-PKI (Divisi IV). Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah
menunjuk Kolonel Gatot Subroto sebagai gubernur militer (meliputi daerah Surakarta, Pati, Semarang,
dan Madiun). Akhirnya pada tanggal 17 September 1948 pasukan pro-PKI mundur dari Surakarta.
Ternyata kejadian di Surakarta tersebut hanya untuk mengalihkan perhatian. Pada

Waktu kekuatan TNI terjun ke Surakarta, Sumarsono dari Pesindo dan Letnan Kolonel Dahlan dari
Brigade 29 yang pro-PKI melakukan perebutan kekuasaan di Madiun pada tanggal 18 September 1948.
Tindakan PKI tersebut disertai dengan penangkapan dan pembunuhan pejabat sipil, militer, dan pemuka
masyarakat, kemudian mereka mendirikan pemerintahan Soviet Republik Indonesia di Madiun.

Pada waktu kudeta berlangsung di Madiun, Muso dan Amir Syarifuddin sedang berada

Di Purwodadi, kemudian mereka ke Madiun mendukung kudeta dan mengambil alih pimpinan.

Secara resmi diproklamasikan berdirinya Soviet Republik Indonesia. Semua yang dilakukan oleh Muso
dan Amir Syarifuddin tersebut memperjelas bahwa pemberontakan di Madiun didalangi oleh PKI. Untuk
mengatasi pemberontakan tersebut, pemerintah bersikap tegas. Presiden Soekarno memberikan pilihan
kepada rakyat ikut Muso dengan PKI-nya atau ikut Soekarno-Hatta. Tawaran

Presiden Soekarno tersebut disambut dengan sikap mendukung pemerintah RI. Selanjutnya, pemerintah
menginstruksikan kepada Kolonel Sadikin dari Divisi Siliwangi untuk merebut kota Madiun. Kota Madiun
diserang dari dua arah. Dari barat diserang oleh pasukan Siliwangi dan dari arah timur diserang oleh
pasukan yang dipimpin oleh Kolonel Sungkono.

Dengan bantuan rakyat, pada tanggal 30 September 1948 kota Madiun berhasil

Dikuasai TNI. Muso tertembak dalam pengejaran di Ponorogo dan Amir Syarifuddin tertangkap di
Purwodadi, kemudian dilakukan operasi pembersilan di daerah-daerah dan pada bulan Desember 1948
operasi dinyatakan selesai.

b. Pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indon (DI/TII)

1) Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat Pelopor gerakan DI/TII adalah Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo.
Dengan ditanda-tanganinya Perjanjian Renville pada tanggal 8 Desember 1947 membuat pasukan TNI
harus hijrah dari Jawa Barat ke Jawa Tengah. Namun, kepindahan tersebut tidak diikuti oleh pasukan
Hizbullah dan Sabilillah yang dipimpin S.M. Kartosuwiryo. Menurut S.M. Kartosuwiryo, tidak seharusnya
Republik Indonesia melepaskan Jawa Barat kepada Belanda setelah berjuang bersama dalam mencapai
kemerdekaan. S.M. Kartosuwiryo kecewa dan tidak mengakui lagi keberadaan Republik Indonesia dan
kemudian memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) pada tanggal 7 Agustus 1949 di
desa Cisayong, Tasikmalaya, Jawa Barat. S.M. Kartosuwiryo membentuk Tentara Islam Indonesia (TII)
dengan markasnya di
Gunung Geber. Til terdiri dari laskar Hizbullah dan Sabilillah. Kembalinya pasukan Siliwangi dari Jawa
Tengah menimbulkan bentrokan dengan TII. Untuk menumpas gerakan tersebut, pemerintah mulai
tanggal 27 Agustus 1959 melakukan operasi militer di bawah pimpinan Ibrahim Adjie, Pangdam
Siliwangi. Operasi tersebut bernama Operasi Pagar Betis dan berhasil menangkap S.M. Kartosuwiryo di
Gunung Geber, Majalengka, Jawa Barat pada tanggal 4 Juni 1962. S.M. Kartosuwiryo diadili dan dijatuhi
hukuman mati.

2) Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah

Gerakan DI/TII di Jawa Tengah dipimpin oleh Amir Fatah. Di Kebumen, gerakan ini di

Kenal dengan nama Angkatan Umat Islam yang dipimpin oleh Mahfudh Abdul Rahman

(Kiai Sumolangu). Untuk menumpas gerakan tersebut pemerintah membentuk pasukan

Banteng Raiders dan melancarkan Operasi Gerakan Banteng Negara dan berhasil

Menumpas pada tahun 1954.

3) Pemberontakan DI/TII di Kalimantan Selatan

Pemberontakan DI/Tll yang terjadi di Kalimantan Selatan dipimpin oleh Ibnu Hajar

(mantan letnan dua TNI). Ibnu Hajar menggalang gerakan yang bernama Kesatuan Rakyat yang Tertindas
(KRYT) dan menyatakan gerakan KRYT sebagai bagian dari DI/TIl yang dipimpin Kartosuwiryo. KRYT sejak
pertengahan bulan Oktober 1950 menyerang pos-pos TNI dan mengacaukan sejumlah wilayah di
Kalimantan Selatan.

Awalnya pemerintah memberi kesempatan kepada pemberontak untuk menyerahkan diri. Hal itu
dimanfaatkan oleh Ibnu Hajar untuk mengelabuhi pemerintah agar

Memperoleh senjata. Setelah terpenuhi keinginannya, Ibnu Hajar kembali memberontak. Untuk
menghadapi pemberontakan tersebut, pemerintah bertindak tegas dengan melaksanakan operasi
militer. Akhirnya Ibnu Hajar dapat ditangkap pada bulan Juli 1963. Dua tahun kemudian diadili oleh
Mahkamah Militer dan dijatuhi hukuman mati.

4) Pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan

Pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan meletus sejak tahun 1951 dan dipimpin oleh Kahar Muzakar.
Munculnya gerakan DI/TII tersebut bermula dari Kahar Muzakar menempatkan laskar-laskar rakyat
Sulawesi Selatan ke dalam lingkungan APRIS

(Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat). Selanjutnya, Kahar Muzakar berkeinginan untuk menjadi
pimpinan APRIS di daerah Sulawesi Selatan. Pada tanggal 30 April 1950 Kahar Muzakar mengirim surat
kepada pemerintah pusat. Dalam surat tersebut Kahar Muzakar menyatakan agar semua anggota dari
KGSS (Komando Gerilya Sulawesi Selatan) dimasukkan dalam APRIS. Kahar Muzakar juga mengusulkan
pembentukan Brigade Hasanuddin. Namun, permintaan Kahar Muzakar tersebut ditolak oleh
pemerintah pusat. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, pemerintah pusat bersama dengan
pimpinan APRIS mengeluarkan kebijakan dengan memasukkan semua anggota KGSS ke dalam Corps
Tjadangan Nasional (CTN) dan Kahar Muzakar diangkat sebagai pimpinannya dengan pangkat letnan
kolonel.

Kebijakan pemerintah tersebut tidak memuaskan Kahar Muzakar. Pada tanggal

17 Agustus 1951, bersama dengan pasukannya Kahar Muzakar melarikan diri ke hutan. Pada tahun 1952
Kaha yakar menyatakan bahwa wilayah Sulawesi Selatan menjadi bagian dari Negara Isla tonesia
pimpinan Kartosuwiryo. Untuk mengatasi mberontakan tersebut, pemerintah bertindak tegas dengan
mengadakan operasi militer. Penumpasan tersebut mengalami berbagai kesulitan, tetapi akhirnya pada
bulan Februari 1965 Kahar Muzakar berhasil ditembak dan pada bulan Juli 1965, orang kedua setelah
Kahar (Gerungan) dapat ditangkap. Peristiwa tersebut mengakhiri pemberontakan DI/TII di Sulawesi
Selatan.

5) Pemberontakan DI/TII di Aceh

Pemberontakan DI/TI di Aceh ini dipimpin oleh Daud Beureueh. Daud Beureueh adalah gubernur militer
di wilayah Aceh semasa perang kemerdekaan. Namun setelah perang kemerdekaan usai dan Indonesia
kembali ke dalam bentuk negara kesatuan pada tahun 1950, Aceh yang sebelumnya menjadi daerah
istimewa diturunkan statusnya menjadi keresidenan di bawah Provinsi Sumatra Utara. Kebijakan
tersebut ditentang oleh Daud Beureueh. Pada tanggal 20 September 1953 Daud Beureueh
mengeluarkan maklumat tentang penyatuan Aceh ke dalam Negara Islam Indonesia yang dipimpin
Kartosuwiryo.

Untuk menumpas pemberontakan tersebut, pemerintah mengadakan dua pendekatan (pendekatan


persuasif dan operasi militer). Pendekatan persuasif dilakukan dengan mengembalikan kepercayaan
rakyat kepada pemerintah, sedangkan operasi militer dilakukan untuk menghancurkan kekuatan
bersenjata DI/TII.

Dengan dua pendekatan tersebut, pemerintah berhasil memulihkan kepercayaan rakyat dan berhasil
menciptakan keamanan rakyat Aceh. Pada tanggal 17–21 Desember 1962 diadakan musyawarah
kerukunan rakyat Aceh. Adanya musyawarah tersebut merupakan gagasan dari Pangdam I/Iskandar
Muda, Kolonel M. Yasin, yang didukung

Oleh tokoh pemerintah daerah dan masyarakat Aceh. Hasil musyawarah tersebut pemerintah
menawarkan amnesti kepada Daud Beureueh asalkan Daud Beureueh bersedia kembali ke tengah
masyarakat. Dengan kembalinya Daud Beureueh ke tengah masyarakat menandai berakhirnya
pemberontakan DI/TII.

C. G-30-S/PKI

1) Pertentangan antara PKI dan Angkatan Darat (AD)

Adanya perbedaan ideologi serta kepentingan antara PKI dan Angkatan Darat menyebabkan keduanya
bersaing satu sama lain. Sesuai dengan ideologi yang dianutnya, PKI berkepentingan merintis berdirinya
negara komunis. Adapun Angkatan Darat sebagai kekuatan pertahanan negara berkepentingan
mengamankan Pancasila sebagai dasar negara.

Pada bulan Januari 1965 PKI mengajukan gagasan pembentukan angkatan kelima.

Gagasan tersebut berisi tuntutan agar kaum buruh dan tani dipersenjatai. Hal tersebut

Dilakukan untuk menggalang kekuatan menghadapi neokolonial imperialisme (nekolim) Inggris dalam
rangka Dwikora. Pada bulan Mei 1965, PKI melempar isu adanya Dewan Jenderal dalam tubuh Angkatan
Darat. Menurut PKI, Dewan Jenderal ditafsirkan sebagai badan yang mempersiapkan perebutan
kekuasaan dari Presiden Soekarno.

Angkatan Darat secara tegas menolak gagasan pembentukan angkatan kelima.

Menurut Men/Pangad Letnan Jenderal Ahmad Yani, pembentukan angkatan kelima

Tidak efisien dan merugikan revolusi Indonesia. Penolakan pembentukan angkatan kelima dinyatakan
pula oleh Laksamana Muda Martadinata atas nama Angkatan Laut. Mereka hanya dapat menerima jika
angkatan kelima berada dalam lingkungan ABRI dan di tangan komando perwira yang profesional.
Adapun dalam menanggapi adanya isu Dewan Jenderal, pimpinan Angkatan Darat meyakinkan presiden
akan kesetiaan mereka terhadap pemerintah. Pimpinan Angkatan Darat menyatakan bahwa dewan

20) yang ada dalam Angkatan Darat bukan Dewan Jenderal, melainkan Dewan Jabatan dan Kepangkatan
Tinggi (Wanjakti) yang bertugas memberikan usul kepada Men/Pangad tentang promosi jabatan dan
pangkat para perwira tinggi.

Di tengah persaingan antara PKI dan Angkatan Darat, pada bulan Juli 1965 muncul berita tentang
memburuknya kesehatan Presiden Soekarno. Menurut tim dokter yang khusus didatangkan dari RRC,
ada kemungkinan presiden akan lumpuh atau meninggal. Pimpinan PKI yang mengetahui berita itu
langsung dari dokter-dokter RRC merasa perlu segera mengambil tindakan.

2) Pemberontakan G-30-S/PKI

Letnan Kolonel Untung sebagai pimpinan gerakan memerintahkan kepada seluruh

30) anggota gerakan untuk mulai bergerak pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965. Pada dini hari itu,
mereka melakukan serangkaian penculikan dan pembunuhan terhadap enam perwira tinggi dan seorang
perwira pertama dari Angkatan Darat.

Para perwira Angkatan Darat tersebut disiksa dan dibunuh yang kemudian dimasukkan ke dalam satu
sumur tua di Lubang Buaya yang terletak di sebelah selatan Pangkalan Udara Utama Halim
Perdanakusuma. Enam jenderal korban dari TNI Angkatan Darat tersebut adalah sebagai berikut.

a) Letnan Jenderal Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat atau Men/Pangad)

b) Mayor Jenderal R. Suprapto (Deputi Il Pangad)

c) Mayor Jenderal Haryono Mas Tirtodarmo (Deputi III Pangad)

d) Mayor Jenderal Siswondo Parman (Asisten I Pangad)

e) Brigadir Jenderal Donald Izacus Panjaitan (Asisten IV Pangad)


f) Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur)

Ketika terjadinya penculikan para perwira Angkatan Darat, Jenderal A.H. Nasution

Yang juga menjadi target penculikan berhasil menyelamatkan diri dengan kaki yang tertembak. Namun,
putrinya yang bernama Ade Irma Suryani Nasution menjadi korban sasaran tembak dan gugur. Ajudan
Jenderal A.H. Nasution yang bernama Letnan Satu Pierre Andreas Tendean juga menjadi korban,
sedangkan Pembantu Letnan Polisi Karel Satsuit Tubun gugur pada saat melakukan perlawanan
terhadap gerombolan yang berusaha menculik Jenderal A.H. Nasution.

Penculikan dan pembunuhan serupa juga terjadi di Yogyakarta dan menimbulkan

Korban Komando Resimen 072 Pamungkas Kolonel Katamso serta Kepala Staf Korem

072 Pamungkas Letkol Sugiyono. Keduanya dibunuh dengan kejam di Kentungan, daerah markas suatu
batalion yang dikuasai oleh perwira komunis.

3) Penumpasan G-30-S/PKI

Setelah menerima laporan terjadinya penculikan para pemimpin TNI Angkatan Darat, Mayor Jenderal
Soeharto sebagai panglima Kostrad (Komando Strategi Angkatan Darat) segera mengambil langkah-
langkah untuk memulihkan keamanan di ibu kota. Langkah-langkah tersebut yaitu dengan
menyelamatkan dua objek vital, yaitu gedung RRI dan pusat

Telekomunikasi. Dalam waktu dua puluh lima menit resimen RPKAD di bawah Sarwo Edhi

Berhasil merebut kedua objek tersebut. Pada pukul 20.10 WIB Mayor Jenderal Soeharto selaku
pimpinan sementara Angkatan Darat mengeluarkan pernyataan resmi yang isinya memberitahukan
kepada seluruh rakyat bahwa pada tanggal 1 Oktober 1965 telah terjadi peristiwa penculikan beberapa
perwira tinggi Angkatan Darat yang dilakukan oleh golongan kontrarevolusioner yang menamakan
dirinya Gestapu (Gerakan 30 September). Selanjutnya, mereka telah mengambil alih kekuasaan negara.
Mayor Jenderal Soeharto menegaskan bahwa kekuatan Gestapu dapat dihancurkan dan NKRI yang
berdasarkan Pancasila pasti tetap jaya. Pidato Mayor Jenderal Soeharto tersebut dapat meredakan
kegelisahan rakyat dan mereka dapat mengetahui gambaran yang jelas tentang situasi negara.

Operasi penumpasan dilanjutkan dengan sasaran Pangkalan Udara Utama/Lanuma

Halim Perdanakusuma, yang menjadi basis kekuatan G-30-S/PKI. Operasi ini bertujuan

Mencari tempat dan mengusut nasib para jenderal yang diculik. Operasi dilanjutkan ke Lubang Buaya.
Atas petunjuk dari Ajudan Brigadir Polisi Sukitman, pada tanggal 3 Oktober ditemukan sumur tua tempat
penguburan jenazah para perwira Angkatan Darat. Pada tanggal 4 Oktober dilakukan pengangkatan
seluruh jenazah para perwira dan pada tanggal 5 Oktober para perwira dimakamkan di Taman Makam
Pahlawan Kalibata. Para perwira dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi serta diberikan kenaikan pangkat
setingkat lebih tinggi secara anumerta.

4) Beberapa Teori Mengenai Peristiwa G-30-S/PKI Tahun 1965


Peristiwa G-30-S/PKI hingga kini masih menyimpan kontroversial, terutama berhubungan dengan
pertanyaan siapa dalang Gerakan 30 September 1965 sebenarnya. Berikut beberapa teori mengenai
peristiwa G-30-S/PKI tahun 1965.

a) Gerakan 30 September merupakan persoalan internal Angkatan Darat (AD). Teori ini dikemukakan
antara lain oleh Ben Anderson, W.F. Wertheim, dan Coen Hotsapel. Teori ini menyatakan bahwa G-30-S
hanyalah peristiwa yang timbul akibat adanya persoalan di kalangan Angkatan Darat sendiri. Hal
tersebut misalnya didasarkan pada pernyataan pemimpin gerakan, yaitu Letnan Kolonel Untung yang
menyatakan bahwa para pemimpin Angkatan Darat hidup bermewah-mewahan dan memperkaya diri
sehingga mencemarkan nama baik Angkatan Darat. Sebenarnya pendapat tersebut berlawanan dengan
kenyataan yang ada, misalnya Jenderal Nasution, panglima angkatan bersenjata ini justru hidupnya
sederhana.

b) Dalang Gerakan 30 September adalah Dinas Intelijen Amerika Serikat (CIA).

Menurut teori ini, AS sangat khawatir Indonesia jatuh ke tangan komunis. Pada masa itu PKI memang
tengah kuat-kuatnya menanamkan pengaruh di Indonesia. Oleh

Karena itu, CIA kemudian bekerja sama dengan suatu kelompok dalam tubuh Angkatan Darat untuk
memprovokasi PKI agar melakukan gerakan kudeta. Setelah itu, PKI yang dihancurkan. Adapun tujuan
akhir skenario CIA ini adalah menjatuhkan kekuasaan Soekarno. Teori ini antara lain dari tulisan Peter
Dale Scott atau Geoffrey Robinson.

c) Gerakan 30 September merupakan pertemuan antara kepentingan Inggris-AS.

Teori ini dikemukakan oleh Greg Poulgrain. Menurut teori ini, G-30-S adalah titik temu

Antara keinginan Inggris, agar sikap konfrontatif Soekarno terhadap Malaysia bisa diakhiri melalui
penggulingan kekuasaan Soekarno, dan keinginan Amerika Serikat agar Indonesia terbebas dari
komunisme. Pada masa itu, Soekarno memang tengah gencar melancarkan provokasi menyerang
Malaysia yang dikatakannya sebagai negara boneka Inggris.

d) Soekarno adalah dalang Gerakan 30 September.

Teori ini dikemukakan antara lain oleh Anthony Dake dan John Hughes. Teori ini

Beranjak dari asumsi bahwa Soekarno berkeinginan melenyapkan kekuatan oposisi

Terhadap dirinya, yang berasal dari sebagian perwira tinggi Angkatan Darat. Adapun dasar teori ini
antara lain berasal dari kesaksian Shri Biju Patnaik (seorang pilot asal India yang menjadi sahabat banyak
pejabat di Indonesia sejak masa revolusi). Ia mengatakan bahwa pada 30 September 1965 tengah
malam Soekarno memintanya untuk meninggalkan Jakarta sebelum subuh. Menurut Shri Biju Patnaik,
Soekarno berkata, “Sesudah itu saya akan menutup lapangan terbang”. Di sini seakan Soekarno wa akan
ada peristiwa besar esok harinya. Teori ini dilemahkan antara lain dengan tindakan Soekarno yang
ternyata

Kemudian menolak mendukung G-30-S, bahkan pada tanggal 6 Oktober 1965 dalam
Sidang Kabinet Dwikora di Bogor, Soekarno mengutuk G-30-S ini.

e) Tidak ada pemeran tunggal dan skenario besar dalam peristiwa Gerakan 30 September (teori chaos).

Teori ini antara lain dikemukakan oleh John D. Legge. Menurut teori ini, tidak ada

Dalang tunggal dan tidak ada skenario besar dalam G-30-S. Kejadian tersebut hanya merupakan hasil
dari perpaduan antara, seperti yang disebut Soekarno: “unsur-unsur nekolim (negara Barat), pimpinan
PKI yang keblinger, dan oknum-oknum ABRI yang

Tidak benar.” Semuanya pecah dalam improvisasi di lapangan.

f) Soeharto sebagai dalang Gerakan 30 September.

Pendapat ini antara lain dikemukakan oleh Brian May dalam bukunya yang berjudul

Indonesia Tragedy. Menurut Brian May, terdapat kedekatan hubungan antara Letkol

Untung sebagai pimpinan Gerakan 30 September 1965 dan Mayjen Soeharto yang

Saat itu menjabat Panglima Kostrad.

g) Dalang Gerakan 30 September adalah PKI.

Teori ini antara lain dikemukakan oleh Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh.

Teori ini merupakan teori yang paling umum didengar mengenai kudeta tanggal

30 September 1965. Menurut teori ini, tokoh-tokoh PKI adalah penanggung jawab

Peristiwa kudeta, dengan cara memperalat unsur-unsur tentara. Adapun dasarnya

Adalah serangkaian kejadian dan aksi yang telah dilancarkan PKI antara tahun 1959–

1965. Dasar yang lain yaitu bahwa setelah G30S, beberapa perlawanan bersenjata

Yang dilakukan oleh kelompok yang menamakan diri CC PKI sempat terjadi di Blitar Selatan, Grobogan,
dan Klaten.

2. Peristiwa Konflik dan Pergolakan yang Berkaitan dengan Kepentingan (Vested Interest)

Vested interest merupakan kepentingan yang tertanam dengan kuat pada suatu kelompok. Biasanya
kelompok ini berusaha untuk mengontrol suatu sistem sosial atau kegiatan untuk keuntungan sendiri.
Kelompok ini juga sukar untuk mau melepas posisi atau kedudukannya sehingga sering menghalangi
suatu proses perubahan. Baik APRA, RMS, maupun peristiwa Andi Azis, semuanya berhubungan dengan
keberadaan pasukan KNIL atau tentara kerajaan di Hindia Belanda yang tidak mau menerima
kedatangan tentara Indonesia di wilayah-wilayah yang sebelumnya mereka kuasai. Dalam situasi
tersebut, konflik pun terjadi.

Berikut beberapa peristiwa konflik dan pergolakan yang berkaitan dengan kepentingan.

a. Pemberontakan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil)


Gerakan APRA muncul di kalangan KNIL yang dipimpin oleh Kapten Westerling.

Gerakan ini dipelopori oleh golongan kolonialis Belanda yang ingin mengamankan kepentingan
ekonominya di Indonesia dan bermaksud mempertahankan kedudukan negara Pasundan.

Tujuan gerakan APRA yang sebenarnya adalah mempertahankan bentuk negara federal di Indonesia dan
memiliki tentara sendiri bagi negara-negara RIS. Pada bulan Januari 1950, APRA mengajukan ultimatum
kepada pemerintah Republik Indonesia dan negara Pasundan yang isinya tuntutan agar APRA diakui
sebagai tentara Pasundan dan keberadaan negara Pasundan tetap dipertahankan. Ultimatum tersebut
dilanjutkan dengan melakukan gerakan teror pada tanggal 23 Januari 1950. APRA menyerang kota
Bandung dan berhasil menduduki Markas Divisi Siliwangi. Akibatnya, 79 orang anggota APRIS gugur,
termasuk Letnan Kolonel Lembong.

Pemerintah RIS menempuh dua cara untuk menumpas pemberontakan APRA di Bandung, yaitu
melakukan tekanan terhadap pimpinan tentara Belanda dan melakukan operasi militer. Perdana
Menteri RIS, Moh. Hatta, mengutus pasukan ke Bandung dan mengadakan perundingan

Dengan komisaris tinggi Belanda di Jakarta. Hasil dari perundingan tersebut, Westerling didesak untuk
meninggalkan kota Bandung. Gerakan APRA semakin terdesak dan terus dikejar oleh pasukan APRIS
bersama rakyat dan akhirnya gerakan APRA dapat dilumpuhkan.

b. Pemberontakan Andi Azis

Pemberontakan Andi Azis terjadi di Makassar (Ujung Pandang, Sulawesi Selatan) di bawah pimpinan
Kapten Andi Azis, seorang mantan perwira KNIL yang baru saja diterima masuk ke dalam APRIS. Tujuan
pemberontakan ini adalah mempertahankan keutuhan Negara

Indonesia Timur (NIT), sedangkan latar belakang pemberontakan ini karena gerombolan Andi Azis
menolak masuknya pasukan-pasukan APRIS dari TNI.

Pada tanggal 5 April 1950, gerombolan Andi Azis mengadakan penyerangan serta

Menduduki tempat-tempat vital dan menawan Panglima Teritorium Indonesia Timur, Letnan Kolonel
A.J. Mokoginta. Selain itu, pasukan Andi Azis juga mengeluarkan tuntutan yang berisi hal-hal berikut.

1) Negara Indonesia Timur harus tetap berdiri.

2) Menentang masuknya APRIS dan TNI yang didatangkan dari Jawa.

3) Hanya pasukan APRIS dari bekas KNIL yang menjaga keamanan Indonesia Timur.

Untuk menanggulangi pemberontakan Andi Azis tersebut, pemerintah mengeluarkan

Ultimatum pada tanggal 8 April 1950. Isi ultimatum tersebut memerintahkan kepada Andi Azis agar
melaporkan diri dan mempertanggungjawabkan perbuatannya ke Jakarta dalam tempo 4 x 24 jam. Andi
Azis juga diperintahkan untuk menarik pasukan, menyerahkan semua senjata, dan membebaskan
tawanan.
Setelah batas waktu ultimatum tidak dipenuhi oleh Andi Azis, pemerintah mengirimkan pasukan
ekspedisi di bawah pimpinan Kolonel Alex Kawilarang. Pada tanggal 26 April 1950 seluruh pasukan
mendarat di Makassar dan terjadilah pertempuran. Pada tanggal 5 Agustus 1950

Tiba-tiba Markas Staf Brigade 10/Garuda Mataram di Makassar dikepung oleh pengikut Andi Azis, tetapi
berhasil dipukul mundur pihak TNI. Peristiwa ini dikenal dengan peristiwa 5 Agustus 1950.

Setelah terjadi pertempuran selama dua hari, pasukan yang mendukung gerakan Andi Azis, yaitu
KNIL/KL minta berunding. Pada tanggal 8 Agustus 1950 terjadi kesepakatan antara Kolonel Kawilarang
(TNI) dan Mayor Jenderal Scheffelaar (KNIL/KL). Isi kesepakatan yaitu penghentian tembak-menembak,
KNIL/KL harus meninggalkan Makassar dan menanggalkan semua senjatanya. Akhirnya Andi Azis dapat
ditangkap dan diadili di Pengadilan Militer Yogyakarta pada tahun 1953 serta dijatuhi hukuman 15 tahun
penjara.

B. Gerakan Republik Maluku Selatan (RMS)

Pada tanggal 25 April 1950 diproklamasikan berdirinya Republik Maluku Selatan (RMS) di bawah
pimpinan Mr. Dr. Christian Robert Steven Soumokil, seorang mantan jaksa agung dari Negara Indonesia
Timur. Soumokil tidak menyetujui terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan
penggabungan daerah-daerah Negara Indonesia Timur ke dalam wilayah kekuasaan Republik Indonesia.
Soumokil berusaha melepaskan wilayah Maluku Tengah dan NIT dari RIS.

Berita mengenai berdirinya RMS tersebut merupakan ancaman bagi keutuhan negara

RIS. Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah RIS menempuh beberapa langkah. Sebagai langkah
awal, pemerintah RIS menempuh cara damai dengan mengirim Dr. J. Leimena. Misi tersebut ditolak oleh
Soumokil, bahkan Soumokil minta bantuan, perhatian, serta pengakuan dari negara lain, terutama dari
Belanda, Amerika Serikat, dan komisi PBB untuk Indonesia.

Usaha damai yang telah dilakukan oleh pemerintah RIS menemui jalan buntu.

Pemerintah RIS memutuskan untuk melaksanakan ekspedisi militer. Ekspedisi militer dipimpin oleh
Kolonel Kawilarang sebagai Panglima Tentara dan Teritorium Indonesia Timur.

Pada awal November 1950 kota Ambon dapat dikuasai, tetapi dalam perebutan Benteng Nieuw Victoria,
Letnan Kolonel Slamet Riyadi gugur. Pada tanggal 12 Desember 1963, Soumokil baru dapat ditangkap,
kemudian dihadapkan pada Mahkamah Militer Luar Biasa di Jakarta dan dijatuhi hukuman mati.

3. Peristiwa Konflik dan Pergolakan yang Berkaitan dengan Sistem Pemerintahan

Berikut beberapa peristiwa yang berkaitan dengan sistem pemerintahan.

Pemberontakan PRRI/Permesta
Salah satu kesulitan yang dihadapi pada masa Kabinet Ali Sastroamijoyo II adalah adanya
pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan oleh Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia
(PRRI) dan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta). Pemberontakan tersebut muncul disebabkan oleh
beberapa faktor berikut.

1) Pemerintah pusat belum mampu melaksanakan pola otonomi daerah dengan wajar dan benar.

2) Pemerintah pusat mengalami labilitas yang disebabkan oleh beberapa hal berikut.

a) Merajalelanya korupsi.

b) Konstituante hasil pemilu tahun 1955 belum berhasil menyelesaikan tugas-tugasnya.

c) Dalam masyarakat timbul pertentangan mengenai konsepsi presiden.

Dengan keadaan tersebut membuat sikap tidak memercayai pemerintah dan di Sumatra Barat muncul
pemberontakan. Peristiwa tersebut dimulai pada tahun 1956, KSAD melarang perwira-perwira
melakukan kegiatan politik. Adanya larangan tersebut membuat para perwira di Sumatra yang
kebanyakan veteran dari bekas Divisi Banteng menyatakan akan melawan Jakarta. Sikap para perwira
tersebut mendapat dukungan dari beberapa panglima militer. Ketidakpuasan para perwira tersebut
melahirkan dewan-dewan perlawanan sebagai berikut.

1) Dewan Banteng dibentuk tanggal 20 Desember 1956 di Sumatra Barat oleh Letnan Kolonel Ahmad
Husein.

2) Dewan Gajah dibentuk tanggal 22 Desember 1956 di Sumatra Utara oleh Kolonel Maludin Simbolon.

3) Dewan Garuda dibentuk pada pertengahan bulan Januari 1957 oleh Letnan Kolonel Barlian.

4) Dewan Manguni dibentuk pada tanggal 17 Februari 1957 di Manado oleh Mayor Somba.

Pada tanggal 15 Februari 1958 Ahmad Husein memproklamasikan berdirinya

PRRI dengan perdana menterinya Mr. Syafruddin Prawiranegara. Dua hari setelah PRRI diproklamasikan,
di Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah menyatakan mendukung PRRI. Gerakan tersebut dikenal dengan
nama Permesta.

Lima hari sebelum PRRI berdiri, pada tanggal 10 Februari 1958 ketua Dewan Banteng mengeluarkan
ultimatum kepada pemerintah pusat. Ultimatum tersebut berisi agar dalam waktu 5 x 24 jam Kabinet
Juanda menyerahkan mandatnya, meminta agar presiden menugaskan Moh. Hatta dan Sri Sultan
Hamengku Buwono IX untuk membentuk zaken kabinet, dan meminta presiden supaya kembali pada
kedudukannya sebagai presiden konstitusional.

Ultimatum tersebut tidak diindahkan Kabinet Juanda. Tindakan para perwira tersebut membuat KSAD
Nasution memecat Letnan Kolonel Ahmad Husein, Kolonel Simbolon, Kolonel Dahlan Djambek, dan
Kolonel Zulkifli Lubis.

Untuk menumpas pemberontakan PRRI dilakukan dengan jalan damai, tetapi mengalami kebuntuan.
Oleh karena itu, pemerintah terpaksa melakukan operasi militer. Tujuan umum operasi militer adalah
menghancurkan kekuatan pemberontak dan mencegah campur tangan asing. Berikut operasi yang
dilakukan untuk menumpas PRRI.
1) Operasi Tegas dipimpin oleh Letkol Kaharudin Nasution.

2) Operasi 17 Agustus dipimpin Kolonel Ahmad Yani.

3) Operasi Saptamarga dipimpin oleh Brigjen Jatikusumo.

4) Operasi Sadar dipimpin oleh Letkol Ibnu Surowo.

Seluruh operasi militer di Sumatra tersebut dapat diakhiri setelah Ahmad Husein secara

Resmi menyerah pada tanggal 29 Mei 1958.

Untuk menumpas Permesta dilancarkan sebuah operasi dengan nama Operasi Merdeka di bawah
pimpinan Letnan Kolonel Rukminto Hendraningrat. Operasi terdiri dari beberapa bagian berikut.

1) Operasi Saptamarga I dipimpin Letnan Kolonel Sumarsono.

2) Operasi Saptamarga Il dipimpin Letnan Kolonel Agus Prasmanto.

3) Operasi Saptamarga III dipimpin Letnan Kolonel Magenda.

4) Operasi Saptamarga IV dipimpin Letnan Kolonel Rukminto Hendraningrat.

5) Operasi Mena I dipimpin Letnan Kolonel Pieters.

6) Operasi Mena II dipimpin Letnan Kolonel KKO Hunhulz.

Operasi penumpasan pemberontakan Permesta sangat berat. Hal tersebut karena

Permesta mempunyai persenjataan yang modern, seperti pesawat pembom B-26 dan pesawat pemburu
Mustang. Selain itu, Permesta juga mendapat bantuan dari pihak asing, terbukti dengan tertangkapnya
A.L. Pope (warga Amerika Serikat) pada tanggal 18 Mei 1958 setelah pesawatnya ditembak di atas kota
Ambon.

C. Persoalan Negara Federal dan BFO

Setelah kemerdekaan, konsep negara federal dan persekutuan negara bagian (BFO/Bijeenkomst voor
Federaal Overleg) mau tidak mau menimbulkan potensi perpecahan di kalangan bangsa Indonesia
sendiri. Persaingan yang timbul terutama adalah antara golongan federalis dan golongan unitaris.
Golongan federalis ingin bentuk negara federal dipertahankan, sedangkan golongan unitaris ingin
Indonesia menjadi negara kesatuan.

Sebagai contoh dalam Konferensi Malino tanggal 24 Juli di Sulawesi Selatan. Pertemuan tersebut untuk
membicarakan tatanan federal yang diikuti oleh wakil dari berbagai daerah non-RI, ternyata mendapat
reaksi keras dari para politisi pro-RI yang ikut serta. Tokoh dari Makassar, Mr. Tadjudin Noor, mengkritik
hasil konferensi.

Sejak pembentukannya di Bandung pada bulan Juli 1948, BFO telah terpecah ke dalam dua kubu. Kubu
pertama menolak kerja sama dengan Belanda dan lebih memilih RI untuk diajak bekerja sama
membentuk Negara Indonesia Serikat. Kubu pertama dipelopori oleh Ida Anak Agung Gde Agung (NIT)
serta R.T. Adil Puradiredja dan R.T. Djumhana (negara Pasundan). Adapun kubu kedua dipimpin oleh
Sultan Hamid II (Pontianak) dan dr. T. Mansur

(Sumatra Timur). Kubu kedua ingin agar garis kebijakan bekerja sama dengan Belanda tetap
dipertahankan BFO.

Pada waktu Belanda melancarkan Agresi Militer II, pertentangan antara dua kubu

Semakin sengit. Dalam sidang-sidang BFO selanjutnya sering terjadi konfrontasi antara Anak Agung dan
Sultan Hamid II. Di kemudian hari, ternyata Sultan Hamid Il bekerja sama dengan APRA Westerling
mempersiapkan pemberontakan terhadap pemerintah RIS.

Setelah KMB, persaingan antara golongan federalis dan golongan unitaris semakin

Mengarah pada konflik terbuka di bidang militer. Salah satu ketetapan dalam KMB menyebutkan bahwa
inti anggota APRIS diambil dari TNI, sedangkan lainnya diambil personel mantan anggota KNIL. TNI
sebagai inti APRIS berkeberatan bekerja sama dengan bekas musuhnya, yaitu KNIL. Begitu juga
sebaliknya, anggota KNIL menuntut agar mereka ditetapkan sebagai aparat negara bagian dan mereka
menentang masuknya anggota TNI ke negara bagian. Kasus APRA Westerling dan mantan pasukan KNIL
Andi Azis merupakan cermin dari pertentangan tersebut.

Selain pergolakan yang mengarah pada perpecahan, pergolakan bernuansa positif

Juga terjadi. Hal tersebut terlihat pada waktu negara-negara bagian yang keberadaannya ingin
dipertahankan setelah KMB, harus berhadapan dengan tuntutan rakyat yang ingin agar negara-negara
bagian bergabung ke Republik Indonesia.

B. Perjuangan Tokoh Nasional dan Daerah dalam Mempertahankan Keutuhan Negara

Dan Bangsa Indonesia.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pahlawan adalah orang yang menonjol karena keberanian dan
pengorbanannya dalam membela kebenaran atau pejuang yang gagah berani. Tidak semua orang

Mendapat gelar pahlawan. Salah satu kriteria yang harus dipenuhi adalah tokoh tersebut telah
memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata atau perjuangan politik atau perjuangan dalam bidang
lainnya untuk mencapai/merebut/mempertahankan/mengisi kemerdekaan serta mewujudkan
persatuan dan

Kesatuan bangsa. Berikut beberapa pahlawan nasional yang memiliki jasa dalam mewujudkan integrasi

Bangsa Indonesia.

1. Frans Kaisiepo

Frans Kaisiepo adalah salah seorang tokoh yang memopulerkan lagu Indonesia Raya di Papua menjelang
Indonesia merdeka. Frans Kaisiepo juga berperan dalam pendirian Partai Indonesia Merdeka (PIM) pada
tanggal 10 Mei 1946. Pada tahun 1948 ikut berperan dalam merancang pemberontakan rakyat Biak
untuk melawan pemerintah kolonial Belanda. Pada tahun 1961, Frans Kaisiepo mendirikan partai politik
Irian Sebagian Indonesia (ISI) yang menuntut penyatuan Nederlands Nieuw Guinea ke negara Republik
Indonesia. Pada akhir tahun 1960-an, Frans Kaisiepo berupaya agar pepera dimenangkan oleh
masyarakat yang ingin agar Papua bergabung

Ke Indonesia.

2. Silas Papare

Sebulan setelah Indonesia merdeka, Silas Papare membentuk Komite Indonesia Merdeka (KIM) pada
bulan September 1945. Adapun tujuan KIM adalah menghimpun kekuatan dan mengatur gerak langkah
perjuangan dalam membela dan mempertahankan proklamasi 17 Agustus 1945. Sepanjang tahun 1950-
an, Silas Papare berusaha agar Papua menjadi bagian dari Republik Indonesia. Pada tahun 1962, Silas
Papare mewakili Irian Barat duduk sebagai anggota delegasi RI dalam Perundingan New York antara
Indonesia-Belanda dalam upaya untuk menyelesaikan masalah Papua. Berdasarkan New York
Agreement tersebut, akhirnya Belanda setuju untuk mengembalikan Papua ke Indonesia.

3. Marthen Indey

Sebelum Jepang masuk ke Indonesia, Marthen Indey adalah seorang anggota polisi Hindia Belanda.
Jabatan tersebut tidak berarti melunturkan sikap nasionalisnya. Keindonesiaan yang dimilikinya justru
semakin tumbuh tatkala sering berinteraksi dengan tahanan politik Indonesia yang dibuang Belanda ke
Papua. Bahkan Marthen Indey pernah berencana bersama anak buahnya untuk memberontak terhadap
Belanda di Papua, tetapi mengalami kegagalan. Antara tahun 1945-

1947, Marthen Indey masih menjadi pegawai pemerintah Belanda dengan jabatan sebagai Kepala
Distrik. Meskipun demikian, bersama-sama kaum nasionalis di Papua, secara sembunyi-sembunyi
Marthen Indey menyiapkan pemberontakan, tetapi sekali lagi pemberontakan gagal dilaksanakan.

Marthen Indey sejak tahun 1946 menjadi ketua Partai Indonesia Merdeka (PMI). Marthen Indey
kemudian memimpin sebuah aksi protes yang didukung delegasi 12 kepala suku terhadap keinginan
Belanda yang ingin memisahkan Papua dari Indonesia. Marthen Indey juga mulai terang-terangan
mengimbau anggota militer yang bukan orang Belanda untuk melancarkan perlawanan terhadap
Belanda. Akibat aktivitasnya tersebut, pemerintah Belanda menangkap dan memenjarakan Marthen
Indey.

Pada tahun 1962 setelah keluar dari penjara, Marthen Indey menyusun kekuatan gerilya sambil
menunggu kedatangan tentara Indonesia yang akan diterjunkan ke Papua dalam rangka operasi Trikora.
Setelah perang selesai, Marthen Indey berangkat ke New York untuk memperjuangkan masuknya Papua
ke Indonesia di PBB hingga akhirnya Papua menjadi bagian Republik Indonesia.

4. Sri Sultan Hamengku Buwono IX

Pada waktu Sultan Hamengku Buwono IX dinobatkan menjadi raja Yogyakarta pada tahun 1940, beliau
dengan tegas menunjukkan sikap nasionalismenya. Sikap tersebut diperkuat ketika tidak sampai tiga
minggu setelah pembacaan Teks Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Sultan Hamengku Buwono
IX menyatakan Kerajaan Yogyakarta adalah bagian dari negara Republik Indonesia.
Sultan Hamengku Buwono IX mengirim ucapan selamat kepada Soekarno-Hatta sebagai presiden dan
wakil presiden. Sejak awal kemerdekaan, Sultan Hamengku Buwono IX banyak memberikan fasilitas bagi
pemerintah RI yang baru terbentuk untuk menjalankan roda pemerintahan, misalnya markas ibu kota RI
pernah berada di Yogyakarta atas saran beliau. Pada waktu perang kemerdekaan, Sultan Hamengku
Buwono IX memberi bantuan logistik dan perlindungan bagi kesatuan-kesatuan

TNI. Sultan Hamengku Buwono IX pernah menolak tawaran Belanda yang akan menjadikannya raja
seluruh Jawa setelah Agresi Militer Belanda II.

5. Sultan Syarif Kasim II

Pada waktu berusia 21 tahun, Sultan Syarif Kasim II dinobatkan menjadi raja Siak Indrapura pada tahun
1915. Sultan Syarif Kasim II berpendapat bahwa Kerajaan Siak berkedudukan sejajar dengan Belanda.

Berbagai kebijakan yang dilakukannya sering bertentangan dengan keinginan Belanda.

Pada waktu berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia sampai di Siak, Sultan Syarif Kasim II segera
mengirim surat kepada Soekarno-Hatta dan menyatakan kesetiaan dan dukungan terhadap pemerintah
RI serta menyerahkan harta senilai 13 juta gulden untuk membantu perjuangan

Republik Indonesia. Kesultanan Siak pada masa itu dikenal sebagai Sultan Syarif Kasim II kesultanan yang
kaya.

Selanjutnya Sultan Syarif Kasim II membentuk Komite Nasional Indonesia di Siak, Tentara Keamanan
Rakyat (TKR), dan Barisan Pemuda Republik Indonesia. Sultan Syarif Kasim Il segera mengadakan rapat
umum di istana serta mengibarkan bendera Merah Putih dan mengajak raja-raja di Sumatra Timur
lainnya agar turut memihak Republik Indonesia.

Pada waktu berlangsung revolusi kemerdekaan, Sultan Syarif Kasim Il menyuplai bahan makanan untuk
para laskar. Sultan Syarif Kasim II menyerahkan 30% kekayaannya berupa emas kepada Presiden
Soekarno di Yogyakarta untuk kepentingan perjuangan. Pada waktu Gubernur Jenderal de facto Hindia
Belanda, Van Mook, mengangkatnya sebagai sultan boneka Belanda, Sultan Syarif Kasim Il menolaknya.
Atas jasanya, Sultan Syarif Kasim II dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh pemerintah Indonesia.

6. Ismail Marzuki

Lagu-lagu yang diciptakan Ismail Marzuki sangat diwarnai oleh semangat kecintaannya terhadap tanah
air. Pada waktu RRI dikuasai Belanda pada tahun 1947, Ismail Marzuki yang sebelumnya aktif dalam
orkes radio memutuskan keluar karena tidak mau bekerja sama dengan Belanda. Setelah RRI kembali
diambil alih oleh Republik Indonesia, baru beliau mau kembali bekerja di RRI. Lagu-lagu yang diciptakan
Ismail Marzuki sarat dengan nilai-nilai perjuangan yang menggugah rasa kecintaan terhadap tanah air
dan bangsa. Lagu tersebut seperti Rayuan Pulau Kelapa (1944), Halo-Halo Bandung (1946) diciptakan
pada waktu terjadi peristiwa Bandung Lautan Api, Selendang Sutera (1946) diciptakan untuk
membangkitkan semangat juang saat revolusi kemerdekaan, dan Sepasang Mata Bola (1946) meng-
Ismail Marzuki gambarkan harapan rakyat untuk merdeka.

7. Opu Daeng Risaju


Semangat perlawanannya untuk melihat rakyat keluar dari cengkeraman penjajah membuat Opu Daeng
Risaju rela mengorbankan dirinya. Nama kecil Opu Daeng Risaju adalah Famajjah. Opu Daeng Risaju lahir
di Palopo pada tahun 1880. Orang tuanya bernama Opu Daeng Mawellu dan Muhammad Abdullah to
Barengseng. Adapun nama Opu menunjukkan gelar kebangsawanan di Kerajaan Luwu. Setelah dewasa
Famajjah dinikahkan dengan H. Muhammad Daud, seorang ulama yang pernah bermukim di Mekah.
Melalui perkenalannya dengan H. Muhammad Yahya (seorang pedagang asal Sulawesi Selatan yang
pernah lama bermukim di Jawa), Opu Daeng Risaju mulai aktif di organisasi Partai Sarekat Islam
Indonesia (PSII). Selanjutnya, Opu Daeng Risaju membentuk cabang PSI di Palopo. Pada tanggal 14
Januari 1930 PSil resmi dibentuk melalui suatu rapat akbar yang bertempat di Pasar Lama Palopo.

Kegiatan yang dilakukan Opu Daeng Risaju didengar oleh controleur afdeling Masamba. Kemudian,
controleur afdeling Masamba mendatangi rumah Opu Daeng Risaju dan menuduh Opu Daeng Risaju
telah melakukan tindakan menghasut rakyat atau menyebarkan kebencian di kalangan rakyat

Untuk membangkang terhadap pemerintah. Atas tuduhan tersebut, pemerintah

Kolonial Belanda menjatuhkan hukuman penjara selama 13 bulan. Hukuman

Tersebut tidak membuat Opu Daeng Risaju jera. Setelah keluar dari penjara Opu Daeng Risaju semakin
aktif dalam menyebarkan PSII.

Meskipun mendapat tekanan yang berat dari pihak kerajaan dan pemerintah kolonial Belanda, Opu
Daeng Risaju tidak menghentikan aktivitasnya. Opu Daeng Risaju mengikuti kegiatan dan perkembangan
PSII, baik didaerah maupun di tingkat nasional. Pada tahun 1933 dengan biaya sendiri, Opu Daeng Risaju
Opu Daeng Risaju berangkat ke Pulau Jawa untuk mengikuti kongres PSII.

Ternyata kedatangan Opu Daeng Risaju ke Jawa menimbulkan sikap tidak senang dari

Pihak kerajaan. Opu Daeng Risaju dipanggil kembali oleh pihak kerajaan dan dianggap telah melakukan
pelanggaran dengan melakukan kegiatan politik. Oleh anggota Dewan Hadat yang pro-Belanda, Opu
Daeng Risaju dihadapkan pada pengadilan adat dan Opu Daeng Risaju dianggap melanggar hukum.
Anggota dewan adat yang pro-Belanda menuntut agar Opu Daeng Risaju dijatuhi hukuman dibuang.
Namun, Opu Balirante yang pernah membela Opu Daeng Risaju menolak usul tersebut. Akhirnya Opu
Daeng Risaju dijatuhi hukuman penjara selama empat belas bulan pada tahun 1934.

Pada masa Pendudukan Jepang, Opu Daeng Risaju tidak banyak melakukan kegiatan di PSII. Hal tersebut
disebabkan oleh adanya larangan dari pemerintah Jepang terhadap kegiatan politik organisasi
pergerakan kebangsaan, termasuk di dalamnya PSII.

Pada masa revolusi, Opu Daeng Risaju kembali aktif. Di Luwu pada masa revolusi terjadi pemberontakan
yang digerakkan oleh pemuda sebagai sikap penolakan terhadap kedatangan NICA di Sulawesi Selatan
yang ingin kembali menjajah Indonesia. Opu Daeng Risaju banyak

Melakukan mobilisasi terhadap pemuda dan memberikan doktrin perjuangan kepada pemuda. Tindakan
yang dilakukan Opu Daeng Risaju tersebut membuat NICA berupaya untuk menangkapnya. Dalam
persembunyiannya, Opu Daeng Risaju ditangkap dan kemudian dibawa
Ke Watampone dengan cara berjalan kaki sepanjang 40 km. Opu Daeng Risaju ditahan di penjara Bone
dalam satu bulan tanpa diadili, kemudian dipindahkan ke penjara Sengkang dan kemudian dibawa ke
Bajo.

Selama di penjara, Opu Daeng Risaju mengalami penyiksaan. Penyiksaan tersebut

Berdampak pada pendengarannya. Setelah pengakuan kedaulatan RI tahun 1949, Opu Daeng Risaju
pindah ke Pare-Pare mengikuti anaknya, Haji Abdul Kadir Daud. Sejak tahun 1950, Opu Daeng Risaju
tidak aktif di PSII. Opu Daeng Risaju meninggal pada tanggal 10 Februari 1964 dan

Dimakamkan di pekuburan raja-raja Lokkoe di Palopo.

8. Abdul Haris Nasution

Abdul Haris Nasution lahir pada tanggal 3 Desember 1918 di Huta Pungut, kota Nopan, Tapanuli Selatan.
Setelah tamat dari HIS, Nasution melanjutkan ke Hollands Inlandsche Kweekschool

Di Bukittinggi, kemudian dilanjutkan ke Bandung. Pada tahun 1940, Nasution memasuki pendidikan
militer pada Corps Opleiding Reserve Offocieren (CORO). Setelah kemerdekaan, Nasution bergabung
dengan TKR. Sejak itulah banyak posisi yang diemban Nasution, seperti Kepala Staf Komandemen TKR
Jawa Barat, Komando Divisi III, Panglima Divisi Siliwangi, Wakil

Panglima Besar Angkatan Perang, Panglima Tentara dan Teritorial Jawa. Nasution merupakan salah satu
dari sasaran peristiwa G-30-S/PKI. Beliau berhasil meloloskan diri dalam peristiwa itu, tetapi anaknya,
Ade Irma Suryani Nasution, meninggal. Pada masa Orde Baru, Nasution pernah menjabat sebagai ketua
MPRS. Ketika memasuki usia pensiun tahun 1972, pangkat beliau naik menjadi Jenderal Besar TNI.
Nasution meninggal pada tanggal 5 September 2000 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan
Kalibata, Jakarta. Oleh pemerintah, Nasution dianugerahi gelar Pahlawan Nasional melalui SK Presiden
Nomor 073/TK/2002.

9. Ahmad Yani

Ahmad Yani lahir pada tanggal 19 Juni 1922 di Purworejo. Ahmad Yani meninggalkan

Hinkolah di AMS bagian B karena harus mengikuti wajib militer yang diadakan oleh pemerintah Namun,
pendidikan tersebut terputus pada masa Pendudukan Jepang, Selanjutnya, Ahmad Yani Wandia
Belanda. Ahmad Yani mengikuti pendidikan militer pada Dinas Topografi Militer di Malang.

Mengikuti pendidikan helho di Magelang dan tentara Peta di Bogor. Ketika terjadi pemberontakan PKI di
Madiun

Pada tahun 1948, Ahmad Yani ikut memadamkan pemberontakan tersebut. Pada waktu berlangsung
Agresi Militer Belanda 1, pasukan Ahmad Yani

Berhasil menahan laju tentara

Belanda di Pingit. Pada masa Agresi Militer Belanda II, Ahmad Yani diangkat menjadi Komandan
Wehrkreise Il untuk daerah Kedu. Ketika terjadi pemberontakan di/til di Jawa Tengah, Ahmad Yani
membentuk pasukan khusus yang bernama Banteng Raiders dalam upaya memadamkan
pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah.

Karier Ahmad Yani terus meningkat dan beliau ditarik menjadi Staf Angkatan Darat dan disekolahkan
pada Command and General Staff College di Amerika. Setelah pulang dari mengikuti tugas belajar di
Amerika Serikat pada tahun 1958, beliau ditunjuk sebagai Komandan Komando

Operasi 17 Agustus di Padang dengan tugas meredam pemberontakan PRRI. Dalam waktu singkat
Ahmad Yani berhasil menduduki kota Padang dan Bukittinggi. Dengan keberhasilan tersebut

Mengantarkan Ahmad Yani menduduki Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) pada tahun 1962. Pada tahun
1962 Ahmad Yani menolak keinginan PKI untuk membentuk angkatan kelima (yang terdiri dari buruh
dan tani yang disenjatai). Pada waktu menjabat sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat, Ahmad Yani
bersama petinggi Angkatan Darat yang lainnya menjadi korban peristiwa G-30-S/PKI. Beliau dimakamkan
di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Pada tanggal

5 Oktober 1965 melalui SK Presiden Nomor 111/KOTI/1965, pemerintah menganugerahinya gelar


Pahlawan Revolusi.

Anda mungkin juga menyukai