Anda di halaman 1dari 8

Pemberontakan dan Gangguan

Keamanan
A. Pemberontakan PKI Madiun 1948
Pemberontakan PKI Madiun bermula dengan ditandatanganinya
Perjanjian Renville. Akibat Perundingan Renville Kabinet Amir
Syarifuddin jatuh dan digantikan Kabinet Hatta. Salah satu program
Kabinet Hatta adalah mengadal rekonstruksi dan rasionalisasi Angkatan
Perang untuk menekan pengeluaran negara. Program rasionalisasi ini
mendapat tentangan dari golongan kiri karena dianggap sangat
merugikan mereka. Program tersebut telah memotong sayap militer
gerakan kiri sehingga pasukan atau laskar dari golongan kiri keluar dari
tentara dan kembali ke masyarakat.

Golongan kiri yang tidak puas terhadap progran-rasionalisasi tersebut


kemudian menggabungkan diri dalam Fron Demokrasi Rakyat (FDR)
bentukan Amir Syarifuddii mempersatukan Partai Sosialis, PBI,
Pesindo, PKI, Sarbupri, SOBSI, dan BTI. Kekuatan FDR semakin kuat
setelah bergabungnya tokoh PKI berpengalaman yang baru kembali dari
Uni Soviet, yaitu Musso.

FDR berusaha memancing bentrokan fisik terhadap lawan-lawan


politiknya sehingga terjadi kerusuhan-kerusuhan di Kota Surakarta.
Mereka memengaruhi para buruh untuk melakukan pemogokan-
pemogokan dan demonstrasi-demonstrasi. Sebagai puncak dari
gerakannya, FDR mengumumkan berdirinya Soviet Republik Indonesia
pada tanggal 18 September Selanjutnya, para pemberontak ini
menguasai seluruh Karesidenan Madiun dan sebagian Karesidenan Pati.

Untuk menumpas pemberontakan PKI Madiun, pemerintah bertindak


tegas dengan mengadakan operasi militer. Panglima Besar Jenderal
Sudirman memerintahkan untuk membentuk Operasi Militer I di bawah
pimpinan Panglima Markas Besar Komando Djawa (MBKD), Kolonel
A.H. Nasutio, selanjutnyanya, menunjuk Divisi III di bawah pimpinan
Kolonel Gatot Subroto dan Divisi I di bawah pimpinan Kolonel
Sungkono sebagai satuan pelaksana tugas untuk meredam kekuatan
pemberontak. Akhirnya, Kota Madiun dapat direbut oleh TNI pada

1
tanggal 30 September 1948. Selanjutnya, Musso dapat ditembak mati
dan Amir Syarifuddin ditangkap. Dengan demikian, Republik Indonesia
selamat dari ancaman kaum pemberontak komunis.

B. Gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia


(DI/TII)
Gerakan DI/TII pertama kali muncul di Jawa Barat yang dipelopori oleh
Kartosuwiryo. Selanjutnya, gerakan DI/TII juga muncul di Sulawesi
Selatan, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, dan Aceh.

1. DI/TII Jawa Barat


Gerakan DI/TII di Jawa Barat dipimpin oleh Sekarmaji Marijan
Kartosuwiryo. Munculnya gerakan DI/TII disebabkan oleh
ditandatanganinya Perundingan Renville pada tanggal 8 Desember 1947
oleh Kabinet Amir Syarifuddin. Menurut Kartosuwiryo, Kabinet Amir
Syarifuddin dianggap telah menjual Negara Republik Indonesia kepada
Belanda. Kartosuwiryo menentang pemerintahan Kabinet Amir
Syarifuddin yang menyetujui isi Pemndingan Renville yang salah satu
isinya berupa perintah kepada para pejuang Indonesia untuk
meninggalkan Jawa Barat. Kartosuwiryo menentang keras perintah
tersebut.

Pada tanggal 7 Agustus 1949, Kartosuwiryo beserta para pengikutnya


memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) di Desa
Cisayong, Jawa Barat. Untuk mencapai tujuannya, gerakan DI/TII Jawa
Barat melakukan teror, pembunuhan, dan perampokan harta benda milik
penduduk. Akibat tindakan gerakan DI/TII Jawa Barat tersebut, rakyat
di sekitarnya menjadi tidak aman.

Untuk mengatasi gerakan ini, pemerintah Indonesia menempuh jalur


militer dengan mengadakan Operasi Pagar Betis pada tahun 1960.
Upaya menumpas Pemberontakan DI/TII Jawa Barat memakan waktu
yang lama. Kartosuwiryo baru berhasil ditangkap pada tanggal 4 Juni
1962 di hutan Gunung Geber, Majalaya, Tasikmalaya. Tertangkapnya
Kartosuwiryo tersebut menandai berakhirnya pemberontakan DI/TII di
Jawa Barat.

2
2. DI/TII Jawa Tengah
Gerakan DI/TII di Jawa Tengah dipimpin oleh Amir Fatah. Pada tanggal
23 Agustus 1949, ia memproklamasikan berdirinya Negara Islam
Indonesia (NII) yang merupakan bagian dari DI/TII pimpinan
Kartosuwiryo. Daerah operasi gerakan ini mencakup wilayah Brebes,
Tegal, Pekalongan, Kebumen, Kudus, dan Magelang. Gerakan DI/TII
pimpinan Amir Fatah semakin kuat setelah bergabungnya Angkatan
Umat Islam (AUI) pimpinan Kyai Mohammad Mahfudz Abdurahman
(Kyai Somalangu) dan Batalion 426 yang beroperasi di daerah Kudus
dan Magelang.

Bergabungnya AUI menjadi bagian dari DI/TII Jawa Tengah dilatarl


hasil persetujuan KMB yang ditandatangani oleh pemerintah. AUI
menentang terbentuknya negara RIS sesuai yang tertuang dalam isi
KMB. AUI menentang dengan alasan bahwa terbentuknya negara RIS
telah membawa pihak Belanda kesuatu keadaan yang menguntungkan.
AUI berpendirian bahwa suatu negara dikatakan merdeka apabila negera
bersangkutan telah terbebas dari campur tangan bangsa lain. Pem
berontakan AUI didukung oleh Batalion Khimayatul Islam bentukan
Kyai Somalangu dan Batalion Lemah Lanang bentukan pemerintah
yang menyeberang ke AUI.

Untuk menumpas gerakan ini, pemerintah membentuk pasukan khuusus


yang dikenal dengan nama Banteng Raiders. Pasukan khusus ini
berhasil menumpas gerakan DI/TII dengan melancarkan operasi militer
yang diberi nama Gerakan Benteng Negara (GBN) dan Operasi
Merdeka Timur. Gerakan DI/TII Jawa Tengah dapat dihancurkan pada
tahun 1954.

3. DI/TII Sulawesi Selatan


Seperti halnya gerakan DI/TII di Jawa Tengah, gerakan DI/TII di
Sulawesi Selatan juga menggabungkan diri dengan DI/TII pimpinan
Kartosuwiryo. Gerakan DI/TII Sulawesi Selatan dipimpin oleh Kahar
Muzakar. Munculnya gerakan ini disebabkan oleh ketidakpuasan para
laskar rakyat Sulawesi Selatan terhadap kebijakan pemerintah tentang
pembentukan Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS).
Para laskar Sulawesi Selatan yang tergabung dalam Komando Gerilya

3
Sulawesi Selatan (KGSS) kecewa karena pemerintah tidak memasukkan
mereka ke dalam anggota KGSS hanya dimasukkan ke dalam Corps
Tjadangan Nasional dengan letnan Kolonel Kahar Muzakar sebagai
pemimpinnya.

Para laskar ini kecewa karena menganggap pemerintah kurang


menghargai perjuangan mereka pada saat Serangan Umum 1 Maret di
Yogyakarta.| mereka makin bertambah setelah pemerintah menolak
usulan Kahar Muzakar tentang pembentukan Brigade Hasanuddin.
Akhirnya, pada tanggal 17 Agustus Kahar Muzakar beserta para
pasukannya lari ke hutan dan melancarkan pemberontakanterhadap
pemerintah. Atas usaha keras dari para pasukan TNI, gerakan ini dapat
ditumpas. Gerakan ini berakhir setelah Kahar Muzakar dapat ditembak
mati pada bulan Februari 1965.

4. DI/TII Kalimantan Selatan


Pada tahun 1954, di Kalimantan Selatan juga meletus
pemberontakanDI/TII. Gerakan yang menamakan diri sebagai Kesatuan
Rakyat Jang Tertindas (KRJT) ini dipimpin oleh Ibnu Hajar. Gerakan ini
juga menjalin hubungan dengan gerakan DI/TII pimpinan Kartosuwiryo
dan gerakan DI/TII pimpinan Kahar Muzakar.

Untuk memadamkan pemberontakan Ibnu Hajar, pemerintah menempuh


jalur musyawarah dan operasi militer. Akhirnya, pada bulan Juli 1963,
gerakan ini berakhir setelah Ibnu Hajar dan pasukannya menyerahkan
diri.

5. DI/TII Aceh
Gerakan DI/TII di Aceh dipimpin oleh Daud Beureueh, seorang
gubemur militer pada masa perang kemerdekaan. Munculnya gerakan
ini disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang memasukan Aceh ke
dalam wilayah Sumatera Utara. Aceh yang sebelumnya menjadi daerah
istimewa, statusnya diturunkan menjadi salah satu karesidenan dalam
wilayah Provinsi Sumatera Utara. Kebijakan pemerintah ini ditentang
oleh Daud Beureueh yang merasa kedudukannya sebagai gubernur
militer terancam. Pada tanggal 21 September 1953, Daud Beureueh
mengeluarkan pemyataan yang menyebutkan tentang penggabungan

4
Aceh ke dalam Negara Islam Indonesia (NII) pimpinan Kartosuwiryo.

Berbeda dengan gerakan-gerakan DI/TII lainnya, gerakan DI/TII di


Aceh dapat diselesaikan lewat jalur musyawarah. Pada tanggal 17-28
Desember 1962, diadakan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh atas
inisiatif Panglima Kodam I/Iskandar Muda,
Kolonel Jasin.

C. Gerakan Andi Azis


Gerakan Andi Azis terjadi di Sulawesi Selatan di bawah pimpinan
Kapten Andi Azis. Kapten Andi Azis adalah bekas seorang perwira
Koninklijk Nederlands Indische Leger (KNIL). Munculnya gerakan ini
dilatarbelakangi oleh penolakan pasukan KNIL pimpinan Audi Azis
terhadap masuknya pasukan APRIS ke Sulawesi Selatan.

Pasukan KNIL khawatir posisinya akan terdesak oleh kehadiran


pasukan APRIS di bawah pimpinan H.V. Worang. Untuk mengamankan
posisinya, Audi Azis menawan Letnan Kolonel A.J. Mokoginta
(Panglima Tentara dan Teritorium Indonesia Timur) dan mengambil alih
komando atas wilayah teritorium Negara Indonesia Timur (NIT).

Untuk mengatasi gerakan ini, pemerintah RIS memerintahkan Andi Azis


untuk melaporkan diri ke Jakarta guna mempertanggungjawabkan
tindakannya dalam waktu 4 x 24 jam. Karena Andi Azis tidak melapor
ke Jakarta hingga batas waktu yang telah ditetapkan, pemerintah RIS
menempuh jalur militer untuk menghentikan gerakan Andi Azis. Untuk
itu, pemerintah mengirimkan pasukan APRIS ke Sulawesi Selatan di ba-
wah pimpinan Alex E. Kawilarang. Akhirnya, Andi Azis dapat
ditangkap dan kemudian dihadapkan ke meja pengadilan militer.

D. Gerakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA)

Gerakan APRA dipimpin oleh Kapten Raymond Westerling (mantan


komandan pasukan khusus atau Korps Speciaale Troepen) dan didalangi
oleh Sultan Hamid II (menteri negara kabinet RIS). Munculnya gerakan
APRA didasari oleh kepercayaan yang beredar di masyarakat tentang
akan lahirnya seorang ratu adil seperti yang dijelaskan dalam ramalan
Jayabaya (Raja Kediri). Ratu adil dipercaya akan membawa perubahan

5
pada kehidupan masyarakat sehingga tercapai suasana yang aman dan
tenteram.

Gerakan ini beroperasi di daerah Bandung. Tujuan gerakan APRA


adalal:
Mempertahankan bentuk negara federal di Indonesia dan
mempertahankan adanya tersendiri di setiap negara bagian RIS.

Gerakan ini mengultimatum pemerintah dan Negara Pasundan supaya


APRA diakui sebagai tentara Pasundan dan menolak pembubaran
negara itu: Selain tujuan tersebut, APRA Juga merencanakan sebuah
pen
culikan terhadap semua menteri dan membunuh Sri Sultan Hamengku
Buwono (Menteri Pertahanan dan Keamanaan), Mr. Ali Budiarjo
(Sekretaris Jenderal pertahanan), dan Kolonel T.B. Simatupang (Kepala
Staf APRIS).

Pada tanggal 23 Januari 1950, pasukan APRA melakukan aksi di Kota


Bandung. Dengan kekuatan 800 orang, pasukan APRA secara
mendadak menyerbu Kota Bandung. Pasukan APRA menembak setiap
anggota APRIS yang dijumpai. Dalam seranggannya tersebut, pasukan
APRA berhasil menembak mati 79 pasukan APRIS. Pasukan APRA
berhasil meaduduki Kota Bandung selama satu hari.

Melihat situasi yang kacau tersebut, pemerintah Indonesia melakukan


perundingan dengan Komandan Tentara Belanda di Bandung, Mayor
Jenderal Engels. Atas bantuannya, pasukan APRA berhasil didesak
untuk keluar dari Kota Bandung. Pasukan APRA dian keluar dari Kota
Bandung. Pasukan APRA yang mulai terdesak terus dikejar oleh
pasukan APRIS bersama rakyat. Akhimya, gerakan APRA berhasil
ditumpas dan tokoh-tokoh Negara Pasundan yang diduga terlibat dalam
pemberontakan berhasil ditangkap.

E. Gerakan Republik Maluku Selatan (RMS)


Gerakan RMS dilatarbelakangi oleh rencana pembubaran RIS dan
pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Gerakan ini
dipimpin oleh Mr.Dr Christian.R.S. Soumokil, mantan JaksaAgung
Negara Indonesia Timur (NIT). Soumokil menentang penggabungan

6
daerah-daerah di bekas wilayah NIT ke dalam wilayah NKRI. Untuk
mewujudkan rencananya, Soumokil bekerja sama dengan Ir. Manusama
untuk mengadakan propaganda-propaganda terhadap para tokoh
setempat. Atas hasuan-hasutannya, para tokoh setempat tersebut
bersedia mendukung pembentukan sebuah wilayah yang lepas dari
kekuasaan NKRI. Pada tanggal 24 April 1950, Soumokil
memproklamasikan berdirinya Republik Maluku Selatan,

Untuk mengatasi permasalahan ini, pemerintah mengutus Dr. J. Leimen


mengadakan perundingan damai dengan Soumokil. Namun, utusan
pemerintah ini ditolak oleh Soumokil. Setelah beberapa upaya damai
yang ditempuh tidak mencapai hasil yang diinginkan maka pemerintah
memutuskan untuk melaksanakan operasi militer. Operasi militer
tersebut dipimpin oleh Panglima Tentara dan Teritor Indonesia Timur,
Kolonel Alex E. Kawilarang. Karena posisinya terdesak, banyak dukung
gerakan RMS melarikan diri ke Belanda.

F. Gerakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan


Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta)

Gerakan PRRI dan Permesta dipicu oleh ketidakpuasan daerah Sumatera


dan Sulawesi terhadap pemerintah pusat. Kedua daerah ini tidak puas
terhadap alokasi biaya pembangunan yang ditetapkan oleh pemerintah
pusat. Kelompok-kelompok yang tidak puas tersebut kemudian
membentuk dewan-dewan seperti berikut.
1. Dewan Banteng di Sumatera Barat di bawah pimpinan Letkol
Ahmad Husein.
2. Dewan Gajah di Sumatera Utara di bawah pimpinan Kolonel
Maludin Simbolon.
3. Dewan Garuda di Sumatera Tengah di bawah pimpinan Letkol
Barlian.
4. Dewan Manguni di Sulawesi Utara di bawah pimpinan Letkol
Ventje Sumual.

Pada tanggal 15 Februari 1958, Ahmad Husein memproklamasikan


berdirinya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di
Bukittinggi. Syafruddin Prawiranegara ditunjuk sebagai perdana
menterinya. Pada saat yang hampir bersamaan, Letkol D.J. Somba
sebagai Komandan Komando Daerah Militer Sulawesi Utara dan
Tengah (KDMSUT) memutuskan hubungan dengan pemerintah pusat.

7
Pada tanggal 2 Maret 1957, Letkol Ventje Sumual memproklamasikan
berdirinya gerakan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) di Makassar.
Secara terang-terangan, Permesta bergabung dan mendukung PRRI.
Tokoh-tokoh yang mendukung PRRI/Permesta, antara lain Brigjen Alex
E. Kawilarang, Letkol D.J. Somba, Kolonel Jacob F. Warouw, Letkol
M. Saleh Lahade, Syafruddin Prawiranegara, Burhanuddin Harahap, Dr.
Sumitro Joyohadi-kusumo.

Pemerintah bersikap tegas terhadap gerakan separatis tersebut. KSAD


memecat Letkol Ahmad Husein dan Kolonel Maludin Simbolon serta
membekukan Komando Daerah Militer Sumatera Tengah. Pemerintah
juga memecat Letnan Kolonel D.J. Somba dan Mayor Runturambi.
Adapun batalion yang berada di bawah KDMSUT diserah-kan kepada
Komando Antardaerah Indonesia Timur (Koandait).

Untuk menghentikan pemberontakan PRRI, pemerintah melancarkan


Operasi 17 Agustus, Operasi Tegas, Operasi Saptamarga, dan Operasi
Sadar. Adapun untuk me-numpas pemberontakan Permesta, pemerintah
melancarkan Operasi Merdeka di bawah pimpinan Letkol Rukminto
Hendraningrat. Operasi Merdeka terdiri dari beberapa bagian sebagai
berikut.
1. Operasi Saptamarga I di bawah pimpinan Letkol Sumarsono.
2. Operasi Saptamarga II di bawah pimpinan Letkol Agus
Prasmono.
3. Operasi Saptamarga III di bawah pimpinan Letkol Magenda.
4. Operasi Saptamarga IV di bawah pimpinan Letkol Rukmito
Hendraningrat.
5. Operasi Mena I di bawah pimpinan Letkol Pieters.
6. Operasi Mena II di bawah pimpinan Letkol K.K.O. Hunholz.

Anda mungkin juga menyukai