Disintegrasi Bangsa
Pengertian disintegrasi nasional adalah situasi yang dapat menjadi penyebab
perpecahan bangsa. Disintegrasi bisa merusak persatuan-kesatuan bangsa, dan
bahkan mengancam keutuhan negara. Menurut Soerjono Soekanto dalam buku Teori
Sosiologi tentang Perubahan Sosial (1983), disintegrasi adalah suatu proses
pudarnya norma-norma dan nilai-nilai dalam masyarakat yang disebabkan berbagai
perubahan di lembaga-lembaga kemasyarakatan. Tergesernya norma dan nilai ini
membawa subjektivitas kelompok—yang dilandasi atas perasaan senasib dan
perjuangan yang sama—untuk menetapkan kelompok lain sebagai musuhnya.
Sebagai bangsa yang besar dan mempunyai keberagaman tinggi, Indonesia tidak
jarang menghadapi berbagai masalah yang berpotensi menjadi penyebab disintegrasi
bangsa. Konflik-konflik antargolongan di Indonesia sering muncul dengan
menonjolkan kekhasan daerah atau kelompok yang kemudian memiliki
kecenderungan ke arah perpecahan. Hal ini dapat diakibatkan oleh ketidakpuasan
yang kemudian diikuti gerakan-gerakan yang mengarah pada disintegrasi nasional.
Pemberontakan PKI Madiun terjadi pada 18 September 1948 yang bertujuan untuk
menggulingkan pemerintahan Indonesia dan mengganti landasan negara. Tokoh
yang ada dibelakang gerakan pemberontakan PKI Madiun adalah Amir Sjarifuddin
dan Muso.
Amir Syarifuddin yang tidak sejalan dengan Kabinet Hatta membentuk Front
Demokrasi Rakyat (FDR) pada 28 Juni 1948. FDR menjadi pemersatu komunis dan
sosialis kiri seperti partai PKI, PSI, Pesindo, PBI dan Sarekat buruh Perkebunan
Republik Indonesia. Seriring berjalannya waktu, FDR mengarah ke organisasi ilegal.
Keanggotaan FDR berkembang pesat dengan unsur buruh dan milter berhalauan
komunis yang tidak terlatih. Situasi semakin memuncak ketika muncul isu RERA untuk
mengurangi jumlah anggota militer.
Memasuki September 1948, pemerintah dan golongan sayak kiri melancarkan aksi
saling culik hingga Madiun menjadi wilayah terakhir dari FDR. Hal ini berakibat pada
pecahnya FDR lokal Madiun pada 18 September 1948.
Pukul 03.00, 18 September 1948, FDR merebut tempat – tempat sentral seperti
pejabat pemerintah daerah, sentral telepon, dan markas tentara yang dipimpin oleh
Sumarsono dan Djoko Sujono. Dalam upaya ini, korban jatuh dua perwira dan empat
orang terluka. Dalam hitungan jam, separuh kota Madiun mampu dikuasai.
Mendengar apa yang terjadi di Madiun, Musso dan Amir menuju ke Madiun untuk
berdiskusi dengan Sumarsono, Setiadjit dan Wikana.
Akan tetapi, desa tersebut telah diduduki oleh Batalion Divisi Sungkono. Pada 28
Oktober 1948, pemerintah menangkap 1.500 orang. Musso berhasil ditembak mati
pada 31 Oktober 1948 ketika sedang bersembunyi di kamar kecil. Pada 29 November
1948, Djoko Sujono dan Maruto Darusman juga ditangkap. Amir pun tak luput ikut
tertangkap pada 4 Desember 1948. Amir, Maruto, Djoko, Suripno, dan tokoh FDR lain
dieksekusi pada 19 Desember 1948. Hal itu menjadi tanda pemberontakan berhasil
dipadamkan. Disebutkan, jumlah korban dalam peristiwa PKI Madiun diperkirakan
sekitar 24.000 orang. Sebanyak 8.000 orang di antaranya dari Madiun, 4.000 di Cepu,
dan 12.000 di Ponorogo. Pemberontakan ini juga menewaskan Gubernur Jawa Timur
saat itu, RM Suryo, serta beberapa tokoh lainnya.
Langkah awal PKI yang dilakukan untuk menyebarkan pengaruhnya di
Indonesia dengan cara-cara berikut ini?
DI/TII
Tujuan pemberontakan DI/TII Jawa Tengah sama dengan yang terjadi di Jawa Barat,
yakni untuk mendirikan Negara Islam Indonesia (NII). DI/TII dibentuk oleh
Kartosuwiryo pada Maret 1948 di Jawa Barat. Pemberontakan ini juga terjadi di
berbagai daerah di Indonesia, salah satunya di Jawa Tengah.
APRA
Pemberontakan APRA dipimpin oleh Raymond Westerling, seorang mantan kapten
tentara Hindia Belanda dari kesatuan Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger (KNIL).
Westerling memiliki keinginan mempertahankan bentuk negara federal sesuai
Perjanjian Renville dan menolak pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS)
G30S/PKI
Salah satu peristiwa penting dalam sejarah Indonesia adalah G30S PKI. Gerakan 30
September oleh PKI yang disebut G30S PKI adalah salah satu tragedi nasional
mengancam keutuhan NKRI. Seperti namanya tragedi tersebut terjadi pada tanggal
30 September 1965. Peristiwa itu berlangsung selama dua hari yakni sampai tanggal
1 Oktober 1965.
Peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang menjadi tragedi nasional tersebut diduga
dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia dan menimbulkan korban di kalangan
petinggi militer. Latar belakang peristiwa G30S PKI adalah sebab persaingan politik,
karena PKI sebagai kekuatan politik merasa khawatir dengan kondisi kesehatan
Presiden Soekarno yang memburuk.
Andi Aziz
Peristiwa pemberontakan Andi Azis berawal dari tuntutan Kapten Andi Aziz dan
pasukannya terhadap pemerintah Indonesia agar hanya mereka yang dijadikan
sebagai pasukan keamanan untuk mengamankan situasi di Makassar. Pada saat itu,
di Makassar sering terjadi bentrokan antara kelompok pro persatuan dengan
kelompok pro-negara federal. Menurut Andi Azis, hanya tentara APRIS dari Tentara
Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) yang bertanggung jawab atas keamanan di
Makassar. Tuntutan itu tidak dipenuhi dan pemerintah Republik Indonesia tetap
mendatangkan TNI sebagai pasukan keamanan.
Pemberontakan Andi Azis dimulai pada tanggal 5 April 1950 pukul 05.00 pagi. Saat
itu, pasukan KNIL yang dipimpin oleh Andi Azis langsung menyerbu markas APRIS
yang berada di Makassar. Pasukan KNIL yang dipimpin oleh Andi Azis ini diberi nama
Pasukan Bebas.Beberapa tentara APRIS pun menjadi korban dalam penyerangan ini,
bahkan beberapa perwira dari APRIS seperti Letkol A. J. Mokoginta pun turut menjadi
tawanan Pasukan Bebas.
PRRI
Pascakemerdekaan, kondisi pemerintahan belum stabil. Kesejahteraan dan
pembangunan di awal kemerdekaan masih sangat sulit. Kesenjangan pembangunan
di Pulau Jawa dan pulau-pulau lainnya memicu sentimen bahwa daerah
"dianaktirikan". Sentimen ini kemudian melahirkan upaya-upaya revolusi di daerah.
Pada Agustus dan September 1956 beberapa tokoh dari Sumatera Tengah
mengadakan rapat dan pertemuan di Jakarta. Pertemuan itu dilanjutkan dengan reuni
612 perwira aktif dan pensiunan Divisi Banteng pada 20-25 November 1956 di
Padang. Divisi IX Banteng adalah komando militer Angkatan Perang Republik
Indonesia (APRI) yang dibentuk pada masa perang kemerdekaan (1945-1950)
dengan wilayah Sumatera Tengah (Sumatra Barat, Riau, Jambi dan Kepulauan Riau).
Dalam reuni itu muncul aspirasi otonomi untuk memajukan daerah. Disetujui pula
pembetukan Dewan Banteng yang dipimpin oleh Letkol Ahmad Husein, komandan
Resimen IV dan tetorium I yang berkedudukan di Padang. Pada tanggal 20 Desember
1956, Letkol Ahmad Husein merebut kekuasaan Pemerintah Daerah dari Gubernur
Ruslan Muljohardjo. Dalihnya gubernur yang ditunjuk pemerintah tidak berhasil
menjalankan pembangunan daerah. Letkol Ahmad Husein mengklaim Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) terbentuk sejak 15 Februari 1958.
Silas Papare
Silas Papare adalah seorang yang berjuang penyatuan Irian Jaya (Papua) ke dalam
wilayah Indonesia. Silas Papare lahir di Serui, Papua, 18 Desember 1918. Ia
menyelesaikan pendidikan di Sekolah Juru Rawat pada tahun 1935 dan bekerja
sebagai pegawai pemerintah Belanda. Kegigihannya dalam berjuang untuk
kemerdekaan Papua membuatnya sering berurusan dengan aparat keamanan
Belanda. Usahanya untuk mempengaruhi Batalyon Papua untuk memberontak pada
akhirnya membuat ia harus masuk penjara di Jayapura.
Saat menjalani masa tahanan di Jayapura, Silas berkenalan dengan Dr. Sam
Ratulangi, Gubernur sulawesi yang diasingkan oleh Belanda di tempat tersebut.
Perkenalannya dengan Sam Ratulangi membuat semakin yakin bahwa Papua harus
bebas dan bergabung dengan Republik Indonesia. Hal tersebut membuat ia akhirnya
mendirikan Partai Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII). Akibatnya Silas kembali
ditangkap oleh Belanda dan dipenjarakan di Biak. Namun kemudian ia berhasil
melarikan diri menuju Yogyakarta.
Demokrasi Liberal
Latar belakang demokrasi parlementer di Indonesia, yang juga dikenal sebagai
demokrasi liberal, ialah jatuhnya Kabinet Presidensial Pertama pada 14 November
1945. Jatuhnya kabinet ini disebabkan oleh keluarnya Maklumat Wakil Presiden No.
X/1945 pada 16 Oktober 1945, yang diikuti oleh Maklumat Pemerintah tertanggal 3
November 1945. Maklumat Pemerintah tersebut berisi seruan untuk mendirikan partai
politik di Indonesia, sekaligus menandai titik mula menuju sistem politik yang lebih
pluralistik dan demokratis. Sebagai kelanjutan dari Maklumat Pemerintah, Badan
Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP) mengumumkan perubahan itu
melalui laporan pertanggungjawaban Menteri kepada Parlemen. Dalam hal ini,
Parlemen adalah Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Usulan BPKNIP itu lantas
disetujui oleh Presiden Soekarno pada 14 November 1945. Sejak itulah sejarah
demokrasi parlementer dimulai. Sistem pemerintahan di Indonesia berubah secara
otomatis dari sistem presidensial lalu memasuki masa demokrasi parlementer. Tokoh-
tokoh Indonesia yang memercayai dibutuhkannya demokrasi parlementer di
Indonesia di antaranya Mohammad Hatta dan Sutan Syahrir. Menurut mereka, sistem
pemerintahan tersebut mampu menciptakan partai politik yang bisa beradu pendapat
dalam parlemen serta dapat menciptakan wujud demokrasi sesungguhnya, yakni dari
rakyat, bagi rakyat, dan untuk rakyat. Mohammad Hatta, dalam Demokrasi Kita,
Pikiran-Pikiran Tentang Demokrasi dan Kedaulatan Rakyat (2008:122)
menambahkan, Indonesia berbentuk republik berlandaskan kedaulatan rakyat.
Kelebihan sistem pemerintahan parlementer adalah munculnya partai politik baru
yang bebas berpendapat dan mengkritik pemerintahan, sebagaimana ditulis oleh
Ahmad Muslih, dkk., dalam Ilmu Pengetahuan Sosial (2015:96). Namun, seiring
waktu, demokrasi parlementer melahirkan dampak negatif. Kekurangan sistem
demokrasi parlementer yang nyata terlihat setelah beberapa tahun adalah
menimbulkan persaingan tidak sehat.
Kabinet Wilopo
Kabinet Wilopo[1] adalah kabinet ketiga setelah pembubaran negara Republik
Indonesia Serikat yang diumumkan pada 1 April 1952 dan memerintah pada masa
bakti 3 April 1952 hingga 3 Juni 1953. Kabinet Wilopo didemisionerkan berdasarkan
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 99 Tahun 1953 tertanggal 3
Juni 1953. Kabinet ini termasuk kabinet zaken, yang artinya kabinet yang jajarannya
diisi oleh para tokoh ahli di dalam bidangnya dan bukan merupakan representatif dari
partai politik tertentu.
Kabinet Burhan
Berlangsungnya pemilihan umum pertama untuk DPR dan anggota konstituante
secara demokratis pada tanggal 29 September 1955. Pembubaran uni Indonesia-
Belanda yang disetujui Sultan Hamid II selaku ketua Republik Indonesia
Serikat. Pemberantasan korupsi, sehingga puluhan pejabat yang terlibat dalam kasus
tersebut banyak ditangkap oleh polisi militer. Terkabulnya tuntutan Aceh untuk jadi
provinsi terpisah dari Sumatera bagian Utara.
Kabinet Ali 1
Kabinet Ali Sastroamijoyo I merupakan kabinet keempat yang dibentuk setelah
bubarnya negara Republik Indonesia Serikat. Kabinet ini bertugas pada periode 31
Juli 1953 sampai 24 Juli 1955. Kabinet Ali Sastroamijoyo I ini juga memiliki sebutan
lain, yaitu Kabinet Ali Sastroamijoyo-Wongsonegoro atau Kabinet Ali Sastroamijoyo-
Wongsonegoro-Zainul Arifin
Pada masa Kabinet Ali Sastroamijoyo I memimpin, terdapat empat program kerja
yang dilakukan, yaitu: Dalam Negeri Keamanan: Memperbaharui politik,
mengembalikan keamanan sehingga memungkinkan tindakan-tindakan yang tegas
serta membangkitkan tenaga rakyat. Menyempurnakan hubungan antara alat-alat
kekuasaan negara. Pemilihan Umum: Segera melaksanakan pemilu untuk
Konstituante dan DPR Kemakmuran dan Keuangan: Menitikberatkan politik
pembangunan kepada segala usaha untuk kepentingan rakyat jelata. Memperbaharui
perundang-undangan agraria sesuai dengan kepentingan petani dan rakyat kota.
Mempercepat usaha penempatan bekas pejuang dan kaum penganggur terlantar
dalam lapangan pembangunan. Memperbaiki pengawasan atas pemakaian uang
negara dengan system Alibaba. Sistem ekonomi Ali-Baba diprakarsai oleh menteri
perekonomian kabinet Ali Sastroamidjojo 1 yaitu Iskaq Tjokrohadisurjo. Menurut Iskaq
dalam rangka memajukan ekonomi indonesia perlu adanya kerja sama antara
pengusaha pribumi dan non pribumi
Kabinet Natsir
Pada dekade 1950 an, masih banyak perusahaan-perusahaan yang menguasai hajat
hidup orang banyak berstatus perusahaan asing. Tanggal 3 Maret 1950 pemerintah
telah menjalankan suatu kebijaksanaan untuk mempergiat usaha pedagang nasional
swasta khusus bangsa Indonesia dengan cara memberi mereka fasilitas tertentu.
Program yang dimulai di era Perdana Menteri Muhammad Natsir itu dikenal sebagai
Program Benteng.
Kebijakan gerakan benteng dikeluarkan oleh Menteri Perdagangan Sumitro
Djojohadikusumo. Gerakan ini bertujuan mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi
struktur ekonomi nasional. Perwujudan dari gerakan benteng ini adalah dengan
menumbuhkan pengusaha Indonesia melalui kredit
Demokrasi Terpimpin
Sejarah masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965) di Indonesia terkait erat dengan
Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Sistem politik dan pemerintahan ini bersifat terpusat yang
membuat kekuasaan Presiden Sukarno menjadi amat kuat
Tanggal 5 Juli 1959, Presiden Sukarno mengeluarkan dekrit. Dikutip dari Dasar dan
Struktur Ketatanegaraan Indonesia (2001) karya Mahfud M.D, berikut ini isi Dekrit
Presiden 5 Juli 1959: Pembubaran konstituante. Berlakunya kembali UUD 1945. Tidak
berlakunya UUDS 1950. Dibentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
(MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS).
Sepanjang 1959 hingga 1966, banyak ketentuan dalam UUD 1945 yang belum
dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Arti dari "terpimpin" dalam UUD 1945
adalah pimpinan terletak di tangan presiden selaku kepala negara. Alhasil, lembaga-
lembaga negara, seperti DPR, MPR, DPA, BPK, dan MA, tidak mendapat proporsi
yang seharusnya. Presiden Soekarno selaku pemimpin besar revolusi kemudian
menghendaki penghapusan sistem multipartai dengan menghapuskan Partai
Masyumi.
Front Nasional
Front Nasional merupakan sebuah organisasi massa yang memperjuangkan cita-cita
proklamasi dan UUD 1945 yang dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 13
Tahun 1959. Tujuan organisasi ini adalah menyatukan segala bentuk potensi nasional
menjadi kekuatan untuk menyukseskan pembangunan.
Kebijakan Luar Negeri
KOMPAS.com - Demokrasi Terpimpin di Indonesia berlangsung dari tahun 1959-
1965. Pelaksanaan politik luar negeri Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin
didominasi oleh hasrat dan cita-cita besar Soekarno. Dalam buku Sejarah Indonesia
Modern: 1200-2004 (2005) karya M.C Ricklefs, Demokrasi Terpimpin didominasi oleh
kepribadian Soekarno, walaupun dalam pelaksanaannya dijalankan bersama dengan
pemimpin-pemimpin angkatan bersenjata. Soekarno tidak menyukai stabilitas,
ketertiban, dan hal-hal prediktif yang merupakan tujuan dari penguasa pra-kolonial.
Soekarno menginginkan sebuah revolusi yang berkesinambungan dan mobilisasi
massa. Politik luar negeri Indonesia yang diterapkan pada masa Demokrasi Terpimpin
adalah politik bebas–aktif. Salah satu peran aktif Indonesia pada awal masa
Demokrasi Terpimpin adalah pengiriman Pasukan Garuda II untuk bergabung dengan
pasukan perdamaian PBB, UNOC