Cara mengatasi :
5. Soekarnno- Hatta melalui pidatonya memberikan pilihan kepada rakyat untuk memilih antara
Soekarno-Hatta atau PKI-Muso.
6. Panglima Besar Jendral Soedirman memerintahkan kolonel Gatot Soebroto dan Sungkono
mengerahkan pasukan TNI.Madiun berhasil direbut pada tanggal 30 September 1948.
Pemberontakan Darul Islam (DI/TII)
1. Di Jawa Barat
Terjadi pada tanggal : 7 Agustus 1949
Tokoh : Sekarmadji Maridjan
Kartosuwiryo
Sebab:
Penolakan Kartosuwiryo terhadap perjanjian Renville yang
mengharuskan TNI di daerah kantong hijrah ke Yogyakarta.Pada
waktu itu Kartosuwiryo berada di Jawa Barat,dan
memproklamasikan berdirinya negara Islam Indonesia (NII).
Cara mengatasi:
2. Operasi militer tanggal 27 Agustus 1949
3. Operasi Bharatayudha
2. Di Jawa Tengah
Terjadi pada tanggal : 23 Agustus 1949
Tokoh : Amir Fatah dan Kiai Sumolangu
Sebab:
3. Adanya persamaan ideologi antara Amir Fatah dengan S.M. Kartosuwirjo,
yaitu keduanya menjadi pendukung setia Ideologi Islam.
4. Amir Fatah dan para pendukungnya menganggap bahwa aparatur Pemerintah
RI dan TNI yang bertugas di daerah Tegal-Brebes telah terpengaruh oleh
"orang-orang Kiri", dan mengganggu perjuangan umat Islam.
5. Adanya pengaruh "orang-orang Kiri" tersebut, Pemerintah RI dan
TNI tidak menghargai perjuangan Amir Fatah dan para pendukungnya selama
itu di daerah Tegal-Brebes. Bahkan kekuasaan yang telah dibinanya sebelum
Agresi Militer II, harus diserahkan kepada TNI di bawah Wongsoatmojo.
6. Adanya perintah penangkapan dirinya oleh Mayor Wongsoatmodjo
Cara mengatasi:
Tahun 1957 ditumpas melalui operasi gerakan Banteng Nasional dari divisi
Diponegoro.
3. Di Aceh
Terjadi pada tanggal : Pemberontakan DI/TII di Aceh dimulai
dengan Proklamasi Daud Beureueh bahwa Aceh merupakan
bagian Negara Islam Indonesia di bawah pimpinan Imam
Kartosuwirjo pada tanggal 20 September 1953.
Tokoh : Daud Beureuh
Sebab :
4. Persoalan otonomi daerah
5. Pertentangan antar golongan
6. Tidak lancarnya rehabilitasi dan modernisasi daerah
Cara mengatasi :
Pemberontakan Daud Beureuh ini dilakukan dengan suatu
" Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh pada bulan
Desember 1962 atas prakarsa Panglima Kodam I/Iskandar
Muda, Kolonel Jendral Makarawong.
4. Di Sulawesi Selatan
Terjadi pada tanggal : 17 Agustus 1951
Tokoh : KaharMuzakar
Sebab :
Pada tanggal 30 April 1950 Kahar Muzakar menuntut kepada
pemerintah agar pasukannya yang tergabung dalam Komando
Gerilya Sulawesi Selatan dimasukkan ke dalam Angkatan
Perang Republik Indonesia Serikat ( APRIS ). Tuntutan ini
ditolak karena harus melalui penyaringan.
Cara mengatasi :
5. Operasi Militer
6. Pada bulan Februari 1965 Kahar Muzakar berhasil
ditangkap dan ditembak mati sehingga pemberontakan
DI/TII di Sulawesi dapat dipadamkan.
5. Di Kalimantan Selatan
Terjadi : Bulan oktober 1950
Tokoh : Ibnu Hajar
Sebab : Ketidakpuasan terhadap kebijakan
mengenai TNI
Cara mengatasi :
Dalam menghadapi gerombolan DI/TII tersebut pemerintah
pada mulanya melakukan pendekatan kepada Ibnu Hadjar
dengan diberi kesempatan untuk menyerah, dan akan diterima
menjadi anggota ABRI. Ibnu Hadjar sempat menyerah, akan
tetapi setelah menyerah dia kembali melarikan diri dan
melakukan pemberontakan lagi sehingga pemerintah akhirnya
menugaskan pasukan ABRI (TNI-POLRI) untuk menangkap
ibnu Hadjar. Pada akhir tahun 1959 Ibnu Hadjar beserta
seluruh anggota gerombolannya tertangkap dan dihukum mati.
Gerakan 30 September 1965
Gerakan 30 September (dalam dokumen pemerintah
tertulis Gerakan 30 September/PKI, sering disingkat
G30S/PKI), Gestapu (Gerakan September Tiga
Puluh), atau juga Gestok (Gerakan Satu Oktober)
adalah sebuah peristiwa yang terjadi selewat malam
pada tanggal 30 September sampai awal bulan
selanjutnya (1 Oktober) tahun 1965 ketika tujuh
perwira tinggi militer Indonesia beserta beberapa
orang yang lain dibunuh dalam suatu usaha kudeta
(yang hampir sekaligus)
Latar Belakang
Partai Komunis Indonesia (PKI) merupakan partai komunis terbesar di seluruh dunia,
di luar Tiongkok dan Uni Soviet. Sampai pada tahun 1965 anggotanya berjumlah
sekitar 3,5 juta, ditambah 3 juta dari pergerakan pemudanya. PKI juga mengontrol
pergerakan serikat buruh yang mempunyai 3,5 juta anggota dan pergerakan para
petani anggota Barisan Tani Indonesia yang berjumlah 9 juta anggota. Termasuk
pergerakan wanita (Gerwani), organisasi penulis dan artis serta pergerakan
sarjananya, PKI mempunyai lebih dari 20 juta anggota dan pendukung.
Pada era "Demokrasi Terpimpin", kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum
burjuis nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh
dan petani, gagal mengatasi masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak.
Pendapatan ekspor menurun, foreign reserves menurun, inflasi terus menaik, serta
korupsi birokrat dan militer menjadi wabah.
Latar Belakang lainnya antara lain, yaitu:
1. Angkatan Kelima
Pada awal tahun 1965, Bung Karno atas saran dari PKI akibat dari tawaran perdana menteri RRC,
mempunyai ide tentang Angkatan Kelima yang berdiri sendiri terlepas dari ABRI. Akan tetapi,
petinggi Angkatan Darat tidak setuju dan hal ini lebih menimbulkan nuansa curiga-mencurigai
antara militer dan PKI.
6. Faktor ekonomi
Inflasi yang mencapai 650% membuat harga makanan melambung tinggi, rakyat kelaparan dan
terpaksa harus antre beras, minyak, gula, dan barang-barang kebutuhan pokok lainnya.
Beberapa faktor yang berperan kenaikan harga ini adalah keputusan Suharto-Nasution untuk
menaikkan gaji para tentara 500% dan penganiayaan terhadap kaum pedagang Tionghoa yang
menyebabkan mereka kabur. Sebagai akibat dari inflasi tersebut, banyak rakyat Indonesia yang
sehari-hari hanya makan bonggol pisang, umbi-umbian, gaplek, serta bahan makanan yang
tidak layak dikonsumsi lainnya; pun mereka menggunakan kain dari karung sebagai pakaian
mereka. Faktor ekonomi ini menjadi salah satu sebab kemarahan rakyat atas pembunuhan
keenam jenderal tersebut, yang berakibat adanya backlash terhadap PKI dan pembantaian
orang-orang yang dituduh anggota PKI di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali serta tempat-tempat
lainnya.
Peristiwa
1. Isu Dewan Jenderal
Pada saat-saat yang genting sekitar bulan September 1965 muncul isu adanya
Dewan Jenderal yang mengungkapkan adanya beberapa petinggi Angkatan Darat
yang tidak puas terhadap Soekarno dan berniat untuk menggulingkannya.
Menanggapi isu ini, Soekarno disebut-sebut memerintahkan pasukan Cakrabirawa
untuk menangkap dan membawa mereka untuk diadili oleh Soekarno. Namun yang
tidak diduga-duga, dalam operasi penangkapan jenderal-jenderal tersebut, terjadi
tindakan beberapa oknum yang termakan emosi dan membunuh Letjen Ahmad Yani,
Panjaitan, dan Harjono.
2. Isu Dokumen Gilchrist
Dokumen Gilchrist yang diambil dari nama duta besar Inggris untuk Indonesia
Andrew Gilchrist beredar hampir bersamaan waktunya dengan isu Dewan Jenderal.
Dokumen ini, yang oleh beberapa pihak disebut sebagai pemalsuan oleh intelejen
Ceko di bawah pengawasan Jenderal Agayant dari KGB Rusia, menyebutkan adanya
"Our local army friends" (Teman tentara lokal kita) yang mengesankan bahwa
perwira-perwira Angkatan Darat telah dibeli oleh pihak Barat[6]. Kedutaan Amerika
Serikat juga dituduh memberikan daftar nama-nama anggota PKI kepada tentara
untuk "ditindaklanjuti". Dinas intelejen Amerika Serikat mendapat data-data tersebut
dari berbagai sumber, salah satunya seperti yang ditulis John Hughes, wartawan The
Nation yang menulis buku "Indonesian Upheaval", yang dijadikan basis skenario film
"The Year of Living Dangerously", ia sering menukar data-data apa yang ia
kumpulkan untuk mendapatkan fasilitas teleks untuk mengirimkan berita.
3. Isu Keterlibatan Soeharto
Hingga saat ini tidak ada bukti keterlibatan/peran aktif Soeharto dalam aksi
penculikan tersebut. Satu-satunya bukti yang bisa dielaborasi adalah pertemuan
Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Pangkostrad (pada zaman itu jabatan
Panglima Komando Strategis Cadangan Angkatan Darat tidak membawahi pasukan,
berbeda dengan sekarang) dengan Kolonel Abdul Latief di Rumah Sakit Angkatan
Darat.
Meski demikian, Suharto merupakan pihak yang paling diuntungkan dari peristiwa ini.
Banyak penelitian ilmiah yang sudah dipublikasikan di jurnal internasional
mengungkap keterlibatan Suharto dan CIA. Beberapa diantaranya adalah, Cornell
Paper, karya Benedict R.O'G. Anderson and Ruth T. McVey (Cornell University),
Ralph McGehee (The Indonesian Massacres and the CIA), Government Printing
Office of the US (Department of State, INR/IL Historical Files, Indonesia, 1963–1965.
Secret; Priority; Roger Channel; Special Handling), John Roosa (Pretext for Mass
Murder: The September 30th Movement and Suharto's Coup d'État in Indonesia),
Prof. Dr. W.F. Wertheim (Serpihan Sejarah Thn 1965 yang Terlupakan).
Korban
Pejabat tinggi yang dibunuh tersebut adalah:
1. Letjen TNI Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando Operasi
Tertinggi)
2. Mayjen TNI Raden Suprapto (Deputi II Menteri/Panglima AD bidang Administrasi)
3. Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III Menteri/Panglima AD bidang Perencanaan
dan Pembinaan)
4. Mayjen TNI Siswondo Parman (Asisten I Menteri/Panglima AD bidang Intelijen)
5. Brigjen TNI Donald Isaac Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang Logistik)
6. Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat)
7. Kapten Czi. (Anumerta) Pierre Andries Tendean
Jenderal TNI Abdul Harris Nasution yang menjadi sasaran utama, selamat dari upaya
pembunuhan tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan dia, Lettu CZI
Pierre Andreas Tendean tewas dalam usaha pembunuhan tersebut.
Para korban tersebut kemudian dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede, Jakarta yang dikenal
sebagai Lubang Buaya. Mayat mereka ditemukan pada 3 Oktober.
Sebab :
1. Menuntut agar pasukan bekas KNIL saja yang bertanggung jawab atas keamanan di
Negara Indonesia Timur.
2. Menentang masuknya pasukan APRIS dari TNI
3. Mempertahankan tetap berdirinya Negara Indonesia Timur.
Cara mengatasi :
4. Pada tanggal 8 April 1950 dikeluarkan ultimatum bahwa dalam waktu 4 x 24 jam Andi
Azis harus melaporkan diri ke Jakarta untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya,
pasukannya harus dikonsinyasi, senjata-senjata dikembalikan, dan semua tawanan
harus dilepaskan.
5. Kedatangan pasukan pimpinan Worang kemudian disusul oleh pasukan ekspedisi yang
dipimpin oleh Kolonel A.E Kawilarang pada tanggal 26 April 1950 dengan kekuatan dua
brigade dan satu batalion di antaranya adalah Brigade Mataram yang dipimpin oleh
Letnan Kolonel Suharto. Kapten Andi Azis dihadapkan ke Pengadilan Militer di
Yogyakarta untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya dan dijatuhi hukuman.
PEMBERONTAKAN REPUBLIK MALUKU
SELATAN (RMS)
Terjadi pada : 25 April 1950
Tokoh : Soumokil, J.H. Manuhutu, Frans
Tutuhatunewa
Sejak pembentukannya di Bandung pada bulan Juli 1948, BFO telah terpecah ke dalam
dua kubu. Kelompok pertama lebih memilih bergabung RI yang dipelopori oleh Iada Anak
Agung Gde Agung (NIT) serta R.T. Adil Puradiredja dan R.T.Djumhana (Negara
Pasundan). Kelompok kedua dipimpin oleh Sultan Hamid II (Pontianak) dan dr.T.Mansur
(Sumatra Timur) yang bekerja sama dengan Belanda untuk tetap mempertahankan BFO.
Ketika Belanda melancarkan Agresi Militer II-nya, pertentangan kedua kubu kian sengit.
Dalam sidang-sidang BFO selanjutnya kerap terjadi konfrontasi antara Anak Agung dengan
Sultan Hamid II. Di kemudian hari, Sultan Hamid II ternyata bekerja sama dengan APRA
Westerling mempersiapkan pemberontakan terhadap pemerintah RIS.
Namun selain pergolakan yang mengarah pada perpecahan, pergolakan bernuansa positif
bagi persatuan bangsa juga terjadi. Hal ini terlihat ketika negara-negara bagian yang
keberadaannya ingin dipertahankan setelah KMB harus berhadapan dengan tuntutan
rakyat yang ingin agar negara-negara bagian tersebut bergabung ke RI.
Pemberontakan Pemerintah Revolusioner
Republik Indonesia (PRRI)
Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (biasa disingkat dengan PRRI) merupakan
gerakan pertentangan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat (Jakarta) yang
dideklarasikan pada 15 Februari 1958. Gerakan ini didahului oleh keluarnya ultimatum
Piagam Perjuangan untuk Menyelamatkan Negara dari Dewan Perjuangan yang dipimpin
oleh Letnan Kolonel Ahmad Husein di Padang, Sumatra Barat, Indonesia.
Salah satu tuntutan PRRI adalah pemberlakuan otonomi daerah yang lebih luas. Namun,
PRRI dianggap sebagai sebuah pemberontakan oleh pemerintah pusat sehingga ditumpas
dengan pengerahan kekuatan militer terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah militer
Indonesia. Semua tokoh PRRI adalah para pejuang kemerdekaan, pendiri dan pembela
NKRI. Sebagaimana ditegaskan Ahmad Husein dalam rapat Penguasa Militer di Istana
Negara April 1957: "Landasan perjuangan daerah tetap Republik Proklamasi dan
berkewajiban untuk menyelamatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta".
Pasca-PRRI, orang Minang menerima pukulan kejiwaan yang keras; dulu berada di
barisan terdepan dalam perjuangan kemerdekaan nasional tetapi kini dicap sebagai
pemberontak separatis. Banyak pegawai negeri yang mendukung PRRI diganti dengan
orang-orang komunis.
Latar Belakang
Pemberontakan PRRI di barat dan Permesta di timur
menumbuhkan berbagai macam alasan. Utamanya bahwa
kelompok etnis tertentu di Sulawesi dan Sumatra Tengah waktu
itu merasa bahwa kebijakan pemerintahan dari Jakarta stagnan
pada pemenuhan ekonomi lokal mereka saja, di mana dalam
gilirannya membatasi setiap kesempatan bagi pengembangan
daerah regional lainnya. Juga ada rasa kebencian terhadap
kelompok suku Jawa, yang merupakan suku dengan jumlah
terbanyak dan berpengaruh dalam negara kesatuan Indonesia
yang baru saja terbentuk. Ketidakseimbangan terjadi karena
ajang politik Indonesia terpusat di pulau Jawa, sedangkan
sumber-sumber perekonomian negara lebih banyak berasal dari
pulau-pulau lain. Efeknya konflik ini sedikit menyoal pikiran
tentang pemisahan diri dari negara Indonesia, tetapi lebih
menitikberatkan tentang pembagian kekuatan politik dan
ekonomi yang lebih adil di Indonesia.
Sebab Berdirinya PRRI
Sebab berdirinya PRRI adalah tuntutan otonomi luas dan kekecewaan terhadap pemerintah pusat
karena cenderung sentralis, sehingga pembangunan di daerah menjadi terabaikan. Cikal bakal PRRI
dapat dilacak dari acara reuni Divisi Banteng di Padang pada tanggal 20–25 November 1956. Dari
pertemuan tersebut dihasilkan perlunya otonomi daerah agar bisa menggali potensi dan kekayaan
daerah dan disetujui pula pembentukan Dewan Banteng yang dipimpin oleh Letkol Ahmad Husein,
komandan resimen IV dan tetorium I yang berkedudukan di Padang.
Pada tanggal 20 Desember 1956, Letkol Ahmad Husein merebut kekuasaan Pemerintah Daerah dari
Gubernur Ruslan Muljohardjo. Dalihnya gubernur yang ditunjuk pemerintah tidak berhasil menjalankan
pembangunan daerah. Menyusul Dewan Banteng, muncul pula dewan-dewan lain di berbagai daerah
yakni:
Pada masa bersamaan kondisi pemerintahan di Indonesia masih belum stabil pasca-agresi Belanda.
Hal ini juga memengaruhi hubungan pemerintah pusat dengan daerah serta menimbulkan berbagai
ketimpangan dalam pembangunan, terutama pada daerah-daerah di luar pulau Jawa.
Ultimatum PRRI
Pada 10 Februari 1958, Ahmad Husein selaku Ketua Dewan Banteng
mengeluarkan ultimatum yang isinya agar Kabinet Djuanda menyerahkan
mandatnya kepada Presiden dengan waktu 5 x 24 jam dan Presiden
diminta kembali kepada kedudukan konstitusionalnya. Ultimatum tersebut
bukan tuntutan pembentukan negara baru maupun pemberontakan,
tetapi lebih merupakan protes mengenai bagaimana konstitusi dijalankan.
Aksi tentara pusat berjalan tanpa kontrol. Tentara APRI melakukan tindak kekerasan. Ribuan orang yang
dicurigai sebagai simpatisan PRRI ditangkap secara sewenang-wenang. Dari pertengahan April 1958 sampai
1960, semua sekolah SMP dan SMA tutup. Universitas Andalas yang baru berjalan dua tahun terpaksa ditutup
karena hampir semua dosen dan mahasiswanya ikut PRRI.
Menjelang akhir tahun 1960, seluruh wilayah Sumatra Barat berhasil dikuasai tentara APRI. Elemen sipil dan
militer yang pernah terlibat PRRI dan telah kembali ke "pangkuan ibu pertiwi" diberikan amnesti oleh
pemerintah. Amnesti itu dituangkan melalui Keputusan Presiden No. 322 Tahun 1961 tanggal 22 Juni 1961.
Meski seruan pemerintah direspon pimpinan PRRI, pada kenyataannya janji amnesti hanya sebatas retorika.
Selama beberapa tahun, pimpinan sipil dan militer PRRI dikarantina. Masyarakat, terutama mahasiswa dan
pelajar, mengalami tekanan hidup yang berat.
Selain operasi militer, pemerintah pusat melalui Jenderal Abdul Haris Nasution juga melakukan pendekatan
secara diplomatis yakni membujuk tentara PRRI untuk menyerah dan kembali setia pada NKRI. Peristiwa ini
disebut Operasi Pemanggilan Kembali. Pada 29 Mei 1961, Ahmad Husein secara resmi menyerah bersama
sekitar 24.500 pengikutnya.
PERJUANGAN RAKYAT SEMESTA
(PERMESTA)
Perjuangan Semesta atau Perjuangan Rakyat Semesta
(Ejaan Soewandi: Perdjuangan Rakjat Semesta)
disingkat Permesta adalah sebuah gerakan militer di
Indonesia. Gerakan ini dideklarasikan oleh pemimpin
militer dan sipil Indonesia bagian timur pada tanggal 2
Maret 1957. Pusat gerakan ini mulanya berada di
Makassar yang pada waktu itu merupakan ibu kota
Sulawesi. Namun perlahan-lahan dukungan di
Sulawesi Selatan mulai hilang sehingga pada 1957
markas Permesta dipindahkan ke Manado di Sulawesi
Utara. Di sini timbul kontak senjata dengan pasukan
pemerintah pusat sampai mencapai gencatan senjata
pada tahun 1961.
Ketidakpuasan atas pelaksanaan pembagian keuangan daeran dan pelaksanaan
pembangunan juga terjadi di Sulawesi. Untuk meyikapi situasi tersebut, akhir
Ferbruari 1957 Panglima TT-VII Letkol Ventje Sumual mengadakan pertemuan
dengan staf komandan. Pertemuan melahirkan sebuah konsepsi yang intinya
bahwa penyelesaian keamanan harus segera dilaksanakan agar pembangunan
semesta dapat segera dimulai.
Pemerintah pusat membentuk komando operasi merdeka yang dipimpin oleh Letkol
Rukminto Hendraninggrat untuk mengatasi PERMESTA. Selanjutnya digelar operasi
Saptamarga I yang dipimpin Letkol Sumarsono untuk wilayah Sulawesi Utara bagian
tengah; operasi Saptamarga II dipimpin Letkol Agus Prasmono dengan sasaran
Sulawesi Utara bagian Selatan; operasi Saptamarga III dipimpin Letkol Magenda
dengan sasaran pulau-pulau di Utara Manado; operasi Saptamarga IV dipimpin
langsung Letkol Rukminto Hendraningrat untuk wilayah Sulawesi Utara.
Dalam aksinya PERMESTA mendapat bantuan dari
pihak negara Barat. Hal ini terbukti dengan jatuhnya
pesawat B-29 milik Amerika Serikat karena ditembak
setelah membombardir pasar dan lapangan terbang
di Ambon oleh kesatuan Anti Serangan Udara TNI
pada 18 Mei 1958. Pilot pesawatnya Allan Lawrence
Pope, seorang agen CIA berhasili ditangkap dan
menjadi bukti keterlibatan pembenrontakan. Aksi
PERMESTA dapat dilumpuhkan pada Agustus 1958.
sisa-sisanya masih ada sampai 1961.
TOKOH-TOKOH NASIONAL
YANG BERJUANG
MEMPERTAHANKAN
KEUTUHAN BANGSA
INDONESIA PADA MASA 1948-
1965
1. Jendral Gatot Subroto
Lahir di Banyumas 10 Oktober 1909.
Pernah dikeluarkan dari sekolah ELS (Europe Lagere School).
Menyelesaikan HIS (Holands Inlande School), menjadi anggota KNIL dan pada masa pendukung
Jepang mengikuti pendidikan PETA.
Setelah kemerdekaan Indonesia, Gatot menjadi Tentara Rakyat (TKR).
1. Ir Soekarno
Lahir di Blitar, Jawa Timur, 06 Juni 1901.
Presiden Inndonesia pertama yang menjabat pada periode 1945-1966. Ia memainkan peranan
penting untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajah Belanda.
Ia adalah penggali Pancasila, Proklamator Kemerdekaan Indonesia (bersama dengan
Mohammad Hatta).
Soekarno dilahirkan dengan nama Kusno Sosrodiharjo. Ayahnya bernama Soekami Sosro
diharjo. Ibunya bernama Ida Ayu Nyoman Rai berasal dari Buleleng, Bali.
1. Muhammad Hatta
Dilahirkan di Sumatra Barat pada tanggal 12 Agustus 1902.
Beliau berjuang sejak zaman pergerakan nasional, dimulai di negeri Belanda.
Mendirikan organisai Perhimpunan Indonesia. Pada masa pendudukan Jepang, dikenal
dengan julukan Dwi Tunggal bersama Bung Karno.
Beliau aktif dalam mempersiapkan kemerdekaan Indonesia, menghadiri rapat-rapat PPKI,
dan mendampingi Bung Karno dalam pembacaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada
tanggal 17 Agustus 1945.