Anda di halaman 1dari 8

1.

1 Latar Belakang

Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia atau biasa disebut G30S/PKI merupakan partai komunis yang terbesar di seluruh dunia di
luar Tiongkok dan Uni Soviet. Partai yang terjadi semalam pada 30 September 1965 merupakan peristiwa yang memakan banyak korban.
Pemberontakan PKI bukanlah peristiwa pertama bagi PKI. Sebelumnya, PKI pernah mengadakan pemberontakan di Madiun pada tahun
1948 yang dipelopori oleh Amir Syarifuddin dan Muso. Tujuan dari pemberontakan PKI adalah untuk menjadikan negara Republik
Indonesia menjadi negara Komunis. Namun saat itu Amir Syarifuddin dan Muso dapat ditangkap dan ditembak mati sehingga
pemberontakan PKI dapat dikendalikan.

Namun, melalui demokrasi terpimpin tahun 1965 PKI kembali bersinar. Terlebih lagi adanya NASAKOM ( Nasional, Agama, Komunis )
dari presiden Soekarno. Partai yang berideologi Komunis tersebut melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan kolonial Belanda pada
tahun 1926. Di akhir 1964 dan permulaan 1965 ribuan petani bergerak merampas tanah yang bukan hak mereka. Bentrokan besar terjadi
antara polisi dan para pemilik tanah. Pada tanggal 30 September 1965 yang pada saat itu muncul isu dewan jenderal telah dituduh menculik 7
jenderal TNI AD di Jakarta dan melakukan pembunuhan pada pukul 4 dini hari tepat pada tanggal 1 Oktober 1965.

2.1. Latar Belakang G30S/PKI

Partai Komunis Indonesia (PKI) merupakan partai komunis terbesar di dunia di luar China dan Uni Soviet. Hingga tahun 1965 pengikut PKI
mencapai 3.5 juta penduduk Indonesia di tambah 3 juta dari pemudanya. PKI juga mengontrol pergerakan serikat buruh yang mempunyai 3.5
juta anggota dan pergerakan petani atau yang disebut dengan Barisan Tani Indonesia yang mempunyai 9 juta anggota. Termasuk pergerakan
wanita (Gerwani), organisasi penulis dan artis dan pergerakkan sarjananya, PKI mempunyai lebih dari 20 juta anggota pendukung. Pada
bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Soekarno menetapkan konstitusi di bawah dekrit presiden, sekali dengan dukungan penuh PKI. Ia
memperkuat tangan angkatan bersenjata dengan mengangkat para jendral militer ke posisi – posisi yang penting. Soekarno menjalankan
sistem “Demokrasi Terpimpin”. PKI menyambut “Demokrasi Terpimpin” dengan hangat dan anggapan bahwa dia mempunyai mandat untuk
persekutuan konsepsi yaitu antara Nasionalis, Agama, dan Komunis yang dinamakan NASAKOM.
Pada era “Demokrasi Terpimpin”, kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum borjuis nasional dalam menekan pergerakan – pergerakan
independen kaum buruh dan petani, gagal memecahkan masalah – masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor
menurun, foreign reserves menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan militer menjadi wabah. Pada awal tahun 1965 Bung Karno
atas saran dari PKI akibat dari tawaran perdana mentri RRC, mempunyai ide tentang Angkatan Kelima yang berdiri sendiri terlepas dari
ABRI. Tetapi petinggi Angkatan Darat tidak setuju dan hal ini lebih menimbulkan nuansa curiga-mencurigai antara militer dan PKI. Dari
tahun 1963, kepemimpinan PKI makin lama makin berusaha memprovokasi bentrokan-bentrokan antara aktivis massanya dan polisi dan
militer. Pemimpin-pemimpin PKI juga menginfiltrasi polisi dan tentara dengan slogan "kepentingan bersama" polisi dan "rakyat". Pemimpin
PKI DN Aidit Mengilhami slogan "Untuk Ketentraman Umum Bantu Polisi". Di bulan Agustus 1964, Aidit menganjurkan semua anggota
PKI membersihkan diri dari "sikap-sikap sektarian" kepada angkatan bersenjata, menghimbau semua pengarang dan seniman sayap-kiri
untuk membuat "massa tentara" subjek karya-karya mereka. Di akhir 1964 dan permulaan 1965 ribuan petani bergerak merampas tanah yang
bukan hak mereka atas hasutan PKI. Bentrokan-bentrokan besar terjadi antara mereka dan polisi dan para pemilik tanah.
Bentrokan-bentrokan tersebut dipicu oleh propaganda PKI yang menyatakan bahwa petani berhak atas setiap tanah, tidak peduli tanah
siapapun (milik negara = milik bersama). Kemungkinan besar PKI meniru revolusi Bolshevik di Rusia, di mana di sana rakyat dan partai
komunis menyita milik Tsar dan membagi-bagikannya kepada rakyat.
Pada permulaan 1965, para buruh mulai menyita perusahaan-perusahaan karet dan minyak milik Amerika Serikat. Kepemimpinan PKI
menjawab ini dengan memasuki pemerintahan dengan resmi. Pada waktu yang sama, jenderal-jenderal militer tingkat tinggi juga menjadi
anggota kabinet. Jendral-jendral tersebut masuk kabinet karena jabatannya di militer oleh Sukarno disamakan dengan setingkat menteri. Hal
ini dapat dibuktikan dengan nama jabatannya (Menpangab, Menpangad, dan lain-lain). Menteri-menteri PKI tidak hanya duduk di sebelah
para petinggi militer di dalam kabinet Sukarno ini, tetapi mereka terus mendorong ilusi yang sangat berbahaya bahwa angkatan bersenjata
adalah merupakan bagian dari revolusi demokratis "rakyat".
Rezim Soekarno mengambil langkah terhadap para pekerja dengan melarang aksi-aksi mogok di industri. Kepemimpinan PKI tidak
berkeberatan karena industri menurut mereka adalah milik pemerintahan NASAKOM. Tidak lama PKI mengetahui dengan jelas
persiapan-persiapan untuk pembentukan rezim militer, menyatakan keperluan untuk pendirian "angkatan kelima" di dalam angkatan
bersenjata, yang terdiri dari pekerja dan petani yang bersenjata. Bukannya memperjuangkan mobilisasi massa yang berdiri sendiri untuk
melawan ancaman militer yang sedang berkembang itu, kepemimpinan PKI malah berusaha untuk membatasi pergerakan massa yang
semakin mendalam ini dalam batas-batas hukum kapitalis negara. Mereka, depan jendral-jendral militer, berusaha menenangkan bahwa usul
PKI akan memperkuat negara. Aidit menyatakan dalam laporan ke Komite Sentral PKI bahwa "NASAKOMisasi" angkatan bersenjata dapat
dicapai dan mereka akan bekerja sama untuk menciptakan "angkatan kelima". Kepemimpinan PKI tetap berusaha menekan aspirasi
revolusioner kaum buruh di Indonesia. Di bulan Mei 1965, Politbiro PKI masih mendorong ilusi bahwa aparatus militer dan negara sedang
diubah untuk mengecilkan aspek anti-rakyat dalam alat-alat negara.
Sejak tahun 1964 sampai menjelang meletusnya G30S telah beredar isu sakit parahnya Bung Karno. Hal ini meningkatkan kasak-kusuk
dan isu perebutan kekuasaan apabila Bung Karno meninggal dunia. Namun menurut Subandrio, Aidit tahu persis bahwa Bung Karno hanya
sakit ringan saja, jadi hal ini bukan merupakan alasan PKI melakukan tindakan tersebut. Pada tahun 1960 keluarlah Undang-Undang Pokok
Agraria (UU Pokok Agraria) dan Undang-Undang Pokok Bagi Hasil (UU Bagi Hasil) yang sebenarnya merupakan kelanjutan dari Panitia
Agraria yang dibentuk pada tahun 1948. Panitia Agraria yang menghasilkan UUPA terdiri dari wakil pemerintah dan wakil berbagai ormas
tani yang mencerminkan 10 kekuatan partai politik pada masa itu. Walaupun undang-undangnya sudah ada namun pelaksanaan di daerah
tidak jalan sehingga menimbulkan gesekan antara para petani penggarap dengan pihak pemilik tanah yang takut terkena UUPA, melibatkan
sebagian massa pengikutnya dengan melibatkan backing aparat keamanan. Peristiwa yang menonjol dalam rangka ini antara lain peristiwa
Bandar Betsi di Sumatera Utara dan peristiwa di Klaten yang disebut sebagai ‘aksi sepihak’ dan kemudian digunakan sebagai dalih oleh
militer untuk membersihkannya.

Keributan antara PKI dan Islam (tidak hanya NU, tapi juga dengan Persis dan Muhammadiyah) itu pada dasarnya terjadi di hampir semua
tempat di Indonesia, di Jawa Barat, Jawa Timur, dan di propinsi-propinsi lain juga terjadi hal demikian, PKI di beberapa tempat bahkan
sudah mengancam kyai-kyai bahwa mereka akan disembelih setelah tanggal 30 September 1965 (hal ini membuktikan bahwa seluruh elemen
PKI mengetahui rencana kudeta 30 September tersebut).
Negara Federasi Malaysia yang baru terbentuk pada tanggal 16 September 1963 adalah salah satu faktor penting dalam insiden
ini. Konfrontasi Indonesia-Malaysia merupakan salah satu penyebab kedekatan Presiden Soekarno dengan PKI, menjelaskan motivasi para
tentara yang menggabungkan diri dalam gerakan G30S/Gestok (Gerakan Satu Oktober), dan juga pada akhirnya menyebabkan PKI
melakukan penculikan petinggi Angkatan Darat. Soekarno yang murka karena hal itu mengutuk tindakan Tunku yang
menginjak-injak lambang negara Indonesia dan ingin melakukan balas dendam dengan melancarkan gerakan yang terkenal dengan sebutan
"Ganyang Malaysia" kepada negara Federasi Malaysia yang telah sangat menghina Indonesia dan presiden Indonesia. Perintah Soekarno
kepada Angkatan Darat untuk meng"ganyang Malaysia" ditanggapi dengan dingin oleh para jenderal pada saat itu. Di satu pihak
Letjen Ahmad Yani tidak ingin melawan Malaysia yang dibantu oleh Inggris dengan anggapan bahwa tentara Indonesia pada saat itu tidak
memadai untuk peperangan dengan skala tersebut, sedangkan di pihak lain Kepala Staf TNI Angkatan Darat A.H. Nasution setuju dengan
usulan Soekarno karena ia mengkhawatirkan isu Malaysia ini akan ditunggangi oleh PKI untuk memperkuat posisinya di percaturan politik
di Indonesia.
Posisi Angkatan Darat pada saat itu serba salah karena di satu pihak mereka tidak yakin mereka dapat mengalahkan Inggris, dan di lain
pihak mereka akan menghadapi Soekarno yang mengamuk jika mereka tidak berperang. Akhirnya para pemimpin Angkatan Darat memilih
untuk berperang setengah hati di Kalimantan. Tak heran, Brigadir Jenderal Supardjo, komandan pasukan di Kalimantan Barat, mengeluh,
konfrontasi tak dilakukan sepenuh hati dan ia merasa operasinya disabotase dari belakang. Hal ini juga dapat dilihat dari kegagalan operasi
gerilya di Malaysia, padahal tentara Indonesia sebenarnya sangat mahir dalam peperangan gerilya. Mengetahui bahwa tentara Indonesia tidak
mendukungnya, Soekarno merasa kecewa dan berbalik mencari dukungan PKI untuk melampiaskan amarahnya kepada Malaysia. Soekarno,
seperti yang ditulis di otobiografinya, mengakui bahwa ia adalah seorang yang memiliki harga diri yang sangat tinggi, dan tidak ada yang
dapat dilakukan untuk mengubah keinginannya meng"ganyang Malaysia". Di pihak PKI, mereka menjadi pendukung terbesar gerakan
"ganyang Malaysia" yang mereka anggap sebagai antek Inggris, antek nekolim. PKI juga memanfaatkan kesempatan itu untuk keuntungan
mereka sendiri, jadi motif PKI untuk mendukung kebijakan Soekarno tidak sepenuhnya idealis.
Pada saat PKI memperoleh angin segar, justru para penentangnyalah yang menghadapi keadaan yang buruk; mereka melihat posisi PKI
yang semakin menguat sebagai suatu ancaman, ditambah hubungan internasional PKI dengan Partai Komunis sedunia, khususnya dengan
adanya poros Jakarta-Beijing-Moskow-Pyongyang-Phnom Penh. Soekarno juga mengetahui hal ini, namun ia memutuskan untuk
mendiamkannya karena ia masih ingin meminjam kekuatan PKI untuk konfrontasi yang sedang berlangsung, karena posisi Indonesia yang
melemah di lingkungan internasional sejak keluarnya Indonesia dari PBB (20 Januari 1965). Dari sebuah dokumen rahasia badan intelejen
Amerika Serikat (CIA) yang baru dibuka yang bertanggalkan 13 Januari 1965 menyebutkan sebuah percakapan santai Soekarno dengan para
pemimpin sayap kanan bahwa ia masih membutuhkan dukungan PKI untuk menghadapi Malaysia dan oleh karena itu ia tidak bisa menindak
tegas mereka. Namun ia juga menegaskan bahwa suatu waktu "giliran PKI akan tiba. "Soekarno berkata, "Kamu bisa menjadi teman atau
musuh saya. Itu terserah kamu. ... Untukku, Malaysia itu musuh nomor satu. Suatu saat saya akan membereskan PKI, tetapi tidak sekarang."
Dari pihak Angkatan Darat, perpecahan internal yang terjadi mulai mencuat ketika banyak tentara yang kebanyakan dari Divisi
Diponegoro yang kesal serta kecewa kepada sikap petinggi Angkatan Darat yang takut kepada Malaysia, berperang hanya dengan setengah
hati, dan berkhianat terhadap misi yang diberikan Soekarno. Mereka memutuskan untuk berhubungan dengan orang-orang dari PKI untuk
membersihkan tubuh Angkatan Darat dari para jenderal ini.
Ekonomi masyarakat Indonesia pada waktu itu yang sangat rendah mengakibatkan dukungan rakyat kepada Soekarno (dan PKI) meluntur.
Mereka tidak sepenuhnya menyetujui kebijakan "ganyang Malaysia" yang dianggap akan semakin memperparah keadaan Indonesia. Inflasi
yang mencapai 650% membuat harga makanan melambung tinggi, rakyat kelaparan dan terpaksa harus antri beras, minyak, gula, dan
barang-barang kebutuhan pokok lainnya. Beberapa faktor yang berperan kenaikan harga ini adalah keputusan Suharto-Nasution untuk
menaikkan gaji para tentara 500% dan penganiayaan terhadap kaum pedagang Tionghoa yang menyebabkan mereka kabur. Sebagai akibat
dari inflasi tersebut, banyak rakyat Indonesia yang sehari-hari hanya makan bonggol pisang, umbi-umbian, gaplek, serta bahan makanan
yang tidak layak dikonsumsi lainnya; pun mereka menggunakan kain dari karung sebagai pakaian mereka. Faktor ekonomi ini menjadi salah
satu sebab kemarahan rakyat atas pembunuhan keenam jenderal tersebut, yang berakibat adanya backlash terhadap PKI dan pembantaian
orang-orang yang dituduh anggota PKI di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali serta tempat-tempat lainnya.
2.2. Sejarah Peristiwa G30S/PKI
Pada 1 Oktober 1965 dini hari, enam jenderal senior dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam upaya kudeta yang disalahkan kepada para
pengawal istana (Cakrabirawa) yang dianggap loyal kepada PKI dan pada saat itu dipimpin oleh Letkol. Untung. Panglima Komando
Strategi Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto kemudian mengadakan penumpasan terhadap gerakan tersebut.
Pada saat-saat yang genting sekitar bulan September 1965 muncul isu adanya Dewan Jenderal yang mengungkapkan adanya beberapa
petinggi Angkatan Darat yang tidak puas terhadap Soekarno dan berniat untuk menggulingkannya. Menanggapi isu ini, Soekarno
disebut-sebut memerintahkan pasukan Cakrabirawa untuk menangkap dan membawa mereka untuk diadili oleh Soekarno. Namun yang tidak
diduga-duga, dalam operasi penangkapan jenderal-jenderal tersebut, terjadi tindakan beberapa oknum yang termakan emosi dan membunuh
Letjen Ahmad Yani, Panjaitan, dan Harjono.
Dokumen Gilchrist yang diambil dari nama duta besar Inggris untuk Indonesia Andrew Gilchrist beredar hampir bersamaan waktunya
dengan isu Dewan Jenderal. Dokumen ini, yang oleh beberapa pihak disebut sebagai pemalsuan oleh intelejen Ceko di bawah
pengawasan Jenderal Agayant dari KGB Rusia, menyebutkan adanya "Teman Tentara Lokal Kita" yang mengesankan bahwa
perwira-perwira Angkatan Darat telah dibeli oleh pihak Barat. Kedutaan Amerika Serikat juga dituduh memberikan daftar nama-nama
anggota PKI kepada tentara untuk "ditindaklanjuti". Dinas intelejen Amerika Serikat mendapat data-data tersebut dari berbagai sumber, salah
satunya seperti yang ditulis John Hughes, wartawan The Nation yang menulis buku "Indonesian Upheaval", yang dijadikan basis skenario
film "The Year of Living Dangerously", ia sering menukar data-data apa yang ia kumpulkan untuk mendapatkan fasilitas teleks untuk
mengirimkan berita.
Hingga saat ini tidak ada bukti keterlibatan/peran aktif Soeharto dalam aksi penculikan tersebut. Satu-satunya bukti yang bisa dielaborasi
adalah pertemuan Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Pangkostrad (pada zaman itu jabatan Panglima Komando Strategis Cadangan
Angkatan Darat tidak membawahi pasukan, berbeda dengan sekarang) dengan Kolonel Abdul Latief di Rumah Sakit Angkatan Darat. Meski
demikian, Suharto merupakan pihak yang paling diuntungkan dari peristiwa ini. Banyak penelitian ilmiah yang sudah dipublikasikan di
jurnal internasional mengungkap keterlibatan Suharto dan CIA. Beberapa diantaranya adalah, Cornell Paper, karya Benedict R.O'G.
Anderson and Ruth T. McVey (Cornell University), Ralph McGehee (The Indonesian Massacres and the CIA), Government Printing Office
of the US (Department of State, INR/IL Historical Files, Indonesia, 1963-1965. Secret; Priority; Roger Channel; Special Handling), John
Roosa (Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto's Coup d'État in Indonesia), Prof. Dr. W.F. Wertheim (Serpihan
Sejarah Th65 yang Terlupakan). Keenam pejabat tinggi yang dibunuh tersebut adalah:
● Letjen TNI Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi)
● Mayjen TNI Raden Suprapto (Deputi II Menteri/Panglima AD bidang Administrasi)
● Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III Menteri/Panglima AD bidang Perencanaan dan Pembinaan)
● Mayjen TNI Siswondo Parman (Asisten I Menteri/Panglima AD bidang Intelijen)
● Brigjen TNI Donald Isaac Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang Logistik)
● Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat)
Jenderal TNI Abdul Harris Nasution yang menjadi sasaran utama, selamat dari upaya pembunuhan tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma
Suryani Nasution dan ajudan beliau, Lettu CZI Pierre Andreas Tendean tewas dalam usaha pembunuhan tersebut. Para korban tersebut
kemudian dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede, Jakarta yang dikenal sebagai Lubang Buaya. Mayat mereka ditemukan pada 3 Oktober.
Selain itu beberapa orang lainnya juga turut menjadi korban:
● Bripka Karel Satsuit Tubun (Pengawal kediaman resmi Wakil Perdana Menteri II dr.J. Leimena)
● Kolonel Katamso Darmokusumo (Komandan Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)
● Letkol Sugiyono Mangunwiyoto (Kepala Staf Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)
2.3. Proses Penculikan Jendral TNI AD
Pertemuan di Lubang Buaya dimulai pada 2:00 pagi, persiapan logistik selesai sekitar 3:00 pagi, kemudian satu persatu mereka naik
kedalam kendaraan yang setelah diperintahkan. Sekitar 3:15 beberapa bus dan truk yang membawa seluruh pasukan berangkat dari Halim
Perdana Kusumah dan tiba 45 menit kemudian, di daerah kawasan Menteng, perumahan elite di Jakarta. Mereka tiba ditarget lokasi sekitar
pukul 4:00 pagi. Penculikan terhadap Jenderal Yani: Regu penciduk untuk Jenderal Yani berangkat dari Lubang Buaya dibawah pimpinan
Letnan Satu Mukijan, menggunakan 2 Bus dan 2 Truk, dengan pasukan sebanyak 1.5 Kompi. Melewati Jakarta Bypass, kemudian memotong
jalan melalui Jalan Rawamangun menuju Salemba, Jalan Diponegoro dan Jalan Mangunsarkoro, mereka tiba di rumah Jenderal Yani di Jalan
Lembang.
Pasukan dibagi menjadi 3 group, yang pertama menjaga belakang rumah, yang kedua menjaga didepan rumah, dan group ketiga dibawah
pimpinan Letnan Satu Mukijan dan Sersan Dua Raswad, memasuki pekarangan rumah dan menghampiri rumah. Mereka berdua menyapa
pasukan penjaga bahwa mereka menyampaikan pesan penting dari Presiden Soekarno. Melihat seragam Tjakrabirawa mereka tidak menaruh
curiga sama sekali, kemudian diikuti oleh group penyerang dengan cepatnya melucuti senjata mereka. Menjawab ketukan di pintu, pembantu
rumah tangga membuka pintu, dan secepatnya didorong ke samping. Setelah mereka masuk kedalam rumah, group yang dipimpin oleh
Sersan Raswad menjumpai anak laki berumur 7 tahun. Eddy putra Jenderal Yani yang sedang mencari Ibunya.
Eddy diminta membangunkan Jenderal Yani menemui Presiden sekarang juga. Eddy diminta membangunkan Jenderal Yani, kemudian
keluar mengenakan pakaian pajama, Raswad mohon agar Jenderal Yani menemui Presiden sekarang juga. Jenderal Yani meminta tunggu
untuk mandi, akan tetapi Raswad katakan tidak perlu mandi, dan tidak perlu tukar pakaian. Karena sadar apa yang terjadi kemudian Jenderal
Yani memukul salah satu prajurit, dan masuk kedalam kamarnya secepatnya untuk mengambil senjata, dan menutup pintu berjendela gelas di
belakangnya. Raswad kemudian perintahkan Sersan Gijadi untuk lepaskan tembakan. Sejumlah 7 peluru menembus pintu dan menewaskan
Jenderal Yani saat itu juga. Sebagian dari group menyeret jenazahnya keluar dan melemparkan ke dalam salah satu bus yang sedang
menunggu. Kemudian mereka semua kembali melalui Jatinegara menuju Lubang Buaya.
Penculikan terhadap Jenderal Soeprapto. Karena rumah Jenderal Soeprapto tidak dijaga, maka hanya diperlukan pasukan dalam jumlah
kecil. Dengan menggunakan pasukan yang dimuati dalam satu Toyota Truk dibawah pimpinan Sersan Dua Sulaiman dan Sukiman. Jumlah
mereka sebanyak 19 orang, dipersenjatai dengan Sten guns, Garrand, dan senapan Chung. Regu kecil ditempatkan di kiri dan kanan rumah,
sementara regu utama memasuki halaman rumah. Kemudian pecah menjadi 3 kelompok, yang pertama dan kedua menjaga pintu masuk
utama, dan garasi. Lalu yang ketiga memasuki rumah dipimpin oleh Sulaiman. Malam itu Jenderal Soeprapto tidak dapat tidur, dan diganggu
oleh suara anjingnya, lalu Soeprapto berjalan keluar dengan T-shirt, sarung, dan sandal jepit. Korporal Dua Suparman menjawab sapaan
Jenderal Soeprapto, dengan memberikan salut dan katakan Presiden ingin temui dirinya. Tanpa memberi kesempatan untuk berpakaian,
menutup pintu secepatnya Suparman menyeret Jenderal Soeprapto ke Toyota Truk. Istri dari Jenderal Soeprapto yang menyaksikan kejadian
itu melalui jendela sangat kaget dan kecewa, dan percaya bahwa suaminya ditahan. Kemudian mencoba menghampiri suaminya namun
dihalangi oleh pasukan pimpinan Sersan Dua Sulaiman, yang membawa Soeprapto ke Lubang Buaya.
Penculikan terhadap Jenderal Parman. Pagi itu kira – kira jam 4:00 pagi, ketika satu grup dengan jumlah 20 tentara muncul di luar rumah
parman di jalan serang. Mendengar suara di luar, Jenderal Parman dan istri yang sedang begadang keluar ke halaman kebun mereka, mengira
ada maling dirumah tetangga. Kemudian melihat group dari Tjakrabirawa didalam halamannya. Mereka katakan diperintahkan untuk
menjemput untuk menemui Presiden. Tanpa curiga dan tanpa berikan tanda kecurigaan, Parman masuk kedalam rumah diikuti oleh sebagian
Tjakrabirawa dan berhasil ganti pakaian dinas. Walaupun sebagai istri sangat tersinggung dan merasa mereka sangat kurang Sopan, namun
Parman diberikan kesempatan untuk ganti pakaian dinas, sebelum jalan membisikan istrinya untuk menghubung Jenderal Yani secepatnya.
Jenderal parman berpikir dirinya ditahan atas perintah Presiden Soekarno. Tapi begitu mereka akan pergi salah satu anggota Tjakrabirawa
mencabut dan membawa telepon rumahnya. Walaupun Jenderal Parman sadar apa yang terjadi namun tidak melakukan perlawanan dalam
perjalanan ke Lubang Buaya. Lima belas menit kemudian Ibu Harjono datang menangis mengatakan suaminya telah ditembak mati,
menyadarkan apa yang telah terjadi. Namun, istri dari Jenderal Parman terganggu oleh anggota Tjakrabirawa yang sering kali menjemput
suaminya pada waktu diluar jam kerja, yang menjabat sebagai Kepala Angkatan Darat Intelijen atas perintah Presiden tidak sadar apa yang
terjadi saat itu.
Penculikan terhadap Jenderal Sutoyo Siswomiharjo. Pasukan penyerang dipimpin oleh Sersan Mayor Surono yang menerima perintah
langsung dari Doel Arief secara pribadi. Kelompok ini memulai dengan menutup jalan sumenep dimana korban tinggal. Ketika itu kebenaran
ada Hansip yang sedang patrol, senjata mereka dilucuti satu persatu. Kemudian seperti halnya dengan modus operandi terhadap penculikan
Jenderal lainnya, group ini dibagi tiga kelompok, yang pertama menempatkan diri didepan, yang kedua dibelakang rumah dan yang ketiga
melakukan penculikan. Dengan membujuk Jenderal Sutoyo membuka pintu kamarnya dengan alasan akan memberikan surat dari Presiden.
Kemudian mengikat tangannya di belakang kepala dan menutup kedua matanya lalu mendorong ke dalam truk yang sedang menunggu,
kemudian mereka mencapai Lubang Buaya secepatnya.
Penculikan terhadap Jenderal Pandjaitan. Tidak seperti para Jenderal lainnya, Panjaitan tinggal di Kebayoran Baru, di daerah Blok M di
jalan Hasanudin. Dua truk penuh dengan tentara muncul di jalan Hasanudin, dan yang satu memarkir di depan dan yang kedua dibelakang.
Setelah melewati pagar besi di sekitar rumah, pasukan penculik memasuki ruangan dibawah tangga, membanguni pembantu rumah tangga
yang sudah tua. Sangat ketakutan mengatakan majikan tidur diatas. Keributan didalam rumah telah membuat seluruh keluarga bangun,
mengira rumahnya sedang dikunjungi oleh pencuri lalu merampas pistol dari para penculik. Mereka segera ditembak oleh pasukan penculik.
Salah satunya Albert Silalahi, kemudian tewa di rumah sakit dari luka tembakan. Sementara itu di lantai dasar dua istri Jenderal Pandjaitan
dalam kepanikannya. Melihat seragam Tjakrabirawa di lantai satu, dirinya mengira pasti ada pesan dari Istana, tetapi ancaman yang
berlangsung menyakinkan bahwa telah terjadi suatu hal yang sangat janggal. Prajurit dibawah berteriak dan memerintahkan Jenderal
Pandjaitan untuk turun ke bawah, tapi ditolaknya. Pertama Jenderal Pandjaitan mencoba menghubungi Polisi, tetangga, kemudian Kolonel
Samosir, tapi gagal. Karena telephone line sudah dipotong. Lalu mencoba menggunakan Sten Gun untuk menghalau penyerang, tapi
senjatanya macet. Kemudian dirinya dipaksa turun karena adanya ancaman terhadap keluarganya. Ketika dirinya dipaksa turun karena
adanya ancaman terhadap keluarganya. Ketika dirinya berada dihalaman dia mencoba untuk lari dan pertahankan dirinya, namun penculik
menembaknya. Walaupun istrinya memohon paling tidak untuk memakamkan jenazahnya, namun mayatnya dilemparkan ke dalam truk dan
dibawa ke Lubang Buaya. Yang sangat menarik pada saat itu polisi bersepeda bernama Sukitman setelah mendengar tembakan menuju
lokasi, menempatkan dirinya pada polisi diantara sejumlah pasukan penculik. Senjatanya dilucuti dan dipatahkan oleh pasukan Tjakrabirawa,
Sukiman diangkut bersama mayat Jenderal Pandjaitan ke Lubang Buaya, di dalam truk tentara. Setelah itu dirinya menjadi saksi mata
terhadap kejadian penculikan dan pembunuhan.
Penculikan terhadap Jenderal Haryono. Serangan terhadap rumah Jenderal Harjono di Jalan Prambanan 8. Sejumlah 18 anggota pasukan
TNI AD di bawah Sersan Kepala Bungkus mengelilingi rumah. Bertindak atas Doel Arief instruksi, kelompok ini memecahkan diri menjadi
3 kelompok. kelompok pertama masuk kedalam rumah menjumpai Jenderal mengatakan bahwa Jenderal dipanggil oleh Presiden. Harjono
sadar apa yang akan terjadi, dia diperintahkan istri dan anaknya sembunyi di kamar belakang dan matikan semua lampu, lalu Harjono
menunggu pasukan penculik, ketika mereka masuk kedalam kamar, dirinya mencoba merampas salah satu senjatanya, namun tidak mampu
melawan semua dan Jenderal Harjono langsung ditembak mati ditempat. Tubuhnya dilemparkan ke dalam truk dan dibawa ke Lubang
Buaya. Selama ini pasukan penculik melakukan dengan sangat brutal dan sukses. Tiga dari enam telah dibunuh, tiga ditawan tanpa kesulitan.
Tapi percobaan terhadap Jenderal ke 7, Menteri Pertahanan, Jenderal Abdul Haris Nasution, terbukti yang paling gagal.
Penculikan terhadap Jenderal Nasution. Penyerangan ke rumah Jenderal Nasution dilakukan dengan cara sama, tapi dalam skala yang jauh
lebih besar dibandingkan dengan penyerangan terhadap para Jenderal lainnya. Seluruhnya sekitar 100 anggota pasukan terlibat. Pasukan
keamanan ini dengan mudah dilucutkan, namun salah satunya dari Brimob ditembak mati dalam perkelahian. Sama sekali tidak ada maksud
untuk memasuki rumahnya Dr. Leimena. Karena goal utama adalah agar penjaga dari Dr. Leimena tidak akan datang mencampuri ke rumah
Jenderal Nasution yang beda dua rumah yaitu no 40, saat itu seluruhnya berhasil diamankan. Di Dalam rumah Jenderal Nasution yang telah
bangun, mendengar pintu dibuka istri Jenderal Nasution ingin tahu siapa yang masuk. Dari pintu kamar tidurnya dia dapat melihat seorang
Tjakrabirawa berdiri menghadapi senapan, diseberang ruangan. Karena takut dan kaget dia menutup pintu sekerasnya, dan menyadari bahwa
ada percobaan untuk menculik suaminya. Jenderal Nasution kurang yakin maka dia membuka pintu, pada saat yang sama dirinya harus
menghindari semburan peluru. Istri Nasution mencoba menyelamatkan diri dari serangan 3 anggota Tjakrabirawa yang dipimpin oleh
Korporal Hargyono. Sementara itu Ibu dari Jenderal Nasution masuk kedalam kamar yang berhubungan mengira anaknya Jenderal Nasution
luka parah kena tembak. Istri Nasution ingatkan jangan beritahu bahwa Nasution ada dalam kamar. Kemudian Mardiah, adik dari Jenderal
Nasution dimana ruangan tidurnya berada disisi dimana Tjakrabirawa melepaskan tembakan, ingin lari menyeberangi ruangan menuju kamar
tidur Jenderal Nasution, dengan membawa anak terkecil, yaitu Ade Irma, dalam gendongannya. Begitu Mardiah lari menyeberangi ruangan
Corporal Hargyono mulai melepaskan tembakan lagi yang mencederai Ade Irma. Mardiah pun tertembak dua peluru di lengannya. Ketika
anggota Tjakrabirawa masih berusaha membuka pintu, istri Nasution menunjukan jalan keluar menuju rumah kediaman Iraq Ambassador.
Ketika mulai naik melalui tembok pemisah dirinya ditembak oleh salah satu pasukan penyerang dari pos pengawas keamanan. Namun
dirinya berhasil melompat ke rumah sebelah dengan patah tumit kaki. Ternyata penembak tidak tahu siapa yang dia tembak kecuali hanya
menembak setiap adanya bayangan. Mencoba menutupi dan menekan sumber pendarahan Ade Irma dipangkuannya, Ibu Nasution
secepatnya menelpon seorang dokter, tapi beberapa anggota TNI AD merusak dan mencoba memasuki pintu belakang dengan melepaskan
beberapa tembakan sebelum memasuki rumah. Mereka menuntut jawaban dimana Jenderal Nasution saat itu. Dijawab bahwa beliau sedang
berada diluar kota, mereka tidak percaya dan memeriksa setiap ruangan dan kamar di rumah itu. Suitan – suitan terdengar dari luar yang
meminta mereka semua kumpul di luar rumah, Ibu Nasution pun tidak dilarang pergi bersama pembantu rumah tangga, membawa Ade Irma
ke rumah sakit Angkatan Darat, yang kemudian meninggal dunia sekitar jam 6:00 pagi. Sementara itu di dalam 2 pavilion dibelakang rumah
terjadi kepanikan. Penjaga keamanan yang telah dilucuti lari kebelakang dan memberi tahu sopir apa yang telah terjadi. Janti anak tertua
Jenderal Nasution mendengar tembakan melarikan diri keruangan Letnan Pierre minta Janti sembunyi dibawah ranjang, dan dia keluar
menghadapi pasukan penculik, namun sekejap saja sudah dilucuti. Tampaknya Pierre Tendean dalam kegelapan figurenya mempunyai
kesamaan. Walaupun beberapa anggota TNI AD meragukan namun karena waktu yang minimal, akhirnya mereka membawa ke Lubang
Buaya, saat itu jam 4:08. Namun pada jam 4:09 salah satu anggota keluarga yang tinggal di rumah, Hamdan menghubungi Jakarta Teritorial
Komandan Jenderal Umar Wirahadikusumah, melalui alat komunikasi khusus,dan menceritakan apa yang telah terjadi. Sekitar 4:30 Umar
tiba di rumah Nasution, lalu diikuti oleh 5 tank, 2 digunakan menjaga rumah dan 3 dikerahkan memburu mereka yang terlihat menggunakan
jalan menuju Bogor atau Bekasi. Sesaat kemudian pasukan Marinir tiba memperkuat penjagaan di rumah Nasution. Tapi hanya pada jam
6:30 Jenderal Nasution merasa aman untuk menampakan dirinya dari persembunyiannya bahkan kepada Jenderal Umar Wirahadikusumah.
Dengan sekejap Nasution dibawa ke tempat persembunyian, untuk mencegah percobaan kedua terhadap keselamatan dirinya. Lalu malam
harinya Nasution sekitar 19:00 dirinya baru merasa aman untuk kembali kedalam pasukan TNI yang terbukti mendukung dirinya. Ketiga
tank tidak berhasil membuntuti kecepatan truk yang sudah menghilang menuju Lubang Buaya, seluruh pasukan penculik berhasil sampai
ditempat tujuan pada 5:15 pagi, mereka melihat seluruh pasukan bergabung kembali dan melaporkan bahwa operasi militer yang bernama
G30S telah berhasil dilaksanakan.
Kejadian di Lubang Buaya. Para Gerwani dan Pemuda Rakyat dibangunkan pagi – pagi oleh para pelatihnya, mereka diperintahkan untuk
bersiap siaga untuk menerima perintah darurat. Ketika seluruh truk tiba membawa 6 Jendral dan Letnan Tendean, pembuangan mayat –
mayat dan pembunuhan terhadap mereka dimulai. Mayat para Jenderal: Yani, Panjaitan, Harjono dilemparkan kedalam Lubang Buaya yang
mencapai kedalaman 10 meter. Sisanya ketiga Jenderal dikatakan diludahi, dan disiksa oleh Gerwani dan Pemuda Rakyat yang telah
diindoktrinasikan bahwa mereka itu adalah musuh dari Presiden Soekarno. Jenderal Soeprapto ditembak dari belakang oleh Prajurit kepala
Nurchajan, ketika berdiri di pinggir sumur. Kemudian tembakan berikutnya dilanjutkan ketika tubuh Soeprapto jatuh diatas mayat di dalam
sumur. Tembakan ini dilakukan berulang kali, diberikan contoh oleh Kopral Djauri, yang kemudian diikuti oleh volunteer lainnya. Jenderal
Parman ditembak dari belakang oleh Prajurit Kepala Athanasius Buang, atas perintah Sersan Dua Sulaiman, yang memimpin penyerbuan ke
rumah Jenderal Suprapto. Kemudian dilanjutkan dengan tiga tembakan berikutnya, tubuhnya dibuang kedalam Lubang Buaya. Jenderal
Soetojo pun ditembak dalam cara yang sama. Kematian Letnan Tendean disiksa sampai tewas.
Keterlibatan Pemuda Rakyat dan Gerwani. Para Gerwani diberikan pisau silet, dan pisau, mereka diharuskan berbaris dan dipaksa untuk
mengiris tubuh mereka dan tidak diberi kesempatan bertanya. Setelah seluruh korban dibunuh dan dibuang kedalam Lubang Buaya,
kemudian ditutup oleh daun – daun, sampah, kemudian seluruh Gerwani dan Pemuda Rakyat diperintahkan untuk kembali ke tenda mereka
masing – masing menunggu perintah berikutnya.
2.3. Proses Penangkapan dan Pembantaian terhadap Anggota dan Pendukung PKI
Pada sore tanggal 30 September dan 1 Oktober 1965, enam jenderal dibunuh oleh kelompok yang menyebut diri mereka Gerakan 30
September. Maka pemimpin-pemimpin utama militer Indonesia tewas atau hilang, sehingga Soeharto mengambil alih kekuasaan angkatan
bersenjata. Pada 2 Oktober, ia mengendalikan ibu kota dan mengumumkan bahwa upaya kudeta telah gagal. Angkatan bersenjata menuduh
PKI sebagai dalang peristiwa tersebut. Pada tanggal 5 Oktober, jenderal-jenderal yang tewas dimakamkan. Propaganda militer mulai
disebarkan, dan menyerukan pembersihan di seluruh negeri. Propaganda ini berhasil meyakinkan orang-orang Indonesia dan pemerhati
internasional bahwa dalang dari semua peristiwa ini adalah PKI. Penyangkalan PKI sama sekali tidak berpengaruh. Maka ketegangan dan
kebencian yang terpendam selama bertahun-tahun pun meledak. Pemimpin-pemimpin militer yang diduga sebagai simpatisan PKI dicabut
jabatannya. Majelis Permusyawaratan Rakyat dan kabinet dibersihkan dari pendukung-pendukung Soekarno. Pemimpin-pemimpin PKI
segera ditangkap, bahkan beberapa dihukum mati. Petinggi angkatan bersenjata menyelenggarakan demonstrasi di Jakarta. Pada tanggal 8
Oktober, markas PKI Jakarta dibakar. Kelompok pemuda anti-komunis dibentuk, contohnya Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI),
Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), dan Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia
(KASI). Di Jakarta dan Jawa Barat, lebih dari 10.000 aktivis dan petinggi PKI ditangkap, salah satunya Pramoedya Ananta Toer.
Pembersihan dimulai pada Oktober 1965 di Jakarta, yang selanjutnya menyebar ke Jawa Tengah dan Timur, dan Bali. Pembantaian dalam
skala kecil dilancarkan di sebagian daerah di pulau-pulau lainnya, terutama Sumatra. Pembantaian terburuk meletus di Jawa Tengah dan
Timur. Korban jiwa juga dilaporkan berjatuhan di Sumatera utara dan Bali. Petinggi-petinggi PKI diburu dan ditangkap: petinggi PKI, Njoto,
ditembak pada tanggal 6 November, ketua PKI Dipa Nusantara Aidit pada 22 November, dan Wakil Ketua PKI M.H. Lukman segera
sesudahnya. Kebencian terhadap komunis dikobarkan oleh angkatan darat, sehingga banyak penduduk Indonesia yang ikut serta dalam
pembantaian ini. Peran angkatan darat dalam peristiwa ini tidak pernah diterangkan secara jelas. Di beberapa tempat, angkatan bersenjata
melatih dan menyediakan senjata kepada milisi-milisi lokal. Di tempat lain, para vigilante mendahului angkatan bersenjata, meskipun pada
umumnya pembantaian tidak berlangsung sebelum tentara mengenakan sanksi kekerasan.
Di beberapa tempat, milisi tahu tempat bermukimnya komunis dan simpatisannya, sementara di tempat lain tentara meminta daftar tokoh
komunis dari kepala desa. Keanggotaan PKI tidak disembunyikan dan mereka mudah ditemukan dalam masyarakat. Kedutaan
Besar Amerika Serikat di Jakarta menyediakan daftar 5.000 orang yang diduga komunis kepada angkatan bersenjata Indonesia. Beberapa
cabang PKI melancarkan perlawanan dan pembunuhan balasan, tetapi sebagian besar sama sekali tidak mampu melawan. Tidak semua
korban merupakan anggota PKI. Seringkali cap "PKI" diterapkan pada tokoh-tokoh Partai Nasional Indonesia (PNI) yang beraliran
kiri. Dalam kasus-kasus lainnya, para korban merupakan orang-orang yang hanya dituduh atau diduga komunis. Warga keturunan Tionghoa
juga turut menjadi korban. Beberapa dari mereka dibunuh, dan harta benda mereka dijarah. Di Kalimantan Barat, sekitar delapan belas bulan
setelah pembantaian di Jawa, orang-orang Dayak mengusir 45.000 warga keturunan Tionghoa dari wilayah pedesaan. Ratusan hingga ribuan
di antara mereka tewas dibantai.
Metode pembantaian meliputi penembakan atau pemenggalan dengan menggunakan pedang samurai Jepang. Mayat-mayat dilempar ke
sungai, hingga pejabat-pejabat mengeluh karena sungai yang mengalir ke Surabaya tersumbat oleh jenazah. Di wilayah
seperti Kediri, Gerakan Pemuda Ansor Nahdlatul Ulama menyuruh orang-orang komunis berbaris. Mereka lalu menggorok leher
orang-orang tersebut, lalu jenazah korban dibuang ke sungai. Pembantaian ini mengosongkan beberapa bagian desa, dan rumah-rumah
korban dijarah atau diserahkan ke angkatan bersenjata. Pembantaian telah mereda pada Maret 1966, meskipun beberapa pembersihan kecil
masih berlangsung hingga tahun 1969. Penduduk Solo Menyatakan bahwa meluapnya sungai Bengawan Solo yang tidak biasa pada Maret
1966 menandai berakhirnya pembantaian.
Di Jawa, banyak pembunuhan dilakukan oleh simpatisan aliran. Militer mendorong para santri Jawa untuk mencari anggota PKI di antara
orang-orang abangan Jawa. Pembunuhan meluas sampai pada orang-orang yang bukan anggota PKI. Di Jawa, contohnya, banyak orang
yang dianggap "PNI kiri" dibunuh. Yang lainnya hanya dituduh atau merupakan korban fitnah dengan sedikit atau tanpa motif politik. Pada
pertengahan Oktober, Soeharto mengirim sejumlah pasukan komando kepercayaannya ke Jawa tengah, daerah yang memiliki banyak orang
komunis, sedangkan pasukan yang kesetiaannya tak jelas diperintahkan pergi dari sana. Pembantaian terhadap orang komunis kemudian
dilakukan oleh para pemuda, dengan dipandu oleh angkatan bersenjata, memburu orang-orang komunis. Konflik yang pernah pecah pada
tahun 1963 antara partai Muslim Nahdlatul Ulama (NU) dan PKI berubah menjadi pembantaian pada minggu kedua Oktober. Kelompok
Muslim Muhammadiyah menyatakan pada awal November 1965 bahwa pembasmian "Gestapu/PKI" merupakan suatu Perang Suci.
Pandangan tersebut didukung oleh kelompok-kelompok Islam lainnya di Jawa dan Sumatra. Bagi banyak pemuda, membunuh orang
komunis merupakan suatu tugas keagamaan. Di tempat-tempat adanya pusat komunis di Jawa Tengah dan Jawa Timur, kelompok-kelompok
Muslim menganggap bahwa mereka adalah korban serangan komunis supaya mereka memperoleh pembenaran atas pembantaian yang
mereka lakukan. Mereka biasanya mengungkit-ungkit Peristiwa Madiun pada tahun 1948. Para pelajar Katolik di daerah
Yogyakarta meninggalkan asrama mereka pada malam hari untuk ikut membunuh orang-orang komunis yang tertangkap. Untuk sebagian
besar daerah, pembantaian mereda pada bulan-bulan awal tahun 1966, namun di daerah-daerah tertentu di Jawa Timur pembantaian
berlangsung sampai bertahun-tahun. Di Blitar, ada aksi gerilya yang dilakukan oleh anggota-anggota PKI yang selamat. Aksi tersebut
berhasil diberantas pada 1967 dan 1968. Mbah Suro, seorang pemimpin kelompok komunis yang bercampur mistisisme tradisional, bersama
para pengikutnya membangun pasukan. Dia dan kedelapan puluh pengikutnya terbunuh dalam sebuah perang perlawanan menghadapi
angkatan bersenjata Indonesia.
Bercermin dari melebarnya perbedaan sosial di seluruh Indonesia pada 1950-an dan awal 1960-an, di pulau Bali meletus konflik antara
para pendukung sistem kasta tradisional Bali melawan orang-orang yang menolak nilai-nilai tradisional itu. Jabatan pemerintahan, uang dan
keuntungan bisnis beralih pada orang-orang komunis pada tahun-tahun akhir masa kepresidenan Soekarno. Sengketa atas tanah dan hak-hak
penyewa berujung pada pengambilan lahan dan pembantaian, ketika PKI mempromosikan "aksi unilateral". Setelah Soeharto berkuasa di
Jawa, gubernur-gubernur pilihan Soekarno dicopot dari jabatannya. Orang-orang komunis kemudian dituduh atas penghancuran budaya,
agama, serta karakter pulau Bali. Rakyat Bali, seperti halnya rakyat Jawa, didorong untuk menghancurkan PKI. Sebagai satu-satunya pulau
yang didominasi Hindu di Indonesia, Bali tidak memiliki kekuatan Islam yang terlibat di Jawa, dan tuan tanah PNI menghasut pembasmian
anggota PKI. Pendeta tinggi Hindu melakukan ritual persembahan untuk menenangkan para roh yang marah akibat pelanggaran yang
kelewatan dan gangguan sosial. Pemimpin Hindu Bali, Ida Bagus Oka, memberitahu umat Hindu: "Tidak ada keraguan [bahwa] musuh
revolusi kita juga merupakan musuh terkejam dari agama, dan harus dimusnahkan dan dihancurkan sampai akar-akarnya." Seperti halnya
sebagian Jawa Timur, Bali mengalami keadaan nyaris terjadi perang saudara ketika orang-orang komunis berkumpul kembali. Keseimbangan
kekuasaan beralih pada orang-orang Anti-komunis pada Desember 1965, ketika Angkatan Bersenjata Resimen Para-Komando dan unit
Brawijaya tiba di Bali setelah melakukan pembantaian di Jawa. Komandan militer Jawa mengizinkan skuat Bali untuk membantai sampai
dihentikan. Berkebalikan dengan Jawa Tengah tempat angkatan bersenjata mendorong orang-orang untuk membantai "Gestapu", di Bali,
keinginan untuk membantai justru sangat besar dan spontan setelah memperoleh persediaan logistik, sampai-sampai militer harus ikut
campur untuk mencegah anarki. Serangkaian pembantaian yang mirip dengan peristiwa di Jawa Tengah dan Jawa Timur dipimpin oleh para
pemuda PNI berkaos hitam. Selama beberapa bulan, skuat maut milisi menyusuri desa-desa dan menangkap orang-orang yang diduga PKI.
Antara Desember 1965 dan awal 1966, diperkirakan 80,000 orang Bali dibantai, sekitar 5 persen dari populasi pulau Bali saat itu, dan lebih
banyak dari daerah manapun di Indonesia.
Tindakan PKI berupa gerakan penghuni liar dan kampanye melawan bisnis asing di perkebunan-perkebunan di Sumatra memicu aksi
balasan yang cepat terhadap orang-orang komunis. Di Aceh sebanyak 40.000 orang dibantai, dari sekitar 200.000 korban jiwa di seluruh
Sumatera. Pemberontakan kedaerahan pada akhir 1950-an semakin memperumit peristiwa di Sumatera karena banyak mantan pemberontak
yang dipaksa untuk berafiliasi dengan organisasi-organisasi komunis untuk membuktikan kesetiaan mereka kepada Republik Indonesia.
Berhentinya pemberontakan tahun 1950-an dan pembantaian tahun 1965 oleh kebanyakan masyarakat Sumatra dipandang sebagai
"pendudukan suku Jawa". Di Lampung, faktor lain dalam pembantaian itu nampaknya adalah imigrasi suku Jawa. Meskipun garis besar
peristiwa diketahui, namun tidak banyak yang diketahui mengenai pembantaiannya, dan jumlah pasti korban meninggal hampir tak mungkin
diketahui. Hanya ada sedikit wartawan dan akademisi Barat di Indonesia pada saat itu. Angkatan bersenjata merupakan satu dari sedikit
sumber informasi, sementara rezim yang melakukan pembantaian berkuasa sampai tiga dasawarsa. Media di Indonesia ketika itu dibatasi
oleh larangan-larangan di bawah "Demokrasi Terpimpin" dan oleh "Orde Baru" yang mengambil alih pada Oktober 1966. Karena
pembantaian terjadi di puncak Perang Dingin, hanya sedikit penyelidikan internasional yang dilakukan, karena beresiko memperkuat prarasa
Barat terhadap Soeharto dan "Orde Baru" atas PKI dan "Orde Lama".
Dalam waktu 20 tahun pertama setelah pembantaian, muncul tiga puluh sembilan perkiraan serius mengenai jumlah korban. Sebelum
pembantaian selesai, angkatan bersenjata memperkirakan sekitar 78.500 telah meninggal sedangkan menurut orang-orang komunis yang
trauma, perkiraan awalnya mencapai 2 juta korban jiwa. Di kemudian hari, angkatan bersenjata memperkirakan jumlah yang dibantai dapat
mencapai sekitar 1 juta orang. Pada 1966, Benedict Anderson memperkirakan jumlah korban meninggal sekitar 200.000 orang dan pada
1985 mengajukan perkiraan mulai dari 500,000 sampai 1 juta orang. Sebagian besar sejarawan sepakat bahwa setidaknya setengah juta orang
dibantai, lebih banyak dari peristiwa manapun dalam sejarah Indonesia. Suatu komando keamanan angkatan bersenjata memperkirakan
antara 450.000 sampai 500.000 jiwa dibantai. Para korban dibunuh dengan cara ditembak, dipenggal, dicekik, atau digorok oleh angkatan
bersenjata dan kelompok Islam. Pembantaian dilakukan dengan cara "tatap muka", tidak seperti proses pembantaian massal oleh Khmer
Merah di Kamboja atau oleh Jerman Nazi di Eropa.
Para anggota Pemuda Rakyat (sayap pemuda PKI) dijaga oleh para tentara dalam perjalanan mereka dengan truk bak terbuka ke
penjara pada tanggal 30 Oktober 1965. Penangkapan dan penahanan berlanjut sampai sepuluh tahun setelah pembantaian. Pada 1977,
laporan Amnesty International menyatakan "sekitar satu juta" kader PKI dan orang-orang yang dituduh terlibat dalam PKI ditahan. Antara
1981 dan 1990, pemerintah Indonesia memperkirakan antara 1.6 sampai 1.8 juta mantan tahanan ada di masyarakat. Ada kemungkinan
bahwa pada pertengahan tahun 1970-an, 100.000 masih ditahan tanpa adanya proses peradilan. Diperkirakan sebanyak 1.5 juta orang
ditahan pada satu waktu atau lainnya. Orang-orang PKI yang tidak dibantai atau ditahan berusaha bersembunyi sedangkan yang lainnya
mencoba menyembunyikan masa lalu mereka. Mereka yang ditahan termasuk pula politisi, artis dan penulis misalnya Pramoedya Ananta
Toer , serta petani dan tentara. Banyak yang tidak mampu bertahan pada periode pertama masa penahanan dan akhirnya meninggal akibat
kekurangan gizi dan penganiayaan. Ketika orang-orang mulai mengungkapkan nama-nama orang komunis bawah tanah, kadang kala di
bawah siksaan, jumlah orang yang ditahan semakin meninggi pada 1966–68. Mereka yang dibebaskan seringkali masih harus menjalani
tahanan rumah dan secara rutin mesti melapor ke militer. Mereka juga sering dilarang menjadi pegawai pemerintah, termasuk juga
anak-anak mereka.

Anda mungkin juga menyukai