Anda di halaman 1dari 7

Nama : Rizka Amalia

Kelas : IX.1
Mata Pelajaran : IPS
Peristiwa G30SPKI

Peristiwa  G30S/PKI  atau biasa disebut dengan Gerakan 30 September merupakan


salah satu peristiwa pemberontakan komunis yang terjadi pada bulan September sesudah
beberapa tahun Indonesia merdeka. Peristiwa G30S PKI terjadi di malam hari tepatnya pada
tanggal 30 September tahun 1965.Dalam sebuah kudeta, setidaknya ada 7 perwira tinggi
militer yang terbunuh dalam peristiwa tersebut. Partai Komunis saat itu sedang dalam kondisi
yang amat kuat karena mendapatkan sokongan dari Presiden Indonesia Pertama, Ir. H
Soekarno. Tidak heran jika usaha yang dilakukan oleh segelintir masyarakat demi
menjatuhkan Partai Komunis berakhir dengan kegagalan berkat bantuan Presiden kala itu.
Hingga sampai saat ini, peristiwa 30S PKI tetap menjadi perdebatan antara benar atau
tidaknya Partai Komunis Indonesia yang bertanggung jawab dalam peristiwa tersebut.

Gambar teras yang menjadi lokasi sumur pembantaian

Latar Belakang G30S PKI

Partai Komunis Indonesia (PKI) merupakan partai komunis yang terbesar di seluruh
dunia, di luar Tiongkok dan Uni Soviet. Sampai pada tahun 1965 anggotanya berjumlah
sekitar 3,5 juta, ditambah 3 juta dari pergerakan pemudanya. PKI juga mengontrol
pergerakan serikat buruh yang mempunyai 3,5 juta anggota dan pergerakan petani Barisan
Tani Indonesia yang mempunyai 9 juta anggota. Termasuk pergerakan wanita (Gerwani),
organisasi penulis dan artis dan pergerakan sarjananya, PKI mempunyai lebih dari 20 juta
anggota dan pendukung.
Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan konstitusi di
bawah dekrit presiden – sekali lagi dengan dukungan penuh dari PKI. Ia memperkuat tangan
angkatan bersenjata dengan mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi yang penting.
Sukarno menjalankan sistem “Demokrasi Terpimpin”. PKI menyambut “Demokrasi
Terpimpin” Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa dia mempunyai mandat untuk
persekutuan Konsepsi yaitu antara Nasionalis, Agama dan Komunis yang dinamakan
NASAKOM.
Pada era “Demokrasi Terpimpin”, kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum
burjuis nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani,
gagal memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor
menurun, foreign reserves menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan militer
menjadi wabah.
Pada kunjungan Menlu Subandrio ke Tiongkok, Perdana Menteri Zhou Enlai
menjanjikan 100.000 pucuk senjata jenis chung, penawaran ini gratis tanpa syarat dan
kemudian dilaporkan ke Bung Karno tetapi belum juga menetapkan waktunya sampai
meletusnya G30S.
Pada awal tahun 1965 Bung Karno atas saran dari PKI akibat dari tawaran perdana
mentri RRC, mempunyai ide tentang Angkatan Kelima yang berdiri sendiri terlepas dari
ABRI. Tetapi petinggi Angkatan Darat tidak setuju dan hal ini lebih menimbulkan nuansa
curiga-mencurigai antara militer dan PKI.
Dari tahun 1963, kepemimpinan PKI makin lama makin berusaha memprovokasi
bentrokan-bentrokan antara aktivis massanya dan polisi dan militer. Pemimpin-pemimpin
PKI juga menginfiltrasi polisi dan tentara denga slogan “kepentingan bersama” polisi dan
“rakyat”. Pemimpin PKI DN Aidit mengilhami slogan “Untuk Ketentraman Umum Bantu
Polisi”. Di bulan Agustus 1964, Aidit menganjurkan semua anggota PKI membersihkan diri
dari “sikap-sikap sektarian” kepada angkatan bersenjata, mengimbau semua pengarang dan
seniman sayap-kiri untuk membuat “massa tentara” subjek karya-karya mereka.
Di akhir 1964 dan permulaan 1965 ribuan petani bergerak merampas tanah yang
bukan hak mereka atas hasutan PKI. Bentrokan-bentrokan besar terjadi antara mereka dan
polisi dan para pemilik tanah. Bentrokan-bentrokan tersebut dipicu oleh propaganda PKI
yang menyatakan bahwa petani berhak atas setiap tanah, tidak peduli tanah siapa pun (milik
negara = milik bersama). Kemungkinan besar PKI meniru revolusi Bolsevik di Rusia, di
mana di sana rakyat dan partai komunis menyita milik Tsar dan membagi-bagikannya kepada
rakyat.
Pada permulaan 1965, para buruh mulai menyita perusahaan-perusahaan karet dan
minyak milik Amerika Serikat. Kepemimpinan PKI menjawab ini dengan memasuki
pemerintahan dengan resmi. Pada waktu yang sama, jenderal-jenderal militer tingkat tinggi
juga menjadi anggota kabinet. Jendral-jendral tersebut masuk kabinet karena jabatannya di
militer oleh Sukarno disamakan dengan setingkat mentri. Hal ini dapat dibuktikan dengan
nama jabatannya (Menpangab, Menpangad, dan lain-lain).
Menteri-menteri PKI tidak hanya duduk di sebelah para petinggi militer di dalam
kabinet Sukarno ini, tetapi mereka terus mendorong ilusi yang sangat berbahaya bahwa
angkatan bersenjata adalah merupakan bagian dari revolusi demokratis “rakyat”.
Aidit memberikan ceramah kepada siswa-siswa sekolah angkatan bersenjata di mana
ia berbicara tentang “perasaan kebersamaan dan persatuan yang bertambah kuat setiap hari
antara tentara Republik Indonesia dan unsur-unsur masyarakat Indonesia, termasuk para
komunis”.
Rezim Sukarno mengambil langkah terhadap para pekerja dengan melarang aksi-aksi
mogok di industri. Kepemimpinan PKI tidak berkeberatan karena industri menurut mereka
adalah milik pemerintahan NASAKOM. Tidak lama PKI mengetahui dengan jelas persiapan-
persiapan untuk pembentukan rezim militer, menyatakan keperluan untuk pendirian
“angkatan kelima” di dalam angkatan bersenjata, yang terdiri dari pekerja dan petani yang
bersenjata.
Bukannya memperjuangkan mobilisasi massa yang berdiri sendiri untuk melawan
ancaman militer yang sedang berkembang itu, kepemimpinan PKI malah berusaha untuk
membatasi pergerakan massa yang makin mendalam ini dalam batas-batas hukum kapitalis
negara. Mereka, depan jendral-jendral militer, berusaha menenangkan bahwa usul PKI akan
memperkuat negara. Aidit menyatakan dalam laporan ke Komite Sentral PKI bahwa
“NASAKOMisasi” angkatan bersenjata dapat dicapai dan mereka akan bekerja sama untuk
menciptakan “angkatan kelima”. Kepemimpinan PKI tetap berusaha menekan aspirasi
revolusioner kaum buruh di Indonesia. Di bulan Mei 1965, Politbiro PKI masih mendorong
ilusi bahwa aparatus militer dan negara sedang diubah untuk mengecilkan aspek anti-rakyat
dalam alat-alat negara.
Sejak tahun 1964 sampai menjelang meletusnya G30S telah beredar isu sakit
parahnya Bung Karno. Hal ini meningkatkan kasak-kusuk dan isu perebutan kekuasaan
apabila Bung Karno meninggal dunia. Namun menurut Subandrio, Aidit tahu persis bahwa
Bung Karno hanya sakit ringan saja, jadi hal ini bukan merupakan alasan PKI melakukan
tindakan tersebut.
Pada tahun 1960 keluarlah Undang-Undang Pokok Agraria (UU Pokok Agraria) dan
Undang-Undang Pokok Bagi Hasil (UU Bagi Hasil) yang sebenarnya merupakan kelanjutan
dari Panitia Agraria yang dibentuk pada tahun 1948. Panitia Agraria yang menghasilkan
UUPA terdiri dari wakil pemerintah dan wakil berbagai ormas tani yang mencerminkan 10
kekuatan partai politik pada masa itu.
Walaupun undang-undangnya sudah ada namun pelaksanaan di daerah tidak jalan
sehingga menimbulkan gesekan antara para petani penggarap dengan pihak pemilik tanah
yang takut terkena UUPA, melibatkan sebagian massa pengikutnya dengan melibatkan
backing aparat keamanan. Peristiwa yang menonjol dalam rangka ini antara lain peristiwa
Bandar Betsi di Sumatera Utara dan peristiwa di Klaten yang disebut sebagai ‘aksi sepihak’
dan kemudian digunakan sebagai dalih oleh militer untuk membersihkannya.
Keributan antara PKI dan Islam (tidak hanya NU, tapi juga dengan Persis dan
Muhammadiyah) itu pada dasarnya terjadi di hampir semua tempat di Indonesia, di Jawa
Barat, Jawa Timur, dan di provinsi-provinsi lain juga terjadi hal demikian, PKI di beberapa
tempat bahkan sudah mengancam kyai-kyai bahwa mereka akan disembelih setelah tanggal
30 September 1965 (hal ini membuktikan bahwa seluruh elemen PKI mengetahui rencana
kudeta 30 September tersebut).

Sejarah Mulainya Dari G30S PKI

Pada hari Jum’at tanggal 1 Oktober 1965 secara berturut-turut RRI Jakarta
menyiarkan berita penting.
Sekitar pukul 7 pagi memuat berita bahwa pada hari Kamis tanggal 30 September
1965 di Ibukota RI, Jakarta, telah terjadi “ gerakan militer dalam AD “ yang dinamakan “
Gerakan 30 September”, dikepalai oleh Letnan Kolonel Untung, Komandan Batalion
Cakrabirawa, pasukan pengawal pribadi Presiden Soekarno.
Sekitar pukul 13.00 hari itu juga memberitakan “ dekrit no 1” tentang “pembentukkan
dewan revolusi Indonesia” dan “keputusan no.1” tentang “susunan dewan revolusi
Indonesia”. Baru dalam siaran kedua ini diumumkan susunan “komandan”, Brigjen
Soepardjo, Letnan Kolonel Udara Heru, Kolonel Laut Soenardi, dan Ajun komisaris besar
polisi Anwas sebagai “wakil komandaan”.
Pada pukul 19.00 hari itu juga RRI Jakarta menyiarkan pidato radio Panglima
Komando TJadangan Strategis Angkatan Darat, Mayor Jendral Soeharto, yang
menyampaikan bahwa gerakan 30 September tersebut adalah golongan kontra revolusioner
yang telah menculik beberapa perwira tinggi AD, dan telah mengambil alih kekuasaan
Negara dari presiden/panglima tertinggi ABRI/pemimpin besar revolusi dan melempar
Kabinet DWIKORA ke kedudukan demisioner.
Latar belakang G30S/PKI perlu ditelusuri sejak masuknya paham
komunisme/marxisme-leninisme ke Indonesia awal abat ke-20, penyusupanya ke dalam
organisasi lain, serta kaitannya dengan gerakan komunisme intenasional. Dalam hal-hal yang
mendasar dari politik PKI di Indonesia terbukti merupakan pelaksanaan perintah dari
pimpinan gerakan komunisme internasional.
Persiapan PKI :
1. Membentuk biro khusus di bawah pimpinan Syam Kamaruzman. Tugas biro khusus
adalah merancang dan mempersiapkan perebutan kekuasan.
2. Menuntut dibentuknya angkatan ke-5 yang terdiri atas buruh dan tani yang
dipersenjatai
3. Melakukan sabotase, aksi sepihak, dan aksi teror. Sabotase terhadap transportasi
kereta yang dilakukan aksi buruh kereta api ( Januari-Oktober 1964 ) yang
mengakibatkan serentetan kecelakaan kereta api seperti di Purwokerto, Kroya,
Tasikmalaya, Bandung, dan Tanah Abang. Aksi sepihak, misalnya Peristiwa Jengkol,
Bandar Betsy, dan Peristiwa Indramayu. Aksi teror misalnya Peristiwa Kanigoro
Kediri. Hal itu dilakukan sebagai persiapan untuk melakukan kudeta.
4. Melakukan aksi fitnah terhadap ABRI khususnya TNI-AD yang dianggap sebagai
penghambat pelaksanaan programnya yaitu dengan melancarkan isu dewan
jendral.tujuanya untuk menghilangkan kepercayaan terhadap TNI-AD dan mengadu
domba antara TNI-AD dengan presiden Soekarno.
5. Melakukan latihan kemiliteran di lubang buaya pondok gede Jakarta. Latihan
kemiliteran di lubang buaya .pondok gede Jakarta latihan kemiliteran ini merupakan
sarana persiapan untuk melakukan pemberontakan.
Kronologi G30S PKI, dari Penculikan 7 Jenderal hingga Penumpasan PKI

Pada Kamis, 30 September 1965 malam, PKI melakukan gerakan untuk merebut
kekuasaan. Aksi inilah yang kemudian dinamakan Gerakan 30 September atau Gestapu yang
dipimpin oleh Letkol. Untung Sutopo, Komandan Batalion I Resimen Cakrabirawa, pasukan
pengawal pribadi Presiden Soekarno.
Kronologi peristiwa G30S PKI dimulai dengan kasus penculikan tujuh jenderal oleh
sekelompok pasukan. Tiga di dari tujuh jenderal yang di targetkan telah di bunuh di rumah
masing-masing, yakni Ahmad Yani, M.T Haryono, dan D. I Panjaitan.
Ketiga target lainnya, yakni Soeprapto, S. Parman, dan Sutoyo ditangkap dalam
keadaan hidup. Target utama lainnya, Abdul Harris Nasution, berhasil meloloskan diri dari
kejadian tersebut. Namun, sang putri, Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan A. H. Nasution,
Pierre Tendean tewas tertembak oleh PKI.
Korban-korban tersebut kemudian dibuang ke sebuah lokasi di Pondok Gede yang
dikenal dengan Lubang Buaya. Korban tewas pun bertambah dalam kejadian ini, di antaranya
adalah Bripka Karel Sadsuit Tubun, Kolonel Katamso Darmokusumo, dan Letkol Sugiyono
Mangunwiyoto.
Pada 1 Oktober 1965, operasi penumpasan G30S PKI pun dilakukan. Operasi ini
dipimpin oleh Panglima Kostrad dengan menghimpun pasukan lainnya, seperti Divisi
Siliwangi, Kaveleri, dan RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat) di bawah
pimpinan Kolonel Sarwo Edhi Wibowo.
Tidak adanya dukungan dari masyarakat dan angkatan bersenjata membuat tokoh
pendukung G30S PKI, termasuk ketua PKI D.N, Aidit melarikan diri. Dengan operasi
penumpasan tersebut, para pemimpin dan tokoh PKI berhasil ditangkap dan dihukum dengan
ditembak mati. Operasi ini juga berhasil melumpuhkan kekuatan PKI.
Sementara itu, jenazah ketujuh jenderal ditemukan pada 3 Oktober 1965 dan
pengangkatan jenazah dilakukan keesokan harinya. Pada 5 Oktober 1965, seluruh korban
dimakamkan di Taman Makam Pahlawan dan diberi gelar Pahlawan Revolusi.

Sumber :
Kronologi G30S PKI, dari Penculikan 7 Jenderal hingga Penumpasan PKI - kumparan.com
√ Sejarah G30S PKI : Latar Belakang, Kronologi Peristiwa & Tokoh (gurupendidikan.co.id)

Anda mungkin juga menyukai