Anda di halaman 1dari 12

BAB II

PEMBAHASAN
PERISTIWA G30-S/PKI
Gerakan 30 September (dahulu juga disingkat G 30 S PKI, G-30S/PKI),
Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh), Gestok (Gerakan Satu Oktober)
adalah sebuah peristiwa yang terjadi selewat malam tanggal 30 September
sampai di awal 1 Oktober 1965 di mana enam perwira tinggi militer Indonesia
beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha percobaan kudeta
yang kemudian dituduhkan kepada anggota partai komunis. PKI merupakan
partai Stalinis yang terbesar di seluruh dunia, di luar Tiongkok dan Uni Soviet.
Anggotanya berjumlah sekitar 3,5 juta, ditambah 3 juta dari pergerakan
pemudanya. PKI juga mengontrol pergerakan serikat buruh yang mempunyai
3,5 juta anggota dan pergerakan petani Barisan Tani Indonesia yang
mempunyai 9 juta anggota. Termasuk pergerakan wanita (Gerwani), organisasi
penulis dan artis dan pergerakan sarjananya, PKI mempunyai lebih dari 20 juta
anggota dan pendukung serta tersebar di seluruh daerah yang luas.
Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan
konstitusi di bawah dekret presiden dengan dukungan penuh dari PKI. Ia
memperkuat tangan angkatan bersenjata dengan mengangkat para jendral
militer ke posisi-posisi yang penting. Sukarno menjalankan sistem “Demokrasi
Terpimpin”. PKI menyambut “Demokrasi Terpimpin” Sukarno dengan hangat
dan anggapan bahwa dia mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi
yaitu antara Nasionalis, Agama dan Komunis yang dinamakan NASAKOM.
Pada era “Demokrasi Terpimpin”, kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan
kaum borjuis nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen
kaum buruh dan petani, gagal memecahkan masalah-masalah politis dan
ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor menurun, foreign
reserves menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan militer menjadi
wabah.
PKI telah menguasai banyak dari organisasi massa yang dibentuk
Soekarno untuk memperkuat dukungan untuk rezim Demokrasi Terpimpin
dan dengan persetujuan dari Soekarno, memulai kampanye untuk membentuk
“Angkatan Kelima” dengan mempersenjatai pendukungnya. Para petinggi
militer menentang hal ini. Dari tahun 1963, kepemimpinan PKI makin lama
makin berusaha menghindari bentrokan-bentrokan antara aktivis massanya
dan polisi dan militer. Pemimpin-pemimpin PKI mementingkan “kepentingan
bersama” polisi dan “rakyat”. Pemimpin PKI D.N. Aidit mengilhami slogan
“Untuk Ketenteraman Umum Bantu Polisi”. Di bulan Agustus 1964, Aidit
menganjurkan semua anggota PKI membersihkan diri dari “sikap-sikap
sektarian” kepada angkatan bersenjata, mengimbau semua pengarang dan
seniman sayap-kiri untuk membuat “massa tentara” subyek karya-karya
mereka.
Di akhir 1964 dan permulaan 1965 ratusan ribu petani bergerak merampas
tanah dari para tuan tanah besar. Bentrokan-bentrokan besar terjadi antara
mereka dan polisi dan para pemilik tanah. Untuk mencegah berkembangnya
konfrontasi revolusioner itu, PKI mengimbau semua pendukungnya untuk
mencegah pertentangan menggunakan kekerasan terhadap para pemilik
tanah dan untuk meningkatkan kerja sama dengan unsur-unsur lain, termasuk
angkatan bersenjata. Pada permulaan 1965, para buruh mulai menyita
perusahaan-perusahaan karet dan minyak milik AS. Kepemimpinan PKI
menjawab ini dengan memasuki pemerintahan dengan resmi. Pada waktu
yang sama, jendral-jendral militer tingkat tinggi juga menjadi anggota kabinet.
Menteri-menteri PKI tidak hanya duduk di sebelah para petinggi militer di
dalam kabinet Sukarno ini, tetapi mereka terus mendorong ilusi yang sangat
berbahaya bahwa angkatan bersenjata adalah merupakan bagian dari revolusi
demokratis “rakyat”.
Aidit memberikan ceramah kepada siswa-siswa sekolah angkatan
bersenjata di mana ia berbicara tentang “perasaan kebersamaan dan
persatuan yang bertambah kuat setiap hari antara tentara Republik Indonesia
dan unsur-unsur masyarakat Indonesia, termasuk para komunis”. Rejim
Sukarno mengambil langkah terhadap para pekerja dengan melarang aksi-aksi
mogok di industri. Kepemimpinan PKI tidak berkeberatan karena industri
menurut mereka adalah milik pemerintahan NASAKOM. Tidak lama PKI
mengetahui dengan jelas persiapan-persiapan untuk pembentukan rejim
militer, menyatakan keperluan untuk pendirian “angkatan kelima” di dalam
angkatan bersenjata, yang terdiri dari pekerja dan petani yang bersenjata.
Bukannya memperjuangkan mobilisasi massa yang berdiri sendiri untuk
melawan ancaman militer yang sedang berkembang itu, kepemimpinan PKI
malah berusaha untuk membatasi pergerakan massa yang makin mendalam
ini dalam batas-batas hukum kapitalis negara.
Mereka, depan jendral-jendral militer, berusaha menenangkan bahwa usul
PKI akan memperkuat negara. Aidit menyatakan dalam laporan ke Komite
Sentral PKI bahwa “NASAKOMisasi” angkatan bersenjata dapat dicapai dan
mereka akan bekerja sama untuk menciptakan “angkatan kelima”.
Kepemimpinan PKI tetap berusaha menekan aspirasi revolusioner kaum buruh
di Indonesia. Di bulan Mei 1965, Politbiro PKI masih mendorong ilusi bahwa
aparatur militer dan negara sedang diubah untuk memencilkan aspek anti-
rakyat dalam alat-alat negara. Menjelang dilancarkannya G 30 S/PKI, banyak
sekali kegiatan-kegiatan yang dilaksanakannya oleh Biro Khusus PKI yang
telah dibentuk pada tahun 1964 dengan mengadakan beberapa kali rapat
rahasia yang diikuti oleh beberapa orang oknum ABRI. Rapat pertama 6
September 1965 yang dilaksanakan rumah Kapten Wahjudi Jl. Sindanglaya 5,
Jakarta, diikuti oleh:
1. Sjam Kamaruzaman.
2. Pono (Soepono).
3. Letnan Kolonel Untung Sutopo (Komandan Batalion I Kawal
Kehormatan Resimen Cakrabirawa).
4. Kolonel A. Latief (Komandan Brigade Infantri I Kodam V/Jaya).
5. Mayor Udara Suyono (Komandan Pasukan Pengawal Pangkalan (P3)
PAU Halim).
6. Mayor A. Sigit (Komandan Batalion 203 Brigade Infantri I Kodam
V/Jaya).
7. Kapten Wahjudi (Komandan Kompi Artileri sasaran Udara).
Rapat ini membicarakan tentang situasi umum sebelum gerakan dan isu
sakitnya Bung Karno. Selanjutnya Sjam melontarkan isu adanya Dewan
Jendral yaitu yang mengungkapkan adanya beberapa petinggi Angkatan Darat
yang tidak puas terhadap Soekarno dan berniat untuk menggulingkannya.
Menanggapi isu ini, Soekarno disebut-sebut memerintahkan pasukan
Cakrabirawa untuk menangkap dan membawa mereka untuk diadili oleh
Soekarno, dan dari ABRI pun terhasut dan ikut dalam gerakan yaitu Letnan
Kolonel Untung, Komandan Batalion 1 Resimen Cakrabirawa (pasukan
pengawal Presiden). Sjam kemudian menyampaikan instruksi Aidit untuk
mengadakan gerakan mendahului kudeta Dewan Jendral. Setelah rapat
pertama kemudian banyak diadakan lagi rapat-rapat selanjutnya guna
membahas persiapan serangan gerakan. Di antaranya rapat ke-2 pada tanggal
9 September 1965, rapat ke-3 tanggal 13 September 1965, rapat ke-4 tanggal
15 September 1965, rapat ke-5 tanggal 17 September 1965, rapat ke-6 19
September 1965, dan rapat ke-7 tanggal 22 September 1965, ke-8 24
September 1965, ke-9 tanggal 29 September 1965.
Pada rapat-rapat setelah rapat ke -6 membahas tentang penetapan
sasaran gerakan bagi masing-masing pasukan yang akan bergerak menculik
atau membunuh para jendral Angkatan Darat yang diberi nama Pasukan
Pasopati. Pasukan teritorial dengan tugas menduduki gedung RRI dan gedung
Telekomunikasi di beri nama Pasukan Bimasakti kemudian pasukan yang
mengkoordinasi lubang Buaya di beri nama Pasukan Gatotkaca. Setelah
persiapan terakhir selesai, rapat terakhir di adakan tanggal 29 September 1965
yang dilaksanakan di rumah Sjam, gerakan itu dinamakan “Gerakan 30
September” (G 30 S/PKI atau Gestapu/PKI). Secara fisik-militer gerakan di
pimpin oleh Letnan Kolonel Untung, Komandan Batalion 1 Resimen
Cakrabirawa (Pasukan Pengawal Presiden) selaku pimpinan formal seluruh
gerakan.
Pelaksanaan G30S/PKI 1965 Pada 1 Oktober 1965 dini hari, enam jenderal
senior dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam upaya kudeta yang
disalahkan kepada para pengawal istana (Cakrabirawa) yang dianggap loyal
kepada PKI dan pada saat itu dipimpin oleh Letkol Untung. Panglima
Komando Strategi Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto kemudian
mengadakan penumpasan terhadap gerakan tersebut. Tahunya Aidit akan
jenis sakitnya Sukarno membuktikan bahwa hal tersebut sengaja dihembuskan
PKI untuk memicu ketidakpastian di masyarakat. Pada tahun 1960 keluarlah
Undang-Undang Pokok Agraria (UU Pokok Agraria) dan Undang-Undang
Pokok Bagi Hasil (UU Bagi Hasil) yang sebenarnya merupakan kelanjutan dari
Panitia Agraria yang dibentuk pada tahun 1948. Panitia Agraria yang
menghasilkan UUPA terdiri dari wakil pemerintah dan wakil berbagai ormas
tani yang mencerminkan 10 kekuatan partai politik pada masa itu.
B. PENDUDUKAN RRI DAN KANTOR TELEKOMUNIKASI
Komandan Tjakrabirawa Letnan Kolonel Untung Syamsuri memimpin pasukan
untuk menculik seluruh perwira tinggi Angkatan Darat. Penculikan ini
berlangsung pada malam hari. Jenderal Ahmad Yani, Abdul Haris Nasution
dan 8 jenderal lainnya menjadi target utama untuk dibungkam.

Sehari setelah peristiwa penculikan berlangsung, Untung memerintahkan


sejumlah pasukan bernama 'Divisi Ampera' untuk menguasai Radio Republik
Indonesia (RRI). Lewat media inilah Untung mengumumkan pengambilalihan
kekuasaan sekaligus membentuk 'Dewan Revolusi' menggantikan 'Dewan
Jenderal'.
Tindakan yang dilakukan Untung ini tak hanya membingungkan rakyat,
seluruh petinggi militer juga terkejut mendengar berita tersebut. Tak ingin
berlama-lama, Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD),
Kolonel Sarwo Edhie Wibowo bergerak cepat. Dia meminta pasukannya
menyerbu RRI dan merebutnya dari tangan Untung.
Kedua belah pihak memandang RRI memiliki posisi yang sangat penting.
Untung yang merupakan pemimpin dari gerakan revolusi memandang RRI
dapat menggerakkan seluruh simpatisan PKI di Indonesia agar mendukung
upaya mereka merebut kekuasaan. Bagi TNI, RRI bisa memecah belah
konsentrasi pasukan pemberontak.

Untuk merebut RRI, Kolonel Sarwo Edhie menunjuk Letnan Dua Sintong
Panjaitan sebagai komandan pasukan. Dalam waktu singkat, Sintong
memenuhi perintah tersebut dan berhasil mengumpulkan pasukan.
Sebelumnya, Sarwo Edhie mengungkapkan dapat merebut RRI hanya dalam
waktu 20 menit.
Saat matahari mulai terbenam, pasukan mulai bergerak menuju lokasi yang
ditentukan. Di saat bersamaan, beberapa pasukan yang sempat berjaga di
Monas sudah ditarik kembali ke markasnya masing-masing. Kondisi ini
membuat RPKAD lebih mudah bergerak.
Mereka bergerak dari Markas Komando Strategis Angkatan Darat (Makostrad)
menuju RRI dengan berjalan kaki. Pasukan ini dibagi tiga, ada yang bergerak
lurus, ada pula yang bergerak mengitari bagian selatan maupun utara Monas.
Setelah tiba di gerbang, pasukan RPKAD mengintai keadaan di luar RRI.
Mereka menemukan sejumlah orang berjaga di depan.

Salah satu peleton yang bergerak untuk merebut RRI mulai melepaskan tiga
kali tembakan. Tindakan ini ternyata efektif untuk mengusir pasukan ilegal
tersebut. Mereka lari tunggang langgang saat mendengarnya dan
meninggalkan tugasnya. Alhasil, perebutan RRI berlangsung tanpa
perlawanan.

Setelah dirasa aman, pasukan mulai memasuki gedung satu per satu. Mereka
memeriksa bagian per bagian ruangan, serta membebaskan karyawan yang
disandera kelompok Untung. Lalu, Letda Sintong melaporkan keberhasilannya
kepada Lettu Feisal Tanjung.
Tapi masalah belum selesai. Kolonel Sarwo Edhie rupanya tak percaya dengan
laporan yang disampaikan Sintong selaku komandan. Dia meminta Sintong
kembali mengecek seluruh gedung.

"Apa? RRI sudah diduduki? Coba kamu periksa seluruh ruangan dulu. Itu
aktivitas mereka masih di dalam!" tegas Sarwo Edhie, seperti dikutip dari buku
'Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando', karya Hendro Subroto terbitan
Kompas Gramedia.

Perintah ini membuatnya bingung, apalagi dia sudah memeriksa seluruh


bagian dan tak menemukan satu pun tempat yang masih beroperasi. Setelah
yakin, dia kembali melaporkannya. Namun jawaban yang diterima tetap sama.
"Laporanmu tidak benar. Kamu bersihkan dulu sampai bersih. Jangan buru-
buru kamu lapor. Tangkap dulu semua orang yang ada di situ," sahut Sarwo
Edhie menjawab laporan Sintong.
Tidak lama, Sintong baru menyadari pengumuman yang masih terus
mengudara itu berasal dari tape recorder. Kaset tersebut terus berputar meski
tak ada yang mengoperasikannya. Demi menghentikannya, dia sempat ingin
merusaknya dengan memukulkan popor senjata, namun tindakan ini segera
dicegah salah satu karyawan dan menekan tombol off.

Segera setelah RRI diduduki, Kepala Pusat Penerangan TNI Angkatan Darat
Brigadir Jenderal Ibnu Subroto mulai menyiarkan pengumuman lanjutan. Dia
membacakan pesan yang ditulis Mayor Jenderal Soeharto selaku perwira
tinggi satu-satunya di TNI.
Setelah pembacaan selesai, rupanya temuan tape recorder yang berisi siaran
propaganda dari PKI menggelitik seorang perwira senior menyindir Sintong.
"Ah kampungan kamu. Masak kamu tidak tahu kalau siaran G30S/PKI itu
berasal dari tape recorder?"

Mendengar itu, komandan peleton Sintong langsung menjawab dengan nada


bercanda. "Ya, tadi saya mendapat perintah untuk menangkap orangnya,"
jawabnya disambut tawa.

Keberhasilan ini telah membalikkan keadaan. Letkol Untung yang semula


berada di atas angin mulai terdesak. Seluruh tentara yang sempat terjebak
kembali ke kesatuannya masing-masing. Dalam waktu singkat, seluruh upaya
kup berhasil diredakan.

KORBAN G30-S/PKI
Pada 30 September 1965, enam jendral senior dan beberapa orang
lainnya dibunuh dalam upaya kudeta yang disalahkan kepada para pengawal
istana (Cakrabirawa) yang loyal kepada PKI dan pada saat itu dipimpin oleh
Letkol Untung. Panglima Komando Strategi Angkatan Darat saat itu, Mayjen
Soeharto kemudian mengadakan penumpasan terhadap gerakan tersebut.
Korban keenam pejabat tinggi yang dibunuh tersebut adalah:
1. Panglima Angkatan Darat Letjen TNI Ahmad Yani
2. Mayjen TNI R. Suprapto
3. Mayjen TNI M.T. Haryono
4. Mayjen TNI Siswondo Parman
5. Brigjen TNI D.I. Panjaitan
6. Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo
Jenderal TNI A.H. Nasution juga disebut sebagai salah seorang target
namun dia selamat dari upaya pembunuhan tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade
Irma Suryani Nasution dan ajudan A.H. Nasution, Lettu Pierre Tandean tewas
dalam usaha pembunuhan tersebut. Selain itu beberapa orang lainnya juga
turut menjadi korban:
1. Lettu Pierre Tandean
2. AIP Karel Satsuit Tubun
3. Kolonel Katamso Darmokusumo
4. Kolonel Sugiono
Para korban tersebut kemudian dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede,
Jakarta yang dikenal sebagai Lubang Buaya. Mayat mereka ditemukan pada 3
Oktober.

PENUMPASAN G30S PKI


Pemberontakan G30S/PKI telah menewaskan 7 perwira angkatan darat
pada tanggal 1 Oktober 1965. Upaya pemberantasan gerakan tersebut
selanjutnya dipimpin langsung oleh Mayor Jenderal Suharto selaku
Pangkostrad. Beberapa tindakan yang diambil Mayjen Suharto dalam
penumpasan G30S/PKI adalah sebagai berikut.

1. Tindakan pertama ditujukan untuk menetralisir pasukan-pasukan yang


masih mengambil stelling di sekitar Medan Merdeka.
2. Tindakan kedua, yakni instruksi Suharto untuk menduduki kembali
gedung Pusat Telekamunikasi dan RRI. Tugas tersebut dilakukan oleh
pasukan RPKAD.
3. Tindakan ketiga, yakni penyampaian informasi secara langsung oleh
Suharto terkait situasi terkini melalui siaran radio.
4. Tindakan keempat, yakni operasi merebut pangkalan angkatan udara
Halim Perdanakusuma.

PEMULIHAN KEAMANAN DAN KETERTIBAN SETELAH


PERISTIWA G30S PKI
Pada 3 Oktober 1965, Presiden Soekarno memerintahkan Mayor Jenderal
Soeharto untuk memimpin operasi pemulihan keamanan dan ketertiban usai
peristiwa kudeta G30S/PKI. Untuk melakukan operasi yang diminta, Mayjend
Soeharto membentuk Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban
(Kopkamtib). Kopkamtib dikomando langsung oleh Soeharto selaku panglima
tertinggi, kemudian dikukuhkan dengan Surat Keputusan No. 162/KOTI 1965,
12 November 1965. Dalam perkembangannya, Kopkamtib juga dijadikan
sebagai lembaga di bawah Menteri Pertahanan dan Keamanan Panglima ABRI.
Pada peran ini, Kopkamtib bertugas untuk mewujudkan stabilitas nasional
sebagai syarat mutlak berhasilnya Rencana Pembangunan Lima Tahun
(Repelita).
Tugas
Semenjak dibentuk, Kopkamtib memiliki beberapa tugas utama, yaitu:
1. Memulihkan kemanan dan ketertiban akibat peristiwa pemberontakan
G30S/PKI, kegiatan-kegiatan ekstrem, dan kegiatan subversi lainnya.
2. Mengamankan kewibawaan pemerintah beserta alat-alatnya dari pusat
sampai dengan daerah dalam rangka mengamankan pelaksanaan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Selama melaksanakan tugas, Kopkamtib menggunakan dasar hukum sesuai
dengan Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar. Dalam Supersemar,
Presiden Soekarno memerintahkan kepada Mayjend Soeharto untuk
mengambil langkah yang dianggap perlu untuk menjamin stabilitas keamanan
nasional.
F. TRITURA
Gerakan moral yang dimunculkan para mahasiswa ini dilakukan untuk
menegakkan keadilan dan mengembalikan kebenaran. Tapi, pemerintah justru
mencurigai gerakan tersebut dan kemudian sejumlah tokoh KAMI juga
Kesatuan Alesi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) ditangkap.
Masa tersebutlah yang melahirkan sebuah generasi baru yaitu angkatan '66.
Bisa disebut, angkatan '66 menjadi awal kebangkitan gerakan mahasiswa
nasional.

Ketidakpuasan tersebut akhirnya memuncak, sehingga mereka turun ke jalan


menyerukan aksi Tritura yang dimulai pada 10 Januari 1966. Pembacaan
tuntutan dari aksi Tritura terjadi di halaman Fakultas Kedokteran UI.

Tujuan dari gerakan tersebut yaitu supaya aktivis mahasiswa Indonesia bisa
menggalang aksi, salah satunya melancarkan demonstrasi menuntut
pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI).
Isi Tritura
Tritura berisikan 3 tuntutan yang dipelopori oleh KAMI dan KAPPI, kesatuan-
kesatuan aksi yang tergabung dalam Front Pancasila. Berikut merupakan isi
Tritura yang dilontarkan untuk pemerintah:
1. Pembubaran PKI
Isi Tritura yang pertama adalah terkait pembubaran PKI beserta ormas-
ormasnya. Pasalnya, pada saat itu PKI sebagai partai politik yang ikut menjadi
pemenang Pemilu I 1955, namun PKI malah terlibat menjadi dalang dalam
pemberontakan G30S/PKI. Hal tersebutlah yang mendorong masyarakat, yang
diwakilkan kaum muda (mahasiswa) agar pemerintah membubarkan PKI dan
seluruh ormas di bawahnya.

2. Perombakan Kabinet Dwikora


Perombakan kabinet tersebut dilakukan dalam upaya untuk pembersihan
kabinet dari unsur-unsur G30S PKI. Karena saat itu, anggota maupun
simpatisan kabinet Dwikora sebagian besar berasal dari PKI. Sehingga, mereka
dianggap menjadi kekuatan politik yang dekat dengan pemerintah. Adanya
kondisi tersebutlah yang sorotan, dari adanya tuntutan untuk dibubarkan.
3. Turunkan Harga
Tuntutan penurunan harga (terutama harga pangan) di sini bertujuan untuk
perbaikan ekonomi. Pasalnya, kondisi perekonomian saat itu cukup buruk dan
meresahkan. Di mana, banyak harga kebutuhan pokok melambung tinggi.
Oleh karena situasi inilah, yang membuat kaum muda bersama sama partai
politik, serta organisasi pemuda, melakukan gerakan moral (moral force).

F. DAMPAK SOSIAL G30S PKI


G30S PKI merupakan gerakan yang sangat berpengaruh bagi perkembangan
gerak sejarah masyarakat Indonesia sampai saat ini. Setelah G30S 1965,
kebebasan berideologi mulai dibatasi di Indonesia dan terjadi pembantaian
terhadap jutaan manusia, dengan alasan membasmi komunisme.

Peristiwa G30S PKI tahun 1965 terjadi pada malam sampai dini hari, tepatnya
pada akhir tanggal 30 September dan memasuki tanggal 1 Oktober 1965.
Kejadian ini menimbulkan banyak dampak negatif bagi kehidupan sosial dan
juga polemik pada masyarakat Indonesia.

Gerakan 30 September atau G30S/PKI 1965 ingin melakukan kudeta terhadap


Pemerintahan Indonesia serta merubah ideologi negara Indonesia, yaitu
Pancasila dengan paham komunis. Dampak sosial politik yang dirasakan
bangsa Indonesia dengan adanya G30S/PKI 1965 antara lain:
1. Secara politik, lahir peta kekuatan politik baru, yaitu tentara AD.
2. Hingga Desember 1965, PKI telah hancur sebagai kekuatan politik di
Indonesia.
3. Kekuasaan dan pamor politik Presiden Soekarno meredup.
4. Secara sosial, ada penangkapan dan pembunuhan atas orang-orang PKI
atau dianggap PKI yang tidak seluruhnya melalui proses pengadilan
dengan jumlah yang cukup banyak.
5. Kondisi politik Indonesia yang semakin tidak stabil dikarenakan muncul
pertentangan didalam lembaga tinggi negara.
6. Sikap pemerintah yang belum bisa untuk mengambil keputusan untuk
dapat membubarkan PKI.
7. Munculnya aksi demonstrasi yang dilakukan secara besar-besaran untuk
menuntut agar PKI beserta ormas-ormasnya dibubarkan atau yang
sering dikenal dengan istilah Tritura atau sering disebut juga Tiga
Tuntutan Rakyat.

Anda mungkin juga menyukai