Anda di halaman 1dari 37

1.

SejarahG30S/PKI 1965

Peristiwa G30S/PKI atau lengkapnya kita kenal dengan Peristiwa Gerakan 30


September atau disingkat Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh) atau
Gestok (Gerakan Satu Oktober) adalah peristiwa sejarah yang terjadi di
Indonesia pada malam hari tanggal 30 September – 1 Oktober 1965 dimana
tujuh para perwira tinggi militer Indonesia dan beberapa orang lainnya
dibunuh karna dinilai sedang melakukan sebuah usaha percobaan kudeta.
Percobaan kudeta tersebut berhasil di gagalkan dan tersebar isu yang
menyatakan bahwa PKI bertanggung jawab dibalik peristiwa pada 30
September yang telah menelan banyak nyawa. Sampai saat ini kebenaran
apakah PKI terlibat atau tidak pada 30 September 1965 masih menjadi bahan
perdebatan.
Latar Belakang Sebelum G30S/PKI :
Sebelum peristiwa G30S/PKI, tercatat bahwa Partai Komunis Indonesia atau
PKI adalah Partai Komunis yang paling besar diseluruh dunia pada tahun 1965,
tanpa menghitung partai komunis di Tiongkok dan Uni Soviet. Anggota PKI
berjumlah sampai 3,5 juta jiwa, ini pun belum termasuk dengan 3 juta jiwa
kader PKI yang bergerak di pergerakkan pemuda.
Selain itu PKI juga mengawasi dan mengontrol beberapa pegerakkan dan
organisasi:
1.Pergerakan Serikat Buruh – 3,5 juta jiwa
2.Barisan Tani Indonesia – 9 juta jiwa

1.
3.Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia)
4.Organisasi Penulis dan Artis
5.Pergerakan sarjana
Diauditkan bahwa PKI saat itu mempunyai lebih dari 20 juta jiwa anggota dan
pendukung. Selain memiliki banyak anggota dan pendukung, PKI juga
merupakan partai komunis yang paling dekat dan mendapat sokongan penuh
dari Presdien Pertama RI, yaitu Sukarno. PKI benar-penar memiliki kekuatan
penuh, pada saat itu seperti bunuh diri jika ingin membubarkan PKI

Terjadinya Peristiwa 30 September-1 Oktober


Peristiwa 30 September-1 Oktober 1965 pada dini hari ini sudah membunuh
enam perwira tinggi Angkatan Darat dan beberapa orang lainnya dengan
tuduhan karna melakukan upaya kudeta yang disalahkan kepada para
Cakrabirawa (pengawal istana) yang dianggap terlalu dekat kepada PKI, yang
saat itu dipimpin oleh Letkol Untung.
Isu dewan jenderal
Sebelum terjadi gerakan 30 september itu, sudah beredar isu dengan adanya
Dewan Jenderal yang menyatakan bahwa beberapa petinggi Angkatan Darat
ingin mengkudeta kekuasaan Presiden Sukarno. Menanggapi isu yang berdar,
Presiden Sukarno disebut-sebut memerintahkan pasukan pengawal istara
untuk menangkap petinggi Angkatan Darat untuk di adili. Namun sayangnya,
sebelum operasi penangkapan tersebut terjadi sudah ada oknum-oknum yang
lebih dahulu membunuh mereka di lubang buaya.
Isu dokumen gilchrist
Isu dokumen Gilchris, yang diambil dari nama dubes Inggris yaitu Andres
Gilchrist sudah beredar hampir bersamaan dengan isu Dewan Jenderal.
Beberapa pihak menyatakan bahwa dokumen ini sudah di palsukan oleh
intelejen Ceko, di bawah pengawasan dari Jenderal Agayant dari KGB Rusia.
Dokumen ini menyatakan bahwa perwira-perwira Angkatan Darat telah dibeli
oleh pihak Barat. Selain itu Amerika Serika juga dituduh sudah memprovokasi
militer Indonesia karena memberika daftar nama-nama anggota PKI untuk di
bunuh. Dinas intelejen Amerika Serikat mendapatkan data-data campur tangan

2.
PKI pada peristiwa 30 September dari berbagai sumber, salah satunya dari
buku yang ditulis John Hughes, yang berjudul Indonesian Upheaval.
Isu keterlibatan Soeharto
Sampai saat ini belum ada bukti yang kuat tentang peran aktif Soeharno dalam
aksi penculikan para perwira-periwa tinggi Angkatan Darat. Satu-satunya bukti
bahwa sudah ada kolaborasi ketika pertemuan Soeharto, yang saat ini
menjabat sebagai Panglima Komando Strategis Cadangan Angkatan Darat
(Pangkostrad) dengan Kolonel Abdul Latief di Rumah Sakit Angkatan Darat.

Beredar isu bahwa sebenarnya Soeharto sudah mengetahui tentang gerakan


yang akan di lakukan pada dini hari 30 September, namun beliau
mendiamkannya untuk meraih keuntungan tersendiri. Terbukti setelah
peristiwa 30 September tersebut, jurnal internasional mengungkap
keterlibatan Soeharto dan CIA, beberapa jurna di antaranya adalah Cornell
Paper, karya Benedict R.O’G. Anderson and Ruth T. McVey (Cornell University),
Ralph McGehee (The Indonesian Massacres and the CIA), Government Printing
Office of the US (Department of State, INR/IL Historical Files, Indonesia, 1963-
1965. Secret; Priority; Roger Channel; Special Handling), John Roosa (Pretext
for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s Coup d’État in
Indonesia), Prof. Dr. W.F. Wertheim (Serpihan Sejarah Thn 1965 yang
Terlupakan).

Korban
Berikut ini nama-nama korban yang terbunuh dari gerakan 30 September di
lubang buaya:
1.Letjen TNI Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf
Komando Operasi Tertinggi)
2.Mayjen TNI Raden Suprapto (Deputi II Menteri/Panglima AD bidang
Administrasi)
3.Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III Menteri/Panglima AD bidang
Perencanaan dan Pembinaan)

3.
4.Mayjen TNI Siswondo Parman (Asisten I Menteri/Panglima AD bidang
Intelijen)
5.Brigjen TNI Donald Isaac Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang
Logistik)
6.Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal
Angkatan Darat)
Diatas adalah keenam nama perwira tinggi Angkatan Darat yang terbunuh dan
dibuang ke Lubang Buaya di Pondok Gede, Jakarta. Mayat mereka ditemukan
pada 3 Oktober. Jenderal TNI Abdul Harris Nasution yang merupakan sasaran
utama pada peristiwa ini berhasil selamat setelah memanjat halaman
rumahnya, namun putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan dia, Lettu
CZI Pierre Andreas Tendean tewas dalam usaha pembunuhan tersebut.

Selain itu beberapa orang lainnya juga turut menjadi korban:


1.Bripka Karel Satsuit Tubun (Pengawal kediaman resmi Wakil Perdana Menteri
II dr.J. Leimena)
2.Kolonel Katamso Darmokusumo (Komandan Korem 072/Pamungkas,
Yogyakarta)
3.Letkol Sugiyono Mangunwiyoto (Kepala Staf Korem 072/Pamungkas,
Yogyakarta

Setelah kejadian 30 september


PKI mampu menguasai dua sarana komunikasi vital, yaitu studio RRI dan
Kantor telekomunikasi setelah tragedi pembunuhan beberapa perwira
Angkatan Darat. PKI menyiarkan pengumuman melalui RRI, bahwa Gerakan 30
September yang ditunjukan kepada para perwira tinggi anggota “Dewan
Jenderal” sudah merencanakan pengkudetaan terhadap pemerintah. PKI juga
mengumumkan bahwa sudah terbentuk “Dewan Revolusi” yang diketuain oleh
Letkol Untung Sutopo.

4.
Selain itu pada sore hari tanggal 1 oktober 1965, PKI membunuh Kolonel
Katamso (Komandan Korem 072/Yogyakarta) dan Letnan Kolonel Sugiyono
(Kepala Staf Korem 072/Yogyakarta) karena sudah menolak berhubungan
dengan Dewan Revolusi. Presiden Sukarno dan Sekjen PKI Aidit menanggapi
pembentukan para Dewan Revolusioner sebagai pembenrontakan. Dan
memutuskan berpindah ke Pangkalan Angkatan Udara Halim untuk mencari
perlindungan.

Pada tanggal 6 Oktober, Presiden Sukarno menghimbau rakyat untuk


menciptakan adanya “persatuan nasional”, yaitu persatuan antara angkatan
bersenjata dan para korbannya, dan penghentian kekerasan. Selain itu Biro
Politik dari Komite Sentral PKI meminta semua anggota dan organisasi-
organisasi massa untuk mendukung “pemimpin revolusi Indonesia” dan tidak
melawan angkatan bersenjata.

Pada tanggal 12 Oktober 1965, pemimpin-pemimpin Uni-Soviet Brezhnev,


Mikoyan dan Kosygin mengirim pesan khusus kepada Presiden Sukarno: “Kita
dan rekan-rekan kita bergembira untuk mendengar bahwa kesehatan anda
telah membaik. Kita mendengar dengan penuh minat tentang pidato anda di
radio kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tetap tenang dan menghindari
kekacauan. Himbauan ini akan dimengerti secara mendalam.”

Atas saran dari rekan-rekannya, pada tanggal 16 Oktober 1965, Presiden


Sukarno melantik Mayjen Suharto menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat
di Istana Negara. Berikut kutipan amanat presiden Sukarno kepada Suharto
pada saat Suharto disumpah:
“Saya perintahkan kepada Jenderal Mayor Soeharto, sekarang Angkatan Darat
pimpinannya saya berikan kepadamu, buatlah Angkatan Darat ini satu
Angkatan daripada Republik Indonesia, Angkatan Bersenjata daripada Republik
Indonesia yang sama sekali menjalankan Panca Azimat Revolusi, yang sama
sekali berdiri di atas Trisakti, yang sama sekali berdiri di atas Nasakom, yang
sama sekali berdiri di atas prinsip Berdikari, yang sama sekali berdiri atas
prinsip Manipol-USDEK. Manipol-USDEK telah ditentukan oleh lembaga kita

5.
yang tertinggi sebagai haluan negara Republik Indonesia. Dan oleh karena
Manipol-USDEK ini adalah haluan daripada negara Republik Indonesia, maka
dia harus dijunjung tinggi, dijalankan, dipupuk oleh semua kita. Oleh Angkatan
Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, Angkatan Kepolisian Negara. Hanya
jikalau kita berdiri benar-benar di atas Panca Azimat ini, kita semuanya, maka
barulah revousi kita bisa jaya.
Soeharto, sebagai panglima Angkatan Darat, dan sebagai Menteri dalam
kabinetku, saya perintahkan engkau, kerjakan apa yang kuperintahkan
kepadamu dengan sebaik-baiknya. Saya doakan Tuhan selalu beserta kita dan
beserta engkau!.

Untuk mengenang jasa-jasa para pahlawan revolusi maka pada taggal 30


September diperingati sebagai Hari Peringatan Gerakan 30 September (G-30-
S/PKI) dan hari berikutnya, 1 Oktober, ditetapkan sebagai Hari Kesaktian
Pancasila.

6.
2.Pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil
(APRA)
Ratu Adil adalah mitologi yang sakral di dalam masyarakat Indonesia. Ratu Adil
berasal dari ramalan Jayabaya, yaitu pemimpin yang akan memerintah rakyat
dengan adil dan bijaksana, sehingga keadaan akan aman dan rakyat makmur
sejahtera. Namun, bagaimana jika mitologi tersebut justru dijadikan sebagai
salah satu propaganda politik, seperti yang dilakukan oleh Westerling beserta
Angkatan Perang Ratu Adil nya (APRA). Dengan menggunakan embel-embel
Ratu Adil, Westerling mencoba mencari simpati rakyat untuk melakukan
pemberontakan terhadap pemerintah Republik Indonesia.

Latar Belakang Pemberontakan APRA

Di antara anggota pasukan Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL) banyak


yang tidak puas terhadap hasil keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB).
Ringkasnya mereka tidak suka dengan terbentuknya Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang pada waktu itu bernama RIS.

Apalagi KNIL harus bergabung ke dalam Angkatan Perang Republik Amerika


Serikat (APRIS) bersama Tentara Nasional Indonesia (TNI). Bagi TNI sebagai
pejuang kemerdekaan yang setia tentu saja agak sulit menerima kehadiran
KNIL, begitupula bagi KNIL sulit bergabung dengan TNI sebab mereka pernah
berhadapan satu sama lain dalam pertempuran pada masa Perang
Kemerdekaan.
Kecemburuan KNIL terhadap TNI semakin menjadi setelah diputuskan bahwa
pimpinan APRIS harus berasal dari TNI. Hal ini diperparah dengan sambutan
rakyat yang lebih simpatik terhadap keberadaan TNI.

Pada titik inilah, kaum reaksioner yang subversif memanfaatkan situasi untuk
terus menyebar hasutan guna merongrong pemerintah Indonesia.

Pada pertengahan November 1949, muncul seorang tokoh militer Belanda,


Raymond Pierre Westerling, yang mulai menyusun kekuatan dengan menarik
anggota KNIL yang didemobilisasikan.

7.
Raymond Westerling
pemimpin APRA
Westerling dikenal sebagai seorang militer yang berpengalaman dan kejam.

Perjalanan hidupnya di Indonesia diwarnai dengan genangan darah.

Pada awalnya, ia ditugaskan sebagai Kapten Tentara Kerajaan Belanda untuk


melumpuhkan semangatjuang rakyat di Sulawesi Sealatan.

Kedatangannya di Sulawesi Selatan disertai 150 anggota Corps Speciale


Troepen. Dalam melaksanakan tugasnya itu, ia membunuh 40.000 rakyat
Sulawesti Selatan.

Selesai bertugas di Sulawesi, ia ditarik ke Jawa Barat sebagai pimpinan atas


1.500 orang Speciale Troepen.Westerling kembali melakukan pembantaian
terhadap penduduk di Cibarusah, Cikalong, Tasikmalaya, dan Cirebon.

Di Jawa Barat, Westerling terus berusaha melebarkan sayap. Kekejamannya itu


mendapat penghargaan dari pihak yang berjuang di pihak Belanda.

Akan tetapi Pemerintah Belanda, akhirnya memecat Westerling dari dinas


ketentaraan. Namun, hal ini ternyata lebih memberikan keleluasaan
kepadanya. Ia bisa lebih dekat dan semakin aktif melakukan kegiatan bersama
unsur-unsur penentang Republik Indonesia.

8.
Bebas dari tugas militer, Westerling justru membentuk gearakan dengan
namaRatu Adil. Dengan nama ini gerakan Westerling semakin mendapat
simpati rakyat. Dalam waktu yang realtif singkat, ia telah berhasil
mengumpulkan modal dan pengikut sebanyak 8.000 orang termasuk para
bekas pasukan Belanda.

Tujuan APRA dan kaum kolonialis yang ada di belakangnya adalah


mempertahankan bentuk federal di Indonesia dan mempertahankan adanya
tentara tersendiri pada setiap negara-negara bagian RIS. Tujuan ini bertolak
belakang dengan hasil Konferensi Antar-Indonesia di Yogyakarta yang telah
menyetujui bahwa APRIS adalah Angkatan Perang Nasional.

Dimulainya Serangan APRA

Tidak lama setelah APRA dibentuk, Westerling mengajukan ultimatum kepada


Pemerintah RIS agar kekuasaan militer daerah Pasundan diserahkan
sepenuhnya kepada APRA. Ia menilai TNI kurang mampu menjalankan tugas itu
dan meminta agar APRA dijadikan pasukan resmi.

Pemerintah RIS menganggap ultimatum itu sebagai sebuah kekonyolan. Oleh


karena itu, Westerling mulai berusaha merebut kekuasaan dengan kekerasan.

Target utama dari kebengisan Westerling adalah Jakarta dan Bandung.

Setelah menyusun rencana, APRA mulai bergerak di sekitar Cililin, di bawah


pimpinan dua orang Inspektur Polisi Belanda, van Beeklen dan van der Meula.
Gerakan APRA yang terdiri dari sekitar 800 orang di antaranya 300 anggota
KNIL bersenjata lengkap menyerang kota Bandung pada pagi hari tanggal 23
Januari 1950.

Walaupun satu hari sebelum serangan pimpinan Divisi Siliwangi telah


mensinyalir adanya suatu gerakan dari sekelompok orang bersenjata yang
bergerak dari Cimahi menuju kota Bandung, tetap saja Westerling berhasil
memasuki kota itu. Keesokan harinya APRA telah memasuki kota Bandung dan
secara ganas membunuh setiap anggota TNI yang dijumpai.

9.
Pasukan APRA di Bandung
Gerombolan APRA berhasil menduduki Markas Staf Divisi Siliwangi,
pertempuran tidak berimbang pun terjadi antara 150 orang APRA melawan 18
orang anggota TNI. Pertempuran itu menyebabkan 15 orang, termasuk Lenan
Kolonel Lemboh gugur, sedangkan hanya 3 orang yang berhasil melarikan diri.

Korban APRA di Bandung

Secara keseluruhan gerakan APRA di kota Bandung menyebabkan 79 anggota


APRIS gugur dan banyak penduduk sipil menjadi korban pembantaian.

Reaksi Pemerintah Indonesia untuk Menumpas APRA

Pemerintah RIS segera bereaksi dengan mengirimkan bala bantuan ke Bandung


untuk menghentikan APRA. Di Jakarta juga segera diadakan perundingan
antara Moh. Hatta sebagai Perdana Menteri RIS dengan Komisaris Tinggi
Belanda. Hasilnya, Mayor Jenderal Engels, Komandan Tentara Belanda di
Bandung mendesak Westerling untuk pergi dari kota itu.

10.
Setelah terdesak, gerombolan APRA pergi meninggalkan Bandung. Setelah
meninggalkan Bandung, gerombolan APRA menyebar ke berbagai wilayah dan
terus dikejar oleh Apris. Dengan bantuan rakyat,, gerombolan APRA yang telah
berceceran berhasil dilumpuhkan oleh TNI.

Selain ke Bandung, gerakan APRA juga diarahkan ke Jakarta. Di daerah ini,


Westerling mengadakan kerjasama dengan Sultan Hamid II yang menjadi
menteri negara tanpa portofolia di dalam kabinet RIS.

Untuk mewujudkan ambisinya, Westerling dan Sultan Hamid II menyusun


rencananya sebagai berikut:

1. APRA akan menyerang gedung tempat Kabinet RIS bersideng.


2. Semua Menteri RIS akan diculik
3. Menteri Pertahanan (Sultan Hamengku Buwono IX), Sekjen Kementrian
Pertahanan (Ali Budiarjo) dan Pejabat Kepala Staf Angkatan Perang (Kol.
T. B. Simatupang) akan dibunuh.

Supaya publik tertipu, Sultan Hamid II juga akan ditembak di tangan atau
kakinya agar orang mengira bahwa ia juga termasuk yang akan dibunuh
Westerling. Sultan Hamid II dijanjikan oleh Westerling akan dijadikan Menteri
Pertahanan jika rencana itu sukses.

Akan tetapi berkat kesigapan APRIS, usaha APRA di Jakarta juga menemui
kegagalan. Meskipun demikian Westerling dengan gerombolannya masih
terus mencoba untuk mencapai tujuannya. Tetapi usahanya tetap berujung
pada kegagalan.

Sementara itu, Westerling yang melihat indikasi kegagalan rencananya,


memilih melarikan diri dengan pesawat Catalina Angkatan Laut Belanda ke
Singapura pada 22 Februari 1950. Di Singapura, Westerling justru ditahan polisi
setempat dengan tuduhan telah memasuki wilayah itu tanpa izin.

Westerling menjalani hukuman selama satu bulan di Singapura. Pemerintah


Indonesia berusaha menuntut agar buronannya tersebut diserahkan kepada
Indonesia. Namun, tuntutan itu ditolak mentah-mentah oleh pihak Inggris,
dengan alasan bahwa RIS tidak punya perjanjian dengan Inggris tentang hal itu.

11.
Sementara itu Sultan Hamid II yang ikut serta dalam rencana makar tersebut
baru tertangkap pada 5 April 1960.

Presiden Soekarno di depan Singan DPR RIS menyampaiakan pidato yang


menegaskan sikap pemerintah untuk menumpas pemberontakan Westerling.
Selanjutnya, ia mengingatkan pula agar rakyat, khususnya umat Islam agar
tidak terpancing dan masuk gerakan pemberontak.

Dampak Kegagalan ARPA

Kegagalan gerakan APRA justru meningkatkan sikap anti-federal negara-negara


bagian RIS. Usaha untuk menyerahkan kekuasaan kepada pemerintah pusat RIS
semakin keras.

Pada tanggal 30 Januari 1950, R. A. A Wiranatakusumah, Wakil Negara


Pasundan mengundurkan diri dan pada tanggal 8 Februari Perdana menteri
mengangkat Sewaka sebagai penggantinya dengan jabatan komisaris RIS di
Pasundan.

Gerakan unitarisme juga meluas ke daerah-daerah lain. Negara Jawa Timur


yang dibentuk oleh Belanda dalam Konferensi Bondowoso, akhirnya
dibubarkan setelah dididesak oleh rakyat. Selanjutnya, Gubernur Jawa Timur,
Samadikoen, pada tanggal 27 Februari mengeluarkan suatu intruksi kepada
segenap residen, bupati, walikota serta aparat bawahannya dari bekas Negara
Jawa Timur agar menyerahkan pimpinan daerahnya masing-masing kepada
pejabat Republik Indonesia yang telah ditujuk sebelumnya.

Tindakan tersebut diambil oelh Gubernur untuk meredakan suasana panasa di


kalangan rakyat yang menuntut dibubarkannya Negara Jawa Timur. Selain
Negara Jawa timur, Negara Madura juga ikut bergabung ke dalam wilayah RI.

Di Sumatra Selatan, tuntutan hampir unitarisme juga muncul dan mencapai


puncaknya pada awal tahun 1950. Oleh karena itu, RIS harus menerima
pembubaran itu.

12.
Pada 24 Maret 1950, pemerintah RIS meresmikan pembubaran Negara
Sumatra Selatan dan daerahnya dimasukkan ke lingkungan provinsi Sumatra
Selatan di bawah RI.

Peristiwa unitarisme Sumatra Selatan kemudian disusul dengan pembubaran


Daerah Istimewa Bangka Belitung penyerahannya dilaksanakan pada tanggal
23 April 1950.

Di Sulawesi Selatan, gerakan-gerakan menuju unitarisme mendapatkan


tantangan dari golongan federal yang ingin mempertahanakan Negara
Indonesia Timur (NIT).

Berbagai demonstrasi yang menuntut pembubaran NIT terjadi di


Ujungpandang, Gorontalo, Poso, Donggala, Takalar, dan Jeneponto. Meskipun
sempaat muncul peberontakan Andi Aziz, tetapi keinginan rakyat Sulawesi
untuk melepaskan diri dari NIT tidak kendor.

Sebelum pemerintah RIS dengan resmi membubarkan NIT, rakyat provinsi


Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara telah menyatakan melepaskan diri dari
ikatan NIT dan menggabungkan diri dengan RI.

Pernyataan tersebut kemudian diwujudkan dalam bentuk proklamasi yang


dikeluarkan di Polongbangkeng pada tanggal 17 April 1950 dan ditandatangai
oleh Makkaraeng Dg. Djarung yang mengatasnamakan gubernur-gubernur
Provinsi Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara.

Tindakan Westerling di Jawa Barat serta Pengkhinatan Sultan Hamid II juga


telah diprotes oleh rakyat Kalimantan. Di daerah ini sejak awal 1950 telah
terjadi pergolokanan yang menuntut unitarisme.

Pada pertengahan Januari 1950, dr. Murdjani selaku wakil Pemerintah RI


mengadakan kunjungan ke Kalimantan Timur guna menyaksikan
penggabungan daerah tersebut ke dalam RI. Sementara itu, Dewan Kalimantan
Timur dalam sidangnya telah mengambil suatu resolusi yang mendesak Dewan
Gabungan Kesultanan untuk menyerahkan mandat secepatnya kepada RIS.
Dalam resolusi tersebut disepakati penggabungan daerah Kalimantan Timur
sebagai daerah otonomi Negara Kesatuan.

13.
Di Kalimantan Selatan juga terjadi pergolakan menuntut unitarise.
Penggabungan tersebut dilakukan setelah bubarnya Dewan Banjar. Peristiwa
penggabungan itu juga disaksikan oleh dr. Murdjani.

Di Kalimantan Barat, kondisinya sedikit berbeda dengan daerah lainnya.


Gerakan-gerakan rakyat yang menuntu unitarisme tidak berhasil. Hambatan
utamanya adalah karena yang dikirimkan ke Kalimantan Barat sebagai wakil RIS
adalah Mr. Indrakusuma, seorang tokoh pendukung negara federal.

Akibatnya, tuntutan rakya hanya berhasil membubarkan Dewan Istimewa,


tetapi tidak berhasil menuntut penggabungan. Faktor tersebut menyebabkan
Kalimantan Barat menjadi wilayah terakhir di Kalimantan yang bergabung ke
NKRI.

14.
3.DI/TII

Negara Islam Indonesia (disingkat NII; juga dikenal dengan nama Darul Islam
atau DI) yang artinya adalah "Rumah Islam" adalah gerakan politik yang
diproklamasikan pada 7 Agustus 1949 (ditulis sebagai 12 Syawal 1368 dalam
kalender Hijriyah) oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di Desa Cisampah,
Kecamatan Ciawiligar, Kawedanan Cisayong, Tasikmalaya, Jawa Barat.
Diproklamirkan saat Negara Pasundan buatan belanda mengangkat Raden Aria
Adipati Wiranatakoesoema sebagai presiden.
Gerakan ini bertujuan menjadikan Republik Indonesia yang saat itu baru saja
diproklamasikan kemerdekaannya dan ada pada masa perang dengan tentara
Kerajaan Belanda sebagai negara teokrasi dengan agama Islam sebagai dasar
negara. Dalam proklamasinya bahwa "Hukum yang berlaku dalam Negara Islam
Indonesia adalah Hukum Islam", lebih jelas lagi dalam undang-undangnya
dinyatakan bahwa "Negara berdasarkan Islam" dan "Hukum yang tertinggi
adalah Al Quran dan Hadits". Proklamasi Negara Islam Indonesia dengan tegas
menyatakan kewajiban negara untuk membuat undang-undang yang
berlandaskan syari'at Islam, dan penolakan yang keras terhadap ideologi selain
Alqur'an dan Hadits Shahih, yang mereka sebut dengan "hukum kafir", sesuai
dalam Qur'aan Surah 5. Al-Maidah, ayat 50.
Dalam perkembangannya, DI menyebar hingga di beberapa wilayah, terutama
Jawa Barat (berikut dengan daerah yang berbatasan di Jawa Tengah), Sulawesi
Selatan, Aceh dan Kalimantan. Setelah Kartosoewirjo ditangkap TNI dan
dieksekusi pada 1962, gerakan ini menjadi terpecah, namun tetap eksis secara
diam-diam meskipun dianggap sebagai organisasi ilegal oleh pemerintah
Indonesia
Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat ( Darul Islam/Tentara Islam Indonesia)
Pada tanggal 7 Agustus 1949 di suatu desa di Kabupaten Tasikmalaya ( Jawa
Barat ). Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo memproklamirkan berdirinya
Negara Islam Indonesia. Gerakannya di namakan Darul Islam (DI) sedang
tentaranya dinamakan Tentara Islam Indonesia ( TII ). Gerakan ini dibentuk
pada saat Jawa Barat di tinggal oleh Pasukan Siliwangi yang berhijrah ke

15.
Yogyakarta dan Jawa Tengah dalam Rangka melaksanakan ketentuan dalam
Perundingan Renville

Ketika pasukan Siliwangi berhijrah, gerombolan DI/TII ini dapat leluasa


melakukan gerakannya dengan membakar Rumah – Rumah Rakyat,
Membongkar Rel Kereta Api, menyiksa dan merampok harta benda penduduk.
Akan tetapi setelah pasukan Siliwangi mengadakan Long March kembali ke
Jawa Barat, gerombolan DI/TII ini harus berhadapan dengan pasukan Siliwangi.

Usaha Untuk menumpas pemberontakan DI/TII ini memerlukan waktu yang


lama disebabkan oleh beberapa faktor, yakni :
- Medannya berupa daerah pegunungan – pegunungan sehingga sangat
mendukung pasukan DI/TII untuk bergerilya,
- Pasukan Kartosuwirjo dapat bergerak dengan leluasa di Kalangan Rakyat,
- Pasukan DI/TII mendapat bantuan dari beberapa orang Belanda, antara lain
pemilik – pemilik perkebunan dan para pendukung negara Pasundan,
- Suasana Politik yang tidak stabil dan sikap beberapa kalangan partai politik
telah mempersulit usaha – usaha pemulihan keamanan.
Selanjutnya dalam menghadapi aksi DI/TII pemerintah mengerahkan pasukan
TNI untuk menumpas gerombolanini. Pada tahun 1960 pasukan Siliwangi
bersama rakyat melakukan operasi “ Pagar Betis “ dan operasi “ Bratayudha “
Pada tanggal 4 Juni 1962 Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo beserta para
pengawalnya dapat ditangkap oleh pasukan Siliwangi dalam operasi “
Bratayudha “ di Gunung Geber, daerah Majalaya, Jawa Barat. Kemudian
Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo oleh Mahkamah Angkatan Darat dijatuhi
hukuman mati sehingga pemberontakan DI/TII di Jawa Barat dapa di
padamkan.

16.
1.Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat (7 Agustus 1949)

Pemberontakan DI/TII muncul pertama kali di Jawa Barat di bawah pimpinan


Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo.

Pada tanggal 7 Agustus 1949, di Tasikmalaya ia memproklamasikan berdirinya


"Negara Islam Indonesia".

Untuk menumpas pemberontakan DI/TII di Jawa Barat dilancarkan operasi


Baratayudha dengan taktik pagar betis.

Pada tanggal 4 Juni 1962, Kartosuwiryo berhasil di tangkap di Gunung Geber di


daerah Majalaya, Jawa Barat oleh pasukan Siliwangi, Kartosuwiryo akhirnya
dihukum mati pada tanggal 16 Agustus 1962.

2.Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah (4 Desember 1951)


Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah di bawah pimpinan Amir Fatah bergerak
di daerah Brebes, Tegal, dan Pekalongan.

Setelah bergabung dengan Kartosuwiryo, Amir Fatah kemudian diangkat


sebagai "Komandan Pertempuran Jawa Tengah" dengan pangkat "Mayor
Jenderal Islam Indonesia".

Untuk menghancurkan gerombolan DI/TII ini pada bulan Januari 1950 dibentuk
suatu Komando Operasi yang dinamakan Gerakan Banteng Negara (GBN).

Kekuatan DI/TII di daerah GBN semula sudah hampir dapat dipatahkan, namun
menjadi kuat lagi setelah bergabungnya sia-sia AUI, Batalyon 426, dan MMC.

Untuk menumpas gerakan DI/TII di daerah GBN dilancarkan operasi yang


dilakukan oleh pasukan khusus dengan nama Banteng Raiders.

17.
3.Pemberontakan DI/TII di Kalimantan Selatan (10
Oktober 1950)

Pemberontakan DI/TII di Kalimantan Selatan dipimpin oleh Ibnu Hajar alias


Haderi bin Umar alias Angli.

Dengan pasukannya yang dinamakan Kesatuan Rakyat Yang Tertindas (KRYT),


Ibnu Hajar mulai bulan Oktober 1950 melakukan tindakan-tindakan
pengacauan dengan menyerang pos-pos keamanan tentara di Kalimantan
Selatan.

Pemerintah masih memberi kesempatan pada Ibnu Hajar secara baik-baik


untuk menghentikan petualangannya.

Ia pernah menyerahkan diri dengan kekuatan pasukan beberapa peleton dan


diterima kembali ke dalam Angkatan Perang Republik Indonesia, tetapi setelah
menerima perlengkapan Ibnu Hajar melarikan diri lagi melanjutkan
pemberontakannya.

Perubahan tersebut dilakukan beberapa kali, akhirnya pemerintah mengambil


tindakan tegas menggempur gerakan Ibnu Hajar.

Pada akhirnya pada akhir tahun 1959, pasukan pemberontak Ibnu Hajar
berhasil dihancurkan dan Ibnu hajar sendiri dapat ditangkap.

4.Pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan (17 Agustus


1951)
Pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan dipimpin oleh Kahar Muzakar, yang
selama perjuangan kemerdekaan berjuang di Pulau Jawa.

Sekembalinya di Sulawesi Selatan, Kahar Muzakar berhasil menghimpun dan


memimpin laskar-laskar gerilya yang kemudian bergabung dalam Komando
Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS).
18.
Pada tanggal 30 April 1950 Kahar Muzakar mengirim surat kepada pemerintah
dan pimpinan APRIS yang antara lain menuntut agar semua KGSS dimasukkan
ke dalam APRIS dengan nama Brigade Hasanuddin.

Tuntutan ini tidak sepenuhnya dikabulkan, yang dapat diterima jadi anggota
APRIS hanyalah yang lulus dalam penyaringan.

Pemerintah mengambil kebijaksanaan dengan menyalurkan bekas-bekas


gerilyawan ke dalam Korps Cadangan Nasional.

Pendekatan yang dilakukan pemerintah terhadap Ibnu Hazar menerima


kegagalan.

Untuk menumpas pemberontakan DI/TII di Kalimantan Selatan ini, pemerintah


melakukan serangkaian operasi militer.

Dalam operasi tanggal 3 Februari 1965 yang dilakukan oleh pasukan TNI, Kahar
Muzakar berhasil ditembak mati.

5.Pemberontakan DI/TII di Aceh (21 September 1953)

Pemberontakan DI/TII di Aceh dipimpin oleh Daud Beureueh. Latar


belakangnya adalah rasa kekhawatiran akan hilangnya kedudukan dan
perasaan kecewa karena diturunkannya kedudukan Aceh dari daerah istimewa
menjadi karesidenan di bawah Provinsi Sumatra Utara yang ditetapkan
pemerintah tahun 1950.

Pada tanggal 21 September 1953 Daud Beureueh mengeluarkan maklumat


yang menyatakan bahwa Aceh merupakan bagian "Negara Islam Indonesia"
pimpinan Kartosuwiryo.

Daud Beureueh sebagai tokoh utama dan bekas Gubernur Militer Daerah
Istimewa Aceh mudah untuk mencari pengikut, maka setelah pernyataan

19.
maklumat tersebut segera diadakan gerakan serentak untuk menguasai kota-
kota yang ada di Aceh.

Penyelesaian akhir untuk menghadapi DI/TII di Aceh dilakukan dengan cara


musyawarah yang disebut Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh yang
berlangsung pada tanggal 17-28 Desember 1962 atas prakarsa Pangdam I
Kolonel M. Jasin.

Dengan kembalinya Daud Beureueh ke masyarakat, keamanan di daerah Aceh


pulih kembali.

20.
4.GAM

Secara umum Latar belakang Konflik di aceh yang paling jelas adalah
Perbedaan budaya antara Aceh dan banyak daerah lain di Indonesia.
Disamping itu, banyak kebijakan sekuler dalam administrasi pada masa
Presiden Soeharto (Orde Baru) sangat tidak disukai di Aceh, di mana banyak
tokoh Aceh tidak menyukai kebijakan pemerintahan Orde Baru yang
mempromosikan satu "budaya Indonesia". Kemudian lokasi provinsi Aceh yang
terletak di ujung Barat Indonesia menimbulkan anggapan yang meluas di
provinsi Aceh bahwa para pemimpin di Jakarta yang jauh tidak mengerti dan
memperhatikan masalah yang dimiliki Aceh serta tidak bersimpati pada
kebutuhan dan adat istiadat di Aceh yang berbeda.

Selain itu, Kecenderungan sistem sentralistik pemerintahan Soeharto dan


berbagai permasalahan lainnya akhirnya mendorong tokoh Aceh Hasan di Tiro
(Teungku Hasan Muhammad di Tiro) untuk membentuk Gerakan Aceh
Merdeka (GAM) pada tanggal 4 Desember 1976 dan memproklamasikan
kemerdekaan Aceh. Permasalahan utama yang dianggap melatarbelakangi hal
ini adalah budaya pemerintah Indonesia yang dianggap "neo-kolonial", dan
makin banyaknya jumlah transmigran dari pulau Jawa ke provinsi Aceh serta
Distribusi pendapatan yang tidak adil dari sumber daya alam yang diambil dari
Aceh.

Pada awalnya, gerakan ini terdiri dari sekelompok intelektual yang merasa
kecewa atas model pembangunan di Aceh. Hal ini terkait dengan
penyelenggaraan pemerintahan di bawah orang-orang Jawa. Kelompok
intelektual ini berpendapat bahwa telah terjadi kolonialisasi Jawa atas
masyarakat dan kekayaan alam tanah Aceh. Untuk mendapatkan dukungan
dari masyarakat, kalangan pemuda, serta tokoh-tokoh agama di Aceh, Hasan di
Tiro kemudian membuat gagasan anti-kolonialisasi Jawa. Gagasan Hasan Tiro
ini semakin memuncak setelah pemerintah orde baru meng-eksplorasi
kekayaan gas alam dan minyak bumi di Aceh Utara pada awal 1970an.

21.
Sebab lain terjadinya gerakan separatisme GAM di Aceh, di perkuat oleh
dukungan yang datang dari para tokoh Darul Islam (DI) di Aceh yang belum
terselesaikan secara tuntas di zaman orde lama. beberapaTokoh DI/TII yang
gagal melakukan pemberontakan di Aceh, merasa bahwa dengan memberikan
dukungan terhadap GAM, nantinya Aceh dapat memperoleh kemerdekaannya.

Kemungkinan Penyebab Pemberontakan GAM menurut Beberapa Pihak


Menurut Edward Aspinall
Akademis dari Universitas Nasional Australia Edward Aspinall berpendapat
bahwa pengalaman sejarah Aceh selama Revolusi Nasional Indonesia
menyebabkan munculnya separatisme Aceh. Hal tersebut karena Aceh
memainkan peranan penting pada revolusi dan perang kemerdekaan melawan
Belanda sebagai akibatnya diduga aceh telah mendapatkan janji dari Presiden
Soekarno saat kunjungannya ke Aceh pada 1947, bahwa Aceh akan diizinkan
untuk menerapkan hukum Islam (atau syariah) setelah perang kemerdekaan
Indonesia.
Jalannya Konfil / Pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka
Pada awalnya, GAM adalah sebuah organisasi yang diproklamirkan secara
terbatas. Deklarasi GAM yang dikumandangkan oleh Hasan di Tiro dilakukan
secara diam-diam disebuah kamp kedua yang bertempat di bukit Cokan,
Pedalaman Kecamatan Tiro, Pidie. Setahun kemudian, teks tesebut
disebarluaskan dalam versi tiga bahasa; Inggris Indonesia, dan Aceh.
Penyebaran naskah teks proklamasi GAM ini terungkap ketika salah seorang
anggotanya ditangkap oleh polisi dikarena pemalsuan formulir pemilu di tahun
1977. Sejak itulah, pemerintahan orde baru mengetahui tentang pergerakan
bawah tanah di Aceh.
Banyak pemimpin GAM merupakan pemuda dan profesional berpendidikan
yang merupakan anggota kelas ekonomi menengah dan golongan kaya
masyarakat Aceh. Kabinet pertama GAM, yang dibentuk oleh Di Tiro di Aceh
antara tahun 1976-1979, beranggotakan beberapa tokoh sebagai berikut:
Teungku Hasan di Tiro:Wali Negara, Menteri Pertahanan, dan Panglima Agung
Dr Muchtar Hasbi: Wakil Presiden, Menteri Dalam Negeri

22.
Teungku Ilyas Leube: Menteri Kehakiman
Dr Zaini Abdullah: Menteri Kesehatan
Dr Husaini M. Hasan: Menteri Pendidikan dan Informasi
Malik Mahmud: Menteri Luar Negeri
Dr Zubir Mahmud: Menteri Sosial
Amir Mahmud Rasyid: Menteri Perdagangan
Teungku Muhamad Usman Lampoih Awe: Menteri Keuangan
Amir Ishak: Menteri Komunikasi
Dr Asnawi Ali: Menteri Pekerjaan Umum dan Industri

Serangan pertama GAM pada tahun 1977 dilakukan terhadap Mobil Oil
Indonesia yang merupakan pemegang saham PT Arun NGL, dimana PT Arun
NGL adalah operator ladang gas Arun yang berlokasi di Lhokseumawe, Aceh
Utara. Pada saat itu jumlah pasukan yang dimobilisasi oleh GAM sangatlah
terbatas. Meskipun sudah ada ketidakpuasan cukup besar di Aceh namun hal
tersebut tidak mengundang partisipasi aktif massa untuk mendukung GAM.
Dalam pengakuan Hasan di Tiro sendiri, pada awalnya hanya 70 orang yang
bergabung dengannya dan mereka kebanyakan berasal dari kabupaten Pidie,
terutama dari desa di Tiro sendiri, yang bergabung karena loyalitas pribadi
kepada keluarga Hasan di Tiro, sementara sisanya bergabung karena faktor
kekecewaan pada pemerintah pusat.

Pada akhir tahun 1979, tindakan penekanan yang dilakukan militer Indonesia
telah memukul telak GAM, para komandan GAM banyak yang berakhir di
dibunuh, pengasingan, atau dipenjara. pengikut GAM lantas tercerai berai,
bersembunyi dan melarikan diri. Para pemimpinnya seperti Dr Husaini M.
Hasan (menteri pendidikan GAM), Malik Mahmud (menteri luar negeri GAM)
dan Di Tiro, Zaini Abdullah (menteri kesehatan GAM) sudah kabur ke luar
negeri dan kabinet GAM tang resmi tidak lagi menjalankan fungsinya.

23.
Meskipun tidak mendapatkan dukungan yang luas, tindakan kelompok GAM
yang lebih agresif ini membuat pemerintah Indonesia bertindak represif.
Periode antara tahun 1989-1998 kemudian dikenal sebagai era Daerah Operasi
Militer (DOM) Aceh ketika militer Indonesia meningkatkan operasi kontra-
pemberontakan di Aceh. Langkah Pemberlakuan DOM di Aceh ini meskipun
secara taktik sukses menghancurkan kekuatan gerilya GAM, namun telah
menyebabkan korban di kalangan penduduk sipil lokal di Aceh dan rakyat Aceh
merasa terasing dari Republik Indonesia.

Karena merasa terasing dari Republik Indonesia setelah operasi militer


tersebut, penduduk sipil Aceh kemudian mendukung dan membantu GAM
membangun kembali organisasinya saat militer Indonesia hampir seluruhnya
ditarik dari Aceh atas perintah presiden B.J. Habibie pada akhir era 1998
setelah kejatuhan Soeharto, saat itu Jakarta dilanda kerusuhan dan terjadi
ketidak stabilan pemerintahan dan politik di indonesia.

Turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan, menandakan berakhirnya era orde


baru. Berbagai upaya untuk meredam pemberontakan di Aceh masih terus
diusahakan oleh presiden-presiden RI berikutnya. Sejak era presiden B.J.
Habibie sampai dengan presiden Megawati telah mengupayakan berbagai
kebijakan. Namun sayangnya kebijakan-kebijakan tersebut tidak berjalan
secara efektif.

Pada tahun 1999 saat terjadi kekacauan di Jawa dan pemerintah pusat yang
tidak efektif hal tersebut memberikan kesempatan bagi GAM untuk
melancarkan pemberontakan kembali di Aceh, namun kali ini dengan
dukungan yang besar dari masyarakat Aceh. Sebenarnya pada tahun 1999
diumumkan penarikan pasukan, namun karena situasi keamanan yang
memburuk di Aceh kemudian menyebabkan pengiriman ulang tentara dalam
jumlah yang besar ke Aceh. pada pertengahan 2002 GAM dikatakan telah
menguasai 70 persen pedesaan di penjuru Aceh.
Memburuknya kondisi keamanan di Aceh menyebabkan tindakan pengamanan
keras dilakukan pada tahun 2001-2002. Pemerintah Megawati pada tahun

24.
2003 juga meluncurkan operasi militer untuk mengakhiri konflik dengan GAM
untuk selamanya dan keadaan darurat diberlakukan di Provinsi Aceh. Pada
November 2003 darurat militer diperpanjang lagi selama 6 bulan karena GAM
belum dapat dihancurkan sepenuhnya. Menurut laporan Human Rights Watch
akibat dari di adakannya darurat militer di Aceh menyebabkan sekitar 100.000
orang mengungsi pada 7 bulan pertama darurat militer dan beberapa
pelanggaran HAM.

Konflik ini sebenarnya masih berlangsung pada akhir 2004, namu saat itu tiba-
tiba bencana Tsunami terjadi pada 24 Desember 2004 dan
memporakporandakan segala infrastruktur di provinsi Aceh, sehingga secara
tidak langsung bencana alam terbesar dalam sejarah Indonesia tersebut
berhasil membekukan konflik yang terjadi di Aceh.

Kesepakatan damai dan pilkada pertama di Aceh


Setelah bencana Tsunami dahsyat meluluhlantahkan sebagian besar Aceh dan
menelan ratusan ribu korban jiwa, kedua belah pihak, GAM dan pemerintah
Indonesia menyatakan gencatan senjata dan menekankan kebutuhan yang
sama untuk menyelesaikan konflik tak berkesudahan ini. Upaya-upaya
perdamaian yang sebelumnya telah gagal tetapi karena beberapa alasan
termasuk faktor bencana tsunami, perdamaian akhirnya terjadi pada tahun
2005 setelah 29 tahun konflik berkepanjangan.
Perundingan perdamaian kemudian difasilitasi oleh LSM berbasis Finlandia,
Crisis Management Initiative, dan dipimpin Martti Ahtisaari (mantan Presiden
Finlandia). Perundingan ini menghasilkan kesepakatan damai yang
ditandatangani pada 15 Agustus 2005. Berdasarkan perjanjian maka
terciptalah kesepakatan bahwa dilakukannya pelucutan senjata GAM dan Aceh
akan menerima otonomi khusus di bawah Republik Indonesia kemudian
tentara non-organik (mis. tentara beretnis non-Aceh) akan ditarik dari provinsi
Aceh (hanya menyisakan 25.000 tentara non-Aceh). Sebagai bagian dari
perjanjian tersebut, Uni Eropa menerjunkan 300 pemantau yang tergabung
dalam Misi Pemantau Aceh (Aceh Monitoring Mission). Misi merekaSelesai

25.
pada tanggal 15 Desember 2006, setelah suksesnya pemilihan daerah gubernur
Aceh yang pertama.

Beberapa kemungkinan faktor resolusi damai di Aceh


Melemahnya posisi militer GAM (Gerakan Aceh Merdeka)
Dinyatakannya status darurat militer di Aceh oleh pemerintah Indonesia pada
Mei 2003 menghasilkan perlawanan terpadu oleh militer Indonesia terhadap
GAM. International Crisis Group (ICG) melaporkan bahwa pada pertengahan
2004, jalur pasokan dan komunikasi GAM terganggu secara serius.

GAM juga makin sulit berpindah-pindah dan keberadaan mereka di kawasan


perkotaan hilang sepenuhnya. Akibatnya, komando GAM di Pidie
menginstruksikan kepada semua komandan lapangan melalui telepon agar
mundur dari sagoe (subdistrik) ke daerah (distrik) dan aksi militer hanya dapat
dilaksanakan jika ada perintah dari komandan daerah disertai izin komandan
wilayah. Sebelumnya, saat GAM masih kuat, satuan tingkat sagoe (subdistrik)
memiliki otonomi komando yang besar sehingga mampu melancarkan aksi
militer dengan kemauannya sendiri.

Menurut Komandan Jenderal ABRI saat itu (Endriartono Sutarto), pasukan


keamanan Indonesia telah mengurangi jumlah pasukan GAM sebanyak 9.593
orang. Meski banyak yang meragukan keakuratan jumlah tersebut, namun
mayoritas pemantau sepakat bahwa tekanan militer yang baru terhadap GAM
pasca penerapan darurat militer telah memberikan pukulan telak dan kerugian
besar bagi GAM.
Bencana Alam Tsunami
Posisi pemerintah sangat jelas disini. Wakil Presiden M. Jusuf Kalla, beberapa
hari setelah tsunami dengan jelas mengumumkan bahwa perdamaian harus
segera dilakukan. Bagi Jusuf Kalla, sangat mustahil membangun puing-puing
reruntuhan Aceh apabila pemerintah dan GAM masih bersebrangan. bencana
Tsunami yang dahsyat juga menelan ratusan ribu korban jiwa dari kedua belah

26.
pihak sehingga gencatan senjata dan perjanjian damai merupakan kebutuhan
bersama untuk membangun Aceh.
Pergantian kepemimpinan Indonesia 2004, dan Keseriusan nya dalam Resolusi
Damai.
Kemenangan pemilu presiden 2004 oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan
Jusuf Kalla mendorong kebijakan pemerintah untuk melakukan negosiasi untuk
mencapai perdamaian. Kingsbury, penasihat resmi untuk GAM, juga menyebut
terpilihnya SBY dan Kalla tahun 2004 sebagai prakarsa upaya damai konflik
Aceh yang berakhir dengan perjanjian resmi.

Sejak dari akhir Januari hingga Juli 2005, Pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono dan Jusuf Kalla sangat serius melakukan Perjanjian damai dan
mulai melakukan beberapa babak pembicaraan informal dengan pihak GAM
untuk melakukan perundingan sebagai cara damai guna menyelesaikan konflik
di Aceh. Pembicaaan informal ini difasilitasi oleh CMI yang dipimpin oleh
Martti Ahtisaari (mantan pesiden Finlandia). Dimana pembicaraan / perjanjian
damai tersebut dikemudian hari dikenal dengan nama perjanjian Helsinki.

27.
5.OPM
Organisasi Papua Merdeka (disingkat OPM) adalah organisasi yang didirikan
pada tahun 1965 untuk mengakhiri pemerintahan provinsi Papua dan Papua
Barat yang saat ini di Indonesia, yang sebelumnya dikenal sebagai Irian
Jaya,dan untuk memisahkan diri dari Indonesia.

Gerakan ini dilarang di Indonesia, dan memicu untuk terjadinya kemerdekaan


bagi provinsi tersebut yang berakibat tuduhan pengkhianatan. Sejak awal OPM
telah menempuh jalur dialog diplomatik, melakukan upacara pengibaran
bendera Bintang Kejora, dan dilakukan aksi militan sebagai bagian dari konflik
Papua. Pendukung secara rutin menampilkan bendera Bintang Kejora dan
simbol lain dari kesatuan Papua, seperti lagu kebangsaan "Hai Tanahku Papua"
dan lambang negara, yang telah diadopsi pada periode 1961 sampai
pemerintahan Indonesia dimulai pada Mei 1963 di bawah Perjanjian New York

Sejarah
Selama Perang Dunia II, Hindia Belanda (kelak menjadi Indonesia) dipandu oleh
Soekarno untuk menyuplai minyak demi upaya perang Jepang dan langsung
menyatakan merdeka dengan nama Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Nugini Belanda (Nugini Barat) dan Australia yang menjalankan pemerintahan di
teritori Papua dan Nugini Britania menolak penjajahan Jepang dan menjadi
sekutu pasukan Amerika Serikat dan Australia sepanjang Perang Pasifik.
Hubungan Belanda dan Nugini Belanda sebelum perang berakhir dengan
diangkatnya warga sipil Papua ke pemerintahan sampai pemerintahan
Indonesia diaktifkan tahun 1963. Meski sudah ada perjanjian antara Australia
dan Belanda tahun 1957 bahwa teritori milik mereka lebih baik bersatu dan
merdeka, ketiadaan pembangunan di teritori Australia dan kepentingan
Amerika Serikat membuat dua wilayah ini berpisah. OPM didirikan bulan
Desember 1963 dengan pengumuman, "Kami tidak mau kehidupan modern!
Kami menolak pembangunan apapun: rombongan pemuka agama, lembaga
kemanusiaan, dan organisasi pemerintahan. Tinggalkan kami sendiri! [sic]"

28.
Nugini Belanda mengadakan pemilu pada Januari 1961 dan Dewan Nugini
dilantik pada April 1961. Akan tetapi, di Washington, D.C., Penasihat
Keamanan Nasional McGeorge Bundy melobi Presiden A.S. John F. Kennedy
untuk menegosiasikan transfer pemerintahan Nugini Barat ke Indonesia.
Perjanjian New York dirancang oleh Robert Kennedy dan ditandatangani oleh
Belanda, Indonesia, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada bulan Agustus 1962.

Walaupun Belanda menuntut agar rakyat Nugini Barat boleh menentukan


nasib sendiri sesuai piagam PBB dan Resolusi 1514 (XV) Majelis Umum PBB
dengan nama "Act of Free Choice", Perjanjian New York memberikan jeda
tujuh tahun dan menghapuskan wewenang PBB untuk mengawasi pelaksanaan
Akta tersebut.Kelompok separatis mengibarkan bendera Bintang Kejora Papua
Barat pada tanggal 1 Desember setiap tahunnya. Tanggal tersebut mereka
anggap sebagai hari kemerdekaan Papua. Kepolisian Indonesia berspekulasi
bahwa orang-orang yang melakukan tindakan seperti ini bisa dijerat dengan
tuduhan pengkhianatan yang hukumannya berupa kurungan penjara selama 7
sampai 20 tahun di Indonesia.
Deklarasi Republik Papua Barat
Menanggapi hal tersebut, Nicolaas Jouwe dan dua komandan OPM, Seth Jafeth
Roemkorem dan Jacob Hendrik Prai, berencana mendeklarasikan kemerdekaan
Papua pada tahun 1971. Tanggal 1 Juli 1971, Roemkorem dan Prai
mendeklarasikan Republik Papua Barat dan segera merancang konstitusinya.
Konflik strategi antara Roemkorem dan Prai berujung pada perpecahan OPM
menjadi dua faksi: PEMKA yang dipimpin Prai dan TPN yang dipimpin
Roemkorem. Perpecahan ini sangat memengaruhi kemampuan OPM sebagai
suatu pasukan tempur yang terpusat.
Sejak 1976, para pejabat perusahaan pertambangan Freeport Indonesia sering
menerima surat dari OPM yang mengancam perusahaan dan meminta bantuan
dalam rencana pemberontakan musim semi. Perusahaan menolak bekerja
sama dengan OPM. Mulai 23 Juli sampai 7 September 1977, milisi OPM
melaksanakan ancaman mereka terhadap Freeport dan memotong jalur pipa
slurry dan bahan bakar, memutus kabel telepon dan listrik, membakar sebuah

29.
gudang, dan meledakkan bom di sejumlah fasilitas perusahaan. Freeport
memperkirakan kerugiannya mencapai $123.871,23.
Tahun 1982, Dewan Revolusi OPM (OPMRC) didirikan dan di bawah
kepemimpinan Moses Werror, OPMRC berusaha meraih kemerdekaan melalui
kampanye diplomasi internasional. OPMRC bertujuan mendapatkan
pengakuan internasional untuk kemerdekaan Papua Barat melalui forum-
forum internasional seperti PBB, Gerakan Non-Blok, Forum Pasifik Selatan, dan
ASEAN.

Tahun 1984, OPM melancarkan serangan di Jayapura, ibu kota provinsi dan
kota yang didominasi orang Indonesia non-Melanesia. Serangan ini langsung
diredam militer Indonesia dengan aksi kontra-pemberontakan yang lebih
besar. Kegagalan ini menciptakan eksodus pengungsi Papua yang diduga
dibantu OPM ke kamp-kamp di Papua Nugini.

Tanggal 14 Februari 1986, Freeport Indonesia mendapatkan informasi bahwa


OPM kembali aktif di daerah mereka dan sejumlah karyawan Freeport adalah
anggota atau simpatisan OPM. Tanggal 18 Februari, sebuah surat yang
ditandatangani "Jenderal Pemberontak" memperingatkan bahwa "Pada hari
Rabu, 19 Februari, akan turun hujan di Tembagapura". Sekitar pukul 22:00
WIT, sejumlah orang tak dikenal memotong jalur pipa slurry dan bahan bakar
dengan gergaji, sehingga "banyak slurry, bijih tembaga, perak, emas, dan
bahan bakar diesel yang terbuang." Selain itu, mereka membakar pagar jalur
pipa dan menembak polisi yang mencoba mendekati lokasi kejadian. Tanggal
14 April 1986, milisi OPM kembali memotong jalur pipa, memutus kabel listrik,
merusak sistem sanitasi, dan membakar ban. Kru teknisi diserang OPM saat
mendekati lokasi kejadian, sehingga Freeport terpaksa meminta bantuan polisi
dan militer.

Dalam insiden terpisah pada bulan Januari dan Agustus 1996, OPM menawan
sejumlah orang Eropa dan Indonesia; pertama dari grup peneliti, kemudian
dari kamp hutan. Dua sandera dari grup pertama dibunuh dan sisanya
dibebaskan.

30.
Bulan Juli 1998, OPM mengibarkan bendera mereka di menara air kota Biak di
pulau Biak. Mereka menetap di sana selama beberapa hari sebelum militer
Indonesia membubarkan mereka. Filep Karma termasuk di antara orang-orang
yang ditangkap.

Tanggal 24 Oktober 2011, Dominggus Oktavianus Awes, kepala polisi Mulia,


ditembak oleh orang tak dikenal di Bandara Mulia, Puncak Jaya. Kepolisian
Indonesia menduga sang penembak adalah anggota OPM. Rangkaian serangan
terhadap polisi Indonesia memaksa mereka menerjunkan lebih banyak
personel di Papua.

Pada tanggal 21 Januari 2012, orang-orang bersenjata yang diduga anggota


OPM menembak mati seorang warga sipil yang sedang menjaga warung. Ia
adalah transmigran asal Sumatera Barat.

Tanggal 8 Januari 2012, OPM melancarkan serangan ke bus umum yang


mengakibatkan kematian 3 warga sipil dan 1 anggota TNI. 4 lainnya juga
cedera.

Tanggal 31 Januari 2012, seorang anggota OPM tertangkap membawa 1


kilogram obat-obatan terlarang di perbatasan Indonesia-Papua Nugini. Obat-
obatan tersebut diduga akan dijual di Jayapura
Tanggal 8 April 2012, OPM menyerang sebuah pesawat sipil Trigana Air setelah
mendarat yang akan parkir di Bandara Mulia, Puncak Jaya, Papua. Lima militan
bersenjata OPM tiba-tiba melepaskan tembakan ke pesawat, sehingga pesawat
kehilangan kendali dan menabrak sebuah bangunan. Satu orang tewas, yaitu
Leiron Kogoya, seorang jurnalis Papua Pos yang mengalami luka tembak di
leher. Pilot Beby Astek dan Kopilot Willy Resubun terluka akibat pecahan
peluru. Yanti Korwa, seorang ibu rumah tangga, terluka di lengan kanannya
dan anaknya yang berusia 4 tahun, Pako Korwa, terluka di tangan kirinya.
Pasca-serangan, para militan mundur ke hutan sekitar bandara. Semua korban
adalah warga sipil.

31.
Tanggal 1 Juli 2012, patroli keamanan rutin yang diserang OPM mengakibatkan
seorang warga sipil tewas. Korban adalah presiden desa setempat yang
ditembak di bagian kepala dan perut. Seorang anggota TNI terluka oleh
pecahan kaca.

Tanggal 9 Juli 2012, tiga orang diserang dan tewas di Paniai, Papua. Salah satu
korban adalah anggota TNI. Dua lainnya adalah warga sipil, termasuk bocah
berusia 8 tahun. Bocah tersebut ditemukan dengan luka tusuk di bagian dada.

Hierarki organisasi dan otoritas pemerintahan


Organisasi internal OPM sulit untuk ditentukan. Pada tahun 1996 'Panglima
Tertinggi' OPM adalah Mathias Wenda. Juru bicara OPM di Sydney, John Otto
Ondawame, mengatakan telah lebih atau kurang dari sembilan titah
kemerdekaan. Jurnalis lepas Australia, Ben Bohane, mengatakan telah ada
tujuh titah kemerdekaan. Tentara Nasional Indonesia mengatakan OPM
memiliki dua sayap utama, 'Markas Besar Victoria' dan 'Pembela Kebenaran'.
Mantan yang lebih kecil, dan dipimpin oleh ML Prawar sampai ia ditembak
mati pada tahun 1991. Terakhir ini jauh lebih besar dan beroperasi di seluruh
Papua Barat.

Organisasi yang lebih besar, atau Pembela Kebenaran (selanjutnya PEMKA),


yang diketuai oleh Jacob Prai, dan Seth Roemkorem adalah pemimpin Fraksi
Victoria. Selama pembunuhan Prawar, Roemkorem adalah komandannya.
Sebelum pemisahan ini, TPN/OPM adalah satu, di bawah kepemimpinan Seth
Roemkorem sebagai Komandan OPM, kemudian menjadi Presiden
Pemerintahan Sementara Papua Barat, sementara Jacob Prai menjabat sebagai
Ketua Senat. OPM mencapai puncaknya dalam organisasi dan manajemen
(dalam istilah modern) karena sebagai struktural terorganisasi. Selama ini,
Pemerintah Senegal mengakui keberadaan OPM dan memungkinkan OPM
untuk membuka Kedutaan di Dakhar, dengan Tanggahma sebagai Duta Besar.

32.
Karena persaingan, Roemkorem meninggalkan markasnya dan pergi ke
Belanda. Selama ini, Prai mengambil alih kepemimpinan. John Otto Ondawame
(waktu itu ia meninggalkan sekolah hukum di Jayapura karena diikuti dan
diancam untuk dibunuh oleh ABRI Indonesia siang dan malam) menjadi tangan
kanan dari Jacob Prai. Itu inisiatif Prai untuk mendirikan Komandan Regional
OPM. Dia menunjuk dan memerintahkan sembilan Komandan Regional.
Sebagian besar dari mereka adalah anggota pasukannya sendiri di kantor pusat
PEMKA, perbatasan Skotiau, Vanimo-Papua Barat.

Komandan regional dari mereka , Mathias Wenda adalah komandan untuk


wilayah II (Jayapura – Wamena), Kelly Kwalik untuk Nemangkawi (Kabupaten
Fakfak), Tadeus Yogi (Kabupaten Paniai), Bernardus Mawen untuk wilayah
Maroke dan lain-lain. Komandan ini telah aktif sejak itu. Kelly Kwalik ditembak
dan dibunuh pada 16 Desember 2009.

Pada tahun 2009, sebuah kelompok perintah OPM yang dipimpin oleh Jenderal
Goliat Tabuni (Kabupaten Puncak Jaya) sebagai fitur pada laporan menyamar
tentang gerakan kemerdekaan Papua Barat.

Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat

Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), adalah sayap militer dari
Organisasi Papua Merdeka (OPM). TPNPB dibentuk pada 26 Maret 1973,
setelah Proklamasi Kemerdekaan Papua Barat 1 Juli 1971 di Markas Victoria.
Pembentukan TPNPB adalah Tentara Papua Barat berdasarkan Konstitusi
Sementara Republik Papua Barat yang ditetapkan 1971 pada Bab V bagian
Pertahanan dan Keamanan. Sejak 2012 melalui reformasih TPN, Jenderal.
Goliath Tabuni diangkat menjadi Panglima Tinggi Tentara Pembebasan
Nasional Papua Barat

33.
6.RMS

Republik Maluku Selatan atau RMS adalah sebuah republik di Kepulauan


Maluku yang diproklamasikan tanggal 25 April 1950. Pulau-pulau terbesarnya
adalah Seram, Ambon, dan Buru.[butuh rujukan] RMS di Ambon dikalahkan
oleh militer Indonesia pada November 1950, tetapi konflik di Seram masih
berlanjut sampai Desember 1963. Kekalahan di Ambon berujung pada
pengungsian pemerintah RMS ke Seram, kemudian mendirikan pemerintahan
dalam pengasingan di Belanda pada tahun 1966. Ketika pemimpin
pemberontak Dr. Chris Soumokil ditangkap militer Indonesia dan dieksekusi
tahun 1966, presiden dalam pengasingan dilantik di Belanda. Pemerintahan
terasing ini masih berdiri dan dipimpin oleh John Wattilete, pengacara berusia
55 tahun, yang dilantik pada April 2010.
Indonesia terdiri dari lebih dari 17.000 pulau. Jajahan Belanda mencapai
jumlah tersebut pada abad ke-19 dengan didirikannya Hindia Belanda.
Perbatasan Indonesia saat ini terbentuk melalui ekspansi kolonial yang
berakhir pada abad ke-20. Pasca-pendudukan oleh Kekaisaran Jepang tahun
1945, para pemimpin nasionalis di Pulau Jawa menyatakan kemerdekaan
Indonesia. Tidak semua wilayah dan suku di Indonesia yang langsung
bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemberontakan
pribumi pertama yang terorganisasi muncul di Maluku Selatan dengan bantuan
pemerintah dan militer Belanda. Kontra-revolusioner Maluku Selatan awalnya
bergantung pasa perjanjian pascakolonial yang menjanjikan bentuk negara
federal.
Pengasingan
Pertahanan utama RMS di Pulau Ambon dipatahkan oleh militer Indonesia
pada November 1950, sedangkan perjuangan gerilya kecil-kecilan masih
berlanjut di Pulau Seram sampai 1962. Kekalahan di Ambon berujung pada
pengungsian pemerintahan RMS dari pulau-pulau tersebut dan mendirikan
pemerintahan dalam pengasingan di Belanda. Tahun berikutnya, 12.000
tentara Maluku bersama keluarganya berangkat ke Belanda dan mendirikan
pemerintahan dalam pengasingan "Republik Maluku Selatan".

34.
Di sana, sebagian gerakan RMS melakukan serangan teror di Belanda. Sejumlah
penelitian berpendapat bahwa serangan ini muncul akibat frustrasi tidak
adanya dukungan dari pemerintah Belanda.

Serangan pertama dilancarkan tahun 1970 di rumah Duta Besar Indonesia di


Wassenaar. Seorang polisi Belanda ditembak dan tewas. Serangan ini diikuti
oleh pembajakan kereta api di Wijster tahun 1975. Pembajakan tersebut
dibarengi oleh serangan buatan lain di konsulat Indonesia di Amsterdam. Tiga
sandera dieksekusi di kereta dan seorang berkebangsaan Indonesia cedera
parah saat mencoba kabur dari konsulat. Pada tahun 1977, terjadi pembajakan
kereta di De Punt yang dibarengi oleh penyanderaan sekolah dasar di
Bovensmilde. Aksi-aksi ini diakhiri secara paksa melalui serbuan marinir
Bijzondere Bijstands Eenheid (BBE) yang menewaskan enam teroris dan dua
sandera. Aksi RMS terakhir terjadi tahun 1978 ketika balai provinsi di Assen
diduduki anggota RMS. Aksi ini juga digagalkan oleh pasukan BBE.

Sejak 1980-an sampai sekarang, belum ada serangan baru yang dilancarkan
RMS

Presiden
Presiden pertama RMS dalam pengasingan adalah Prof. Johan Manusama
(1966–1993).
Dr. Chris Soumokil J.D. adalah Presiden RMS yang pada tahun 1954
bersembunyi dan memimpin perjuangan gerilya di Pulau Seram. Ia ditangkap
ABRI di Seram pada tanggal 2 Desember 1962. Soumokil diadili di pengadilan
militer di Jakarta dan dihukum mati. Ia dieksekusi pada tanggal 12 April 1966.
Pemerintah RMS dalam pengasingan masih berdiri di bawah pimpinan Frans
Tutuhatunewa M.D. pada tahun 1993–2010. Mereka tetap tidak menyerukan
aksi kekerasan terhadap Belanda maupun Indonesia. Presiden dalam
pengasingan menyatakan bahwa generasi muda harus berfokus pada
pendidikan dan pengembangan diri mereka di Belanda jika benar-benar ingin
mendukung dan membangun Maluku Selatan.

35.
Duta besar Indonesia untuk Belanda Junus Effendi Habibie, adik presiden
ketiga Indonesia, mengatakan bahwa ia akan mengusahakan sebisanya untuk
membantu pemulangan generasi pertama suku Maluku ke tanah airnya jika
mereka berhenti menuntut kemerdekaan.

John Wattilete menjadi Presiden RMS pada bulan April 2010. Ia adalah
presiden pertama yang berasal dari generasi kedua suku Maluku di Belanda
dan dianggap lebih pragmatis ketimbang presiden-presiden sebelumnya

Bendera
Bendera RMS terdiri dari warna biru, putih, hijau, dan merah (1:1:1:6) dan
memiliki proporsi 2:3. Bendera ini pertama kali dikibarkan tanggal 2 Mei 1950
pukul 10.00. Dua hari kemudian, pemerintah merilis penjelasan tentang arti
bendera. Warna biru melambangkan laut dan kesetiaan, putih kesucian,
perdamaian, dan pantai putih, hijau tumbuh-tumbuhan, dan merah nenek
moyang dan darah rakyat

Perkembangan RMS saat ini


Perkembangan politik di Belanda
Duta besar Indonesia untuk Belanda, Yunus Effendi Habibie, memberitah Radio
Netherlands Worldwide bahwa Indonesia senang mengetahui bahwa
pemerintahan terasing Maluku tidak lagi memperjuangkan kemerdekaan.
Menurut Habibie, penduduk Maluku sudah diberikan hak otonomi, sehingga
situasi masa kini tidak perlu diubah lagi. Ia menolak kemerdekaan Maluku.
Komentar Habibie muncul setelah Presiden Maluku dalam pengasingan, John
Wattilete, mengatakan bahwa negara Maluku tidak lagi menjadi prioritas
utamanya. Meski kemerdekaan masih menjadi tujuan terakhir, ia menyatakan
puas dengan otonomi yang juga diberlakukan di Aceh. Katanya, "Hal paling
penting adalah penduduk Maluku bisa memimpin daerahnya sendiri."[7][8]
Pada bulan April 2010 John Wattilete menjadi presiden kelima RMS. Ia adalah
presiden pertama yang berasal dari generasi kedua suku Maluku di Belanda

36.
dan dianggap lebih pragmatis dibanding presiden-presiden sebelumnya. Akan
tetapi, sehari sebelum kunjungan kenegaraan Presiden Indonesia Susilo
Bambang Yudhoyono ke Belanda, pertama kali sejak 1970,[9] Wattilete
mengeluarkan perintah hukum agar Presiden ditahan setelah menginjakkan
kaki di Belanda. Meski sejumlah pakar hukum menyebut aksi ini tidak
berperasaan dan gagal, Presiden Yudhoyono membatalkan kunjungannya
keesokan harinya.[10]

Perkembangan politik di Indonesia


Penduduk Maluku Selatan mayoritas beragama Kristen, tidak seperti wilayah-
wilayah lain di Indonesia yang didominasi Muslim. Republik Maluku Selatan
juga didukung oleh Muslim Maluku pada masa-masa awalnya. Saat ini, meski
mayoritas penganut Kristen di Maluku tidak mendukung separatisme,[butuh
rujukan] ingatan akan RMS dan tujuan-tujuan separatisnya masih bergaung di
Indonesia. Umat Kristen Maluku, saat kekerasan sekte 1999-2002 di Maluku,
dituduh memperjuangkan kemerdekaan oleh umat Islam Maluku. Tuduhan ini
berhasil membakar semangat umat Islam untuk melawan dengan mendirikan
Laskar Jihad. Situasi tersebut tidak diperparah oleh fakta bahwa umat Kristen
Maluku di luar negeri memang memperjuangkan berdirinya RMS.

Di Maluku, Piagam Malino II ditandatangani untuk mengakhiri konflik dan


menciptakan perdamaian di Maluku. Penduduk Maluku mengaku "menolak
dan menentang segala jenis gerakan separatis, termasuk Republik Maluku
Selatan (RMS), yang mengancam kesatuan dan kedaulatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia". Akan tetapi, saat presiden Indonesia berkunjung ke
Ambon pada musim panas 2007, sejumlah simpatisan RMS melancarkan
provokasi dengan menari Cakalele dan mengibarkan bendera RMS.

Sejak 1999, sebuah organisasi baru bernama Front Kedaulatan Maluku


beroperasi di Ambon, mengumpulkan senjata, dan mengibarkan bendera RMS
di tempat-tempat umum. Pemimpin FKM, Alex Manuputty, mengungsi ke
Amerika Serikat dan terus memperjuangkan kemerdekaan.

37.

Anda mungkin juga menyukai