Anda di halaman 1dari 9

A.

Latar belakang
Demokrasi Terpimpin ditandai dengan kepemimpinan Presiden Soekarno yang dominan dan
pembubaran sejumlah partai politik yang kuat. Berbagai kebijakan selama Demokrasi Terpimpin
memberi peluang bagi PKI dan Angkatan Darat untuk tampil sebagai kekuatan politik yang disegani.

Sejak masa Demokrasi Parlementer, Angkatan Darat sebagai inti kekuatan TNI telah terlibat dalam
kancah politik. Hal itu terjadi karena keprihatinan akan kacaunya stabilitas politik dan keamanan yang
disebabkan persaingan antarpartai yang tidak sehat. Dengan berlakunya kembali UUD 1945, peluang
Angkatan Darat sebagai kekuatan politik semakin terbuka.

Kampanye pembebasan Irian Barat semakin memperkuat posisi Angkatan Darat. Sebab dalam kampanye
itu, Angkatan Darat menjadi inti kekuatan Operasi Jayawijaya dan pihak yang menangani serah terima
Irian Barat. Selain itu, Angkatan Darat menjadi pihak yang dipercaya untuk menangani nasionalisasi
perusahaan Belanda.

Berlakunya berbagai ajaran Presiden Soekarno, seperti Manipol, Nasakom, dan Resopim, semakin
menguntungkan PKI. Ajaran itu menempatkan PKI sebagai kekuatan politik yang sah dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.

Politik konfrontasi terhadap Malaysia yang dilancarkan Indonesia semakin memperkuat kedudukan PKI.
Di tengah keraguan Angkatan Darat untuk sepenuhnya mendukung Dwikora, PKI tampil ke depan
menggelorakan kampanye Ganyang Malaysia. PKI juga menjadi andalan Presiden Soekarno untuk
membina hubungan dengan negara-negara komunis dan menggalang politik poros.

B. Pertentangan antar pki dan angkatan barat


Ideologi dan kepentingan yang berbeda antara PKI dan Angkatan Darat menyebabkan keduanya
bersaing satu sama lain. Sesuai dengan ideologi yang dianutnya, PKI berkepentingan merintis berdirinya
negara komunis. Sedangkan sebagai kekuatan pertahanan negara, Angkatan Darat berkepentingan
mengamankan Pancasila sebagai dasar negara. Persaingan itu semakin memanas menjelang tahun 1965.

Pada akhir tahun 1963, PKI melancarkan aksi sepihak di Pulau Jawa, Sumatra Utara, dan Bali. Kader PKI
menghasut kaum tani dan buruh untuk mengambil alih tanah milik para tuan tanah atau milik
perkebunan. Dalam aksi sepihak itu, PKI juga menggalang demontrasi buruh menuntut kenaikan upah di
perkebunan dan pabrik-pabrik.

PKI melakukan serangan baik secara politis maupun kekerasan terhadap berbagai kelompok yang dinilai
antikomunis. Misalnya. penyerangan terhadap Pelajar Islam Indonesia di Kanigoro, Jawa Timur. Selain
itu, PKI juga mengajukan tuntutan pembubaran organisasi seniman yang bernama Manifes Kebudayaan.

Pada bulan Januari 1965, PKI mengajukan gagasan pembentukan Angkatan Kelima. Gagasan itu berisi
tuntutan agar kaum buruh dan tani dipersenjatai. Hal itu dilakukan untuk menggalang kekuatan
menghadapi neokolonialisme (nekolim) Inggris dalam rangka Dwikora. Di samping itu, PKI bermaksud
membentuk kekuatan militer yang berada di bawah pengaruhnya.

C. Tragedi kemanisiaan 30 september 1965


Isu Dewan Jenderal yang akan mengadakan perebutan kekuasaan dari tangan Presiden Soekarno
semakin menguat. PKI menganggap perlu adanya sebuah gerakan militer untuk mendahului rencana
Dewan Jenderal tersebut. Setelah mengetahui kondisi kesehatan Presiden Soekarno, D.N. Aidit segera
melakukan evaluasi. Menurutnya, pertentangan fisik dengan Angkatan Darat tidak akan dapat dicegah
bila Presiden Soekarno meninggal dunia. Dalam keadaan seperti itu, Angkatan Darat-lah yang
mempunyai kemampuan untuk menghancurkan PKI. Sebelum hal itu terjadi, PKI harus melakukan
langkah-langkah untuk melumpuhkan Angkatan Darat. Langkah-langkah tersebut antara lain sebagai
berikut.

1. Persiapan

Pada bulan Juli-September 1965, PKI mengadakan pelatihan militer di Lubang Buaya, Pondok Gede,
Jakarta. Mereka yang dilatih adalah para kader dan simpatisan PKI, seperti Serikat Buruh Angkutan
Udara, Barisan Tani Indonesia, Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia, Pemuda Rakyat,
Serikat Buruh Kereta Api, Serikat Buruh Postel, dan sebagainya. Mereka tidak diasramakan, tetapi tinggal
di kemah dan di rumah rakyat yang ada di sekitar tempat pelatihan itu. Dalam rapat koordinasi di tingkat
pusat diputuskan hal-hal sebagai berikut.

 Susunan struktur organisasi dan pengendalian perebutan kekuasaan.


 Sasaran utama gerakan Pasukan Pasopati adalah para perwira tinggi Angkatan Darat, seperti
Jenderal A.H. Nasution, Letnan Jenderal Ahmad Yani, Mayor Jenderal M.T. Haryono, Mayor
Jenderal Suprapto, Mayor Jenderal S. Parman, Brigadir Jenderal D.I. Panjaitan, dan Brigadir
Jenderal Sutoyo Siswomiharjo. Sedangkan sasaran Pasukan Bima Sakti adalah objek vital seperti
gedung RRI Jakarta, gedung Telekomunikasi, dan daerah penting di sekitar Monumen Nasional
(Monas).

2. Aksi

Setelah persiapan dinilai cukup, PKI mulai bergerak. Malam hari tanggal 30 September 1965,
sekelompok militer melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap sejumlah perwira tinggi Angkatan
Darat. Kelompok itu menamakan diri Gerakan 30 September, di bawah pimpinan Letnan Kolonel
Untung, Komandan Batalion I/Resimen Cakrabirawa (Pasukan Pengawal Presiden). Bersamaan dengan
itu, Gerakan 30 September juga menguasai dua sarana penting komunikasi, yaitu RRI Pusat dan gedung
Telekomunikasi.

Dalam penculikan itu, Jenderal A.H. Nasution selamat, namun putrinya Ade Irma Suryani dan ajudannya
yang bernama Letnan Satu Pierre Tendean menjadi korban. Para korban penculikan yang masih hidup
maupun yang sudah meninggal dibawa ke Lubang Buaya. Para korban yang masih hidup adalah Mayor
Jenderal Suprapto, Mayor Jenderal S. Parman, Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomiharjo, dan Letnan Satu
Pierre Tendean. Sedangkan korban yang sudah dalam keadaan meninggal adalah Letnan Jenderal
Ahmad Yani, Mayor Jenderal M.T. Haryono, dan Brigadir Jenderal D.I. Panjaitan. Keempat korban yang
masih hidup kemudian ditembak mati. Selanjutnya, seluruh korban dimasukkan dalam sebuah sumur di
Lubang Buaya. Para perwira Angkatan Darat korban Gerakan 30 September di Jakarta adalah sebagai
berikut.

 Letnan Jenderal Ahmad Yani, Men/Pangad.


 Mayor Jenderal S. Parman, Asisten I Men/Pangad.
 Mayor Jenderal Suprapto, Deputi II Men/Pangad.
 Mayor Jenderal M.T. Haryono, Deputi III Men/Pangad.
 Brigadir Jenderal D.I. Panjaitan, Asisten IV Men/Pangad.
 Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomiharjo, Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat
 Letnan Satu Pierre Tendean, Ajudan Jenderal A.H. Nasution.

Melalui siaran radio, para pelaku Gerakan 30 September menekankan bahwa gerakan itu merupakan
gerakan intern di dalam Angkatan Darat untuk menertibkan anggota Dewan Jenderal yang bermaksud
melakukan kudeta. Kemudian diumumkan juga tentang pembentukan Dewan Revolusi dan
pendemisioneran Kabinet Dwikora. Pengumuman itu telah menimbulkan kebingungan di dalam
masyarakat.

3. penumpasan

Karena Men/Pangad belum diketahui nasibnya, sementara negara dalam keadaan gawat, akhirnya
pimpinan Angkatan Darat diambil alih oleh Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad),
Mayor Jenderal Soeharto. Setelah berhasil menghimpun pasukan yang setia kepada pemerintah, operasi
penumpasan terhadap Gerakan 30 September segera dilakukan. Selanjutnya, operasi diarahkan untuk
merebut studio RRI Jakarta dan gedung Telekomunikasi. Usaha untuk merebut dua instalasi vital
tersebut berhasil, bersamaan dengan itu diperoleh laporan bahwa daerah di sekitar Pangkalan Udara
Halim Perdanakusuma digunakan sebagai basis Gerakan 30 September. Panglima Kostrad segera
memerintahkan operasi untuk merebut daerah basis Gerakan 30 September. Setelah terjadi kontak
tembak singkat, akhirnya pasukan dari Batalion 454/Diponegoro yang berada di sekitar Lubang Buaya
mundur ke arah Bekasi. Dengan demikian, wilayah yang dijadikan basis Gerakan 30 September berhasil
dikuasai oleh pasukan yang setia terhadap Pancasila.

Dengan hancurnya kekuatan fisik Gerakan 30 September di ibu kota, operasi dilanjutkan untuk
mengetahui nasib para perwira Angkatan Darat yang menjadi korban penculikan. Sukitman, anggota
polisi yang ditangkap pasukan penculik pada saat penculikan Brigadir Jenderal D.L. Panjaitan berhasil
meloloskan diri. Ia kemudian melaporkan kepada pasukan keamanan tempat penguburan jenazah para
perwira Angkatan.

Darat yang diculik oleh Gerakan 30 September. Pada tanggal 3 Oktober 1965, atas bantuan Sukitman
ditemukan timbunan tanah dan sampah yang diperkirakan sebagai tempat penguburan. Setelah
dilakukan penggalian ternyata sebuah sumur tua. Karena mengalami kesulitan teknis, atas perintah
Kolonel Sarwo Edhi Wibowo, Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), penggalian
dihentikan. Keesokan harinya dengan bantuan pasukan Intai Para Amfibi dari KKO-AL (Marinir) berhasil
diangkat tujuh jenazah perwira Angkatan Darat korban penculikan yang dikubur dalam satu sumur tua.

Setelah dirawat sebagaimana mestinya, jenazah para perwira Angkatan Darat yang gugur akibat
Gerakan 30 September disemayamkan di aula Markas Besar TNI AD, di Jalan Merdeka Utara, Jakarta
Pusat. Jenazah para perwira Angkatan Darat tersebut dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional
Kalibata pada tanggal 5 Oktober 1965. Hari itu bertepatan dengan hari ulang tahun ABRI ke-20. Para
perwira Angkatan Darat yang dibunuh oleh Gerakan 30 September kemudian memperoleh gelar
Pahlawan Revolusi dan dianugerahi kenaikan pangkat secara anumerta.

Gerakan 30 September juga melakukan penculikan terhadap pimpinan Angkatan Darat di Yogyakarta
yang anti-PKI. Komandan Korem 072/Pamungkas, Kolonel Katamso dan kepala stafnya, Letnan Kolonel
Sugiyono diculik dan dibunuh oleh gerombolan tersebut. Jenazah kedua perwira itu baru ditemukan
beberapa hari kemudian di desa Kentungan, Sleman.

Dalam perkembangan berikutnya, timbul kesimpulan bahwa Gerakan 30 September itu didalangi oleh
PKI. Sejak saat itu, operasi pengejaran terhadap pimpinan dan para pendukung PKI segera dilakukan.
Masyarakat pun bereaksi dengan menuntut pembubaran PKI. Sejak akhir Oktober 1965, berbagai
kesatuan aksi dibentuk oleh mahasiswa, pelajar, dan berbagai kelompok masyarakat lainnya. Semua
kesatuan aksi tersebut menyerukan pembubaran PKI.

D. Dampak
Peristiwa Gerakan 30 September yang berlanjut dengan penangkapan para pengikut PKI membawa
pengaruh buruk bagi pemerintahan Presiden Soekarno. Ketidaktegasan sikap pemerintah terhadap
Gerakan 30 September dan keberadaan PKI mengundang ketidakpuasan masyarakat. Ketidakpuasan
masyarakat terhadap pemerintah semakin meningkat. Hal itu disebabkan karena perekonomian tidak
kunjung membaik, bahkan semakin memburuk.

1. Aksi Tritura

Ketidakpuasan rakyat dilampiaskan dalam bentuk demonstrasi. Demonstrasi itu dipelopori oleh
kalangan mahasiswa dan pelajar. Kalangan mahasiswa membentuk organisasi yang bernama Kesatuan
Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), sedangkan kalangan pelajar membentuk Kesatuan Aksi Pemuda
Pelajar Indonesia (KAPPI).

Pada tanggal 10 Januari 1966, KAMI dan KAPPI menggelar demonstrasi besar-besaran di DPR GR.
Mereka menyampaikan tuntutan rakyat yang disebut dengan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura). Sejak saat
itu, Tritura terus- menerus didengungkan sampai dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966. Selain
itu, muncul pula aksi yang dilakukan oleh Kesatuan Aksi Buruh Indonesia (KABI), Kesatuan Aksi Sarjana
Indonesia (KASI), Kesatuan Aksi Wanita Indonesia (KAWI), dan Kesatuan Aksi Guru Indonesia (KAGI).
Pada tanggal 26 Oktober 1965, kesatuan aksi itu merapatkan barisan mereka dalam satu front, yaitu
Front Pancasila.

Isi Tritura adalah sebagai berikut.

 Bubarkan PKI dan ormas-ormasnya.


 Bersihkan Kabinet Dwikora dari unsur-unsur PKI.
 Turunkan harga-harga barang.

Pemerintah cenderung tidak bersedia mendengarkan tuntutan mahasiswa. Kecenderungan itu tampak
dari tindakan merombak Kabinet Dwikora menjadi Kabinet Dwikora yang Disempurnakan (dijuluki
sebagai Kabinet 100 Menteri). Kabinet yang dibentuk pada bulan Februari 1966 itu memperbesar
ketidakpuasan mahasiswa terhadap Presiden Soekarno.

KAMI memprotes pembentukan Kabinet Dwikora yang Disempurnakan, dengan cara memblokir jalan-
jalan dan berdemonstrasi di depan Istana Merdeka pada tanggal 24 Februari 1966. Dalam demonstrasi
itu terjadi bentrokan sehingga seorang mahasiswa yang bernama Arief Rachman Hakim gugur terkena
tembakan. Sehari setelah insiden itu, pemerintah membubarkan KAMI.

Pembubaran KAMI ternyata tidak memulihkan kewibawaan pemerintah dan tidak juga menghentikan
aksi-aksi Tritura. Kalangan mahasiswa kemudian membentuk Laskar Arief Rachman Hakim. Mereka
kemudian mengadakan aksi bersama dengan kesatuan-kesatuan aksi lainnya. Pada tanggal 8 Maret
1966, mereka menggelar demonstrasi besar-besaran ke kantor Wakil Perdana Menteri I/Menteri Luar
Negeri, Departemen Pendidikan Dasar dan Kebudayaan, serta Kedutaan Besar Cina. Ketiga tempat itu
dianggap sebagai tempat pendukung utama PKI.

2. Sikap Angkatan Darat

Pada peristiwa yang terjadi pada tanggal 30 September 1965, Angkatan Darat menjadi korban provokasi
PKI. Oleh karena itu, sejak awal Angkatan Darat mendukung aksi Tritura. Sikap itu juga merupakan reaksi
mereka terhadap ketidaktegasan pemerintah dalam mengutuk pemberontakan. Bentuk dukungan itu
sebagai berikut.

 Seluruh Kodam di Indonesia melarang pembentukan Barisan Soekarno di wilayahnya masing-


masing.
 Kodam Jaya melindungi para mahasiswa mantan anggota KAMI saat membentuk Laskar Arief
Rachman Hakim.

3. Proses Peralihan Kekuasaan Politik

Guna mengatasi krisis politik yang tidak kunjung reda, Presiden Soekarno mengadakan pertemuan
dengan partai-partai politik pada tanggal 10 Maret 1966. Dalam pertemuan tersebut, Presiden Soekarno
didampingi oleh dr. Subandrio (Waperdam I), dr. J. Leimena (Waperdam II), Chairul Saleh (Waperdam
III), dr. Sumarno (Menteri Dalam Negeri), Mayor Jenderal Ahmadi (Menteri Penerangan), dan A.M.
Hanafi (Duta Besar untuk Kuba). Presiden mendesak partai-partai politik agar mengutuk demonstrasi
Tritura. Akan tetapi, desakan itu ditolak oleh partai-partai yang tergabung dalam Front Pancasila.
Mereka tetap menuntut PKI dibubarkan.

Pada tanggal 11 Maret 1966, berlangsung Sidang Paripurna Kabinet Dwikora yang Disempurnakan.
Sidang sempat mengalami kepanikan setelah diketahui adanya pasukan tanpa tanda kesatuan di
sekeliling Istana Merdeka. Presiden diiringi oleh Waperdam I dan Waperdam III bergegas meninggalkan
sidang menuju Istana Bogor dengan menggunakan helikopter. Sidang tersebut kemudian ditutup oleh
Waperdam II yang kemudian juga menyusul ke Bogor.

Situasi keamanan negara pada saat itu sangat mengkhawatirkan karena kewibawaan pemerintah di
mata rakyat sudah jauh merosot. Didorong oleh rasa tanggung jawab untuk memulihkan keamanan
negara, tiga orang perwira tinggi Angkatan Darat, yakni Mayor Jenderal Basuki Rachmat (Menteri Urusan
Veteran), Brigadir Jenderal M. Yusuf (Menteri Perindustrian), dan Brigadir Jenderal Amir Mahmud
(Panglima Kodam Jaya) berinisiatif menghadap presiden di Istana Bogor. Pada kesempatan itu, mereka
menyampaikan dua hal seperti berikut.

 ABRI terutama Angkatan Darat, tidak akan meninggalkan presiden.


 Men/Pangad Letnan Jenderal Soeharto mampu memulihkan keamanan apabila diberi
kepercayaan.

Pertemuan itu kemudian melahirkan konsep surat perintah untuk Men/Pangad atas nama presiden guna
mengambil segala tindakan yang dianggap perlu dalam rangka memulihkan keamanan dan kewibawaan
pemerintah. Surat itulah yang kemudian dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar).

Dengan wewenang yang diperoleh dari Supersemar, Men/Pangad segera melakukan tindakan sebagai
berikut.

 Membubarkan PKI termasuk ormas-ormasnya dan menyatakannya sebagai partai terlarang,


terhitung sejak 12 Maret 1966.
 Mengamankan lima belas orang menteri yang diduga terlibat atau bersimpati terhadap Gerakan
30 September, para menteri tersebut adalah Dr. Subandrio, Chairul Saleh, Ir. Surachman, Ir.
Setiadi Reksosudirjo, Oei Tjoe Tat, Yusuf Muda Dalam, Mayor Jenderal Ahmadi, Drs. Achadi,
Sumarjo, Armunanto, Sutomo Martopardopo, Astrawinata, J. Tumakaka, Sumarno, dan Letnan
Kolonel Syafei.
 Membersihkan MPRS dan lembaga negara lain dari unsur-unsur Gerakan 30 September dan
menetapkan peranan lembaga-lembaga itu sesuai dengan UUD 1945.

Pada masa Demokrasi Terpimpin, MPRS tidak dapat melaksanakan kedaulatan rakyat karena cenderung
mengikuti kebijakan pemerintah. Sejak Supersemar, MPRS berupaya mendudukkan diri sebagai lembaga
tertinggi negara sekaligus pelaksana kedaulatan rakyat. Upaya itu dilakukan dengan reorganisasi.
Kemudian untuk menciptakan stabilitas politik, pada tanggal 20 Juni sampai 5 Juli 1966, MPRS
mengadakan sidang umum yang antara lain menghasilkan putusan berikut.
 Mengukuhkan Supersemar menjadi Ketetapan MPRS No. IX Tahun 1966. Isi dari ketetapan itu
memberikan wewenang kepada Letnan Jenderal Soeharto selaku Men/Pangad untuk mengambil
segala tindakan yang dianggap perlu guna menjamin keamanan dan ketenangan, serta
kestabilan jalannya revolusi.
 Mempertegas kedudukan semua lembaga negara, baik pusat maupun daerah pada posisi yang
diatur dalam UUD 1945.
 Menetapkan penyelenggaraan pemilu, paling lambat tanggal 5 Juli 1968.
 Mencabut Ketetapan MPRS yang mengangkat Ir. Soekarno sebagai presiden seumur hidup.
 Mengukuhkan pembubaran PKI dan ormas-ormasnya disertai larangan penyebaran ajaran
marxisme dan komunisme di Indonesia dengan Ketetapan MPRS No. XXV Tahun 1966.

Selain ketetapan tersebut dikeluarkan juga Ketetapan MPRS No. XIII Tahun 1966 tentang Pembentukan
Kabinet Amanat Penderitaan Rakyat (Ampera). Kabinet itu dibentuk untuk melaksanakan Tritura di
bidang politik, ekonomi, dan sosial. Kabinet ini diresmikan pada tanggal 28 Juli 1966, dengan masa kerja
dua tahun. Kabinet ini memiliki program kerja yang dikenal sebagai Catur Karya, Program Catur Karya
Kabinet Ampera adalah sebagai berikut

 Memperbaiki kehidupan rakyat terutama di bidang sandang dan pangan.


 Melaksanakan sidang umum selambat-lambatnya tanggal 5 Juli 1968.
 Melaksanakan politik luar negeri yang bebas dan aktif untuk kepentingan nasional.
 Melanjutkan perjuangan antiimperialisme dan kolonialisme dalam segala bentuk dan
manifestasinya.

Berikut ini susunan Kabinet Ampera

Pimpinan : Presiden Soekarno

Pembantu Pimpinan :

1. Letnan Jenderal Soeharto (Menteri Utama Bidang Pertahanan dan Keamanan)

2. Adam Malik (Menteri Utama Bidang Politik)

3. K.H. Idham Khalid (Menteri Utama Kesejahteraan Rakyat)

4. Sri Sultan Hamengkubuwono IX (Menteri Ekonomi dan Keuangan)

5. Sanusi Haryadinata (Menteri Utama Perindustrian dan Pembangunan)

Anggota Kabinet ; 24 Menteri

Pada Sidang Umum MPRS IV, Presiden Soekarno menyampaikan amanat yang berjudul Nawaksara,
nawa artinya sembilan dan sara artinya pasal. Jadi, Nawaksara artinya sembilan pasal. Amanat tersebut
oleh MPRS dipandang tidak memenuhi harapan rakyat karena tidak memuat secara jelas kebijakan
Presiden/ Mandataris MPRS mengenai pemberontakan G 30 S/PKI beserta epilognya. Pimpinan MPRS
meminta Presiden Soekarno untuk memperbaiki pertanggungjawabannya itu. Pada tanggal 10 Januari
1967, Presiden Soekarno menyampaikan naskah pertanggungjawaban yang diberi nama Pelengkap
Nawaksara.

Substansi Pelengkap Nawaksara dianggap tidak meredakan keadaan, justru membuat konflik semakin
tajam. Pelengkap Nawaksara dianggap tidak memenuhi Tritura. Koordinator Pemuda Sekretaris Bersama
Golongan Karya menolak Pelengkap Nawaksara dan mengusulkan agar MPRS mengadakan sidang
istimewa. Para alim ulama Jawa Barat menyatakan tidak lagi mengakui Soekarno sebagai presiden,
karena dianggap telah melakukan pelanggaran terhadap syariat Islam dan UUD 1945, serta Ketetapan
MPRS.

Pada tanggal 7 Februari 1967, Jenderal Soeharto menerima surat rahasia dari presiden dengan
perantaraan Hardi, S.H. Pada surat tersebut dilampiri sebuah konsep surat penugasan mengenai
pimpinan pemerintahan sehari- hari kepada pemegang Supersemar. Pada tanggal 8 Februari 1967, oleh
Jenderal Soeharto konsep tersebut dibicarakan bersama keempat panglima angkatan bersenjata. Hasil
pembicaraan adalah menolak konsep tersebut karena dianggap tidak akan membantu menyelesaikan
konflik politik yang ada. Di saat belum tercapainya kesepakatan antara presiden dan pimpinan ABRI.
Pada tanggal 9 Februari 1967, DPR GR mengajukan resolusi dan memorandum kepada MPR agar sidang
istimewa diadakan.

Pada tanggal 10 Februari 1967, Jenderal Soeharto menghadap Presiden Soekarno untuk membicarakan
masalah negara. Khususnya penyelesaian konflik politik, serta melaporkan pendirian para panglima
angkatan bersenjata. Dalam pertemuan tersebut, Presiden Soekarno menanyakan kemungkinan yang
terbaik untuk menyelesaikan masalah penugasan ini. Pada tanggal 11 Februari 1967, Jenderal Soeharto
mengajukan konsep yang bisa digunakan untuk mempermudah penyelesaian konflik. Konsep ini berisi
tentang pernyataan presiden berhalangan atau presiden menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada
pemegang Supersemar sesuai dengan Ketetapan MPRS No. XV Tahun 1966. Presiden Soekarno
kemudian meminta waktu untuk mempelajarinya. Pada tanggal 12 Februari 1967, Jenderal Soeharto
bertemu kembali dengan Presiden Soekarno. Presiden Soekarno tidak dapat menerima konsep yang
diajukan oleh Jenderal Soeharto. Presiden tidak menyetujui pernyataan yang berbunyi "berhalangan".

Pada tanggal 13 Februari 1967, para panglima berkumpul kembali untuk membicarakan konsep yang
telah disusun sebelum diajukan kepada Presiden Soekarno. Pukul 11.00 WIB para panglima mengutus
Jenderal Panggabean dan Jenderal Polisi Sucipto Judodiharjo untuk menghadap Presiden Soekarno.
Dalam pertemuan ini tidak terdapat kesepakatan. Beberapa waktu kemudian dengan perantaraan
Mayor Jenderal Suryo Sumpeno, ajudan presiden, Presiden Soekarno menyatakan setuju terhadap
konsep yang diajukan oleh Jenderal Soeharto dengan syarat ada jaminan dari Jenderal Soeharto.
Sekalipun menyetujui, Presiden Soekarno belum menandatanganinya. Setelah ada perubahan-
perubahan kecil (pada Pasal 3 ditambah dengan kata-kata "menjaga" dan "menegakkan revolusi"), pada
tanggal 20 Februari 1967, ditandatanganilah konsep ini oleh Presiden Soekarno. Pada hari Kamis tanggal
23 Februari 1967, pukul 19.30 WIB, bertempat di Istana Negara, Presiden/Mandataris MPRS/Panglima
Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dengan resmi telah menyerahkan kekuasaan
pemerintah kepada pengemban Supersemar, yakni Jenderal Soeharto.

Pada bulan Maret 1967, MPRS mengadakan sidang istimewa dalam rangka mengukuhkan pengunduran
diri Presiden Soekarno, sekaligus mengangkat Jenderal Soeharto sebagai pejabat Presiden Republik
Indonesia. Kemudian, pada sidang umum bulan Maret 1968, MPRS mengangkat Jenderal Soeharto
sebagai Presiden Republik Indonesia. Peristiwa ini mengawali kekuasaan panjang Jenderal Soeharto di
Indonesia selama lebih dari tiga puluh tahun.

Anda mungkin juga menyukai