Anda di halaman 1dari 9

A-PDF WORD TO PDF DEMO: Purchase from www.A-PDF.

com to remove the watermark

KALENDER PERISTIWA SEJARAH


DARI TAHUN 1945 – SEKARANG
1 Oktober 1945. Hari Kesaktian Pancasila

Keberhasilan TNI dan rakyat dalam mematahkan dan menumpas aksi G30S/PKI pada
tanggal 1 Oktober, membuktikan bahwa Ideologi Pancasila tidak mampu dilawan oleh
kekuatan komunis yang berusaha merongrong dan meruntuhkan semangat pancasila di
dalam jiwa rakyat Indonesia. Secara spontan rakyat bangkit untuk membela Pancasila dari
ancaman PKI. Karena kekuatan Pancasila ini, maka tanggal 1 Oktober ditetapkan sebagai
hari Kesaktian Pancasila.

1 Oktober 1948. Pembantaian di Dungus

Dengan perkiraan bahwa Madiun tidak mungkin dipertahankan, maka sebelum pasukan
TNI memasuki kota ini pada tanggal 30 September 1948, tokoh-tokoh PKI dan
pasukannya mengundurkan diri ke desa Kresek Kecamatan Wungu, Kawedanan Dungus,
sebelah tenggara kota Madiun. Ternyata daerah ini sudah dipersiapkan sebagai basis
pengunduran serta pertahanan PKI. Dalam pengunduran ini, pasukan PKI membawa
banyak tawanan yang belum sempat dibunuh. Sebelum mereka sempat mengadakan
konsolidasi, siang hari tanggal 1 Oktober 1948, desa Kresek diserang oleh kompi
Sampurno yang bergerak dari arah Sawahan, lereng timur G. Wilis. Pada hari itu juga
TNI berhasil menguasai Dungus. Dalam keadaan terdesak, sebelum melarikan diri orang-
orang PKI membantai hampir semua tawanannya dengan cara ditembak atau dipenggal
lehernya. Pembantaian dilakukan di sebuah rumah milik salah seorang penduduk dan
beberapa tempat di sekitar tempat itu. Mayat para korban dikubur dalam lubang besar
yang dangkal atau dibuang ke sungai. Di antara para korban terdapat beberapa perwira
TNI, dan perwira polisi, pejabat pemerintah dan tokoh-tokoh masyarakat.

1 Oktober 1965. Peresmian Akademi Angkatan Kepolisian

Pada tanggal 1 Oktober 1965, Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian Jenderal Polisi


Soetjipto Joedihardjo secara formal meresmikan Akademi Angkatan Kepolisian. Peresmian
tersebut diikuti oleh calon taruna, bersama-sama dengan mahasiswa Perguruan Tinggi
Ilmu Kepolisian (PTIK) dan beberapa peleton siswa pendidikan khusus, diantaranya
perwira tugas belajar Angkatan I Wira Bank, Instruktur pendidikan Jasmani dan lain-lain.
Angkatan pertama Akademi Angkatan Kepolisian disebut Angkatan Batalyon Dharma
yang diikuti oleh 300 orang taruna terdiri atas 275 taruna pria dan 25 wanita.
Pendidikan ini berlangsung selama 3 tahun.

2 Oktober 1945. Peristiwa di Gubeng Surabaya

Peristiwa penyerangan ke Butai Kaigun (Barak Angkatan Laut Jepang) di Gubeng,


Surabaya, terjadi pada tanggal 2 Oktober 1945 di bawah pimpinan Komandan Polisi
Soekarli. Semula Jepang dengan gigih bertahan dan setelah serangan yang ketiga kalinya
baru mau berunding. Perundingan dilakukan oleh Inspektur Polisi Sutaryo dan Agen
Polisi Wirato. Dalam perundingan itu Jepang dalam hal ini Komandan Butai Kaigun
berjanji menghentikan perlawanan dan menyerahkan senjata mereka kepada Polisi.
Dalam peristiwa ini seorang Polisi Istimewa yaitu Robert Subardi gugur.
2

2 Oktober 1965. Pengamanan Lanuma Halim Perdanakusuma

Panglima Kostrad Mayjen TNI Soeharto mengeluarkan perintah untuk segera


mengamankan lapangan udara Halim Perdanakusuma mengingat kekuatan G30S/PKI
berpusat di pangkalan tersebut. Pasukan yang akan melaksanakan tugas pengamanan
terdiri atas 1 Yon RPKAD, 1 Yon Para Kujang Siliwangi yang diperkuat 1 kompi panser.
Pasukan bergerak pukul 03.00 tanggal 2 Oktober 1965 dari Markas Kostrad menuju
Lapangan Udara Halim Perdanakusuma dari arah timur. Mereka tiba di tempat sasaran
pukul 06.00 pagi tanggal 2 Oktober 1965. Lapangan Halim Perdanakusuma dijaga oleh
Yon 454/Diponegoro yang diperalat G30S/PKI.
Beberapa orang anggota RPKAD berhasil menyusup sampai ke tempat parkir pesawat-
pesawat terbang, sedang anggota lainnya sudah berada di depan pasukan Yon 454.
Dengan gerakan pendadakan, pasukan RPKAD dan Kujang berhasil melumpuhkan
pasukan Yon 454. Pukul 06.10 Halim berhasil dikuasai oleh RPKAD dan Yon Para Kujang,
dan gerakan selanjutnya ialah menguasai desa Lubang Buaya.

2 Oktober 1965. Peristiwa Kentungan Yogyakarta

Pada tanggal 1 Oktober 1965 di Yogyakarta, G30S/PKI berhasil menguasai RRI, Markas
Korem 072 dan mengumumkan pembentukan Dewan revolusi. Pada sore harinya,
mereka menculik Komandan Korem 072 Kolonel Katamso, dan Kepala Staf Korem Letnan
Kolonel Sugiyono secara terpisah. Selanjutnya kedua perwira dibawa ke kompleks Asrama
Batalton L, Kentungan, kira-kira 6 km di sebelah utara Yogyakarta. Pada dinihari tanggal
2 Oktober 1965 secara bergantian keduanya dibunuh.
Yang pertama menjadi korban adalah Letnan Kolonel Sugiyono. Ia digiring ke pinggir
lubang sedalam satu meter yang sudah dipersiapkan, dan para pembunuh sudah
menunggu. Seorang anggota G30S/PKI memukul tengkuk perwira itu dengan kunci
mortir. Pada pukulan kedua ia terjatuh dan kemudian meninggal dunia. Selanjutnya
Kolonel Katamso, mengalami peristiwa yang sama bahkan lehernya dijerat dengan seutas
kawat. Mayat korban pembunuhan tersebut dimasukkan ke dalam satu lubang yang telah
dipersiapkan. Untuk menghilangkan jejak, di bekas lubang itu dan sekitarnya ditanami
pohon singkong. Kedua jenazah baru ditemukan pada tanggal 21 Oktober 1965 dalam
keadaan rusak, setelah dilakukan pencarian yang intensif.

4 Oktober 1948. Pembunuhan Massal di Tirtomoyo

Sekalipun Madiun jatuh ke tangan TNI, tentara PKI masih melanjutkan kekejamannya
terhadap lawan-lawan politiknya. Di daerah Wonogiri, mereka menteror rakyat dan
menculik pejabat pamong praja antara lain bupati, wedana, anggota polisi dan para
ulama. Para tawanan yang berjumlah 212 orang ditahan dan disekap di dalam ruangan
bekas laboratorium dan gudang dinamit yang terletak di Bukit Tirtomoyo. Secara bertahap
sejak tanggal 4 Oktober 1948 sebagian tawanan dibunuh setelah lebih dahulu disiksa.
Ada yang langsung disembelih, ditusuk dengan bambu runcing dan bayonet atau
lehernya dijerat dengan kawat. Bahkan ada yang dilempari dengan batu sampai mati
dalam keadaan tangan terikat. Pembunuhan yang sudah menelan korban 56 orang
terhenti karena pasukan PKI disergap oleh Batalyon Nasuhi dan Kompi S. Militaire
Academie (MA) pada sore hari pada tanggal 14 Oktober 1948. Sergapan tersebut
didahului oleh tiga orang kadet MA yang berhasil melumpuhkan penjaga tahanan. Hal ini
membuat Tentara PKI terkejut dan panik sehingga mereka melarikan diri.
3

4 Oktober 1965. Pengangkatan Jenazah Tujuh Pahlawan Revolusi


Revolusi

Setelah menguasai Halim Perdanakusuma, pasukan RPKAD melanjutkan gerakannya ke


Lubang Buaya. Setelah daerah itu diamankan, mulailah diadakan pencarian jenazah
perwira-perwira TNI AD yang diculik oleh gerombolan G30S/PKI.
Sore hari tanggal 3 Oktober 1965 diperoleh petunjuk dari seorang anggota Polri yang
pernah ditawan oleh gerombolan G30S/PKI. Ia memberitahukan bahwa perwira-perwira
tersebut sudah dibunuh dan jenazahnya dikubur di sekitar tempat pelatihan musuh.
Ternyata jenazah dimasukkan ke dalam sumur tua, lalu ditimbun dengan sampah kering
daun-daun singkong secara berselang-seling. Pengangkatan jenazah dilakukan pada
tanggal 4 Oktober 1965 oleh anggota-anggota Kesatuan Intai Para Amfibi (KIPAM) dari
Marinir (KKO-TNI AL) dan anggota RPKAD.
Satu persatu jenazah dikeluarkan yang pertama nampak adalah jenazah Lettu P.A.
Tendean, jenazah Jenderal Suprapto dan S.Parman yang diikat jadi satu. Setelah itu
jenazah Jenderal Sutoyo, Jenderal Harjono, Jenderal A. Yani dan terakhir jenazah Jenderal
Pandjaitan. Jenazah-jenazah tersebut berada dalam kondisi yang buruk sebagai akibat
penganiayaan dan pembusukan di dalam sumur. Pengangkatan jenazah tersebut
disaksikan oleh Panglima Kostrad Mayor Jenderal TNI Soeharto. Dalam pidato singkatnya
beliau mengatakan bahwa jenazah-jenazah tersebut merupakan bukti nyata kekejaman
PKI. Pada tanggal 5 Oktober 1965 jenazah dimakamkan di Taman Makam Pahlawan
Kalibata, Jakarta dan pangkatnya dinaikkan satu tingkat.

5 Oktober 1945. Pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR)

Mengingat kedatangan Inggris dan situasi mulai tidak aman, pada tanggal 5 Oktober
1945, Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan maklumat pembentukan tentara
kebangsaan yang diberinama Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pemerintah memanggil
mantan Mayor KNIL Oerip Sumohardjo ke Jakarta. Kemudian ia menerima pengangkatan
dari Wakil Presiden Drs. Moh. Hatta menjadi Kepala Staf Umum dan ditugasi membentuk
tentara. Mulai saat itu dimana-mana dibentuk TKR untuk memperkuat ketahanan
nasional.

5 Oktober 1951. Peresmian Sapta Marga Sebagai Pedoman Hidup Prajurit TNI

Pada tanggal 5 Oktober 1951, Sapta Marga diresmikan sebagai pedoman hidup dan
pangamalan Pancasila dalam kehidupan prajurit TNI. Doktrin ini digunakan sebagai
pedoman dalam memberikan arah, menyamakan persepsi dan wawasan dalam
menyelesaikan masalah yang dihadapi. KSAD membentuk lambaga pendidikan
candradimuka untuk menanamkan dan penghayatan Sapta Marga dalam jiwa setiap
prajurit. Pengembangan doktrin ini digali dari pengalaman bangsa Indonesia sendiri dan
dilaksanakan secara bertahap, sedangkan doktrin asing digunakan sebagai bahan
perbandingan saja.

5 Oktober 1964. Berdirinya Pusat Sejarah TNI

Pada tanggal 5 Oktober 1964, suatu badan kesejarahan di lingkungan Staf Angkatan
Besenjata (SAB) didirikan dengan Surat Keputusan Menteri Koordinator Kompartemen
Pertahanan Keamanan Kepala Staf Angkatan Bersenjata No. M/B/197/64. Badan tersebut
diberinama Biro Sejarah SAB seperti tercantum dalam SK-nya ialah mengembangkan
moril, esprit de corps, dan mempercepat integrasi mental Angkatan Bersenjata, serta
memperkokoh ketahanan bangsa Indonesia bidang moril dan kejiwaan di kalangan
anggota-anggotanya, dan di kalangan rakyat pejuang, bangsa Indonesia pada umumnya.
4

Dalam perkembangannya, nama Pusjarah beberapa kali silih berganti. Baru tiga bulan
setelah kelahirannya, berubah nama menjadi Pusat Sejarah Angkatan Bersenjata disingkat
Pussejab. Pada tanggal 27 April 1966 diganti dengan nama Lembaga Kesejarahan
Hankam (Lajarah Hankam), yang berada langsung dibawah Kas Hankam. Sesuai dengan
perubahan perkembangan organisasi Dephankam, maka pada tanggal 4 Oktober 1969
Lajarah Hankam diubah menjadi Pusat Sejarah (Pusjarah) ABRI yang langsung
bertanggungjawab kepada Menhankam. Pada tanggal 18 Februari 1974 Pusjarah ABRI
berubah lagi menjadi Pusat Sejarah dan Perpustakaan ABRI. Dan terakhir diganti menjadi
Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI dengan singkatan tetap Pusjarah ABRI sesuai dengan
Keppres No. 60 tahun 1983. Seiring dengan perkembangan era reformasi, Pusjarah ABRI
menjadi Pusat Sejarah TNI berdasarkan Keputusan Panglima TNI No. Kep.13/X/2001
tanggal 25 Oktober 2001 tentang Pokok-pokok Organisasi dan Prosedur Pusjarah TNI.

6 Oktober 1945. Pengumuman Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia di Sumatera

Ketika Gubernur Sumatera Mr. T.M. Hassan tiba di Medan dari Jakarta dengan membawa
berita Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, sejumlah pasukan Belanda telah tiba
di Medan, sehingga Proklamasi terpaksa belum dapat disiarkan. Pada tanggal 30
September 1945 di gedung Taman Siswa diadakan rapat oleh para pemuda pejuang
besenjata yang berhasil mendesak Gubernur Sumatera mengumumkan kepada rakyat
Sumatera, bahwa Soekarno-Hatta telah memproklamasikan kemerdekaaan bangsa
Indonesia. Akhirnya pada tanggal 6 Oktober 1945 di lapangan Fukereido (sekarang
lapangan merdeka) diadakan rapat umum untuk mengumumkan Proklamasi kepada
khalayak ramai. Tindakan ini memerlukan keberanian, karena pada waktu itu tentara
Jepang masih berkuasa dan tentara Belanda telah tiba pula di Medan.

6 Oktober
Oktober 1948. Mempertahankan Ponorogo dari Serangan PKI

Peristiwa ini terjadi pada tanggal 6 Oktober 1948 ketika Kompi Mobile Brigade yang
dipimpin oleh Pembantu Inspektur Polisi Abdul Rachman menduduki Desa Jenangan,
tempat kedudukan pemberontak PKI yang dipimpin oleh Mayor Abdul Rachman. Dari
tempat inilah PKI melakukan serangan ke kota Ponorogo. Ketika Markas pemberontak
diduduki ada orang yang menyampaikan surat ditujukan kepada Mayor Abdulrachman
yang sudah melarikan diri. Setelah surat dibaca, isinya tentang rencana PKI menyerang
Ponorogo. Dengan diketahuinya rencana PKI ini, maka dengan persiapan yang matang
Mobile Brigade mengadakan jebakan. Rupanya serangan besar-besaran itu dilakukan
pada tanggal 8 Oktober 1948 dan dalam pertempuran yang hampir berlangsung hampir
satu hari penuh, PKI dapat dipikul mundur dan Ponorogo dapat dipertahankan.

9 Oktober 1956. Penyerahan Gerombolan Pemberontak Ibnu Hajar

Di sekitar tahun 1950, di Kalimantan Selatan terdapat gerombolan pemberontak yang


menamakan dirinya Kesatuan Rakyat Yang Tertindas (KRYT) yang dipimpin oleh Ibnu
Hajar. Kesatuan Angkatan Perang dan Polisi secara terus menerus mengadakan
pengejaran terhadap gerombolan. Pada tanggal 19 Oktober 1945 Ibnu Hajar
menyerahkan diri, tetapi kemudian berkhianat kembali. Setelah itu ternyata pada tahun
1957 ia diangkat oleh Kartosuwiryo (Imam DI/TII) menjadi Menteri Negara, Gubernur
Militer dan Panglima Divisi Tentara Islam Indonesia (TII) untuk daerah Kalimantan.
Dengan dilancarkannya operasi secara terus menerus oleh angkatan perang dan Polisi
akhirnya pada tahun 1963 ia terpaksa menyerah tanpa syarat.
5

9 Oktober 1999. Kontingen Garuda XIX ke Sierra Leone, Afrika


Konflik antara Pemerintah Sierra Leone dengan pihak Militer Revolutionary United Front
(RUF) di bawah pimpinan Foday Sakoh terus berlangsung di Sierra Leone sejak pimpinan
RUF dijatuhi hukuman mati. Untuk mengakhiri pertikaian di Sierra Leone, pihak
Pemerintah pada tanggal 7 Januari 1999 menawarkan gencatan senjata dengan RUF yang
ditandatangani tanggal 19 Mei 1999 dan mulai berlaku sejak tanggal 24 Mei 1999.
Untuk mengawasi gencatan tersebut, Indonesia mengirimkan Kontingen Garuda
Indonesia XIX ke Sierra Leone di bawah pimpinan Letnan Kolonel (P) Dwi Ujianto dengan
kekuatan 9 orang dari tiga angkatan. Kontingen ini bergabung dalam United Nations
Observer Mission In Sierra Leone (UNOMSIL) dan meninggalkan Indonesia pada tanggal
9 Oktober 1999. Setelah bertugas selama satu tahun, Kontingen Garuda Indonesia XIX
kembali ke tanah air pada tanggal 9 Oktober 2000.

13 Oktober 1947. Peristiwa Tumpeng Lumajang


Peristiwa ini terjadi bermula dari adanya permintaan bantuan dari front timur
(Lumajang). Maka Mobile Brigade Karesidenan Malang mengirimkan 2 seksi pasukan
yang dipimpin oleh Agen Polisi Klas I Jamaari. Ketika pasukan ini bergerak ke arah
Lumajang, sampai di Tumpeng pada tanggal 13 Oktober 1947, pasukan ini terkepung
oleh pasukan Belanda yang didatangkan dalam jumlah besar. Dalam pertempuran itu
pasukan Jamaari berusaha mengadakan perlawanan dengan gigih, sampai mereka
kehabisan peluru dan ditambah kekuatan senjata yang tidak seimbang. Setelah kehabisan
peluru, pasukan ini sempat mengadakan perkelahian sangkur satu lawan satu. Akibat
perlawanan yang gagah berani ini banyak pasukan Belanda yang dapat dibinasakan. Dan
di pihak Polisi tercatat 18 orang yang gugur termasuk Agen Polisi Klas I Jamaari,
sementara 27 orang lainnya tertawan. Terjadinya pertempuran tersebut sekarang ini
diperingati dengan mendirikan sebuah monumen yaitu “Monumen Tumpeng”.

14-
14-19 Oktober
Oktober 1945. Pertempuran Lima Hari di Semarang
Pada tanggal 14 Oktober 1945 pemuda-pemuda Semarang bergerak merebut gedung-
gedung yang diduduki oleh tentara Jepang khususnya di daerah Candi Baru. Keesokan
harinya, Komandan tentara Jepang Mayor Jenderal Nakamura dengan pasukannya yang
berkekuatan ± 1.500 orang dari Jatingaleh bergerak dan menyerang kota Semarang dari
tiga jurusan. Mereka menangkapi para pemuda yang bergabung dalam BKR, Polisi
Istimewa, Angkatan Muda dan lain-lain, hingga pecah pertempuran hebat di dalam kota,
antara lain di Kantor Besar Jawatan Kereta Api, Gedung Kempetei, Bojong, Bulu, dan
Pendirikan. Pihak Jepang berhasil menguasai kota. Beberapa kampung dibakar, Gubernur
Jawa Tengah ditawan dan dipaksa untuk menyatakan penghentian pertempuran.
Penghentian pertempuran dipercepat dengan datangnya pasukan Serikat dibawah
pimpinan Brigadir Jenderal Bethel pada tanggal 19 Oktober 1945, yang langsung
melucuti Jepang. Salah satu pertempuran terjadi di sekitar Hotel Du Pavillion (sekarang
Hotel Dibya Puri) yang dipertahankan mati-matian oleh para pemuda dan BKR.

Peristiwa 17 Oktober 1952


Pada tanggal 17 Oktober 1952 terjadi demonstrasi di Jakarta. Semula massa mendatangi
gedung parlemen, kemudian mereka menuju Istana Presiden untuk mengajukan tuntutan
pembubaran parlemen dan menggantinya dengan parlemen baru serta tuntutan segera
dilaksanakan pemilihan umum. Penyebab utama dari peristiwa ini adalah terlalu jauhnya
campur tangan kaum politisi terhadap masalah intern Angkatan Perang Republik
Indonesia (APRI).
6

Demonstrasi ini direncanakan Markas Besar Angkatan Darat atas inisiatif Letnan Kolonel
Sutoko dan Letnan Kolonel S. Parman. Pelaksanaannya diorganisasi oleh Kolonel dr.
Mustopo Kepala Kedokteran Gigi Angkatan Darat dan Perwira Penghubung Presiden, dan
Letnan Kolonel Kemal Idris, Komandan Garnisun Jakarta. Seksi Intel Divisi Siliwangi
mengerahkan demonstran dari luar Ibukota dengan menggunakan kendaraan truk
militer. Pada waktu itu, Pasukan Tank muncul di Lapangan Merdeka, dan beberapa pucuk
meriam diarahkan ke Istana Presiden. Peristiwa 17 Oktober 1952 ini diupayakan
diselesaikan melalui pertemuan Rapat Collegial (Raco) tanggal 25 Februari 1955 yang
melahirkan kesepakatan Piagam Keutuhan Angkatan Darat yang ditandatangani oleh 29
perwira senior Angkatan Darat.

17 Oktober 1968. Penyambutan Dua Pahlawan Dwikora di Markas Besar ABRI

Pada waktu Indonesia sedang bermusuhan dengan Malaysia dan Singapura, tiga orang
sukarelawan Indonesia berhasil menyusup ke Singapura. Pada tanggal 8 Maret 1965,
mereka berhasil melakukan sabotase dan meledakkan obyek vital yaitu Gedung
McDonald di Singapura. Namun Usman dan Harun tertangkap dan kemudian diadili
sebagai penjahat perang. Pemerintah Indonesia berusaha menyelamatkan jiwa mereka
justru pada saat permusuhan antara Indonesia dengan Malaysia sudah berakhir, namun
pengadilan Singapura tetap pada vonisnya. Pada tanggal 17 Oktober 1968 keduanya
menjalani hukuman mati di penjara Changi, Singapura. Jenazah mereka dibawa ke
Indonesia dan sebelum dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, kedua jenazah
disemayamkan di Markas Besar Hankam/TNI, Jakarta, yang mendapat sambutan besar
dari TNI dan masyarakat.

20 Oktober 1964. Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) Lahir

Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) lahir tanggal 20 Oktober 1964.
Sekber Golkar ini lahir karena rongrongan dari PKI beserta ormasnya dalam kehidupan
politik baik di dalam maupun di luar Front Nasional yang makin meningkat. Sekber
Golkar ini merupakan wadah dari golongan fungsional/golongan karya murni yang tidak
berada dibawah pengaruh politik tertentu. Jumlah anggota Sekber Golkar ini bertambah
dengan pesat, karena golongan fungsional lain yang menjadi anggota Sekber Golkar
dalam Front Nasional menyadari bahwa perjuangan dari organisasi fungsional Sekber
Golkar adalah untuk menegakkan Pancasila dan UUD 1945. Semula anggotanya
berjumlah 61 organisasi yang kemudian berkembang hingga mencapai 291 organisasi.

21 Oktober 1961. Pertemuan di Bonepute

Untuk menyelesaikan gangguan keamanan di Sulawesi Selatan, pemerintah menempuh


dua cara. Di satu pihak melancarkan operasi-operasi militer dan di pihak lain
menawarkan amnesti dan abolisi kepada anggota DI/TII yang mau menghentikan
pemberontakannya. Sejak awal September 1961, akibat operasi-operasi militer yang
dilancarkan TNI, kedudukan DI/TII semakin sulit. Dalam situasi demikian Kahar
Muzakkar mengirim utusan untuk menghadap Panglima Kodam XIV/Hasanuddin,
Kolonel M. Yusuf. Mereka menyampaikan keinginan Kahar untuk mengakhiri
perlawanan dalam rangka amnesti dan abolisi. Panglima menyambut baik keinginan
tersebut. Sebagai realisasinya, pada tanggal 21 Oktober 1961 di Bonepute (Palopo
Selatan) dilangsungkan pertemuan antara kedua pihak.
7

Dalam pertemuan itu Kahar menyampaikan keikhlasan, keinsyafan dan kepatuhannya


terhadap kebijaksanaan pemerintah dalam masalah penyelesaian keamanan dan
penyaluran anggota DI/TII. Ternyata, Kahar Muzakkar mengingkari janjinya. Pertemuan
itu tidak lebih dari suatu siasat untuk mencegah kehancuran DI/TII dengan taktik
mengulur-ulur waktu.

27 Oktober 1945. Penerbangan pertama oleh Perwira TNI

Pada awal kemerdekaan RI, hampir semua pangkalan udara dengan pesawat Jepang yang
masih ada dapat dikuasai setelah melalui pertempuran-pertempuran. Sedikit sekali yang
kita ketahui tentang pesawat-pesawat terbang Jepang. Buku-buku penuntun tidak ada.
Jika ada, belum tentu bisa dibaca karena semua ditulis dengan huruf Jepang, sedangkan
bagian-bagian pesawat serta perkakasnya tidak lengkap karena sengaja disabot oleh pihak
Jepang. Oleh karena kebutuhan mendesak akan pesawat terbang, para juru teknik kita di
Maguwo, Yogyakarta berhasil menyiapkan sebuah pesawat terbang latih lanjutan
bersayap dua yang terkenal dengan nama Curen. Pada tanggal 27 Oktober 1945 seorang
perwira penerbang Indonesia, Agustinus Adisutjipto telah mencoba untuk pertama
kalinya menerbangkan pesawat Curen yang berbendera merah putih. Peristiwa ini
menimbulkan semangat juang para pemuda kita di bidang penerbangan.

28 Oktober 1928. Lahirnya


Lahirnya Sumpah Pemuda

Untuk menyatakan kebulatan tekad atas inisiatif Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia
(PPPI), pemuda-pemuda Indonesia mengadakan kongresnya yang kedua yang
dilangsungkan pada tanggal 26-28 Oktober 1928. Kongres dihadiri oleh wakil-wakil dari
organisasi pemuda PPPI, Jong Sumatera, Pemuda Indonesia, Jong Batakse, Sekar Rukun,
Pemuda Kaum Betawi, Jong Islamiten Bond, Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes dan
lain-lain. Pada sidangnya tanggal 28 Oktober 1928 yang berlangsung di Jalan Kramat
106 Jakarta, dihasilkan ikrar pemuda yang berbunyi pertama, Kami putera dan puteri
Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia, kedua, Kami putera dan
puteri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia, ketiga, Kami putera
dan puteri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Ikrar tersebut
dikenal dengan nama Sumpah Pemuda. Dalam kongres tersebut, dinyanyikan untuk
pertama kali lagu Indonesia Raya yang kemudian menjadi lagu kebangsaan Indonesia dan
dikibarkannya bendera Sang Merah Putih.

28 Oktober 1948. Markas Besar Komando Djawa

Pada tanggal 28 Oktober 1948 berdiri Markas Besar Komando Djawa (MBKD) dengan
panglimanya Kolonel A.H. Nasution. Tugas MBKD ialah mengadakan konsolidasi dan
mengatur siasat untuk menghadapi agresi Belanda. Pada waktu Belanda mengadakan
serbuan terhadap Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1948, Panglima Tentara &
Teritorium Djawa (PTTD) beserta sebagian besar stafnya sedang mengadakan perjalanan
ke Jawa Timur untuk melakukan inspeksi terhadap persiapan-persiapan yang telah
dilaksanakan oleh teritorium Jawa Timur. Setelah PTTD menerima laporan, bahwa
Yogyakarta telah dibom oleh Belanda, Kolonel A.H. Nasution memerintahkan kepada
seluruh rombongan untuk segera menuju ke arah utara lereng Gunung Merapi. Akhirnya
rombongan tiba di desa Kepurun daerah Manisrenggo. Selanjutnya desa ini dijadikan
pusat kegiatan MBKD. Disinilah diatur taktik perang gerilya melawan Perang Rakyat
Semesta, yang kini cukup terkenal di luar negeri.
8

28 Oktober 1948. Markas Besar Komando Sumatera


Pada tanggal 28 Oktober 1948 berdiri Markas Besar Komando Sumatera (MBKS) dalam
rangka mengadakan konsolidasi dan mengatur siasat untuk menghadapi agresi Belanda.
Sebagai Panglima Markas Besar Komando Sumatera diangkat Kolonel Hidayat,
berkedudukan di Bukittinggi. Tetapi sebelum Kolonel Hidayat selesai mengadakan
konsolidasi di Sumatera, Belanda telah melancarkan Aksi Militernya yang kedua.

29 Oktober 1947. Peristiwa Karangnangka, Karesidenan Banyumas


Karangnangka adalah pos pertahanan Mobile Brigade Karesidenan Banyumas. Pada
tanggal 29 Oktober 1947, pada pukul 06.00 Belanda menyerang pos tersebut dengan
kekuatan + satu batalyon. Serangan ini merupakan serangan balasan setelah pos
pertahanannya di Ketengger dihancurkan. Desa Karangnangka dikepung dari pelbagai
jurusan. Setelah terjadi pertempuran sengit, pada pukul 19.00 pasukan Inspektur Polisi
Bambang Suprapto mulai melemah karena persenjataan Belanda lebih baik, sehingga
terpaksa memerintahkan pasukannya mengundurkan diri, dan menyembunyikan senjata
serta menyamar seolah seperti rakyat biasa.

31 Oktober 1945. Pembentukan Militer (MA) Yogyakarta


Pada tanggal 27 Oktober 1945, Letnan Jenderal Oerip Sumohardjo memerintahkan
Kapten Samidjo untuk merealisasi gagasan beliau, mendirikan sekolah perwira dan
sekolah Kader di Yogyakarta. Pendidikan direncanakan berlangsung dalam waktu singkat,
karena sebagian besar mereka yang sudah memangku jabatan komandan diharapkan
dapat segera dikirim kembali ke pasukannya masing-masing. Pada tanggal 31 Oktober
1945, Letnan Jenderal Oerip Sumohardjo mengumumkan pembukaan Militer Akademi
dan Sekolah Kader serta memanggil para peminat. Pengumuman itu disebarluaskan
melalui harian Kedaulatan Rakjat di Yogyakarta tanggal 1 Nopember 1945. Sampai
tanggal 5 Nopember 1945 telah terdaftar sejumlah 3.571 orang calon. Menurut rencana
siswa yang diterima hanya 180 orang. Sehingga mereka yang masuk harus melalui proses
seleksi yang ketat. Pada waktu jabatan direktur dipegang oleh G.P.H. Jatikusumo, tahun
1948 nama Militer Akademi dirubah menjadi Akademi Militer (AM).

31 Oktober 1948. Muso Tertembak Mati


Pada tanggal 1 Oktober 1948 TNI berhasil menguasai Dungus yang dijadikan PKI sebagai
daerah pengunduran PKI setelah kekalahan mereka di Madiun. Para pimpinan PKI dan
pasukannya melarikan diri ke arah selatan serta berusaha menguasai Ponorogo. Serangan
mereka ke kota ini, 8 Oktober 1948, gagal. Pimpinan PKI terpecah menjadi beberapa
rombongan yang berusaha menyelamatkan diri masing-masing. Muso dan Amir
Sjarifuddin dikawal oleh dua batalyon yang cukup kuat melarikan diri menuju Gunung
Gambes. Di tengah perjalanan, mereka berpisah. Dengan dua orang pengawalnya dan
menyamar sebagai penduduk desa, pagi tanggal 31 Oktober 1948 Muso tiba di Balong. Di
tempat ini ia menembak mati seorang anggota polisi yang memeriksanya. Dengan dokar
rampasan dan diiringi pengawal yang bersepeda, hari itu juga ia tiba di desa Semanding,
Kecamatan Somoroto. Seorang perwira TNI yang mencegatnya ditembaknya, tetapi tidak
mengenai sasaran. Ia berhasil merampas kendaraan TNI, namun tidak dapat
menjalankannya. Sesudah itu ia melarikan diri masuk desa dan bersembunyi di sebuah
blandong (tempat mandi) milik seorang penduduk. Pasukan TNI yang mengepungnya
memerintahkan supaya ia menyerah. Muso menolak, bahkan melawan sehingga terjadi
tembak menembak. Dalam peristiwa itu ia tertembak mati.
9

Penerobosan Blokade Belanda di Selat Malaka Oktober 1945

Menjelang Persetujuan Renville, Belanda meningkatkan blokade ekonomi terhadap


Republik Indonesia, terutama di Jawa dan Sumatera. Sejak itu Pemerintah Republik
Indonesia melakukan berbagai usaha untuk menerobos blokade Belanda dari pantai Utara
Sumatera (Aceh) dan pantai Jawa (Tegal, Cilacap) ke luar negeri (Muangthai, Malaya,
Singapura). Selama Perang Kemerdekaan, daerah Aceh tidak pernah dikuasai Belanda.
Dengan demikian Aceh merupakan daerah aman untuk menampung senjata yang
didatangkan dari luar negeri, baik melalui laut maupun udara dengan penukaran hasil
bumi. Dalam hubungan ini Mayor John Lie beserta kawan-kawannya berhasil menerobos
blokade Belanda dengan mempergunakan speed boat. Salah satu speed boat yang
dipergunakan diberinama outlaw.

Ditulis ulang oleh Haryono


Ketua Harian Mabigus Smda 01. 129/130 Panembahan Senopati masa bhakti 2007 - 2010

Anda mungkin juga menyukai