Anda di halaman 1dari 21

TUGAS KEARSIPAN

Berkunjung ke Museum Pancasila Sakti

Nama : FebiMulyasih
Kelas : X AP-1
1. Serambi Penyiksaan

Pada tanggal 1 Oktober 1965, serambi rumah ini


digunakan oleh pemberontakan G 30 S/PKI, sebagai tempat
menawan dan menyiksa Major Jenderal S. Parman, Major
Jenderal Suprapto, Brigadir Jenderal Sutoyo dan Letnan Satu
Pierre Tendean, sebelum mereka di bunuh dan di masukan ke
dalam lubang sumur.
2. Sumur Maut

Pada tanggal 1 Oktober 1965, PKI menggunakan sumur


tua sedalam 12 M dan berdiameter 75 Cm ini untuk mengubur
tujuh jenazah pahlawan revolusi.
3. Dapur Umum
Rumah ini pada tanggal 1 Oktober 1965, digunakan
sebagai dapur umum bagi anggota pasukan pemberontak G.
30. S/PKI.

4. Truk Dodge B 2982 L

Mobil Truk Dodge tahun 1961 No. Polisi B 2982 L ini


adalah replika kendaraan jemputan P. N. Arta Yasa, sekarang
divisi cetak uang logam perum peruri yang dirampas oleh
pemberontak G 30 S/PKI disekitar jalan Iskandarsyah, daerah
Blok M Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Kemudian kendaraan tersebut digunakan oleh
pemberontak G 30 S/PKI untuk menculik dan mengangkut
jenazah Brigjen TNI DJ. Panjaitan dari kediamannya ke daerah
Lubang Buaya, Jakarta Timur, pada tanggal 1 Oktober 1965 .

5.Pakaian dan Bekas Darah

a. Brigjen D.I Pandjaitan (Asisten IV Men/Pangad)


b. Mayjen S. Parman (Asisten I Men/Pangad)
c. Mayjen M.T. Harjono (Deputi III Men/Pangad)
d. Letjen Ahmad Yani (Men/Pangad)
e. Mayjen R. Suprapto (Deputi I Men/Pangad)
6.Radio dan Aqualung (Tipe)
a) Radio (Tipe) GRC-9

Pesawat ini merupakan salah satu sarana yang digunakan


PANGKOSTRAD Mayjen Soeharto dalam memimpin operasi penumpasan
G 30 S/PKI tahun 1965.

b) Aqualung (Tipe) ABM-IM

Alat ini digunakan sebagai sarana oleh IPAM KKO TNI-AL untuk
mengangkat jenazah para pahlawan revolusi dari sumur tua di Lubang
Buaya.
7.Proses Penggalian Jenazah

8. Panser Saraceen
Panser dengan tipe PCMK-2 Saraceen pada tanggal 5
Oktober 1965 digunakan untuk membawa jenazah pahlawan
revolusi dari markas besar Angkatan Darat ke Makam Pahlawan
Kalibata.

9.Museum Pengkhiatan PKI


Museum ini terletak sekitar 300 meter dari lokasi Sumur
Lubang Buaya. Museum ini berbentuk menyerupai rumah joglo
besar. Museum Pengkhianatan PKI ini berisi diorama-diorama
yang menggambarkan tentang peristiwa G 30 S/PKI, mulai dari
awal sampai akhir. Museum dengan 3 lantai ini merangkum
semua gerak-gerik PKI di berbagai tempat. Rangkuman
sebagian besar menggunakan diorama, sebagian lagi
menggunakan galeri foto yang dipajang di ruangan terpisah.
10. Peristiwa Tiga Daerah (4 November 1945)

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, kelompok komunis bawah tanah


mulai muncul. Mereka memasuki organisasi-organisasi massa dan pemuda seperti
Angkatan Pemuda Indonesia (API), Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI).

Dengan menggunakan organisasi-organisasi massa pemuda, orang-orang


komunis mempin aksi penggantian para pejabat pemerintah ditiga kabupaten
Kerasidenan Pekalongan yang meliputi kabupaten Brebes, Tegal, dan Pemalang.
Usaha untuk meredam gerakan mereka dilakukan oleh Komite Nasional Indonesia
(KNI) daerah Tegal tetapi gagal. Pada tanggal 8 Oktober 1945 AMRI Slawi dibawah
pimpinan Sakirman tokoh komunis bawah tanah, dan AMRI Talang dipimpin oleh
Kutil melakukan teror. Mereka menangkapi pejabat pemerintah dan melakukan
pembunuhan yang mengerikan Jembatan Talang. Pada tanggal 4 November 1945
pasukan AMRI dan massa yang mereka pengaruhi menlancarkan penyerbuan ke kota
Tegal. Mereka menyerang kabupaten dan Markas TKR, namun berhasil digagalkan.
Setelh gerakannya di Tegal gagal, tokoh-tokoh komunis membentuk Gabungan
Badan Penrjuangan Tiga Daerah yang dipimpin oleh K. Mijaya, melakukan perebutan
kekuasaan di Kerasidenan Pekalongan.
11.Pemberontakan PKI di Madiun (18 September
1948)

Setelah gagal menjatuhkan Kabinet Hatta melalu cara parlemnter, organsiasi-


organisasi yang berhaluan komunis menghimpun diri dalam Front Demokrasi Rakyat
(FDR). FDR melakukan aksi-aksi politik dan tindak kekerasan. Aksi itu makin
meningkat ketika Musso datang mengambil alih pimpinan PKI. Musso menuduh
Soekarno-Hatta menyelewengkan perjuangan bangsa Indonesia. Sebaliknya ia
mengajukan thesis yang berjudul: Jalan Baru untuk Republik Indonesia.

Pada saat pemerintah dan Angkatan Perang memusatkan perhatian untuk


menghadapi Belanda, Parti Komunis Indonesia melakukan pengkhianatan. Didahului
dengan kampanye-kampanye menyerang politik pemerintah, aksi-aksi teror,
mengadu domba kekuatan bersenjata, sabotase di bidang ekonomi. Dini hari tanggal
18 September 1948 ditandai dengan 3 kali letusan pistol PKI mengadakan
pemberontakan di Madiun. Pasukan seragam hitam segera bergerak menguasai
obyek-obyek vital di dalam kota. Sejumlah tokoh militer, pejabat pemerintah dan
tokoh masyarakat dibunuh. Beberapa gedung penting termasuk gedung Kerasidenan
Madiun diduduki. Di gedung inilah PKI mengumumkan: “Soviet Republik Indonesia”
dan pembentukan Pemerintahan Front Nasional.
12.Pembunuhan di Kawadenan Ngawen
(20 September 1948)

Pada tanggal 18 September 1948, Markas Kepolisian Distrik


Ngawen (Blora) diserbu oleh pasukan PKI. 24 orang anggota polisi
ditahan dan 7 orang yang masih muda dipisahkan, mereka ditelanjangi
kemudian disekap di sebuah ruangan sempit di belakang Kawedanan
Ngawen. Selama disekap tanpa busana, mereka makan diberi sekali,
kemudian datang perintah dari pimpinan PKI Blora agar mereka dihukum
mati.

Tanggal 20 September 1948, 7 orang anggota polisi itu dikeluarkan


dari tahanan di bawa ke suatu tempat terbuka dekat kakus di belakang
Kawedanan. Dengan pengawalan ketat mereka disuruh duduk di tanah.
Dua orang PKI datang membawa 2 batang bambu yang sudah diikat
ujungnya. Acara penghukuman dimulai. Secara bergantian tahanan
dipanggil dan disuruh berdiri. Dua batang bambu dipegang ujungnya
oleh dua orang PKI kemudian dijepitkan ke leher anggota polisi. Pasukan
PKI bersorak-sorak ketika tawanan mengerang kesakitan. Para tawanan
lain disuruh menonton. Setelah tawanan mati, jenazahnya diangkat
beramai-ramai dilempar ke dalam lubang kakus. Untuk meyakinkan
bahwa para tahanan sudah mati, tembakan salvo diarahkan ke dalam
lubang kakus.
14.Musso Tertembak Mati (31 Oktober 1948)

Pada tanggal 1 Oktober 1948, TNI berhasil menguasai Dungus yang dijadikan
PKI daerah pengunduran PKI setelah kekalahan mereka di Madiun. Para pimpinan PKI
dan pasukannya melarikan diri ke arah selatan dan berusaha menguasai Ponorogo.
Serangan mereka ke kota ini, 18 Oktober 1948, gagal. Pimpinan PKI terpecah menjadi
beberapa rombongan yang berusahan menyelamatkan diri masing-masing. Musso
dan Amir Sjahrifuddin dikawal oleh 2 batalyon yang cukup kuat melarikan diri
menuju Gunung Gambes. Ditengah perjalanan, mereka terpisah. Dengan 2 orang
pengawalnya dan menyamar sebagai penduduk desa, pagi tanggal 21 Oktober 1948,
Musso tiba di Balong. Ditempat ini ia menembak mati seorang anggota polisi yang
memeriksanya. Dengan dokar rampasan dan diiringi pengawal yang bersepeda, hari
itu juga ia tiba di desa Semanding, kecamatan Somoroto. Seorang perwira TNI yang
mencegatnya ditembaknya tetapi tidak mengenai sasaran. Ia berhasil merampas
kendaraan TNI, namun tidak dapat menjalankannya. Sesudah itu ia melarikan diri
masuk desa dan bersembunyi di sebuah Blandong (tempat mandi) milik seorang
penduduk. Pasukan TNI yang mengepungnya memerintahkan supaya ia menyerah.
Muso menolah, bahkan melawan sehingga terjadi tembak-menembak. Dalam
peristiwa itu ia tertembak mati.

15. Foto Bersama


Setelah mengelilingi dan melihat-lihat seluruh isi Museum
Pancasila Sakti atau biasa disebut Museum Lubang Buaya, akhirnya kami
melakukan sesi foto bersama.

13.Penculikan Letnan Jenderal Ahmad Yani

Pasukan yang menculik men/pangad Letjen Ahmad Yani berangkat berangkat


dari Desa Lubang Buaya pada tanggal 1 Oktober 1965 dipimpin oleh Peltu Mukidjan
dengan kekuatan 1 peleton Brigif 1 Kodam V/Jaya, 1 regu Cakrabirawa, 1 peleton
Batalyon 530/Brawijaya, 1 peleton Batalyon 454/Diponegoro, 1 regu Pasukan Gerak
cepat (PGT), dan 2 regu Sukarelawan. Mereka berangkat dengan menggunakan 2
buah truk dan 2 buah bus.

Setibanya di kediaman Letjen A. Yani, Peltu Mukidjan yang didampingi Sersan


Raswad dan beberapa anggota Cakrabirawa segera melucuti regu pengawal yang
tidak curiga dengan kedatangan pasukan penculik. Mereka kemudian mengetuk
pintu yang dibukakan oleh putra Letjen A. Yani yang bernama Edi. Pimpinan pasukan
penculik kemudian menyuruh Edi untuk membangunkan ayahnya.

Letjen A. Yani yang masih mengenakan piyama biru kemudian menemui para
penculik. Sersan Raswad mengatakan bahwa Letjen diperintahkan segera
menghadap presiden. Letjen A. Yani menyanggupinya dan akan mandi terlebih
dahulu. Saat membalikkan tubuhnya, salah seorang penculii mengatakan tidak perlu,
sehingga menimbulkan kemarahan Letjen A. Yani yang langsung menampar Praka
Dokrin dan kembali ke dalam rumah dan menutup pintu. Saat itulah Sersan Raswad
memerintahkan Kopda Gijadi yang berdiri disamping Praka Dokrin untuk menembak
Letjen A. Yani dengan senapan Thomson hingga tewas. Jenazah Letjen A. Yani diseret
keluar rumah dan dilemparkan ke dalam salah satu truk, selanjutnya dibawa ke Desa
Lubang Buaya.

Anda mungkin juga menyukai