Anda di halaman 1dari 13

Resume Perjalanan Outing Class Monumen

Pancasila Sakti

Nama: Annisa Meisyahla


Kelas: X.2
No. Absen: 05

AKTIVITAS
Pada hari Selasa 30 Januari saya bersama teman-teman seangkatan pergi outing class
tujuan pertama kami adalah Gedung Nusantara DPR RI lalu Monumen Pancasila Sakti atau
Lubang Buaya. Kami berkumpul di Sekolah pukul 06.00 lalu menuju ke Gedung Nusantara
DPR RI menggunakan bus sekitar pukul 06.40 dan kami tiba pukul 10.30
Di gedung DPR RI kami belajar mengenal lebih dekat apa itu DPR RI setelah itu kami
ISHOMA. Sekitar pukul 14.00 kami melanjutkan perjalanan menuju Monumen Pancasila
Sakti kurang lebih 30 menit, kami sampai di Monumen Pancasila Sakti sekitar pukul 14.30.
Sesampainya di sana kami langsung diarahkan untuk baris dan di bagi menjadi 2
kelompok. Saya termasuk ke dalam kelompok A yang di pandu oleh pak Yudi. Setelah itu
kami diarahkan menuju gapura museum untuk dijelaskan latar belakang monumen Pancasila
Sakti atau Lubang Buaya.
Setelah kami memahami latar belakangnya, kami dipandu menuju Museum Pengkhianatan
PKI atau Komunis, selanjutnya kami dipandu menuju Museum Paseban, lalu ke 3 Rumah
Bersejarah, Sumur Maut, Tugu Pahlawan Revolusi, dan yang terakhir beberapa deret mobil
bersejarah.

PENJELASAN MENGENAI MONUMEN PANCASILA SAKTI

a. Latar Belakang Berdirinya Monumen Pancasila Sakti


Sebelum berkeliling kompleks Monumen Pancasila Sakti, kami di kumpulkan
terlebih dahulu di gapura museum. Di sana Pak Yudi sebagai pemandu lokal
memberitahu latar belakang berdirinya Monumen Pancasila Sakti.
Monumen Pancasila Sakti merupakan sebuah museum yang dibangun di Jl. Raya
Pd. Gede, RT.4/RW.12 , Daerah Lubang Buaya Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur.
Ide itu lahir dari gagasan presiden kedua Republik Indonesia Jenderal besar TNI Haji
Muhammad Soeharto Hai dibuat oleh maestro seni Indonesia Edhi Sunarso.
Bangunan tersebut didirikan diatas tanah yang memiliki luas 14,6 hektar Sebelum
menjadi sebuah museum sejarah tempat ini merupakan tanah atau kebun kosong yang
dijadikan sebagai tempat penimbunan para jenderal dari keganasan Gerakan 30
September 1965.
Monumen Pancasila Sakti dalam sejarahnya dibangun untuk menyatakan bahwa
Pancasila tidak berhasil digoyahkan oleh usaha pemberontakan apa pun dan akan
tetap tegak berdiri sebagai ideologi negara yang sah. Pemberontakan PKI dapat
ditumpas dalam waktu singkat yang menunjukkan bahwa Pancasila tidak dapat
diganggu gugat, dan siapa pun yang mencobanya akan dibasmi sampai tuntas.
Paham komunis adalah ideologi yang berbahaya dan bisa menyesatkan rakyat
karena itu pendirian sejarah Monumen Pancasila Sakti dilakukan untuk memperingati
momen berdarah tersebut dan sebagai pengingat akan kejamnya komunis.
Tujuan berdirinya museum ini yang pertama adalah untuk menghargai jasa-jasa
para pahlawan khususnya pahlawan revolusi yang telah mengorbankan jiwa raganya
demi tegaknya ideologi Pancasila. Kemudian yang kedua tempat ini dijadikan sebagai
peringatan buat kita semua agar kejadian semacam itu tidak terulang kembali.
b. Museum Pengkhianatan PKI
Setelah dibekali latar belakang mengenai Monumen Pancasila Sakti oleh Pak Yudi,
selanjutnya kami dipandu menuju Museum Pengkhianatan PKI. Museum
pengkhianatan PKI atau komunis yang di dalamnya menceritakan sejarah
pemberontakan-pemberontakan PKI yang bertujuan menggantikan dasar negara
Pancasila dengan ideologi komunis yang bertentangan dengan Pancasila, sampai pada
pemberontakan kedua yang terkenal dengan nama gerakan 30 September atau
G30SPKI
Museum ini diresmikan pada 1 Oktober tahun 1992 yang berisi tentang diorama
yang menggambarkan aksi-aksi sepihak yang pernah dilakukan anggota PKI beserta
ormas-ormasnya pada masa itu atau organisasi-organisasi yang masih dibawah
naungan PKI.
Selain itu, terdapat pula berbagai benda-benda bersejarah seperti baju yang
digunakan Jenderal Ahmad Yani, mobil dinas Jenderal Ahmad Yani serta mobil yang
digunakan untuk menculik Mayjen D.I Pandjaitan.
Diorama-diorama yang ada di sana diantaranya:
• Peristiwa 3 Daerah (4 Novemeber 1945)
Sesudah Proklamasi kemerdekaan, kelompok komunis bawah tanah
mulai muncul mereka memasuki organisasi-organisasi massa dan pemuda
seperti Angkatan Pemuda Indonesia (API), Angkatan Muda Republik
Indonesia (AMRI).
Dengan menggunakan organisasi-organisasi massa Pemuda orang-orang
komunis memimpin aksi penggantian para pejabat pemerintah di 3
kabupaten karesidenan Pekalongan yang meliputi kabupaten Brebes, Tegal,
Pemalang. Usaha untuk meredam gerakan mereka dilakukan oleh komite
Nasional Indonesia (KNI) daerah Tegal tetapi gagal. Pada tanggal 8
Oktober 1945 tokoh komunis bawah tanah, dan AMRI talang dipimpin oleh

2
kutil melakukan teror, mereka menangkapi pejabat pemerintah dan
melakukan pembunuhan yang mengerikan di jembatan talang.
Pada tanggal 4 November 1945 pasukan AMRI dan masa yang mereka
pengaruhi melancarkan penyerbuan ke kota Tegal. Mereka menyerang
kabupaten dan markas TKR namun berhasil digagalkan. Setelah
gerakannya di Tegal gagal, tokoh-tokoh komunis membentuk gabungan
badan perjuangan tiga daerah yang dipimpin oleh K. Mijaya, melakukan
perebutan kekuasaan di karesidenan Pekalongan.
• Pemberontakan PKI di Cirebon (14 Februari 1946)
• Peristiwa Revolusi Sosial di Langkat (9 Maret 1946 )
• Pemogokan Buruh Sarbupri di Delangu (23 Juni 1948)
• Pengacauan Surakarta (19 Agustus 1948)
• Pemberontakan PKI di Sumatera Timur (3 Maret 1946)
• Pembebasan Gorang Gareng (28 September 1948)
• Penghancuran PKI di Sooko (28 September 1948)
Setelah gagal merebut kota Trenggalek, batalyon Maladi Yusuf,
membuat kubu pertahanan di desa Sooko, di kaki gunung Wilis, Ponorogo.
Di sini terdapat pula pasukan PKI lainnya di bawah pimpinan Soebardi dan
pasukan panjang Djokopriyono sehingga pertahanan pasukan PKI
bertambah kuat. Lawan politiknya, antara lain asisten wedana (camat)
Sooko sudah lebih dulu dibersihkan.
Pada tanggal 28 September 1948, Kompi Sumadi dari Batalyon
Sunandar den Kompi Sabirin Muchtar dari Batalyon Mujayin melakukan
serbuan terhadap kubu pertahanan pasukan PKI tersebut dari dua arah.
Kompi Sumadi menyerbu dari arah selatan berhasil merebut Thuk
Puyangan sebuah bukit yang tidak jauh dari markas komando pasukan PKI.
Maladi Jusuf tertembak di pahanya, Kompi Sabirin Muchtar menyerbu dari
arah utara. Karena terkepung Maladi Jusuf mengerahkan seluruh kekuatan
pasukannya untuk membendung serbuan TNI. Usaha ini tidak berhasil.
Pasukan PKI tendesak dan tidak mampu lagi bertahan di desa Sooko.
Pertempuran yang mulai berkobar sejak 1.00 pagi baru berakhir pada senja
hari setelah pasukan Maladi Jusuf dipukul mundur dengan meninggalkan
banyak korban dan senjata attore Gin S pucuk Se 12,7.
• Pembantaian di Dungus (1 Oktober 1948)
• Musso Tertembak Mati (31 Oktober 1948)
Pada tanggal 1 Oktober 1948 TNI berhasil menguasai Dungus yang
dijadikan PKI sebagai daerah pengunduran PKI setelah kekalahan mereka
di Madiun. Para pimpinan PKI dan pasukannya melarikan diri ke arah
selatan dan berusaha menguasai Ponorogo. Serangan mereka ke kota ini, 8
Oktober 1948, gagal. Pimpinan PKI terpecah menjadi beberapa rombongan
yang berusaha menyelamatkan diri masing-masing.

3
Musso dan Amir Sjarifuddin dikawal oleh dua batalyon yang cukup kuat
melarikan diri menuju Gunung Gambes. Di tengah perjalanan, mereka
berpisah. Dengan dua orang pengawalnya dan menyamar sebagai penduduk
desa, pagi tanggal 31 Oktober 1948 Musso tiba di Balong. Di tempat ini ia
menembak mati seorang anggota Polisi yang memeriksanya. Dengan dokar
rampasan dan diiringi pengawal yang bersepeda, hari itu juga ia tiba di desa
Semanding, kecamatan Somoroto. Seorang perwira TNI yang mencegatnya
ditembaknya, tetapi tidak mengenai sasaran. Ia berhasil merampas
kendaraan TNI, namun tidak dapat menjalankannya.
Sesudah itu ia melarikan diri masuk desa dan bersembunyi di sebuah
blandong (tempat mandi) milik seorang penduduk. Pasukan TNI yong
mengepungnya memerintahkan supaya ia menyerah. Musso menolak,
melawan sehingga tejadi tembak menembak. Dalam peistiwa itu ia
ditembak mati.
• Pembunuhan Massal di Tirtomoyo (4 Oktober 1948)
• Penangkapan Amir Sjarifuddin (29 Novemeber 1948)
Usaha PKI untuk mengadakan konsolidasi di daerah Gunung Liman
yang sudah dipersiapkan sebagai pusat pertahanan setelah kekalahan
mereka di Madiun, berhasil digagalkan TNI. Serangan mereka ke Ponorogo
juga gagal. Pimpinan pemberontak terpecah menjadi beberapa rombongan
yang berusaha menyelamatkan diri masing-masing. Amir Sjarifuddin dan
Musso dikawal Oleh dua batalyon yang cukup kuat, melarikan diri ke
Gunung Gamber di sebelah barat Madiun. Di tengah perjalanan mereka
berpisah. Setelah melalui perjalanan panjang dan sulit, Amir Sjarifuddin
akhirnya tiba di daerah Purwodadi, la dan rombongannya bersembunyi di
gua macan di Gunung Pegal, Kecamatan Klambu.
Pada mulanya ia merasa aman sebab Polisi Keamanan yang menjaga
garis demarkasi Demak – Dempet – Godong, tidak jauh dari tempat
persembunyiannya, adalah orang-orang komunis. Setelah TNI melucuti
Polisi Keamanan ini dan melancarkan operasi-operasi pembersihan di
sekitar daerah Klambu, posisi Amir Sjarifuddin terjepit. Pada tanggal 22
November 1948 pasukan pengawalnya menyerah. Senin sore tanggal 29
November 1948 tempat persembunyiannya dikepung oleh TNI. Amir
Sjarifuddin dan beberapa tokoh PKI lainnya menyerah dan diserahkan
kepada komandan Brigade 12 di Kudus,
• Pemberontakan PKI di Madiun (18 September 1948)
• Pembunuhan di Kawedanan Ngawen, Blora (20 September 1948)
• Serangan Gerombolan PKI di Asrama Polisi di Tanjung Priok ( 6 Agustus
1951)
• Peristiwa Tanjung Morawa (16 Maret 1953)
• Lahirnya MKTBP PKI (14 Maret 1954)
• D.N Aidit Diadili (25 Februari 1955)

4
• Kampanye Budaya PKI (25 Maret 1963)
• Rongrongan PKI terhadap ABRI (1964-1965)
Kampanye mendiskreditkan ABRI sudah dilakukan PKI sejak masa
Perang Kemerdekaan (1945 – 1949). Tujuannya adalah untuk memecah
belah kekompakan ABRI, memandulkann peranan sosial-politik ABRI,
menghapuskan jati diri ABRI sebagai pejuang – prajurit dan prajurit –
pejuang, yang pada akhimya menguasai ABRI. Secara terbuka kampanye
anti ABRI, khususnya TNI-AD, berlatar belakang pada kecemburuan PKI
karena ABRI berhasil membendung pengaruh PKI dikalangan rakyat.
Berbagai macam cara kampanye anti ABRI telah dilakukan oleh PKI
seperti tuduhan, isyu, provokasi, fitnah politik yang dilemparkan ke tengah-
tengah masyarakat oleh badan propaganda dan media massa PKI. Sejak
tahun 1964, aksi kampanye ini makin meningkat sebagai “ofensif
revolusionernya”. Tindak kekerasan aksi sepihak, tuntutan pembubaran
aparat teritorial, isyu nasakomisasi ABRI, İsyu Angkatan V dokumen palsu
Gilchrist adalah wujud aksinya. Sebagai puncak kampanyenya adalah Isyu
Dewan Jenderal pada tahun 1965, yang bermuara pada pemberontakan
G.30 S/PKI.
Salah satu aksi kampanye dari bawah, antara lain disampaikan pada
Kongres Persatuan Pamong Desa Indonesia (PPDI) suatu organisasi massa
PKI, pada tanggal 3 Agustus 1964 di Gedung Serikat Buruh Kereta Api
Manggarai, Jakarta.
• Peristiwa Kanigoro (13 Januari 1965)
• Peristiwa Bandar Betsi (14 Mei 1965)
• Peristiwa Kentungan Yogyakarta (2 Oktober 1965)
• Pawai Ofensif Revolusioner PKI di Jakarta (23 Mei 1965)
• Rapat Umum Front Pancasila (9 Novemeber 1965)
• Penyerbuan Gubernur Jawa Timur (27 September 1965)
• Penguasaan kembali gedung RRI Pusat (1 Oktober 1965)
• Penangkapan D.N. Aidit (22 Novemeber 1965)
• Menyambut pembubaran PKI (12 Maret 1966)
Pada malam hari tanggal 11 Maret 1966 Mentri/Panglima Angkatan
Darat Letjen TNI Soeharto menerima surat perintah yang dikenal dengan
nama Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar dari Presiden Sukarno,
Surat perintah tersebut berisi wewenang untuk mengambil tindakan yang
dianggap perlu guna menjamin keamanan dan ketertiban. Untuk memenuhi
aspirasi dan tuntutan masyarakat, berdasarkan surat perintah tersebut pada
tanggal 12 Maret 1966 Letjen TNI Soeharto atas nama Presiden/Panglima
Tertinggi ABRI/ Mandataris MPRS/Pemimpin Besar Revolusi,
mengeluarkan keputusan tentang pembubaran PKI dan organisasi massa
yang seazas, bernaung, dan berlindung di bawah PKI. PKI juga dinyatakan
sebagai organisasi terlarang di seluruh Indonesia. Keputusan ini diambil

5
setelah melihat kenyataan bahwa PKI baik secara faktual maupun yuridis
telah melakukan pemberontakan terhadap pemerintah yang sah melalui G
40 S/PKI.
Keputusan pembubaran dan pelarangan PKI diumumkan melalui siaran
RRI pada pukul 06.00 tanggal 12 Maret 1966. Keputusan itu mendapat
sambutan hangat dari seluruh masyarakat Indonesia. Masyarakat Jakarta
mengadakan pawal keliling di jalan-jalan sambil membawa poster sebagai
ungkapan rasa gembira dan terima kasih
• Sidang Mahkamah Militer Luar Biasa (14 Februari 1966)
Untuk menumpas G30 S/PKI, pemerintah melancarkan operast militer
dan aperasi yustisi, yustisi, Sebagai Sebagai realisasi reali yustisi
pemerintah mengakifkan kembali lembaga Mahkamah Militer Luar Biasa
(Mahmillub) sebagai lembaga peradilan yang berwenang memeriksa dan
mengadili perkara khususnya tokoh-tokoh utama penggerak G 30 S/PKI.
Sidang pertama Mahmillub berlangsung pada tanggal 14 Februari 1906,
bertempat di mpat di gedung Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
(Bappenas), Jakarta, Sidang ini memeriksa dan mengadili perkara
subversive Nyono bin Batrorejo, seorang anggota Polit Biro CC PKI
merangkap Sekretaris I Comite Daerah Besar (CDB) Jakarta Raya, la
dituduh turut merencanakan dan memimpin pemberontakan melawan
pemerintah yang sah, dan mengganti dasar Negara Pancasila dengan
ideologi komunis. Sidang Mahmillub berhasil membuktikan keterlibatan
Nyono sebagai perencana dan penggerak G 30 S/PKI. Berdasarkan bukti-
bukti tersebut, pada tangga 21 Februari 1966 Mahmillub menjatuhkan vonis
mati terhadan Nyano.
• Penumpasan Gerakan PKI Ilegal Iramani di Purwodadi (27 Januari 1973)
• Tertembak Matinya S.A. Sofyan (12 Januari 1974)
Setelah melihat semua diorama-diorama yang ada di sana, kami melanjutkan
perjalanan ke Museum Paseban yang berada di dekat Museum Pengkhianatan PKI
C. Museum Paseban
Museum Paseban di dalamnya terdapat diorama yang menggambarkan sebelum dan
setelah peristiwa pemberontakan G30SPKI yang termasuk di dalamnya menggambarkan
saat penculikan terhadap para Perwira Angkatan Darat yang menjadi korban
pemberontakan G30SPKI. Di samping itu terdapat ruang khusus di Museum Paseban
yang tersimpan benda-benda peninggalan para Perwira Angkatan Darat yang menjadi
korban diangkat sebagai Pahlawan Revolusi.
Diorama yang terdapat di museum paseban diantaranya:
• Rapat-Rapat Persiapan pemberontakan G 30 S/PKI (September 1965)
Dalam rangka melancarkan jalan bagi Partai Komunis Indonesia (PKI)
untuk meraih kekuasaan, maka dibentuklah Biro Khusus PKI yang
beranggotakan : Syam Kamaruzaman, Pono dan Waluyo. Mereka berada
langsung di bawah Ketua PKI yaitu D.N. Aldit.

6
Pada bulan September 1965 Ketua CC PKI D.N. Aidit memerintahkan
Syam Kamaruzaman, pimpinan Biro Khusus untuk menyusun suatu rencana
pemberontakan. Syam mengadakan rapat sebanyak 16 kali dengan Pono dan
Waluyo, anggota Pimpinanan Biro khusus Pusat, Kepala Biro Khusus Daerah
dan oknum-oknum ABRI yang sudah dibina PKI. Kesimpulan rapat tersebut
adalah gerakan ini harus rus dibantu dari Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Dalam suatu rapat dengan oknum ABRI dibahas masalah pelaksanaan yang
meliputi personel, logistik, pembagian tugas, pembagian sektor dan sasaran
gerakan serta konsep “Dewan Revolusi”. Rapat terakhir yang diadakan pada
tanggal 29 September 1965 memutuskan gerakan diberi nama “Gerakan 30
September”, hari-H dan jam-J tanggal 1 Oktober 1965 dini hari. Sasaran
pertama menculik tujuh Perwira Tinggi TNI AD.
• Latihan Sukarelawan PKI di Lubang Buaya (5 Juli-30 September 1965)
Untuk persiapan pemberontakan, PKI mengadakan latihan kemiliteran
bagi para anggotanya. Dalih yang digunakan ialah melatih para sukarelawan
dalam rangka konfrontasi terhadap Malaysia. PKI menuntut agar pemerintah
membentuk Angkatan ke-5 dengan mempersenjatai buruh dan tani. Anggota-
anggota yang dilatih di Desa Lubang Buaya, Jakarta Timur disebut
Sukarelawan Kita (Sukta). Mereka terdiri dari pemuda dan pemudi PKI, buruh
dan tani, serta kelompok lain dalam partai komunis. Latihan diadakan dari
tanggal 5 Juli sampai 30 September 1965.
Mereka berjumlah 3.700 anggota dan dibagi menjadi tujuh gelombang.
Selain di Lubang Buaya, latihan juga diadakan di Rawa Binong, lebih kurang
2 kilometer sebelah selatan Desa Lubang Buaya. Di tempat ini hanya 26
anggota yang dilatih untuk kader- kader khusus PKI. Latihan ini mendapat
dukungan dari Komandan Resimen Pasukan Pertahanan Pangkalan Udara
(Dan Men P3U) Mayor Udara Sudjono, berupa peralatan, makanan, dan
pakaian.
• Jenazah Para Perwira Angkatan Darat Dimasukkan ke Dalam Sumur Maut
Dini hari 1 Oktober 1965, tujuh Perwira TNI AD diculik dan dibunuh oleh
G 30 S/PKI yang kemudian dibawa ke Desa Lubang Buaya Jakarta Timur.
Tiga diantaranya dibunuh di kediamannya, yaitu Letnan Jenderal (Letjen
Ahmad Yani, Mayor Jenderal (Mayjen) M.T. Harjono, dan Brigadir Jenderal
(Brigjen) D.I. Pandjaitan. Sedangkan empat orang lainnya diculik dan dibawa
dalam keadaan masih hidup dengan kondisi mata ditutup kain berwarna merah
dan tangan diikat ke belakang dengan tali. Keempatnya kemudian disiksa dan
dibunuh secara kejam di dalam sebuah rumah. Mereka itu adalah Mayjen R.
Soeprapto, Mayjen S. Parman, Brigjen Soetojo S., dan Letnan Satu (Lettu)
P.A. Tendean.
Selanjutnya semua jenazah diseret dan dimasukkan ke sebuah sumur
berdiameter 75 cm dan sedalam 12 m dengan posisi kepala di bawah. Jenazah
Mayjen R. Soeprapto bersama Mayjen S. Parman diikat menjadi satu. Setelah
semua jenazah dimasukkan ke dalam sumur kemudian ditembaki secara
beruntun. Selanjutnya untuk menghilangkan jejak, sumur ditimbun dengan
tanah dan sampah.

7
• Pengamanan Lanuma Halim Perdanakusuma
Setelah penculikan dan pembunuhan tujuh orang Perwira TNI AD oleh
pasukan G 30 S/PKI pada dini hari 1 Oktober 1965, Panglima Komando
Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) Mayjen Soeharto mengeluarkan
perintah untuk segera mengamankan Pangkalan Udara Utama (Lanuma)
Halim Perdanakusuma, mengingat kekuatan G 30 S/PKI berpusat di pangkalan
tersebut. Pasukan yang diperintahkan untuk melaksanakan tugas tersebut
adalah pasukan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) pimpinan
Kolonel Inf. Sarwo Edhi Wibowo, yang bermarkas di Cijantung, diperkuat
satu Batalyon Para Kujang/Siliwangi dan satu kompi panser kavaleri.
Operasi pengamanan Lanuma Halim Perdanakusuma dilaksanakan pada 2
Oktober 1965 pukul 03.00 WIB. Pasukan berangkat dari Markas Kostrad di
Jalan Merdeka Timur menuju Halim Perdanakusuma dari arah timur dan tiba
sekitar pukul 06.00 WIB. Tembak menembak pun tak dapat dielakkan.
Pasukan Batalyon 454/Diponegoro berusaha melakukan perlawanan walaupun
akhirnya dapat diatasi oleh RPKAD. Pukul 06.10 WIB Lanuma Halim
Perdanakusuma berhasil diamankan oleh RPKAD dan pasukan pendukung
lainnya.
• Pengangkatan Jenazah dari Sumur Maut (4 Oktober 1965)
Proses pencarian tujuh perwira TNI AD yang diculik dan dibunuh oleh G
30 S/PKI pada dini hari 1 Oktober 1965 berhasil ditemukan di Desa Lubang
Buaya. Atas informasi Agen Polisi II Sukitman, pasukan RPKAD dibawah
pimpinan Danyon 1 Mayor C.I. Santoso menemukan lokasi sumur tua pada 3
Oktober 1965 sekitar pukul 16.00 WIB. Penggalian dilaksanakan dengan
dibantu warga sekitar hingga malam hari. Setelah dipastikan bahwa di
dalamnya ada beberapa jenazah, penggalian dihentikan.
Proses pengangkatan jenazah dari dalam sumur tua dilaksanakan pada 4
Oktober 1965 oleh pasukan RPKAD dan Kesatuan Intai Para Amphibi
(KIPAM) Korps Komando (KKO) TNI Al pimpinan Kapten KKO Winanto.
Pangkostrad Mayjen Soeharto memimpin langsung pengangkatan tujuh
jenazah. Pengangkatan jenazah dimulai pukul 12.05 WIB dan jenazah pertama
yang berhasil diangkat Lettu P.A. Tendean. Selanjutnya berturut-turut
diangkat jenazah Mayjen S. Parman dan Mayjen R. Soeprapto yang terikat
menjadi satu, jenazah Mayjen M.T. Harjono, jenazah Brigjen Soetojo S,
jenazah Letjen A. Yani, dan yang terakhir jenazah Brigjen D.I. Pandjaitan
pada pukul 13.40 WIB. Selanjutnya jenazah dibawa ke Rumah Sakit Pusat
Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto untuk divisum.
• Pemindahan Jenzah ke TMP Kalibata Jakarta
• Penculikan Jendral A.H. Nasution (03.00 WIB 1 Oktober 1965)
• Penculikan Letnan Jenderal TNI Ahmad Yani
• Penculikan Mayor Jenderal M.T. Harjono
• Penculikan Mayor Jenderal R. Soeprapto
• Penculikan Mayor Jenderal S. Parman

8
• Proses lahirnya Supersemar (11 Maret 1966).
• Pelantikan Jenderal Soeharto sebagai Presiden (12 Maret 1967).
• Tindak Lanjut Pelarangan PKI (26 Juni 1982)
d. Rumah-rumah Bersejarah
Setelah menyusuri area indoor kami dipandu Pak Yudi untuk menyesuri area
outdoor diantaranya adalah 3 rumah bersejarah
• Rumah yang dijadikan sebagai tempat penyiksaan
Rumah ini dulu milik seorang simpatisan PKI bernama Bambang Harjono.
Dulunya rumah ini berfungsi sebagai Sekolah Rakyat. Pada saat tanggal 1
Oktober tahun 1965 para pejuang yang masih hidup dibawa kesini dan
disiksa sekaligus dibunuh khususnya masih hidup yaitu Mayjen R. Soeprapto,
Mayjen S. Parman Brigjen Sutoyo, dan Letnan Satu Pierre Andreas Tendean.
Sementara 3 perwira darat lainnya Sudah dibunuh di rumahnya yaitu Letjen
Ahmad Yani, Mayjen M.T. Haryono, serta Brigjen D.I. Panjaitan.
Rumah ini secara umum masih seperti bentuk aslinya hanya saja ada
pengecatan ulang ataupun perbaikan-perbaikan kecil dan ada tambah jendela
kaca di depan. Rumah ini memiliki ukuran sekitar 8×15 meter.
• Rumah Pos Komando
sebelah rumah penyiksaan terdapat Rumah Pos Komando. Rumah ini
sebelumnya adalah rumah milik seorang penduduk daerah Lubang Buaya
yang bernama Bapak Sueb. Pos Komando ini masih dipertahankan
keasliannya sampai isi rumahnya pun sebagian besar masih asli seperti meja,
kursi, almari, tempat tidur, mesin jahit, bufet dan balai (kamar depan)
Saat terjadi pemberontakan G30S tahun 1965, rumah ini dipakai oleh
pimpinan gerakan yaitu Letkol Untung dalam rangka mempersiapkan
penculikan terhadap tujuh Jendral TNI AD.
• Rumah Dapur Umum
Tidak jauh dari rumah pos komando terdapat Rumah Dapur Umum.
Rumah ini merupakan salah satu saksi sejarah yang digunakan oleh
gerombolan PKI waktu itu sebagai bangunan yang dipakai guna memasok
bahan pangan selama kegiatan G30SPKI berlangsung di lokasi kejadian.
Sebelumnya rumah ini adalah milik seorang janda penjual kain bekas yang
bernama Ibu Amroh. Demikian juga seperti Bapak Haji Saeb, Ibu Amroh
juga diusir oleh pemegang G30SPKI.
e. Sumur Maut
Setelah mengetahui sejarah 3 rumah yang menjadi saksi atas terjadinya G30SPKI,
kami dibawa untuk melihat sumur yang menjadi tempat pembuangan jenazah para
Perwira Angkatan Darat yang menjadi korban pemberontakan G30SPKI pada 1
Oktober 1965. Sumur ini memiliki kedalaman sekitar 12 m dengan diameter sekitar
75 cm. sumur ini adalah sumber aslinya yang benar pada waktu itu dijadikan sebagai
tempat pembuangan.

9
Setelah dibuang kemudian ditumbun dengan tanah bercampur batang-batang
pohon pisang dan lain-lain, kemudian disebar lagi daun-daun kering di atasnya, serta
ditanam sebuah pohon pisang di atasnya untuk mengelabui dan menghilangkan jejak.
7 pahlawan revolusi yang dibuang di sumur ini adalah Panglima Angkatan Darat
Letnan Jenderal TNI Ahmad Yani, Mayjen TNI R Soeprapto, Mayjen TNI M.T.
Haryono, Mayjen TNI S. Parman, Brigjen TNI DI Pandjaitan, Brigjen TNI Sutoyo
Siswomiharjo, Perwira TNI Lettu Pierre Tendean (ajudan A.H. Nasution).
Di dekat lubang sumur maut terdapat prasasti yang bertuliskan “cita-cita
perjuangan kami untuk menegakkan kemurnian Pancasila tidak mungkin
dipatahkan hanya dengan mengubur kami dalam sumur ini” Lobang Buaya, 1
oktober 1965.
f. Tugu Pahlawan Revolusi
Persis di depan sumur maut terdapat tugu pahlawan revolusi yang terdapat di area
Monumen Pancasila Sakti. Tugu ini memiliki ukuran tinggi panjang dan lebarnya 17
meter melambangkan tanggal 17, tanggal kemerdekaan Republik Indonesia. Disana
juga terdapat sebuah patung Garuda Pancasila yang terbuat dari tembaga konon
menurut informasi adalah patung Garuda Pancasila yang terbesar yang pernah dibuat
di Indonesia
Diibawah patung garuda Pancasila terdapat tujuh patung pahlawan revolusi yang
gugur di tempat ini walaupun sebenarnya Pahlawan Revolusi itu adalah jumlahnya 10
namun yang gugur di sini adalah 7 yang seluruhnya berasal dari perwira Angkatan
Darat. Di dinding bawah terdapat sebuah relief yang menggambarkan aksi-aksi yang
pernah dilakukan oleh PKI beserta ormas-ormasnya selama tahun dari 1945 hingga
tahun 1968.
Pada pose Legend Letnan Jenderal Ahmad Yani yang sedang menunjuk ke arah
sumur maksudnya adalah beliau mengingatkan kepada kita semua khususnya yang
ada di sini bahwa apa yang kami alami kami gugur di sana Jangan sampai terulang
kembali. Oleh karena itu kita harus selalu waspada dan mawas diri khususnya
terhadap bahaya paham komunisme.
g. Mobil Bersejarah
Salah satu koleksi kendaraan yang ada di Monumen Pancasila Sakti yaitu Dodge
500. Truk ini memiliki sejarah sebab menjadi armada yang digunakan untuk menculik
para jenderal. Truk yang dipajang di museum ini replika, sebab yang asli hilang dan
belum diketemukan hingga sekarang. Truk ini bewarna biru muda dengan tulisan P.N.
Artha Yasa dikendarai sejumlah anggota PKI yang kemudian menculik Brigjen TNI
D.I Panjaitan dan Polisi Soekitman.
Tanggal 1 Oktober 1965 pukul 04.00 mobil ini keluar dari kantornya
melaksanakan tugas rutinnya yaitu untuk menjemput pegawai. Namun demikian di
perjalanan tidak jauh dari kantor resmi dicegat kemudian direbut oleh komplotan PKI.

10
DOKUMENTASI

11
12
13

Anda mungkin juga menyukai