Anda di halaman 1dari 19

PKI 1948 MADIUN

1. Musso
2. Amir syarifuddin
3. DN. Aidit
4. MH. Lukman
5. Nyoto

3. Upaya Penumpasan Pemberontakan PKI di Madiun

Pemberontakan PKI yang terjadi di kota Madiun mendorong Presiden Republik Indonesia untuk
melakukan tindakan tegas terhadap PKI. Presiden RI, Ir. Soekarno memusatkan seluruh kekuasaan
yang berada di bawah komadonya. Ketika beliau mendengar berita bahwa kota Madiun telah
dikuasai oleh sekelompok pemberontak dari PKI yang dipimpin Muso, maka pemerintah langsung
mengadakan Sidang Kabinet Lengkap yang berlangsung pada tanggal 19 September 1948 dan
diketuai secara langsung oleh Ir. Soekarno. Hasil sidang tersebut mengambil keputusan antara lain:

Bahwa peristiwa yang terjadi di kota Madiun yang digerakan oleh PKI adalah suatu pemberontakan
terhadap Pemerintah Indonesia dan memberikan instruksi kepada alat-alat Negara dan Angkatan
Perang untuk memulihkan keamanan Negara.

Memberikan kekuasaan penuh terhadap Jenderal Sudirman untuk melaksanakan tugas pemulihan
keamanan dan ketertiban di Madiun dan daerah-daerah lainnya.

Setelah Peresiden memberikan Komando kepada Angkatan perang untuk memulihkan keamanan di
kota Madiun, dengan segera Angkatan Perang mengadakan penangkapan terhadap provokator yang
membahayakan Negara dan diadakan penggerebegan di tempat-tempat yang dianggap perlu untuk
diamankan. Untuk melaksanakan intruksi presiden tersebut dengan sebagik-baiknya, maka Markas
Besar Angkatan Perang segera menunjuk dan mengangkat Kolonel Sungkono, Panglima Divisi VI Jawa
Timur sebagai Panglima Pertahanan Jawa Timur yang selanjutnya mendapat tugas untuk memimpin
pasukan dari arah timur untuk menumpas Pemberontakan yang dilakukan oleh PKI Musso dan
mengamankan kembali seluruh daerah di Jawa Timur dari ancaman pemberontak.

Setelah mendapat perintah tersebut, Kolonel Sungkono segera memerintahkan Brigade Surachmad
untuk bergerak menuju kota Madiun. Pasukan tersebut dipimpin oleh seorang Mayor bernama
Jonosewojo. Pembagian pasukan terdiri atas Batalyon Sabirin Mucthar bergerak menuju Trenggalek
terus ke Ponorogo, Batalyon Gabungan yang dipimpin oleh Mayor Sabaruddin bergerak melalui
Sawahan menuju Dungus dan Madiun, sedangkan Batalyon Sunarjadi bergerak melalui
Tawangmangu, Sarangan, Plaosan.

Selain itu, pasukan Divisi Siliwangi yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Sadikin juga berusaha untuk
menguasai Madiun. Untuk tugas operasi ini, Divisi Siliwangi mengerahkan kekuatan dari 8 Batalyon,
yang di antaranya adalah: Batalyon Achmad Wiaranatakusumah, Batalyon Lukas (Pengganti dari
Batalyon Umar), Batalyon Daeng, Batalyon Nasuhi, Batalyon Kusno Utomo (dipimpin Letkol Kusno
Utomo yang juga memegang dua Batalyon), dan Batalyon Sambas yang kemudian diganti dengan
Batalyon Darsono, Batalyon A. Kosahi Batalyon Kemal Idris. Di sisi lain, pasukan penembahan
Senopati yang dipimpin oleh Letkol Selamet Ryadi, Pasukan Perang Pelajar yang dipimpin oleh Mayor
Achmadi, dan pasukan dari Banyumas yang dipimpin oleh Mayor Surono. Batalyon Kemal Idris dan
Batalyon A. Kosashi yang di datangkan dari Yogyakarta bergerak dari arau utara dengan tujuan Pati.
Batalyon Daeng bergerak dari Utara menuju Cepu dan blora. Batalyon Nasuhi dan Batalyon Achmad
Wiranatakusuma bergerak ke arah selatan dengan tujuan Wonogiri dan Pacitan. Batalyon Lukas dan
Batalyon darsono bergerak ke arah Madiun. Sedangkan untuk pasukan Panembahan Senopati
bergerak ke arah utara dan Pasukan Tentara Pelajar yang dikomandoi oleh Mayor Achmadi bergerak
ke Madiun melalui Sarangan.

Musso yang melarikan diri ke daerah Ponorogo akhirnya tertembak mati oleh Brigade S yang di
pimpin oleh Kapten Sunandar pada tanggal 32 Oktober 1948. Penembakan ini terjadi sewaktu
Kapten Sunandar sedang melakukan patroli. Sedangkan pada tanggal 20 November 1948, pasukan
Amir Syariffuddin yang berusaha menuju Tambakromo terlihat sangat menyedihkan. Banyak
diantara pasukan Amir ingin melarikan diri, tetapi warga selalu siap untuk menangkap mereka.
Banyak mayat para pemberontak ditemukan karena kelaparan atau sakit, dan akhirnya Amir
Syariffuddin menyerahkan diri beserta sisa pasukannya pada tanggal 29 November 1948.

Gerakan Operasi Militer yang dilancarkan oleh pasukan yang taat dan patuh kepada pemerintah
Republik Indonesia berjalan dengan singkat. Hanya dalam waktu 12 hari, Madiun beserta daerah-
daerah di sekitarnya dapat dikuasai kembali, tepatnya pada tanggal 30 September 1948. Setelah
Madiun dapat direbut kembali oleh pasukan TNI, keamanan kota Madiun-pun mulai terkendali dan
setiap rumah yang berada di sekitarnya mengibarkan bendera Merah Putih.

4. Dampak dari Pemberontakan PKI di Madiun

Terjadinya pemberontakan di kota Madiun membuat keamanan di daerah tersebut tidak stabil
sehingga meresahkan warga yang berada di daerah tersebut. Akibat pemberontakan tersebut,
aktivitas warga biasa seperti petani dan buruh terganggu. Kelancaran untuk membangun bangsa
pada saat itu menjadi terganggu dan hal ini merugikan masyarakat Indonesia. Dampak lain yang
disebabkan oleh pemberontakan PKI yakni, banyaknya korban jiwa yang baik dari anggota TNI
maupun anggota PKI, tidak sedikit pasukan kedua pihak yang terluka dan mati. Pasukan PKI juga
banyak yang meninggal karena kelaparan dan penyakit. Pemberontakan PKI ini melibatkan
setidaknya 8 Batalyon dan pasukan Militer Indonesia yang harus bertempur melawan para
pemberontak yang sebetulnya juga merupakan rakyat Indonesia.

PKI 1965/G30S

Latar Belakang G30S/PKI

Pemberontakan PKI tanggal 30 September 1965 bukanlah kali pertama bagi PKI. Sebelumnya, pada
tahun 1948 PKI sudah pernah mengadakan pemberontakan di Madiun. Pemberontakan tersebut
dipelopori oleh Amir Syarifuddin dan Muso. Tujuan dari pemberontakan itu adalah untuk
menghancurkan Negara RI dan menggantinya menjadi negara komunis.

Bahkan, dengan adanya ajaran dari presiden Soekarno tentang Nasakom (Nasional, Agama,
Komunis) yang sangat menguntungkan PKI karena menempatkannya sebagai bagian yang sah dalam
konstelasi politik Indonesia. Hal ini hanya akan membukakan jalan bagi PKI untuk melancarkan
rencana-rencananya. Yang salah satunya sudah terbukti adalah pemberontakan G-30-S-PKI yang
dipimpin oleh DN. Aidit. Pemberontakan itu bertujuan untuk menyingkirkan TNI-AD sekaligus
merebut kekuasaan pemerintahan.

Selain karena ingin merebut kekuasaan, ada juga factor lain yang membuat mereka melakukan
pemberontakan itu, yakni :

 Angkatan Darat menolak pembentukan Angkatan kelima


 Angkatan Darat menolak Nasakomisasi karena ajaran ini dianggap hanya akan
menguntungkan kedudukan PKI untuk yang kesekian kalinya.
 Angkatan Darat menolak Poros Jakarta-Peking dan konfrontasi dengan Malaysia. Hal ini
merupakan suatu langkah yang bijak menyangkut adanya Poros Jakarta-Peking dan
konfrontasi dengan Malaysia hanya akan membantu Cina meluaskan semangat revolusi
komunisnya di Asia Tenggara, dan akan merusak hubungan baik dengan negara-negara
tetangga.

1. D.N. Aidit
2. M.H. Lukman
3. Nyoto
4. Letkol Untung bin Syamsuri
5. Lettu Doel arief
6. Ibnu parna
7. sYam kamaruzzaman

Penumpasan G30S/PKI

Berikut ini terdapat beberapa penumpasan G30S/PKI, antara lain:

Menetralisipasi pasukan yang berada di sekitar Medan Merdeka yang dimanfaatkan oleh kaum
G30S/PKI.

Operasi militer tentang penumpasan G30S/PKI mulai dilakukan sore hari.

Pasukan RPKAD berhasil menduduki kembali gedung RRI pusat, gedung telekomunikasi dan
mengamankan seluruh wilayah Medan Merdeka tanpa terjadi bentrokan senjata.

Pasukan Batalyon 238 Kujang/Siliwangi berhasil menguasai lapangan banteng dan mengamankan
markas Kodam V/Jaya dan sekitarnya.
Presiden Soekarno meninggalkan Halim Perdana Kusuma menuju Istana Bogor. Pasukan RPKAD
bergerak menuju sasaran dipimpin oleh Kolonel Subiantoro.

Dalam gerakan pembersihan ke kampung-kampung di sekitar lubang buaya, Ajun Brigadir Polisi
Sukitman yang sempat ditawan oleh regu penculik berhasil meloloskan diri.

Pada tanggal 3 Oktober 1965 berhasil ditemukan jenazah para perwira tinggi AD yang telah
dikuburkan dalam sumur tua.

Keesokan harinya bertepatan dengan HUT ABRI tanggal 5 Oktober jenazah mereka dimakamkan di
Taman Makam Pahlawan Kalibata. Mereka dianugerahi gelar pahlawan Revolusi.

Penumpasan G30S/PKI Di Jawa Tengah dan Yogyakarta

Berikut ini terdapat beberapa penumpasan G30S/PKI di Jawa Tengah dan Yogyakarta, antara lain:

Brigjen Surjosumpeno segera memanggil para perwira untuk melakukan taklimat.

Pangdam memerintahkan kepada para pejabat supaya tetap tenang dan berusaha untuk
menenangkan rakyat karena situasi yang sebenarnya belum diketahui. Berangkat ke Magelang untuk
menyusun kekuatan.

Tanggal 2 Oktober membebaskan kota Semarang dengan kekuatan 2 pleton BTR.

Kota demi kota yang pernah dikuasai oleh pihak G30S/PKI itu berhasil direbut kembali.

Dibentuk Komando Operasi Merapi yang dipimpin oleh Kolonel Sarwo Edi Wibowo.

Kolonel Sahirman, Kolonel Maryono, dan Kapten Sukarno berhasil ditembak mati.

Di Blitar dengan nama Operasi Trisula.

Di luar Jakarta dan Jawa Tengah cukup dilakukan dengan Gerakan Operasi Territorial.

Pengaruh G30S/PKI Bagi Bangsa Indonesia

Setelah peristiwa G30S/PKI berakhir, kondisi politik Indonesia masih belum stabil. Situasi Nasional
sangat menyedihkan, kehidupan ideologi nasional belum mapan. Sementara itu, kondisi politik juga
belum stabil karena sering terjadi konflik antar partai politik. Demokrasi Terpimpin justru mengarah
ke sistem pemerintahan diktator. Kehidupan ekonomi lebih suram, sehingga kemelaratan dan
kekurangan makanan terjadi dimana-mana.

Presiden Soekarno menyalahkan orang-orang yang terlibat dalam perbuatan keji yang berakhir
dengan gugurnya Pahlawan Revolusi serta korban– korban lainnya yang tidak berdosa. Namun
Presiden Soekarno menyatakan gerakan semacam G30S/PKI dapat saja terjadi dalam suatu revolusi.
Sikap Soekarno ini diartikan lain oleh masyarakat, mereka menganggap Soekarno membela PKI.
Akibatnya, popularitas dan kewibawaan Presiden menurun di mata Rakyat Indonesia. Demonstrasi
besar-besaran terjadi pada tanggal 10 Januari 1966.
Para demonstran ini mengajukan tiga tuntutan yang terkenal dengan sebutan TRITURA (Tri Tuntutan
Rakyat), meliputi sebagai berikut :

Pembubaran PKI

Pembersihan Kabinet Dwikora dari unsur-unsur PKI.

Penurunan harga – harga (Perbaikan Ekonomi).

Tindakan Pemerintah lainnya adalah mengadakan reshuffle (perombakan) Kabinet Dwikora.


Pembaharuan Kabinet Dwikora terjadi tanggal 21 Februari 1966 dan kemudian disebut dengan
Kabinet Dwikora Yang Disempurnakan. Mengingat jumlah anggota mencapai hampir seratus orang,
maka kabinet itu sering disebut dengan Kabinet Seratus Menteri.

Menjelang pelantikan Kabinet Seratus Menteri pada tanggal 24 Februari 1966, KAMI melakukan aksi
serentak. Dalam demonstrasi itu gugur seorang mahasiswa Universitas Indonesia, Arief Rahman
Hakim.

Peristiwa itu berpengaruh besar terhadap maraknya gelombang aksi demonstrasi. Di Istana Bogor
ketiga perwira tinggi itu mengadakan pembicaraan langsung dengan Presiden yang didampingi oleh
Dr. Subandrio, Dr. J. Leimena dan Dr. Chaerul Saleh. Sesuai dengan kesimpulan pembicaraan, maka
ketiga perwira TNI – AD itu bersama dengan Komandan Resimen Cakrabirawa, Brigjen Sabur
diperintahkan membuat konsep surat perintah kepada Letjen Soeharto yang kemudian Surat
Perintah itu lebih dikenal dengan sebutan Surat Perintah 11 Maret (SUPERSEMAR). Isi pokoknya
adalah memerintahkan kepada Letjen Soeharto atas nama Presiden untuk mengambil tindakan yang
dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketertiban serta kestabilan jalannya pemerintahan
dan jalannya revolusi serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan presiden.

DI/TII

1. Latar Belakang dan Tujuan Pemberontakan DI/TII

Gerakan NII ini bertujuan untuk menjadikan Republik Indonesia sebagai sebuah Negara yang
menerapkan dasar Agama Islam sebagai dasar Negara. Dalam proklamasinya tertulis bahwa “Hukum
yang berlaku di Negara Islam Indonesia adalah Hukum Islam” atau lebih jelasnya lagi, di dalam
undang-undang tertulis bahwa “Negara Berdasarkan Islam” dan “Hukum tertinggi adalah Al Qur’an
dan Hadist”. Proklamasi Negara Islam Indonesia (NII) menyatakan dengan tegas bahwa kewajiban
Negara untuk membuat undang-undang berdasarkan syari’at Islam, dan menolak keras terhadap
ideologi selain Al Qur’an dan Hadist, atau yang sering mereka sebut dengan hukum kafir.

Bendera NII. (Wikimedia Commons) [1]


Dalam perkembangannya, Negara Islam Indonesia ini menyebar sampai ke beberapa wilayah yang
berada di Negara Indonesia terutama Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Aceh, dan
Sulawesi Selatan. Setelah Sekarmadji ditangkap oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan dieksekusi
pada tahun 1962, gerakan Darul Islam tersebut menjadi terpecah. Akan tetapi, meskipun dianggap
sebagai gerakan ilegal oleh Negara Indonesia, pemberontakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam
Indonesia) ini masih berjalan meskipun dengan secara diam-diam di Jawa Barat, Indonesia.

Pada Tanggal 7 Agustus 1949, di sebuah desa yang terletak di kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo mengumumkan bahwa Negara Islam Indonesia telah berdiri di
Negara Indonesia, dengan gerakannya yang disebut dengan DI (Darul Islam) dan para tentaranya
diberi julukan dengan sebutan TII (Tentara Islam Indonesia). Gerakan DI/NII ini dibentuk pada saat
provinsi Jawa Barat ditinggalkan oleh Pasukan Siliwangi yang sedang berhijrah ke Jawa Tengah dan
Yogyakarta dalam rangka melaksanakan perundingan Renville.

Saat pasukan Siliwangi tersebut berhijrah, kelompok DI/TII ini dengan leluasa melakukan gerakannya
dengan merusak dan membakar rumah penduduk, membongkar jalan kereta api, serta menyiksa
dan merampas harta benda yang dimiliki oleh penduduk di daerah tersebut. Namun, setelah
pasukan Siliwangi menjadwalkan untuk kembali ke Jawa Barat, kelompok DI/TII tersebut harus
berhadapan dengan pasukan Siliwangi.

Tokoh-tokoh pemberontakan DI TII:

1. Sekarmaji Marijan Karto Suwiryo di Jawa Barat

2. Amir Fatah di Jawa Tengah

3. Daud Beureueh di Aceh

4. Ibnu Hajar di Kalimantan Selatan

5. Kahaz Muzakar di Sulawesi

Penumpasan DI/TII Jawa Barat. Pada awal pemerintah RI berupaya menyelesaikan pemberontakan
dengan cara damai dengan membentuk komite yang dipimpin oleh Moh. Natsir, namun gagal. Maka
ditempuh operasi militer yang dinamakan Operasi Bharatayudha. Kartosuwiryo akhirnya tertangkap
di Gunung Salak Majalaya pada tanggal 4 Juni 1962 melalui operasi Bharatayudha dengan taktik
Pagar Betis yang dilakukan oleh TNI dengan rakyat. Pagar Betis merupakan pelibatan masyarakat
dalam mempersempit gerakan DI/TII. Pemberontakan ini pada awalnya sulit untuk dipadamkan
dikarenakan beberapa faktor yaitu: adanya semangat jihad, wilayah yang mendukung untuk
bergerilya, fokus tentara Indonesia terpecah untuk menghadapi Belanda, sebagian rakyat bersimpati
terhadap perjuangan Kartosuwiryo. Namun pada akhirnya Kartosuwiryo ditangkap dan kemudian
dijatuhi hukuman mati.

Penumpasan DI/TII Jawa Tengah. DI/TII Jawa Tengah yang dipimpin oleh Amir Fatah tidak terlalu
lama. Kurangnya dukungan dari penduduk membuat perlawanannya cepat berakhir.Penyelesaian
pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah dilakukan dengan membentuk pasukan khusus yang diberi
nama Banteng Raiders. Operasi penumpasannya diberi nama Operasi Gerakan Benteng Negara di
bawah pimpinan Letkol Sarbini, kemudian dipimpin oleh Letkol M. Bachrun dan selanjutnya dipimpin
oleh Letkol Ahmad Yani.

Penumpasan DI/TII Sulsel. Untuk mengataasi pemberontakan Kahar Muzakar, pemerintah


melancarkan operasi militer dengan mengirimkan pasukan dari Devisi Siliwangi. Pemberontakan
Kahar Muzakar cukup sulit untuk ditumpas, mengingat pasukan Kahar Muzakar sangat mengenal
medan pertempuran. Akhirnya pada bulan februari 1965 Kahar Muzakar tewas dalam sebuah
pertempuran. Pembrontakan benar-benar dapat ditumpas pada Juli 1965.

Penumpusan DI/TII Aceh. Pemerintah pusat berusaha untuk mengatasi pemberontakan Daud
Beureuh dengan memberikan status daerah istimewa bagi Aceh dengan hak-hak otonomi yang luas.
Atas inisiatif Kolonel yasin, diadakan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh yang berlangsung pada
tanggal 17-21 Desember 1962. Akhirnya pemberontakan DI/TII di Aceh dapat diselesaikan dengan
damai.

Penumpasan DI/TII Kalsel. Penyelesaian pemberontakan Ibnu Hajar dilakukan dengan jalan damai
dan operasi militer. Pada tahun 1963, pasukan Ibnu Hajar dapat ditumpas dan Ibnu hajar dijatuhi
hukuman mati.

DAMPAK PEMBERONTAKAN DI/TII TERHADAP MASYARAKAT

Pemberontakan DI/TII telah menimbulkan keresahan bagi masyarakat. Aksi aksi penculikan terutama
dialamatkan pada tokoh masyarakat yang berpengaruh di suatu kampung dengan harapan menjadi
kaki tangan DI/TII dalam gerakan massa. Mereka yang menjadi sasaran yang akan dijadikan kaki
tangan DI/TII terutama guru sekolah dan guru mengaji, sebab status sosial dan kedudukan mereka,
disamping kharismanya yang diharapkan dapat menarik simpati rakyat yang kemudian mendukung
gerakan DI/TII. Selain dua unsur (tokoh masyarakat) tersebut yang tidak lepas dari incaran untuk
dipengaruhi adalah para kepala kampung dan kepala kepala distrik di setiap daerah yang menjadi
sasaran dari pasukan DI/TII

Kendatipun demikian tidak jarang dari para tokoh masyarakat tersebut yang tidak setuju atau tidak
mau bekerjasama dengan DI/TII. Terhadap mereka minimal ada dua kemungkinan yang terjadi yaitu
melarikan driri atau mengungsi ke tempat yang sulit dijangkau oleh pasukan Di/TII terutama daerah
yang mana terdapat aparat keamanan dan apabila tidak sempat menyingkir, maka yang akan terjadi
kemudian adalah pembunuhan yang bersangkutan. Karena itu banyak warga yang harus menyingkir
meninggalkan kampung halamannya demi untuk menyelamatkan diri dan kelangsungan hidupnya.

Selain melakukan penculikan dan pembunuhan pasukan DI/TII juga melakukan perampokan barang
barang kepunyaan penduduk hampir dalam setiap kali aksi memasuki kampung kampung. Hal ini
sudah tentu terkait dengan upaya penghimpunan dana dalam rangka mobilisasi dan kelangsungan
gerakan DI/TII di daerah Maros. Akibat dari tindakan mereka itu, maka ketika mereka memasuki
suatu kampung, para warga pun berlarian menjauhkan diri dan bersembunyi karena ketakutan
kecuali bagi mereka yang setuju atau mau bekerja sama dengan DI/TII.

Latar Belakang Pemberontakan APRA

APRA adalah pemberontakan yang paling awal terjadi setelah Indonesia diakui kedaulatannya oleh
Belanda. Hasil Konferensi Meja Bundar yang menghasilkan suatu bentuk negara Federal untuk
Indonesia dengan nama RIS (Republik Indonesia Serikat). Suatu bentuk negara ini merupakan suatu
proses untuk kembali ke NKRI, karena memang hampir semua masyarakat dan perangkat-perangkat
pemerintahan di Indonesai tidak setuju dengan bentuk negara federal.

Namun juga tidak sedikit yang tetap menginginkan Indonesia dengan bentuk negara federal, hal ini
menimbulkan banyak pemberontakan-pemberontakan atau kekacauan-kekacauan yang terjadi pada
saat itu. Pemberontakan-pemberontakan ini dilakukan oleh golongan-golongan tertentu yang
mendapatkan dukungan dari Belanda karena merasa takut apabila Belanda meninggalkan Indonesia
maka hak-haknya atas Indonesia akan hilang.

 Westerling
 Sultan hamid II
 Anwar tjokroaminoto
 Komisaris besar jusuf
 R.A.A Male Wiranatakusumah

Penumpasan APRA

Apabila terjadi pemberontakan APRA tidak dijalankan perlawanan yang berarti, kondisi tersebut
diakibatkan karena beberapa faktor. Pertama, karena serangan dijalankan dengan sangat tiba-tia,
pembalasan tembakan pun tidak dijalankan karena orang-orang APRA bercampur dengan orang KNIL
dan KL. Sementara tentang latar belakang aksinya, diduga keras bahwa APRA ingin mendukung
berdirinya negara Pasundan, agar negara tersebut dapat berdiri tanpa gangguan TNI dan
menggunakan APRA sebagai angkatan perangnya.

Secara umum, pasukan Divisi Siliwangi TNI tidak siap karena baru saja memasuki Kota Bandung
setelah perjanjian KMB dengan Belanda. Panglima Siliwangi Kolonel Sadikin dan Gubernur Jawa
Barat Sewaka pada saat kejadian sedang mengadakan peninjauan ke Kota Subang. Sementara di
Jakarta pada pukul 11.00 bertempat di kantor Perdana Mentri RIS diadakan perundingan antara
Perdana Mentri RIS dan Komisaris Tinggi Kerajaan Belanda di Indonesia. Terungkap terdapatnya
keterlibatan tentara Belanda (diperkirakan sekitar 300 tentara Belanda berada di antara pasukan
APRA) dalam peristiwa di Bandung tersebut, maka diputuskan tindakan bersama.

Gerakan tersebut bisa digagalkan dan kemudian diketahui bahwa otaknya adalah Sultan Hamid II,
yang juga menjadi anggota Kabinet RIS sebagai Menteri tanpa portofolio. Sultan Hamid II dapat
segera ditangkap, sementara Westerling sempat melarikan diri ke luar negeri pada 22 Februari 1950
dengan menumpang pesawat Catalina milik Angkatan Laut Belanda. Dengan kaburnya Wasterling,
maka gerakannya pun jadi bubar.

Dampak Pemberontakan APRA

Apabila dilihat dari latar belakang pemberontakan yang dijalankan oleh APRA (Angkatan Perang Ratu
Adil) yang diketuai oleh Raymond Pierre Westerling tersebut bertujuan untuk memperoleh
pengakuan dari pemerintah RIS yang ingin diakui sebagai tentara Pasundan. Selain itu,
pemberontakan tersebut juga bertujuan untuk tetap mempertahankan pemerintahan Republik
Federal dan tidak membutuhkan adanya penyerahan kedaulatan serta adanya tentara tersendiri di
negara-negara bagian RIS. Sehingga terjadilah pemberontakan APRA tersebut yang berlangsung di
daerah Bandung.

Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) tokoh: Mr. Dr. Christian Robert Steven Soumokil
(mantan jaksa agung NIT) , Soumokil, Andi Aziz, Westerling, APRIS ,Kapten Raymond Westerling
,mosi ,pemuka KNIL dan Ir. Manusama, J. Manuhutu, gubernur Sembilan Serangkai yang
beranggotakan KNIL dan Partai Timur Besar, dr. Leimena, Kolonel A.E. Kawilarang, Panglima Tentara
dan Teritorium Indonesia Timur.

RMS

1. Penyebab / Latar Belakang Pemberontakan RMS

Pemberontakan Andi Azis, Westerling, dan Soumokil memiliki kesamaan tujuan yaitu, mereka tidak
puas terhadap proses kembalinya RIS ke Negara Kesatuan Republik Indoneisa (NKRI).
Pemberontakan yang mereka lakukan mengunakan unsur KNIL yang merasa bahwa status mereka
tidak jelas dan tidak pasti setelah KMB. Keberhasilan anggota APRIS mengatasi keadaan yang
membuat masyarakat semakin bersemangat untuk kembali ke pangkuan NKRI. Namun, dalam usaha
untuk mempersatukan kembali masyarakat ke Negara Kesatuan Republik Indonesia terjadi beberapa
hambatan yang diantaranya terror dan intimidasi yang di tujukan kepada masyarakat, terlebih
setelah teror yang dibantu oleh anggota Polisi yang telah dibantu dengan pasukan KNIL bagian dari
Korp Speciale Troepen yang dibentuk oleh seorang kapten bernama Raymond Westerling yang
bertempat di Batujajar yang berada di daerah Bandung. Aksi teror yang dilakukannya tersebut
bahkan sampai memakan korban jiwa karena dalam aksi terror tersebut terjadi pembunuhan dan
penganiayaan. Benih Separatisme-pun akhirnya muncul. Para biokrat pemerintah daerah
memprovokasi masayarakat Ambon bahwa penggabungan wilayah Ambon ke NKRI akan
menimbulkan bahaya di kemudian hari sehingga seluruh masyarakat diingatkan untuk menghindari
dan waspada dari ancaman bahaya tersebut.

Pada tanggal 20 April tahun 1950, diajukannya mosi tidak percaya terhadap parlemen NIT sehingga
mendorong kabinet NIT untuk meletakan jabatannya dan akhirnya kabinet NIT dibubarkan dan
bergabung ke dalam wilayah NKRI. Kegagalan pemberontakan yang di lakukan oleh Andi Abdoel Azis
(Andi Azis) menyebabkan berakhirnya Negara Indonesia Timur. Akan tetapi Soumokil bersama para
anggotanya tidak akan menyerah untuk melepaskan Maluku Tengah dari wilayah Negara Kesatuan
Republik Indoneisa. Bahkan dalam perundingan yang berlangsung di Ambon dengan pemuka KNIL
beserta Ir. Manusaman, ia mengusulkan supaya daerah Maluku Selatan dijadikan sebagai daerah
yang merdeka, dan bila perlu seluruh anggota dewan yang berada di daerah Maluku Selatan
dibunuh. Namun, usul tersebut ditolak karena anggota dewan justru mengusulkan supaya yang
melakukan proklamasi kemerdekaan di Maluku Selatan tersebut adalah Kepala Daerah Maluku
Selatan, yaitu J. Manuhutu. Akhirnya, J. Manuhutu terpaksa hadir pada rapat kedua di bawah
ancaman senjata.

Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) tokoh: Mr. Dr. Christian Robert Steven Soumokil
(mantan jaksa agung NIT) , Soumokil, Andi Aziz, Westerling, APRIS ,Kapten Raymond Westerling
,mosi ,pemuka KNIL dan Ir. Manusama, J. Manuhutu, gubernur Sembilan Serangkai yang
beranggotakan KNIL dan Partai Timur Besar, dr. Leimena, Kolonel A.E. Kawilarang, Panglima Tentara
dan Teritorium Indonesia Timur.
3. Upaya Penumpasan Pemberontakan RMS di Maluku

Dalam upaya penumpasan, pemerintah berusaha untuk mengatasi masalah ini dengan cara
berdamai. Cara yang dilakukan oleh pemerintah yaitu, dengan mengirim misi perdamaian yang
dipimpin oleh seorang tokoh asli Maluku, yakni Dr. Leimena. Namun, misi yang diajukan tersebut
ditolak oleh Soumokil. Selanjutnya misi perdamaian yang dikirim oleh pemerintah terdiri atas para
pendeta, politikus, dokter, wartawan pun tidak dapat bertemu langsung dengan pengikut Soumokil.

Karena upaya perdamaian yang diajukan oleh pemerintah tidak berhasil, akhirnya pemerintah
melakukan operasi militer untuk membersihkan gerakan RMS dengan mengerahkan pasukan
Gerakan Operasi Militer (GOM) III yang dipimpin oleh seorang kolonel bernama A.E Kawilarang, yang
menjabat sebagai Panglima Tentara dan Teritorium Indonesia Timur. Setelah pemerintah
membentuk sebuah operasi militer, penumpasan pemberontakan RMS pun akhirnya dilakukan pada
tanggal 14 Juli 1950, dan pada tanggal 15 Juli 1950, pemerintahan RMS mengumumkan bahwa
Negara Republik Maluku Selatan sedang dalam bahaya. Pada tanggal 28 September, pasukan militer
yang diutus untuk menumpas pemberontakan menyerbu ke daerah Ambon, dan pada tanggal 3
November 1950, seluruh wilayah Ambon dapat dikuasai termasuk benteng Nieuw Victoria yang
akhirnya juga berhasil dikuasai oleh pasukan militer tersebut.

Dengan jatuhnya pasukan RMS yang berada di daerah Ambon, maka hal ini membuat perlawanan
yang dilakukan oleh pasukan RMS dapat ditaklukan. Pada tanggal 4 sampai 5 Desember, melalui
selat Haruku dan Saparua, pusat pemerintahan RMS beserta Angkatan Perang RMS berpindah ke
Pulau Seram. Pada tahun 1952, J.H Munhutu yang tadinya menjabat sebagai presiden RMS
tertangkap di pulau Seram, Sementara itu sebagian pimpinan RMS lainnya melarikan diri ke Negara
Belanda. Setelah itu, RMS kemudian mendirikan sebuah organisasi di Belanda dengan pemerintahan
di pengasingan (Government In Exile).

Beberapa tokoh dari pimpinan sipil dan militer RMS yang tertangkap akhirnya dimajukan ke meja
hijau. Pada tanggal 8 Juni 1955, hakim menjatuhi sanksi hukuman tehadap :

J.H Munhutu, Presiden RMS di Hukum selama 4 Tahun

Albert Wairisal, menjabat sebagai Perdana Menteri Dalam Negeri di jatuhi hukuman 5 Tahun

D.J Gasper, menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri di jatuhi hukuman 4 ½ Tahun

J.B Pattirajawane, menjabat sebagai Menteri Keuangan di jatuhi hukuman selama 4 ½ Tahun

G.G.H Apituley, menjabat sebagai Menteri Keuangan di jatuhi hukuman selama 5 ½ Tahun

Ibrahim Oharilla, menjabat sebagai Menteri Pangan di jatuhi hukuman selama 4 ½ Tahun

J.S.H Norimarna, menjabat sebagai Menteri Kemakmuran di jatuhi hukuman selama 5 ½ Tahun

D.Z Pessuwariza, menjabat sebagai Menteri Penerangan di jatuhi hukuman selama 5 ½ Tahun
Dr. T.A Pattirajawane, menjabat sebagai Menteri Kesehatan di jatuhi hukuman selama 3 Tahun

F.H Pieters, menjabat sebagai Menteri Perhubungan di jatuhi hukuman selama 4 Tahun

T. Nussy, menjabat sebagai Kepala Staf Tentara RMS di jatuhi hukuman selama 7 tahun

D.J Samson, menjabat sebagai Panglima Tertinggi Tentara RMS di jatuhi hukuman selama 10 Tahun

Sementara itu, Dr. Soumokil, pada masa itu ia masih bertahan di hutan-hutan yang berada di pulau
Seram sampai akhirnya ditangkap pada tanggal 2 Desember 1963. Pada Tahun 1964, Soumokil
dimajukan ke meja hijau. Selama persidangan Soumokil berlangsung, meskipun ia bisa berbahasa
Indonesia, namun pada saat itu ia selalu memakai Bahasa Belanda, sehingga pada saat persidangan
di mulai, hakim mengutus seorang penerjemah untuk membantu persidangan Soumokil. Akhirnya
pada tanggal 24 April 1964, Soumokil akhirnya dijatuhi hukuman mati. Eksekusi pun dilaksanakan
pada tanggal 12 April 1966 dan berlangsung di Pulau Obi yang berada di wilayah kepulauan Seribu di
sebelah Utara Kota Jakarta.

Sepeninggal Soumokil, sejak saat itu RMS berdiri di pengasingan di Negeri Belanda. Pengganti
Soumokil adalah Johan Manusama. Ia menjadi presiden RMS pada tahun 1966-1992, selanjutnya
digantikan oleh Frans Tutuhatunewa sampai tahun 2010 dan kemudian digantikan oleh John
Wattilete.

4. Dampak dari Pemberontakan RMS di Maluku

Pada Tahun 1978 anggota RMS menyandera kurang lebih 70 warga sipil yang berada di gedung
pemerintahan Belanda di Assen-Wesseran. Teror tersebut juga dilakukan oleh beberapa kelompok
yang berada di bawah pimpinan RMS, seperti kelompok Bunuh Diri di Maluku Selatan. Dan pada
tahun 1975 kelompok ini pernah merampas kereta api dan menyandera 38 penumpang kereta api
tersebut.

Pada tahun 2002, pada saat peringatan proklamasi RMS yang ke-15 dilakukan, diadakan acara
pengibaran bendera RMS di Maluku. Akibat dari kejadian ini, 23 orang ditangkap oleh aparat
kepolisian. Setelah penangkapan aktivis tersebut dilakukan, mereka tidak menerima penangkapan
tersebut karena dianggap tidak sesuai dengan hukum yang berlaku. Selanjutnya mereka
memperadilkan Gubernur Maluku beserta Kepala Kejaksaan Tinggi Maluku karena melakukan
penangkapan dan penahanan terhadap 15 orang yang diduga sebagai propokator dan pelaksana
pengibaran bendera RMS tersebut. Aksi pengibaran bendera tersebut terus dilakukan, dan pada
tahun 2004, ratusan pendukung RMS mengibarkan bendera RMS di Kudamati. Akibat dari
pengibaran bendera ini, sejumlah aktivis yang berada di bawah naungan RMS ditangkap dan akibat
dari penangkapan tersebut, terjadilah sebuah konflik antara sejumlah aktivis RMS dengan Kelompok
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

Tidak cukup dengan aksi tersebut, Anggota RMS kembali menunjukkan keberadaannya kepada
masyarakat Indonesia. Kali ini mereka tidak segan-segan untuk meminta pengadilan negeri Den
Haang untuk menuntut Presiden SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) dan menangkapnya atas kasus
Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan terhadap 93 aktivis RMS. Peristiwa paling parah terjadi
pada tahun 2007, dimana pada saat itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sedang menghadiri
hari Keluarga Nasional yang berlangsung di Ambon, Maluku. Ironisnya, pada saat penari Cakalele
masuk ke dalam lapangan, mereka tidak tanggung-tanggung untuk mengibarkan bendera RMS di
hadapan presiden SBY.

1. Lata Belakang Pemberontakan Andi Azis

Pemberontakan di bawah naungan Andi Azis ini terjadi di Makassar yang diawali dengan adanya
konflik di Sulawesi Selatan pada bulan April 1950. Kekacauan yang berlangsung di Makassar ini
terjadi karena adanya demonstrasi dari kelompok masyarakat yang anti federal, mereka mendesak
NIT supaya segera menggabungkan diri dengan RI. Sementara itu di sisi lain terjadi sebuah konflik
dari kelompok yang mendukung terbentuknya Negara Federal. Keadaan tersebut menyebabkan
terjadinya kegaduhan dan ketegangan di masyarakat.

Untuk menjaga keamanan di lingkungan masyarakat, maka pada tanggal 5 April 1950 pemerintah
mengutus pasukan TNI sebanyak satu Batalion dari Jawa untuk mengamankan daerah tersebut.
Namun kedatangan TNI ke daerah tersebut dinilai mengancam kedudukan kelompok masyaraat pro-
federal. Selanjutnya para kelompok masyarakat pro-federal ini bergabung dan membentuk sebuah
pasukan “Pasukan Bebas” di bawah komando kapten Andi Azis. Ia menganggap bahwa masalah
keamanan di Sulawesi Selatan menjadi tanggung jawabnya.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa lata belakang pemberontakan Andi Azis adalah :

Menuntut bahwa keamanan di Negara Indonesia Timur hanya merupakan tanggung jawab pasukan
bekas KNIL saja.

Menentang campur tangan pasukan APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat) terhadap
konflik di Sulawesi Selatan.

Mempertahankan berdirinya Negara Indonesia Timur.

Tokoh dalam pemberontakan Andi Azis:

1. Kapten Andi Azis, bekas perwira KNIL (Tentara Kolonial Hindia Belanda) dan pemimpin
pemberontakan

2. Letnan Kolonel Suharto dan Kolonel Alexander Evert Kawilarang, memimpin penumpasan
pemberontakan Andi Azis

3. Letnan Kolonel Ahmad Yunus Mokoginta, komandan Tentara Wilayah Negara Indonesia Timur di
Makassar yang disandera Andi Azis
3. Upaya Penumpasan Pemberontakan Andi Aziz

Untuk menanggulangi pemberontakan yang di lakukan oleh Andi Azis, pada tanggal 8 April 1950
pemerintah memberikan perintah kepada Andi Azis bahwa setiap 4 x 24 Jam ia harus melaporkan
diri ke Jakarta untuk mempertanggungjawabkan perbuatan yang sudah ia lakukan. Untuk pasukan
yang terlibat dalam pemberontakan tersebut diperintahkan untuk menyerahkan diri dan melepaskan
semua tawanan. Pada waktu yang sama, dikirim pasukan yang dipimpin oleh A.E. Kawilarang untuk
melakukan operasi militer di Sulawesi Selatan.

Tanggal 15 April 1950, Andi Azis pergi ke Jakarta setelah didesak oleh Sukawati, Presiden dari Negara
NIT. Namun karena keterlambatannya untuk melapor, Andi Azis akhirnya ditangkap dan diadili untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya, sedangkan untuk pasukan TNI yang dipimpin oleh Mayor
H. V Worang terus melanjutkan pendaratan di Sulawesi Selatan. Pada tanggal 21 April 1950, pasukan
ini berhasil menguasai Makassar tanpa adanya perlawanan dari pihak pemberontak.

Pada Tanggal 26 April 1950, anggota ekspedisi yang dipimpin oleh A.E Kawilarang mendarat di
daratan Sulawesi Selatan. Keamanan yang tercipta di Sulawesi Selatan-pun tidak berlangsung lama
karena keberadaan anggota KL-KNIL yang sedang menunggu peralihan pasukan APRIS keluar dari
Makassar. Para anggota KL-KNIL memprovokasi dan memancing emosi yang menimbulkan terjadinya
bentrok antara pasukan KL-KNIL dengan pasukan APRIS.

Pertempuran antara pasukan APRIS dengan KL-KNIL berlangsung pada tanggal 5 Agustus 1950. Kota
Makassar pada saat itu sedang berada dalam kondisi yang sangat menegangkan karena terjadinya
peperangan antara pasukan KL-KNIL dengan APRIS. Pada pertempuran tersebut pasukan APRIS
berhasil menaklukan lawan, dan pasukan APRIS-pun melakukan strategi pengepungan terhadap
tentara-tentara KNIL tersebut.

Tanggal 8 Agustus 1950, pihak KL-KNIL meminta untuk berunding ketika menyadari bahwa
kedudukannya sudah tidak menguntungkan lagi untuk perperang dan melawan serangan dari lawan.
Perundingan tersebut akhirnya dilakukan oleh Kolonel A.E Kawilarang dari pihak RI dan Mayor
Jendral Scheffelaar dari pihak KL-KNIL. Hasil perundingan kedua belah pihakpun setuju untuk
menghentikan baku tembak yang menyebabkan terjadinya kegaduhan di daerah Makassar tersebut,
dan dalam waktu dua hari pasukan KNIL harus meninggalkan Makassar.

4. Meninggalnya Kapten Andi Azis

Pada tanggal 30 Januari 1984 seluruh keluarga dari Andi Azis diselimuti oleh duka yang mendalam
karena kepergian sang Kapten, Andi Abdoel Azis. Di usianya yang sudah menginjak 61 Tahun, ia
meninggal di Rumah Sakit Husada Jakarta karena serangan jantung yang dideritanya. Andi Azis
meninggalkan seorang Istri dan jenasahnya diterbangkan dari Jakarta Ke Sulawesi Selatan, lalu
dimakamkan di pemakaman keluarga Andi Djuanna Daeng Maliungan yang bertempat di desa
Tuwung, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Dalam suasana duka, mantan Presiden RI, BJ. Habibie
beserta istrinya Hasri Ainun, mantan Wakil Presiden RI, Try Sutrisno dan para anggota perwira TNI
turut berduka cita dan hadir dalam acara pemakaman Andi Azis.

2. Dampak Pemberontakan Andi Aziz

Pada tanggal 5 April 1950, anggota pasukan Andi Azis menyerang markas Tentara Nesional Indonesia
(TNI) yang bertempat di Makassar, dan mereka pun berhasil menguasainya. Bahkan, Letkol
Mokoginta berhasil ditawan oleh pasukan Andi Azis. Akhirnya, Ir.P.D Diapri (Perdana Mentri NIT)
mengundurkan diri karena tidak setuju dengan apa yang sudah dilakukan oleh Andi Azis dan ia
digantikan oleh Ir. Putuhena yang pro-RI. Pada tanggal 21 April 1950, Sukawati yang menjabat
sebagai Wali Negara NIT mengumumkan bahwa NIT bersedia untuk bergabung dengan NKRI (Negara
Kesatuan Republik Indonesia).

5. Hikmah di Balik Pemberontakan Andi Azis

Kapten Andi Abdoel Azis, ia adalah seorang pemberontak yang tidak pernah menyakiti dan
membunuh orang untuk kepentingan pribadinya. Ia hanyalah korban propaganda dari Belanda,
karena kebutaannya terhadap dunia politik. Andi Azis adalah seorang militer sejati yang mencoba
untuk mempertahankan kesatuan Negara Republik Indonesia pada masa itu, dan dalam
kesehariannya, seorang Andi Azis cukup dipandang dan dihargai oleh masyarakat suku Bugis
Makassar yang bertempat tinggal di Tanjung Priok, Jakarta. Disanalah Andi Azis diakui sebagai salah
satu sesepuh yang selalu dimintai nasehat oleh para penduduk tentang bagaimana cara menjadikan
suku Bugis Makassar supaya tetap dalam keadaan rukun dan sejahtera.

Andi Azis dikenal juga sebagai orang yang murah hati dan suka menolong. Ia selalu berpesan kepada
anak-anak angkatnya bahwa “Siapapun boleh dibawa masuk ke dalam rumahnya kecuali 3 jenis
manusia yaitu pemabuk, penjudi, dan pemain perempuan.

Seorang Andi Azis patut kita jadikan sebagai bahan pembelajaran bahwa kita selama hidup di dunia
ini jangan terlalu percaya sama apa yang orang lain katakan, percayalah kepada hati nurani, jangan
terlalu percaya sama orang lain karena orang itu belum tentu bisa mengajak kita ke jalan yang benar
dan mungkin malah mengajak kita untuk berbuat salah. Maka dari itu, alangkah lebih baiknya kita
harus berwaspada dan berhati-hati dalam mempercayai orang lain.

Latar Belakang Pemberontakan PRRI/PERMESTA


Awal Pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), dan PERMESTA
sebenarnya sudah muncul pada saat menjelang pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) pada
tahun 1949 dan pada saat bersamaan Divisi Banteng diciutkan sehingga menjadi kecil dan hanya
menyisakan satu brigade.

Brigade ini pun akhirnya diperkecil lagi menjadi Resimen Infanteri 4 TT I BB. Hal ini memunculkan
perasaan kecewa dan terhina pada para perwira dan prajurit Divisi IX Banteng yang telah berjuang
mempertaruhkan jiwa dan raganya bagi kemerdekaan Indonesia.

Pada saat itu juga, terjadi ketidakpuasan dari beberapa daerah yang berada di wilayah Sumatra dan
Sulawesi terhadap alokasi biaya pembangunan yang diberikan oleh pemerintah pusat. Kondisi ini
diperparah dengan tingkat kesejahteraan prajurit dan masyarakat yang sangat rendah.

Pada saat terbentuknya dewan militer daerah yakni Dewan Banteng yang berada di daerah
Sumatera Barat pada tanggal 20 Desember 1956.merupakan suatu ketidakpuasan

Letnan Kolonel Ahmad Husein yang saat itu menjabat sebagai Komandan Resimen Infanteri 4 TT I BB
diangkat menjadi ketua Dewan Banteng.

Kemudian KASAD mengetahui pada kegiatan ini oleh sebab Dewan Banteng ini bertendensi politik,
maka KASAD melarang para perwira AD untuk ikut dalam dewan tersebut.

Kemudian pada larangan tersebut mengakibatkan Dewan Banteng justru memberikan tanggapan
dengan mengambil alih pemerintahan Sumatera Tengah dari Gubernur Ruslan Muloharjo, dengan
alasan Ruslan Muloharjo tidak mampu melaksanakan pembangunan secara maksimal.

Selain Dewan Banteng yang bertempat di daerah Sumatra Barat, di Medan terdapat juga Dewan
Gajah yang dipimpin oleh Kolonel Maludin Simbolon, Panglima Tentara dan Teritorium I, pada
tanggal 22 Desember 1956. kemudiandiSumatra Selatan terbentuknya Dewan Garuda yang dipimpin
oleh Letkol.Barlian.

Kemudian dibentuklah Dewan perjuangan oleh PRRI dan tidak mengakui kabinet Djuanda.
Selanjutnya Dewan PRRI pada akhirnya membuat sebuah Kabinet baru yang disebut Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia (Kabinet PRRI).

Dewan Perjuangan PRRI melalui RRI Padang mengeluarkan pernyataan berupa “Piagam Jakarta”
yang berisi sejumlah tuntutan yang ditujukan kepada Presiden Soekarno supaya “bersedia kembali
kepada kedudukan yang konstitusional, menghapus segala akibat dan tindakan yang melanggar UUD
1945 serta membuktikan kesediaannya itu dengan kata dan perbuatan…”. Tuntutan tersebut antara
lain :

Menuntut kabinet Djuanda agar mengundurkan diri dan mengembalikan mandatnya kepada
Presiden Soekarno.

Mendesak pejabat presiden, Mr.Sartono agar dapat membuat kabinet baru yang disebut Zaken
Kabinet Nasional

Mendesak kabinet baru tersebut diberi mandat sepenuhnya untuk bekerja hingga pemilihan umum
yang akan datang.

Mendesak Presiden Soekarno membatasi kekuasaannya dan mematuhi konstitusi.

Jika tuntutan tersebut di atas tidak dipenuhi dalam waktu 5×24 jam maka Dewan Perjuangan akan
mengambil kebijakan sendiri.
Tokoh prri

Letnan Kolonel Ahmad Husein

Sjafruddin Prawiranegara

Asaat Dt. Mudo

Maluddin Simbolo

Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo

Moh. Syafei

F. Warouw

Saladin Sarumpaet

Muchtar Lintang

Saleh lahade

Ayah gani usman

Dahlan djambek

Tokoh-Tokoh PRRI/PERMESTA

Inilah tokoh-tokoh yang ikut serta dalam melangsungkan pemberontakan PRRI/PERMESTA, tokoh-
tokoh tersebut di antaranya ialah.

Letnan Kolonel Ahmad Husein

Pejabat-Pejabat Kabinet PRRI, yakni: Mr. Syarifudin Prawiranegara yang menjabat sebagai Menteri
Keuangan. Mr. Assaat Dt. Mudo yang menjabat sebagai Menteri Dalam negeri. Dahlan Djambek
sempat memegang jabatan itu sebelum Mr. Assaat tiba di Padang. Mauludin Simbolon sebagai
Menteri Luar Negeri. Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo menjaba sebagai Menteri Perhubungan
dan Pelayaran. Moh Syafei menjabat sebagai Menteri PKK dan Kesehatan. J.F Warouw menjabat
sebagai Menteri Pembangunan. Saladin Sarumpet menjabat sebagai Menteri Pertanian dan
Pemburuhan. Muchtar Lintang menjabat sebagai Menteri Agama. Saleh Lahade menjabat sebagai
Menteri Penerangan. Ayah Gani Usman Menjabat Sebagai Menteri Sosial. Dahlan Djambek menjabat
sebagai Menteri Pos dan Telekomunikasi.

Mayor Eddy Gagola

Kolonel Alexander Evert Kawilarang

Kolonel D.J Somba

Kapten Wim Najoan

Mayor Dolf Runturambi

Letkol Ventje Sumual

Usaha Pemerintah Menumpas Pemberontakan PRRI/PERMESTA


Terjadinya pemberontakan PRRI/PERMESTA ini mendorong pemerintahan RI untuk mendesak
Kabinet Djuanda dan Nasution aupaya menindak tegas pemberontakan yang dilakukan oleh
organisasi PRRI/PERMESTA tersebut.

Kabinet Nasution dan para mayoritas pimpinan PNI dan PKI menghendaki supaua pemberontakan
tersebut untuk segera di usnahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pada akhir bulan Februari, Angkatan Udara Republik Indonesia memulai pengeboman instansi-
instansi penting yang berada di kota Padang, Bukit Tinggi, dan Manado.

Sebelum pendaratan itu dilakukan, Nasution telah mengiriman Pasukan Resmi Para Komando
Angkatan Darat di ladang-ladang minyak yang berada di kepulauan Sumatera dan Riau.

Pada tanggal 14 Maret 1958, daerah Pecan Baru berhasil dikuasai, dan Operasi Militer kemudian
dikerahkan ke pusat pertahanan PRRI.

Selnjutnya pada4Mei1958 yang mana Bukit tinggi telah berhasil dikuasai dan selanjutnya Pasukan
Tentara Nasional Indonesia (TNI) membereskan daerah-daerah bekas pemberontakan PRRI.

Pada penyerangan tersebut, banyak pasukan PRRI yang melarikan diri ke area perhutanan yang
berada di daerah tersebut.

Dampak Pemberontakan PRRI/PERMESTA

Dalam berakhirnya Pemberontakan yang dilakukan oleh gerakan PRRI/PERMESTA memberikan


dampak yang sangat besar terhadap hubungan dan politik luar negeri Indonesia.

Dengan adanya suatu ukungan dari negara Amerika Serikat dalam terjadi pemberontakan tersebut
sehingga membuat hubungan antara Indonesia dengan Amerika menjadi tidak harmonis.

Begitu juga adanya dukungan dari Amerika Serikat terhadap PRRI/PERMESTA terbukti benar dengan
jatuhnya pesawat pengebom B-26 yang dikemudikan oleh seorang pilot bernama Allen Pope pada
tanggal 18 Mei 1958 di lokasi yang tidak jauh dari kota Ambon.

Dalam persoalan tersebutlah sehingga Presiden RI, Ir.Soekarno beserta para pemimpin sipil, dan
militernya mempunyai perasaan curiga terhadap negara Amerika Serikat dan Negara lainnya.

Malaysia yang baru merdeka pada tahun 1957 ternyata juga mendukung gerakan PRRI dengan
menjadikan wilayahnya sebagai saluran utama pemasok senjata bagi pasukan PRRI.

Hal tersebut terjadi berlaku juga atas Filipina, Singapura, Korea Selatan (Korsel), dan Taiwan juga
mendukung gerakan pemberontakan yang dilakukan oleh PRRI.

Dengan adanya pemberonytakan ini mengakibatkan pemerintah pusat pada akhirnya membentuk
sebuah pasukan untuk menumpas pemberontakan yang dilakukan oleh PRRI.

Sehingga dalam hal ini mengakibatkan pertumpahan darah dan jatuhnya korban jiwa baik dari TNI
maupun PRRI. Selain itu, pembangunan menjadi terbengakalai dan juga menimbulkan rasa trauma di
masyarakat Sumatera terutama daerah Padang.

BFO

Latar belakang persoalan negara federal dan konferensi pembentkan Badan Permusyawaratan
Federal (BFO) pada 27 Mei 1948 dilatarbelakangi oleh sikap Belanda yang tidak mau mengakui
kedaulatan Negara Republik Indonesia, meskipun dalam hal ini Indonesia telah menyatakan merdeka
melalui Proklamasi 1945.

Kedatangan Belanda pasca proklamasi membuat haluan politik Indonesia berubah. Jika awalnya
Indonesia menyakan sebagai negara kesatuan, maka dengan ancaman kedatangan belanda
Soekarno mengubah bentuk negara kesatuan menjadi federal yang dipimpin oleh Sjahrir. Alasannya,
van Mook yang merupakan pimpinan tidak mau berunding dengan Soekarno. Perubahan bentuk
negara ini hanya bersifat politis.

Tokoh tersebut adalah Anak Agung Gde Agung (Negara Indonesia Timur), R.T Adil Puradiredja
(Pasundan), Sultan Hamid II (Borneo Barat), dan T. Mansoer (Sumatera Timur)

Upaya pembubaran BFO adalah dengan pembubaran negara-negara boneka federal bentukan
Belanda, yang berakibat pembubaran Republik Indonesia Serikat (RIS) dan kembalinya bentuk
negara menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dampak

1. Angkatan bersenjata Indonesia akan menghentikan semua aktivitas Gerilya,2. Pemerintah


Republik Indonesia akan menghadiri Konferensi Meja Bundar,3. Pemerintah Republik
Indonesia dikembalikan ke Yogyakarta, dan4. Angkatan bersenjata Belanda akan
menghentikan semua operasi militer dan membebaskan semua tawanan perang.

1. Dampak Negatif

a. Irian Barat belum bisa diserahkan kepada Republik Indonesia

Serikat.

b. Bentuk negara serikat tidak sesuai dengan cita-cita Proklamasi

Kemerdekaan 17 Agustus 1945.

c. Secara tidak langsung Indonesia masih belum terlepas dari Belanda.

d. Hutang Indonesia bertambah karena harus membayar hutang Belanda.

2. Dampak Positif

a. Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia.

b. Presiden Soekarno sebagai Panglima Tertinggi di satu pihak dan Wakil Tinggi Mahkota
Belanda dipihak lain, mengumumkan pemberhentian tembak-menembak. Perintah itu berlaku
efektif mulai tanggal 11 Agustus 1949 untuk wilayah Jawa dan 15 Agustus 1949 untuk wilayah
Sumatera

c. Konflik dengan Belanda dapat diakhiri dan pembangunan

segera dapat dimulai.

d. Indonesia dapat menjalankan pemerintahan tanpa hambatan Belanda.


e. Kapal-kapal perang Belanda akan ditarik dari Indonesia dengan catatan beberapa korvet
akan diserahkan kepada RIS

f. Tentara Kerajaan Belanda selekas mungkin ditarik mundur, sedang Tentara Kerajaan Hindia
Belanda (KNIL) akan dibubarkan dengan catatan bahwa paraanggotanya yang diperlukan akan
dimasukkan dalam kesatuan TNI.

Anda mungkin juga menyukai