Anda di halaman 1dari 19

PERJUANGAN MENGHADAPI ANCAMAN DISINTEGRASI BANGSA

A. Konflik dan pergolakan yang berkaitan dengan ideologi


1. Pemberontakan PKI Madiun 1948
a. Faktor Penyebab terjadinya Pemberontakan PKI tahun 1948 di Madiun
Pemberontakan PKI terjadi akibat Persetujuan perjanjian Renville,
sehingga kabinet Amir Syarifuddin jatuh karena dianggap terlalu menguntungkan
Belanda.Perjanjian Renville dianggap tidak menjamin secara tegas kedudukan
dan kelangsungan hidup Republik Indonesia. Hasil perjanjian Renville membuat
posisi indonesia bertambah sulit.
Isi perjanjian itu adalah sebagai berikut:
1. Wilayah Indonesia diakui berdasarkan garis demarkasi (garis Van Mook), yaitu
garis khayal yang dibuat Van Mook sebagai batas wilayah kekuasaan
Indonesia dan wilayah kekuasaan Belanda.
2. Belanda tetap berdaulat atas seluruh wilayah Indonesia sampai diserahkan
kepada Republik Indonesia Serikat yang akan segera dibentuk
3. RIS mempunyai kedudukan yang sejajar dengan Kerajaan Belanda dalam Uni-
Indonesia-Belanda.
4. Republik Indonesia merupakan Bagian dari Republik Indonesia Serikat.
5. Sebelum RIS terbentuk, Kerajaan Belanda dapat menyerahkan sebagian
kekuasaannya kepada pemerintahan federal sementara
Dengan disetujuinya perjanjian Renville maka wilayah Republik Indonesia
semakin berkurang dan semakin sempit, ditambah lagi dengan blokade ekonomi
yang dilakukan oleh Belanda. Oleh karena itu pada tanggal 23 Januari 1948 Amir
Syarifuddin menyerahkan mandatnya kepada presiden Republik Indonesia.
Presiden kemudian menunujuk Moh. Hatta suntuk menyusun kabinet. Hatta
menyusun kabinet tanpa campur tangan golongan sayap kiri atau sosialis.
Setelah menyerahkan mandatnya kepada Pemerintah Repunlik Indonesia,
Amir Syarifuddin menjadi oposisi dari pemerintahan kabinet Hatta. Ia menyusun
kekuatan dalam Font Demokrasi Rakyat (FDR), yang mempersatukan semua
golongan sosialis kiri dan komunis. Mereka mengadakan pengancaman ekonomi
dengan cara emnghasut kaum buruh untuk melancarkan pemogokan di pabrik
karung Delangu pada tanggal 5 juli 1948. Pada saat FDR melakukan ofensif,
tampillah Musso seorang tokoh PKI yang dikirim oleh pimpinan gerakan komunis
internasional ke Indonesia dengan tujuan untuk merebut pimpinan atas negara
Republik Indonesia dari tangan kaun nasionalis. Ia mengembangkan politik yang
diberi nama “jalan baru”. Sesuai dengan doktrin itu, ia melakukan fusi antara
partai sosialis, partai buruh dan lain-lain menjadi PKI. Ia bersama Amir
Syarifuddin mengambil alih pimpinan PKI itu. PKI melakukan provokasi terhadap
kabinet Hatta dan menuduh pimpinan nasional pada waktu itu seolah olah
bersikap kompromistis terhadap musuh.
Kabinet Hatta sekalipun mendapat serangan dari kaum komunis, tetap
melaksanakan program reorganisasi dan rasionalisasi. Sebagai langkah pertama
untuk melaksanakan Rasionalisasi dalam Angkatan Perang, dikeluarkan
Penetapan Presiden No. 1 Tahun 1948 pada tanggal 2 Januari 1948 yang isinya
antara lain:
1. Pembubaran Pucuk Pimpinan TNI dan Staf Gabungan Angkatan Perang
2. Pengangkatan untuk sementara Kepala Staf umum Angkatan Perang beserta
Wakilnya
3. Mengangkat Jendral Sudirman menjadi Panglima Angkatan Perang Mobil
4. Pengangkatan Angkatan Staf Markas Besar Pertempuran
Program rasionalisasi ini mendapat tantangan hebat dari kaum komunis,
karena menimpa sebagian besar pasukan bersenjatanya. Tetapi politik ofensif
musso itu tidak menggoyahkan kabinet Hatta yang didukung oleh dua partai
politik besar pada saat itu seperti PNI dan Masyumi.
b. Proses pemberontakan yang dilakukan oleh PKI di Madiun tahun 1948
Usaha pertama yang dilakukan FDR/PKI adalah melakukan propaganda
kepada massa akan pentingnya Front Nasional, lewat Front Nasional dilakukan
penggalangan kekuatan revolusioner dari massa buruh, tani, dan kaum miskin
lainnya dengan memanfaatkan keresahan sosial yang ada. Setelah langkah
tersebut, FDR/PKI akan berkoalisi dengan tentara. Konsep tentara dimata FDR
(PKI) harus memiliki konsep seperti tentara merah di Uni Sovyet, tentara harus
memiliki pengetahuan tentang politik dan dibimbing oleh opsir-opsir politik, dan
tentara harus berwatak anti penjajah. Tentara-tentara yang bergabung kemudian,
kebanyakan adalah tentara sakit hati yang terkena program Rasionalisasi dan
Reorganisasi kabinet Hatta dan kebetulan menemukan persamaan visi dengan
FDR (PKI).
Pemberontakan PKI di Madiun tersebut dimulai pada jam 03.00 setelah
terdengar tembakan pestol tiga kali sebagai tanda dimulainya gerakan non
parlementer oleh kesatuan komunis yang disusul dengan gerakan perlucutan
senjata, kemudian kesatuan PKI menduduki tempat-tempat penting di kota
Madiun, seperti Kantor Pos, Gedung Bank, Kantor Telepon, dan Kantor Polisi.
Lalu berlanjut dengan penguasaan kantor radio RRI dan Gelora Pemuda sebagai
alat bagi mereka untuk mengumumkan ke seluruh negeri tentang penguasaan
kota Madiun yang akan memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan akan mendirikan Sovyet Republik Indonesia serta pembentukan
Pemerintahan Front Nasional. Proklamasi ini sendiri diucapkan oleh Supardi,
tokoh FDR dari Pesindo dengan diiringi pengibaran bendera merah.Dengan ini
Madiun dan sekitarnya resmi dinyatakan sebagai daerah yang terbebaskan.
Puncak gerakan yang dilakukan PKI pada tanggal 18 september 1948 yaitu
dengan pernyataan tokoh-tokoh PKI tentang berdirinya Sovyet Republik Indonesia
yang bertujuan mengganti dasar negara pancasila dengan Komunis. Yang
menarik adalah ketika Sovyet Republik Indonesia diproklamirkan Amir Syarifuddin
dan Muso yang selanjutnya di usung sebagai presiden dan wakil presiden malah
berada di luar Madiun.kesatuan-kesatuan yang telah dipersiapkan untuk
melakukan pemberontakan tersebut antara lain:
 kesatuan yang dipimpin oleh Sumartono (Pesindo).
 Pasukan Divisi VI Jawa Timur dibawah pimpinan Kolonel Djokosujono dan
Letkol Dahlan yang waktu itu Panglima Divisinya ialah Kolonel Sungkono.
 Sebagian Divisi Panembahan Senopati yang dipimpin oleh Letkol Suadi dan
Letkol Sujoto.
Dalam gerakan ini kesatuan PKI telah melakukan pembunuhan terhadap
dua orang pegawai pemerintah dan menangkap empat orang militer. Perebutan
kekuasaan ini berjalan lancar, kemudian mereka mengibarkan bendera merah di
depan Balai Kota. Pasukan-pasukan komunis yang dipimpin oleh Sumarsono,
Dahlan dan Djokosujono dengan cepat telah bergerak menguasai seluruh kota
Madiun, karena sebagian besar tentara di kota itu tidak mengadakan perlawanan.
Disamping itu pertahanan kota Madiun sebelumnya praktis sudah dikuasai oleh
Pasukan Brigade 29.121 Perebutan kekuasaan tersebut pada jam 07.00 pagi
telah berhasil sepenuhnya menguasai Madiun.
c. Akhir dari Konflik yang terjadi di Madiun pada tahun 1948
Pemberontakan PKI yang terjadi di Madiun mendorong Pemerintah
Republik Indonesia untuk melakukan tindak tegas.Presiden Soekarno
memusatkan seluruh kekuasaan negara berada ditangannya. Ketika terdengar
berita di Madiun terjadi perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh PKI Musso,
maka dengan segera pemerintah mengadakan Sidang Kabinet Lengkap pada
tanggal 19 September 1948 yang diketuai oleh Presiden Soekarno.
Hasil sidang tersebut mengambil keputusan antara lain ;
1. Bahwa Peristiwa Madiun yang digerakan oleh FDR/PKI adalah suatu
pemberontakan terhadap Pemerintah dan mengadakan instruksi kepada alat-
alat Negara dan Angkatan Perang untuk memulihkan keamanan Negara.
2. Memberikan kuasa penuh kepada Jendral Sudirman untuk melaksanakan
tugas pemulihan keamanan dan ketertiban kepada keadaan biasa di Madiun
dan daerah-daerah lainnya.
Setelah presiden memberi perintah kepada Angkatan Perang untuk
segera mengembalikan keamanan dengan segera diadakan penangkapan
terhadap orang-orang yang membahayakan negara dan diadakan
penggerebegan tempat-tempat yang dianggap perlu. Supaya dapat
melaksanakan tugas dengan baik, Markas Besar Angkatan Perang segera
menetapkan dan mengangkat Kolonel Sungkono Panglima Divisi VI Jawa
Timur sebagai Panglima Pertahanan Jawa Timur yang mendapat tugas
menggerakan pasukan dari arah timur. Karesidenan Madiun untuk menumpas
Pemberontakan PKI Musso dan mengamankan kembali seluruh Jawa Timur
dari anasir pemberontak. Setelah mendapat perintah tersebut Kolonel
Sungkono segera memerintahkan Brigade Surachmad bergerak menuju
Madiun. Pasukan tersebut dipimpin oleh Mayor Jonosewojo yang terdiri atas
Batalyon Sabirin Muchtar bergerak menuju Trenggalek terus ke Ponorogo,
Batalyon Gabungan Pimpinan Mayor Sabaruddin bergerak melalui Sawahan
menuju Dungus dan Madiun, Batalyon Sunarjadi bergerak melalui
Tawangmangu, Sarangan, Plaosan bergerak Divisi Siliwangi yang dipimpin
oleh Letnan Kolonel Sadikin.
Untuk tugas operasi ini Divisi Siliwangi mengerahkan kekuatan 8 Batalyon, yaitu :
1. Batalyon Achmad Wiaranatakusumah,
2. Batalyon Lukas yang menggantikan Batalyon Umar,
3. Batalyon Daeng,
4. Batalyon Nasuhi,
5. Batalyon Kusno Utomo, Letkol Kusno Utomo memegang dua batalyon dan
menjabat sebagai Kepala Staf Brigade,
6. Batalyon Sambas, yang kemudian diganti oleh Batalyon Darsono,
7. Batalyon A. Kosasih,
8. Batalyon Kemal Idris.
Di samping itu juga Pasukan Panembahan Senopati yang dipimpin oleh
Letkol Slamet Ryadi, Pasukan Tentara Pelajar yang dipimpin oleh Mayor Achmadi
dan Pasukanpasukan dari Banyumas yang dipimpin oleh Mayor Surono. Batalyon
Kemal Idris dan Batalyon A. Kosasih yang didatangkan dari Yogyakarta bergerak
ke Utara dengan tujuan Pati. Batalyon Daeng bergeruk ke Utara dengan tujuan
Cepu, Blora, Batalyon Nasuhi dan Batalyon Achmad Wiranata kusumah bergerak
ke Selatan dengan tujuan Wonogiri dan Pacitan. Batalyon Darsono dan Batalyon
Lukas bergerak ke Madiun. Sedangkan Pasukan Panembahan Senopati bergerak
ke Utara, Pasukan Tentara Pelajar yang dipimpin oleh Mayor Achmadi bergerak
ke Timur menuju Madiun melalui Sarangan.
Musso yang melarikan diri ke daerah Ponorogo tertembak mati pada
tanggal 31 Oktober 1948 oleh Brigade S yang dipimpin oleh Kapten Sunandar
sewaktu melakukan patroli. Sedangkan Pada tanggal 20 Nopember 1948
pasukan Amir menuju Tambakromo, sebelah Timur Kayen sebelah Selatan Pati.
Mereka terdiri dari kurang lebih 500 orang, ada yang beserta keluarga mereka.
Keadaan mereka sangat menyedihkan. Banyak diantara mereka yang ingin
melarikan diri, tetapi rakyat selalu siap menangkap mereka. Banyak mayat
pemberontak diketemukan karena sakit, atau kelaparan. akhirnya Amir
menyerahkan diri beserta pasukannya pada tanggal 29 Nopember, saat mereka
menyeberangi Sungai Lusi menuju ke desa Klambu, antara Klampok dan Bringin
(7 Km dari Purwodadi). Pasukan TNI mengadakan taktik menggiring ke titik buntu
yang mematikan. Taktik ini ternyata berhasil, karena pasukan pemberontak
terjepit di daerah rawa-rawa. Mereka dikepung oleh kesatuan-kesatuan TNI,
akhirnya Amir menyerahkan diri beserta pasukannya.
Gerakan Operasi Militer yang dialncarkan oleh pasukan yang taat kepada
pemerintah RI berjalan dengan singkat. Dalam 12 hari Madiun dapat dikuasai
kembali, tepatnya tanggal 30 September 1948 jam 16.15. Setelah Madiun dapat
direbut kembali oleh pasukan-pasukan TNI, maka jam 17.30 sore keamanan telah
terjamin kembali, dan tiap-tiap rumah telah berkibar bendera Merah Putih.
2. Pemberontakan DI/TII
Kata Darul Islam yang sering disingkat DI berasal dari bahasa arab Dar al-
Islam yang secara harfiah berarti “rumah” atau “keluarga” Islam. Dengan begitu
Darul Islam dapat diartikan sebagai dunia atau wilayah Islam. Dimana keyakinan
Islam dan peraturan-peraturan berdasarkan syariat Islam merupakan sebuah
kewajiban yang harus dilaksanakan. Dimana lawan dari Darul Islam itu sendiri
adalah Darul Harb yang berarti wilayah perang, atau dunia kaum kafir, yang
berangsur-angsur ingin dimasukan ke dalam Darul Islam.
Di Indonesia sendiri kata Darul Islam digunakan untuk gerakan-gerakan
sesudah tahun 1945 yang berusaha merealisasikan cita-cita mereka untuk
mendirikan sebuah Negara Islam. Meski sebenarnya pada awalnya sempat
beredar kabar, bahwa sebenarnya DI itu adalah singkatan dari Daerah I, dan
artinya tidak dipahami secara umum. Menurut Alers, kata itu seakan-akan
“Negara kesatuan”. Namun, berbeda dengan Alers, Pinardi mengemukakan
bahwa latar belakangnya adalah suatu pembedaan terhadap daerah dalam
negara Islam. “Daerah I” adalah daerah pusat negara, yang sepenuhnya dikuasai
Oleh suatu pemerintahan Islam dan diatur sesuai dengan hukum Islam. “Daerah
II” terdiri dari daerah-daerah di Jawa Barat yang hanya sebagian saja dikuasai
oleh Negara Islam, sedangkan dalam “Daerah III” untuk daerah yang belum
dikuasai oleh Negara Islam.
Lepas dari apa yang diungkapkan oleh Alers maupun Pinardi sendiri, Darul
Islam telah dicatat dalam sejarah sebagai sebuah gerakan pemberontakan yang
berusaha mendirikan Negara Islam, sementara saat itu Indonesia telah berdiri dan
merdeka sejak tanggal 17 Agustus 1945.
a. Berdirinya DI/TII
Dibalik kemunculan dari Darul Islam itu sendiri sebenarnya ada dua
tokoh yang tercatat berperan dalam membentuk gerakan ini. Tokoh pertama
adalah Kiai Jusuf Tauziri, ia sebutkan sebagai pendiri gerakan Darul Islam pada
tahap pertama, sebagai gerakan Islam yang damai. Yang kemudian ia menarik
dukungannya dari Kartosuwirjo dikarenakan memberontak terhadap pemerintah
Republik Indonesia.
Namun, tokoh yang benar-benar identik dengan gerakan Darul Islam
ini adalah Kartosuwirjo, sosok yang bernama lengkap Sekarmadji Maridjan
Kartosuwirjo ini adalah keturunan Jawa. Meski hampir seluruh karirnya banyak
terjadi di Jawa Barat. Ia bukanlah pribumi Jawa Barat. Ia lahir di Cepu ( Jawa
Tengah), antara Blora dan Bojonegoro, di perbatasan dewasa ini antara Jawa
Tengah dan Jawa Timur, pada 7 Februari 1905.
Ia mendapat pendidikan Barat pada sekolah dasar dan sekolah
menengah yang menggunakan bahasa Belanda. Jadi, ia bukan seorang santri
dari sebuah pesantren. Bahkan diceritakan ia tidak pernah mempunyai
pengetahuan yang benar tentang Bahasa Arab dan Agama Islam. Dari tahun
1923 sampai tahun 1926 ia mengikuti kursus persiapan pada Nederlands Indische
Artsen School (NIAS), yaitu Sekolah Ketabiban Hindia Belanda di Surabaya. Di
Kota itu kemudian ia bertemu dengan H. Oemar Said Tjokroaminoto, yang
kemudian menjadi ketua PSII, serta menjadi bapak angkatnya.
Menurut Pinardi, Kartosuwirjo berhasil memulai studinya dalam ilmu
kedokteran dalam tahun 1926, tetapi setahun kemudian ia dikeluarkan
dikarenakan kegiatan politik yang dilakukannya. Dari tahun 1927 sampai tahun
1929 menjadi sekretaris pribadi Tjokroaminoto. Dan disebutkan dari pengalaman
yang didapatkan dari pemimpin PSII inilah, terbesit niat Kartosuwirjo untuk
mendirikan negara Indonesia yang berdasarkan Islam.
Tahun 1929 Kartosuwirjo pindah ke daerahMalangbong dekat Garut,
bagian timur Jawa Barat, daerah asal istrinya. Ia kemudian bekerja pada PSII di
daerah tersebut. Dan sewaktu berusia 26 tahun ia terpilih sebagai sekretaris
jenderal PSII pada tahun 1931. Dan kemudian setelah meninggalnya
Tjokroaminoto (1934), Wondoamiseno terpilih menjadi ketua PSII, dan
Kartosuwirjo sebagai wakilnya pada tahun 1936.
Kemudian pada tahun-tahun berikutnya terjadi pertentangan ditubuh PSII
sendiri, berkaitan dengan kerjasama dengan pemerintah kolonial. Kartosuwirjo
berada pada pihak nonkooperasi, ia kemudian dianggap radikal dan dikeluarkan
dari PSII.
Namun Kartosuwirjo tidak berhenti sampai disitu, ia kemudian membentuk
PSII tandingan pada tanggal 24 April 1940 di Malangbong bersama Kamran, yang
kemudian menjadi komandan Darul Islam. Pada saat itu Kartosuwirjo juga
mendirikan pesantren di daerah Malangbong. Bernama institute Supah atau
Institut Suffah. Semula institute ini dimaksudkan sebagai latihan kepemimpinan
dalam bidang politik-keagamaan. Namun kemudian berubah menjadi suatu pusat
latihan untuk pasukan gerilya dimasa mendatang (seperti Hizbullah dan Sabilillah)
dikarenakan pada masa pendudukan Jepang, semua kegiatan partai politik
dibekukan. Dimana hal ini sebenarnya merupakan bentuk penyebaran
propaganda dari Kartosuwirjo untuk membentuk “Negara Islam”
Berkaitan dengan Darul Islam Kartosuwirjo dikatakan sempat
memproklamirkan Negara Islam Indonesia pada tanggal 14 Agustus 1945, karena
gagasan mendirikan Negara Islam Indonesia itu sendiri sebenarnya telah
dicanangkan oleh Kartosuwirjo sejak tahun 1942. Namun ia dan gerakannya
kemudian kembali ke Republik, saat Indonesia diproklamirkan. Ia juga kemudian
menjadi anggota pengurus besar partai Masyumi. Ia merangkap sebagai
Komisaris Jawa barat, dan sekretaris I partai tersebut. Selain itu pada masa
jabatan cabinet Amir Sjarifuddin tanggal 3 Juli 1947, Kartosuwirjo sempat ditawari
sebagai menteri muda pertahanan kedua, yang kemudian ditolak oleh sosok itu.
Pada saat agresi militer pertama Belanda, Kartosuwirjo bersama gerakan
DI-nya bergerak mendukung Republik untuk menghancurkan kekuatan Belanda.
Tapi kemudian saat dilakukan persetujuan perjanjian Renville, 8 Desember 1947.
Pasukan TNI harus meninggalkan wilayah Jawa Barat, namun, Kartosuwirjo yang
memimpin Hizbullah dan Sabilillah tidak hijrah, dan bertahan di Jawa Barat.
Sehingga kemudian ia membentuk Darul Islam dan mengganti tentaranya menjadi
TII (Tentara Islam Indonesia), yang bermarkas di Gunung Cepu. Pada akhirnya ini
berujung pada sebuah proklamasi pembentukan Negara Islam Indonesia, dengan
Kartosuwirjo sebagai Imamnya.
Menurut C.A.O. Van Nieuwenhuijze menyebutkan bahwa seorang Kiai
bernama Jusuf Tauziri sebagai pemimpin kerohanian gerakan DI (Darul Islam)
selama tahap pertama. Kemudian seperti yang dikatakan oleh Hiroko Horikoshi,
Kiai Jusuf Tauziri menarik dukungannya ketika Kartosuwirjo memberontak
terhadap Republik 1949. Setelah memutuskan hubungan dengan Kartosuwirjo,
dia menjadi pemimpin Darul Islam, Dunia Perdamaian, suatu gerakan untuk
mendirikan negara Islam dengan cara damai.
Namun, banyak literatur sejarah mengungkapkan bahwa Kartosuwiryo-
lah pemimpin atau pendiri dari Darul Islam. Ia jugalah yang memproklamirkan
Negara Islam Indonesia pada hari-hari sekitar menyerahnya Jepang.
Pembentukan Darul Islam dan TII (tentara Islam Indonesia) sendiri
disebutkan sebagai respon negative yang diberikan oleh pihak Kartosuwirjo atas
adanya perjanjian Renville, antara pemerintah dan pihak Belanda. Kesepakatan
yang mengharuskan TNI menarik diri dari Jawa Barat, hal ini ditolak oleh
Kartosuwirjo, dan Pasukannya, yang kemudian membentuk gerakan Darul Islam
dengan pasukan yang berganti nama menjadi TII (tentara Islam Indonesia)
b. Pemberontakan DI/TII
Menurut Alers, sebenarnya pada tanggal 14 Agustus 1945,
Kartosuwirjo sudah memproklamirkan suatu negara Darul Islam yang merdeka.
Tetapi setelah tanggal 17 Agustus 1945 ia memihak Republik Indonesia yang
diproklamasikan oleh Soekarno-Hatta. Kemudian pada saat Belanda melancarkan
agresi militer I terhadap Republik Indonesia pada tanggal 21 Juli 1947,
Kartosuwirjo menyerukan Perang suci menentang Belanda pada tanggal 14
Agustus.
Kartosuwirjo beserta gerakan DI-nya sebenarnya mendukung Republik
dalam perjuangan melawan Belanda, seperti juga yang dilakukan oleh pasukan
Hizbullah dan Sabilillah yang ada di Jawa Barat, di bawah pimpinan Kamran dan
Oni. Namun masalah kemudian muncul ketika Indonesia melakukan perjanjian
Renville dengan pihak belanda.
Darul Islam kembali bergejolak, hal itu sendiri disebutkan sebagai
reaksi negative dari adanya persetujuan akan perjanjian Renville pada bulan
Januari 1948. Menurut perjanjian tersebut pasukan TNI harus ditarik dari dari
daerah Jawa Barat yang terletak dibelakang garis demarkasi Van Mook. Dan
ketentuan itu harus dilaksanakan pada bulan Februari. Namun sekitar 4000
pasukan Hisbullah dibawah pimpinan Kartosuwirjo, bekas anggota PSII sebelum
perang dan bekas anggota Masyumi menolak untuk berhijrah.
Reaksi keras dari Pihak Kartosuwirjo yang menentang hasil perjanjian
Renville inilah yang dianggap sebagai sebuah pemberontakan bagi para
sejarawan. Dikarenakan sebagai warga negara, Kartosuwirjo beserta pasukannya
bisa menerima dan menjalankan hasil dari perjanjian Renville sendiri. Bukan
malah melakukan perlawanan dengan pihak pemerintah.
Apalagi pada akhirnya Darul Islam sendiri memproklamasikan
kemerdekaannya sebagai Negara Islam Indonesia, sementara saat itu, Indonesia
sudah merdeka. Itu sama saja berarti Darul Islam ingin mendirikan negara di
dalam sebuah negara. Jelas saja itu dianggap sebagai bentuk dari sebuah
gerakan pemberontakan.
Meski sebenarnya diungkapkan bahwa Negara Islam Indonesia tidak
diproklamirkan pada negara Indonesia melainkan diproklamirkan di daerah yang
dikuasai oleh Tentara Belanda, yaitu daerah Jawa Barat yang ditinggalkan oleh
TNI (Tentara Nasional Indonesia) ke Jogya. Sebab daerah de-facto R.I. pada saat
itu hanya terdiri dari Yogyakarta dan kurang lebih 7 Kabupaten saja ( menurut
fakta-fakta perundingan/kompromis dengan Kerajaan Belanda; perjanjian
Linggarjati tahun 1947 hasilnya de-facto R.I. tinggal pulau Jawa dan Madura,
sedang perjanjian Renville pada tahun 1948, de-facto R.I. adalah hanya terdiri
dari Yogyakarta).
Seluruh kepulauan Indonesia termasuk Jawa Barat kesemuanya masih
dikuasai oleh Kerajaan Belanda. Jadi tidaklah benar kalau ada yang mengatakan
PROKLAMASI
bahwa Negara Islam Indonesia didirikan dan diproklamirkan didalam negara
Berdirinya
Republik Indonesia. Negara Islam Indonesia didirikan di daerah yang masih
dikuasai olehNegara
Kerajaan Islam Indonesia
Belanda. Jadi itu berarti gerakan Darul Islam tidak bisa
Bismillahirrahmanirrahim
dikatakan sebagai suatu gerakan pemberontakan.
Dengan Nama Allah
Sementara bagi Yang Maha Pemurah,
pemerintah Indonesia itu sendiri tampaknya tidak
berkeinginan memandang
Maha Pengasihaksi dari Kartosuwirjo ini sebagai suatu pemberontakan
terhadap
Ashhadu alla ilaha illallah, tetapi
Republik Indonesia, hanya dianggap sekedar sebagai suatu
wa ashhadu
gerakan-gerakan tingkat daerah terhadap “Negara Pasundan” buatan Belanda.
anna Muhammadarrasulullah
Karena perlu dijelaskan bahwa pada bulan Maret 1948 kebijakan pembentukan
negaraKami, Ummat
federal Islam Bangsa
yang dianut Indonesia
oleh Belanda telah menghasilkan terbentuknya negara
MENYATAKAN
Pasundan di daerah-daerah yang: diduduki Belanda di Jawa Barat. Artinya Jawa
Barat menjadi salahBERDIRINYA
satu dari negara boneka Belanda. Meski sebagian besar dari
daerah Jawa
NEGARA BaratISLAM
itu sendiri telah dikuasai oleh pihak Darul Islam, dengan
INDONESIA
Tentara Islam Indonesianya.
Maka Hukum yang berlaku atas Negara
Ini menjadi pembantahan bahwa Darul Islam bukanlah sebuah
Islam Indonesia itu, ialah :
pemberontakan, dikarenakan lebih mengarah pada sebuah gerakan untuk
HUKUM
mengambil alih negara ISLAM. bukan membentuk negara dalam negara, yaitu
Pasundan,
Allahu Akbar ! Allahu Akbar ! Allahu
Indonesia.
Akbar ! Namun, tidak sepenuhnya
Atas nama Ummat Islam Bangsa Indonesia alasan di atas bisa diterima,
IMAM NEGARA ISLAM INDONESIA meski Darul Islam membentuk
negara Islam di negara
boneka Belanda, seorang
ttd tokoh bernama Kahin
S.M. KARTOSOEWIRJO mencatat bahwa baru pada
Madinah - Indonesia, akhir bulan Desember 1948
Darul Islam bersikap anti-
Republik secara terang-terangan
Kemudian pada saat Belanda melancarkan agresi militer ke II (19
September 1948) Kartosuwirjo mengulangi seruannya untuk melakukan perang
suci terhadap pihak Belanda. Dengan begitu, pihak Darul Islam sudah secara
terang-terangan tidak terikat dengan Perjanjian Renville lagi.
Dan pada akhirnya pada tanggal 7 Agustus 1949, Kartosuwirjo sebagai
Imam dari DI mendeklarasikan berdirinya negara Islam Indonesia. Sekali lagi ia
secara resmi mendeklarasikan berdirinya Negara Islam Indonesia, yang kali ini
sebagai pengganti terhadap Republik Indonesia (“Yogya”). Inilah yang kemudian
menjadi catatan terbesar untuk menyatakan Darul Islam sebagai sebuah gerakan
pemberontakan. Dimana bunyi dari proklamasi itu yaitu sebagai berikut
Proklamasi kemudian menjadi awal bagi Darul Islam sendiri untuk
mempertahankan keberadaannya. Namun bagaimana juga tetap saja
pembentukan Negara Islam Indonesia didalam sebuah Negara, tetap saja tidak
bisa dibenarkan. Apalagi banyak korban dalam peristiwa ini. Selain itu
keberadaan gerakan yang lengkap dengan tatanan atau jajaran dari sebuah
negara ini, tentu menjadi alasan bahwa gerakan ini bisa dikatakan sebagai
gerakan pemberontakan terhadap kedaulatan negara Republik Indonesia.
c. DI/TII di wilayah-wilayah.
1. Gerakan DI/TII Daud Beureueh (Aceh)
Pemberontakan DI/TII di Aceh dimulai dengan "Proklamasi" Daud
Beureueh bahwa Aceh merupakan bagian "Negara Islam Indonesia" di bawah
pimpinan Imam Kartosuwirjo pada tanggal 20 September1953.
Daued Beureueh pernah memegang jabatan sebagai "Gubernur Militer
Daerah Istimewa Aceh" sewaktu agresi militer pertama Belanda pada
pertengahan tahun 1947. Sebagai Gubernur Militer ia berkuasa penuh atas
pertahanan daerah Aceh dan menguasai seluruh aparat pemerintahan baik sipil
maupun militer. Sebagai seorang tokoh ulama dan bekas Gubernur Militer, Daud
Beureuh tidak sulit memperoleh pengikut.Daud Beureuh juga berhasil
memengaruhi pejabat-pejabat Pemerintah Aceh, khususnya di daerah Pidie.
Untuk beberapa waktu lamanya Daud Beureuh dan pengikut-pengikutnya dapat
mengusai sebagian besar daerah Aceh termasuk sejumlah kota.
Sesudah bantuan datang dari Sumatera Utara dan Sumatera Tengah,
operasi pemulihan keamanan ABRI ( TNI-POLRI ) segera dimulai. Setelah
didesak dari kota-kota besar, Daud Beureuh meneruskan perlawanannya di
hutan-hutan. Penyelesaian terakhir Pemberontakan Daud Beureuh ini dilakukan
dengan suatu " Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh" pada bulan Desember
1962 atas prakarsa Panglima Kodam I/Iskandar Muda, Kolonel Jendral
Makarawong.
2. Gerakan DI/TII Ibnu Hadjar
Pada bulan Oktober 1950 DI/ TII juga tercatat melakukan pemberontakan
di Kalimantan Selatan yang dipimpin oleh Ibnu Hadjar.Para pemberontak
melakukan pengacauan dengan menyerang pos-pos kesatuan ABRI (TNI-
POLRI). Dalam menghadapi gerombolan DI/TII tersebut pemerintah pada
mulanya melakukan pendekatan kepada Ibnu Hadjar dengan diberi kesempatan
untuk menyerah, dan akan diterima menjadi anggota ABRI. Ibnu Hadjar sempat
menyerah, akan tetapi setelah menyerah dia kembali melarikan diri dan
melakukan pemberontakan lagi sehingga pemerintah akhirnya menugaskan
pasukan ABRI (TNI-POLRI) untuk menangkap Ibnu Hadjar. Pada akhir tahun
1959 Ibnu Hadjar beserta seluruh anggota gerombolannya tertangkap dan
dihukum mati.
3. Gerakan DI/TII Amir Fatah
Amir Fatah merupakan tokoh yang membidani lahirnya DI/TII Jawa
Tengah. Semula ia bersikap setia pada RI, namun kemudian sikapnya berubah
dengan mendukung Gerakan DI/TII. Perubahan sikap tersebut disebabkan oleh
beberapa alasan. Pertama, terdapat persamaan ideologi antara Amir Fatah
dengan S.M. Kartosuwirjo, yaitu keduanya menjadi pendukung setia Ideologi
Islam. Kedua, Amir Fatah dan para pendukungnya menganggap bahwa aparatur
Pemerintah RI dan TNI yang bertugas di daerah Tegal-Brebes telah terpengaruh
oleh "orang-orang Kiri", dan mengganggu perjuangan umat Islam. Ketiga, adanya
pengaruh "orang-orang Kiri" tersebut, Pemerintah RI dan TNI tidak menghargai
perjuangan Amir Fatah dan para pendukungnya selama itu di daerah Tegal-
Brebes. Bahkan kekuasaan yang telah dibinanya sebelum Agresi Militer II, harus
diserahkan kepda TNI di bawah Wongsoatmojo. Keempat, adanya perintah
penangkapan dirinya oleh Mayor Wongsoatmojo. Hingga kini Amir Fatah dinilai
sebagai pembelot baik oleh negara RI maupun umat muslim Indonesia.
4. Gerakan DI/TII Kahar Muzakkar
Pemerintah berencana membubarkan Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan
(KGSS) dan anggotanya disalurkan ke masyarakat. Tenyata Kahar Muzakkar
menuntut agar Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan dan kesatuan gerilya lainnya
dimasukkan dalam satu brigade yang disebut Brigade Hasanuddin di bawah
pimpinanya. Tuntutan itu ditolak karena banyak di antara mereka yang tidak
memenuhi syarat untuk dinas militer. Pemerintah mengambil kebijaksanaan
menyalurkan bekas gerilyawan itu ke Corps Tjadangan Nasional (CTN). Pada
saat dilantik sebagai Pejabat Wakil Panglima Tentara dan Tetorium VII, Kahar
Muzakkar beserta para pengikutnya melarikan diri ke hutan dengan membawa
persenjataan lengkap dan mengadakan pengacauan. Kahar Muzakkar mengubah
nama pasukannya menjadi Tentara Islam Indonesia dan menyatakan sebagai
bagian dari DI/TII Kartosuwiryo pada tanggal 7 Agustus1953. Tanggal 3
Februari1965, Kahar Muzakkar tertembak mati oleh pasukan ABRI (TNI-POLRI)
dalam sebuah baku tembak.
5. PENANGKAPAN DI/TII PUSAT
Sebelumnya perlu diketahui bahwa penumpasan DI dilakukan oleh TNI
dari Divisi Siliwangi. Sebenarnya berkaitan dengan Gerakan Darul Islam yang
kemunculannya bersamaan dengan agresi Militer II, TNI sendiri memiliki rencana
tertentu untuk menghadapi agresi militer Belanda II. Dimana TNI menyusun
rencana umum yang terkenal dengan nama Perintah Siasat No.1 atau instruksi
Panglima Besar pada November 1948 yang telah mendapat pengesahan dari
Pemerintah RI. Rencana ini didasarkan atas peraturan pemerintah No. 33 tahun
1948 dan peraturan pemerintahan No 70 tahun 1948. Gerakan TNI atas perintah
ini lebih dikenal dengan sebutan Wingate TNI.
Berkaitan dengan hal itu, Divisi Siliwangi juga memulai gerakan
Wingate-nya, pada tanggal 19 Desember 1948, setelah mendengar Perintah kilat
dari Panglima Besar Sudirman yang merupakan perintah bergerak menyusun
Wehrkreise-wehkreise di tempat-tempat dalam perintah Siasat No.1, seperti telah
disinggung di muka yang antara lain, mengatur :
1. Cara perlawanan, ialah bahwa kita tidak lagi akan melakukan pertahanan
liniar
2. Melakukan siasat /politik bumi hangus
3. Melakukan pengungsian atas dasar politik non-kooperasi.
4. Pembentukan Wehkreise-wehkreise.
Perintah kilat ini disambut dengan gembira oleh anak-anak Siliwangi
yang bagaimanapun juga sudah sangat merindukan kampung halaman mereka di
Jawa Barat. Letnan Kolonial Daan Yahya, Kepala Staf Divisi segera pergi ke
Istana untuk melaporkan, bahwa Siliwangi akan memulai gerakan kembali ke
Jawa Barat sebagaimana yang telah ditentukan dalam perintah siasat No.1.
Kemudian, TNI, Divisi Siliwangi, memulai long march-nya berpindah dari
Jawa Tengah ke Jawa Barat. Hal ini kemudian dianggap oleh pihak Kartosuwirjo
sebagai ancaman bagi kelangsungan dan cita-cita Kartosuwirjo untuk membentuk
Negara Islam. Maka dari itu Pasukan tersebut harus dihancurkan agar tidak
memasuki daerah Jawa Barat.
Pada tanggal 25 Januari 1949 terjadi kontak senjata utuk pertama kalinya
antara pihak TNI, Divisi Siliwangi dan Tentara Islam Indonesia. Bahkan pada
akhirnya terjadi perang segitiga antara DI/TII-TNI-Tentara Belanda.
Pemimpin Masyumi sendiri Moh. Natsir, yang menjadi menteri penerangan
dalam Kabinet Hatta pada tanggal 29 Januari sampai awal agustus 1949,
berusaha menghubungi Kartosuwirjo melalui sepucuk surat pada tanggal 5
Agustus 1949. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk mencegah timbulnya
keadaan yang semakin buruk. Dikarenakan kemelut ini mengakibatkan
penderitaan bagi rakyat Jawa Barat. Bahkan banyak orang-orang tak berdosa
tewas pada pertikaian ini. Moh. Natsir juga kemudian membentuk sebuah komite
yang dipimpin oleh dirinya sendiri di bulan September 1949, sebagai upaya kedua
untuk mengatasi hal ini. Namus sekali lagi ia gagal.
Operasi militer untuk menumpas gerakan DI/TII dimulai pada tanggal
27 Agustus 1949. Operasi ini menggunakan taktik “Pagar Betis” yang dilakukan
dengan menggunakan tenaga rakyat berjumlah ratusan ribu untuk mengepung
gunung tempat gerombolan bersembunyi. Taktik ini bertujuan untuk
mempersempit ruang gerak mereka. Selain itu, juga dilakukan operasi Tempur
Bharatayudha dengan sasaran menuju basis pertahanan mereka. Walaupun
demikian, operasi penumpasan ini memakan waktu yang cukup lama. Baru pada
tanggal 4 Juni 1962, Kartosuwirjo terkurung dan berhasil ditangkap di Gunung
Geber di daerah Majalaya oleh pasukan Siliwangi. Yang kemudian selanjutnya ia
diberi hukuman mati.
3. Peristiwa Gerakan 30 September 1965/PKI
a. Latar Belakang Peristiwa Gerakan 30 September 1965/PKI
Kaum Komunis di dunia mempunyai tujuan yang sama, yaitu merebut
kekuasaan dan menciptakan diktator proletariat. Demikian juga halnya dengan
Partai Komunis Indonesia (PKI).Usaha itu tampak jelas sejak Pemberontakan
Madiun pada 1948 hingga meletusnya Pemberontakan G30S PKI pada 1965.
Sejak D.N. Aidit terpilih menjadi ketua PKI tahun 1951, PKI mulai
menyusun program-program untuk bangkit kembali.Munculnya kembali aktivitas
PKI pada 1951 mendorong Kabinet Sukiman melakukan penangkapan para kader
PKI.Tindakan itu dikenal sebagai Peristiwa Razia Agustus pada 1951.
Pimpinan PKI kemudian harus mengubah dan menyempurnakan taktik
dean strategi organisasinya.Strategi penyusupan bukan hanya ke badan partai-
partai atau organisasi-organisasi yang ada, tetapi juga kedalam angkatan
bersenjata.Hal itu sesuai juga dengan konsep revolusi dari atas dan bawah.Usaha
tersebut berhasilmenjadikan PKI sebagai salah satu dari empat partai besar di
Indonesia sebagai hasil dari pemilu 1955 (PNI, Masyumi, dan PKI).
Dalam rangka membina kader-kader PKI dalam tubuh angkatan
bersenjata, pada 1964, dibentuk Biro Khusus yang langsung di bawah pimpinan
D.N. Aidit.Tokoh-tokoh dalam Biro Khusus ini adalah Pono, Bono, dan Syam
Kamaruzaman. Bersamaan dengan itu, PKI juga menyusup kedalam organisasi-
organisasi politik dan kemasyarakatan yang lain. Di kalangan sendiri, PKI
membina kader-kadernya dan memberi latihan kemiliteran kepada para anggota
Pemuda Rakyat (PR) dan Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia).
Pada awal tahun 1964, sikap PKI semakin agresif. PKI menyerang pihak-
pihak yang dianggap sebagai lawan melalui rapat-rapat umum serta kampanye
melalui media massa dan poster-poster propaganda. PKI mencap musuh-musuh
politiknya sebagai setan desa, setan kota, kabir(kapitalis birokrat), kontrev (kontra
revolusi), agen NEKOLIM (neokolonialisme dan imperialisme), dan lain-lain.
PKI yang melancarkan aksi sepihak.Melalui kader-kadernya, PKI
menghasut kaum buruh dan petani untuk merampas tanah dengan dalih land
reform.Aksi-aksi tersebut diikuti dengan tindakan fisik terhadap orang-orang yang
dianggap sebagai lawan.Tindakan itu tidak sedikit menelan korban jiwa.
Kondisi politik semakin panas akibat pernyataan tersebut.Terlebih lagi pada
saat itu, negara RI sedang menjalankan konfrontasi dengan Malaysia yang
dianggap sebagai proyekNEKOLIM oleh Presiden Soekarno.Malaysia dianggap
sebagai proyek NEKOLIM dari pemerintah Inggris.keadaan itu digunakan oleh
PKI untuk memperkuat diri. Ajaran NASAKOM diusahaan PKI untuk diterapkan
secara struktural dengan mengikutsertakan setiap badan dan kegiatan
pemerintah, termasuk ABRI. NASAKOM sendiri merupakan faham yang terdiri
atas Nasionalis, Agama, dan Komunis.
Pada 14 Januari 1965, ketua CC PKI, D.N. Aidit, menuntut pemerintah agar
mempersenjatai kaum buruh dan tani dengan alasan untuk menghancurkan
NEKOLIM. Tuntutan PKI itu ditampung oleh Front Nasional.PKI mengusulkan
pembentukan Angkatan Kelima yang terdiri atas para kaum buruh dan tani.
Selanjutnya pada 17 Januari 1965 diadakan pertemuan kebulatan tekad di
Jakarta yang dihadiri oleh Pengurus Besar (PB) Front Nasional, pimpinan partai
politik, pengurus organisasi massa, dan golongan karya. Inti kebulatan tekad
tersebut adalah agar pemerintah melatih dan mempersenjatai soko guru revolusi
(kaum buruh dan petani) untuk menghadapi kaum NEKOLIM.Usul tersebut ditolak
secara tegas oleh Angkatan Darat.
PKI menyadari lawannya yang paling berbahaya, adalah Angkatan
Darat.Oleh sebab itu, PKI berusaha mengkambinghitamkan Angkatan Darat
dengan beberapa aksi sepihak. Dalam aksi sepihak ini, kader PKI bersama
anggota Barisan Tani Indonesia (BTI) yang sudah dipengaruhi PKI menghasut
kaum tani untuk langsung menggarap tanah yang menurut mereka menjadi milik
petani berdasarkan Undang-Undang Agraria. Akibatnya, dibeberapa tempat
terjadi bentrok fisik.Tidak sedikit korban yang jatuh ketika pihak militer mencoba
mencegah usaha kaum tani menggarap tanah yang bukan haknya. Aksi-aksi
sepihak PKI ini, antara lain terjadi dalam Peristiwa Bandar Betsy di Sumatra Utara
dan Peristiwa Kanigoro di Kediri pada 1964.

4. Pemberontakan APRA
Setelah Indonesia melangsungkan proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945, tidak
lantas membuat Indonesia langsung terbebas dari berbagai macam peperangan.
Oke, di sini kita akan membahas tentang latar belakang pemberontakan APRA
(Angkatan Perang Ratu Adil) Jadi peristiwa pemberontakan yang dilakukan oleh
APRA ini meletus pada 23 Januari 1950 di Bandung. Pada saat itu APRA melakukan
serangan dan menduduki Kota Bandung. RG Squad pastinya bertanya-tanya apa sih
penyebabnya? Nah latar belakang pemberontakan APRA ini dipicu oleh adanya
friksi dalam tubuh Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS). Friksi yang
terjadi itu antara tentara pendukung unitaris (TNI) dengan tentara pendukung
federalis (KNIL/KL). Pemberontakan APRA ini menjadi tragedi politik dan ideologis
nasional, tepatnya di masa perjuangan Republik Indonesia dalam mempertahankan
kemerdekaan. APRA sendiri dipimpin oleh Raymond Westerling dan memiliki 800
serdadu bekas KNIL. Gerakan yang dipimpin oleh Raymond Westerling ini berhasil
mengusai markas Staf Divisi Siliwangi, sekaligus membunuh ratusan prajurit Divisi
Siliwangi.
Setelah mengusasi Siliwangi, Westerling bekerja sama dengan Sultan Hamid II
merencanakan untuk menyerang Jakarta. Tujuannya adalah untuk menculik dan
membunuh menteri-menteri Republik Indonesia Serikat (RIS) yang saat itu tengah
bersidang. Tapi usaha yang direncanakan oleh Westerling itu bisa digagalkan lho
Squad. Semuanya itu berkat pasukan APRIS. APRIS mengirimkan kesatuan-
kesatuannya yang berada di Jawa Tengah dan di Jawa Timur. Perdana Menteri RIS
pada waktu itu Drs. Moh. Hatta, melakukan perundingan dengan Komisaris Tinggi
Belanda dalam merespon hal tersebut.
berkat perundingan yang diadakan oleh Drs. Moh. Hatta dengan Komisaris Tinggi
Belanda, akhirnya Mayor Jenderal Engels yang merupakan Komandan Tinggi
Belanda di Bandung, mendesak Westerling untuk meninggalkan Kota Bandung.
Berkat hal itu, APRA pun berhasil dilumpuhkan oleh pasukan APRIS. Akibat
tindakan Raymond Westerling ini, rakyat semakin menuntut untuk mengembalikan
Indonesia ke bentuk negara kesatuan.
5. Pemberontakan RMS

Setelah memproklamasikan kemerdekaan, ternyata Indonesia tidak lantas terlepas


dari ketegangan-ketengangan antarkelompok masyarakat, Beberapa wilayah yang
berada di Indonesia menolak untuk bergabung dengan Negara Kesatuan Republik
Indonesia, salah satunya Maluku, beberapa wilayah tersebut tidak setuju dengan
didirikannya NKRI, hingga berujung pemberontakan Republik Maluku Selatan.
Didirikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia, menimbulkan respon dari
masyarakat Maluku Selatan saat itu. Seorang mantan jaksa agung Negara
Indonesia Timur, Mr. Dr. Christian Robert Soumokil, memproklamirkan berdirinya
Republik Maluku Selatan pada tanggal 25 April 1950. Hal ini merupakan bentuk
penolakan atas didirikannya NKRI, Soumokil tidak setuju dengan penggabungan
daerah-daerah Negara Indonesia Timur ke dalam wilayah kekuasaan Republik
Indonesia. Dengan mendirikan Republik Maluku Selatan, Ia mencoba untuk melepas
wilayah Maluku Tengah dan NIT dari Republik Indonesia Serikat.
Berdirinya Republik Maluku Selatan ini langsung menimbulkan respon pemerintah
yang merasa kehadiran RMS bisa jadi ancaman bagi keutuhan Republik Indoensia
Serikat. Maka dari itu, pemerintah langsung ambil beberapa keputusan untuk
langkah selanjutnya.
Tindakan pemerintah yang pertama dilakukan adalah dengan menempuh jalan
damai. Dr. J. Leimena dikirim oleh Pemerintah untuk menyampaikan permintaan
berdamai kepada RMS, tentunya membujuk agar tetap bergabung dengan NKRI.
Tetapi, langkah pemerintah tersebut ditolak oleh Soumokil, justru ia malah meminta
bantuan, perhatian, dari negara lain, terutama dari Belanda, Amerika Serikat, dan
komisi PBB untuk Indonesia.
Ditolaknya mentah-mentah ajakan pemerintah kepada RMS untuk berdamai,
membuat pemerintah Indonesia memutuskan untuk melaksanakan ekspedisi militer.
Kolonel A.E. Kawilarang dipilih sebagai pemimpin dalam melaksanakan ekspedisi
militer tersebut. Kalian tahu ngga beliau itu siapa? Beliau itu adalah panglima tentara
dan teritorium Indonesia Timur. Ia dirasa mengerti dan paham bagaimana kondisi
Indonesia di wilayah timur.
Akhirnya kota Ambon dapat dikuasai pada awal November 1950. Akan tetapi, ketika
melakukan perebutan Benteng Nieuw Victoria, Letnan Kolonel Slamet Riyadi gugur.
Namun, perjuangan gerilya kecil-kecilan masih berlanjut di Pulau Seram sampai
1962. Setelah itu, pada tanggal 12 Desember 1963, Soumokil akhirnya dapat
ditangkap dan kemudian dihadapkan pada Mahkamah Militer Luar Biasa di Jakarta.
Berdasarkan keputusan Mahkamah Militer Luar Biasa, Soumokil dijatuhi hukuman
mati.
Setelah RMS mengalami kekalahan di Ambon, serta Soumokil yang telah dijatuhkan
hukuman mati, pada akhirnya pemerintahan RMS mulai mengungsi dari pulau-pulau
yang di tempati sebelumnya dan membuat pemerintahan dalam pengasingan di
Belanda. Sebanyak 12.000 tentara Maluku bersama keluarganya berangkat ke
Belanda setahun setelahnya. Pada akhirnya pemberontakan RMS berhasil
dihentikan oleh pemerintah Indonesia.

6. Pemberontakan Andi aziz

Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan terjadi beberapa kali


pemberontakan. Setelah pemberontakan yang dilakukan oleh APRA pada 23
Januari 1950, terjadi lagi pemberontakan Andi Azis pada April 1950.
Pada awal April 1950, pemberontakan Andi Azis terjadi di Makassar, Ujung
Pandang, Sulawesi Selatan. Pemberontakan ini dipimpin oleh Kapten Andi Azis
sendiri, Ia merupakan mantan perwira KNIL dan baru diterima masuk ke dalam
APRIS. Andi Azis bersama gerombolannya ingin mempertahankan Negara
Indonesia Timur. Selain itu, hal ini juga dilatarbelakangi oleh penolakan terhadap
masuknya anggota TNI ke dalam bagian APRIS.
Pada 5 April 1950, gerombolan Andi Azis mulai melancarkan serangan. Mereka
menyerang serta menduduki tempat-tempat penting, selain itu mereka juga
menawan seorang Panglima Teritorium Indonesia Timur, yaitu Letnan Kolonel A.J.
Mokoginata. Mengetahui hal tersebut, pemerintah kemudian mengeluarkan
ultimatum sebagai bentuk reaksi atas kejadian tersebut pada tanggal 8 April 1950.
Ultimatum yang dilayangkan isinya memerintahkan kepada Andi Azis untuk
melaporkan diri sekaligus harus mempertanggungjawabkan perbuatannya itu ke
Jakarta, Andi Azis diberi waktu selama 4 hari. Selain itu Andi Azis juga diminta untuk
menyerahkan senjata beserta menarik pasukannya, dan diminta untuk
membebaskan para sandera. Ternyata Andi Azis sama sekali tidak menggubris
ultimatum tersebut. karena Andi Azis tidak menggubris, maka pemerintah langsung
bereaksi dengan mengirim pasukan-pasukan ekspedisi. Pasukan ekspedisi
mendarat di Makassar pada tanggal 26 April 1950 di bawah pimpinan Kolonel Alex
Kawilarang, pada saat itu terjadilah pertempuran.
Beberapa bulan kemudian tepatnya pada 5 Agustus 1950, pasukan Andi Azis secara
tiba-tiba mengepung markas staf Brigade 10/Garuda Mataram di Makassar.
Pengepungan itu tidak berangsur lama, pasukan TNI kemudian berhasil memukul
mundur pasukan pemberontakan itu. Setelah bertempur selama 2 hari, KNIL/KL
(pasukan pendukung Andi Azis) meminta berunding dengan TNI.
Pada ahirnya pihak pemerintah menghasilkan kesepakatan-kesepakatan hasil
perundingan dengan pihak KNIL.
7. Pemberontakan PRRI/Permesta

Peristiwa ini merupakan salah satu peristiwa yang sangat penting bagi bangsa
Indonesia. Ada beberapa hal yang menjadi pemicunya, misalnya
ketidakharmonisan pemerintah pusat dan pemerintah daerah terutama di
daerah Sumatera dan Sulawesi. Hal itu merupakan akibat dari masalah otonomi
daerah serta perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. PRRI adalah
singkatan dari Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia, sementara
Permesta adalah singkatan dari Perjuangan Semesta atau Perjuangan Rakyat
Semesta. Pemberontakan keduanya sudah muncul saat menjelang pembentukan
Republik Indonesia Serikat (RIS) tahun 1949. Akar masalahnya yaitu saat
pembentukan RIS tahun 1949 bersamaan dengan dikerucutkan Divisi Banteng
hingga hanya menyisakan 1 brigade saja. Kemudian, brigade tersebut diperkecil
menjadi Resimen Infanteri 4 TT I BB. Kejadian itu membuat para perwira dan prajurit
Divisi IX Banteng merasa kecewa dan terhina, karena mereka merasa telah
berjuang hingga mempertaruhkan jiwa dan raganya untuk kemerdekaan
Indonesia. Selain itu, ada pula ketidakpuasan dari beberapa daerah seperti
Sumatera dan Sulawesi terhadap alokasi biaya pembangunan yang diberikan oleh
pemerintah pusat. Kondisi ini pun diperparah dengan tingkat kesejahteraan prajurit
dan masyarakat yang sangat rendah. Akibat adanya berbagai permasalahan
tersebut, para perwira militer berinisiatif membentuk dewan militer daerah, sebagai
berikut:

PRRI selanjutnya membentuk Dewan Perjuangan dan sekaligus tidak mengakui


kabinet Djuanda, maka terbentuklah kabinet PRRI. Pada tanggal 9 Januari 1958
para tokoh militer dan sipil mengadakan pertemuan di Sungai Dareh, Sumatera
Barat. Pertemuan tersebut menghasilkan sebuah pernyataan berupa “Piagam
Jakarta” dengan isi berupa tuntutan agar Presiden Soekarno bersedia kembali
kepada kedudukan yang konstitusional, serta menghapus segala akibat dan
tindakan yang melanggar UUD 1945 dan membuktikan kesediaannya itu dengan
kata dan perbuatan.
Selanjutnya Letnan Kolonel Ahmad Husein pada tanggal 15 Februari 1958
memproklamirkan berdirinya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia
(PRRI) dengan perdana menteri Syafruddin Prawiranegara. Hal ini merupakan
respon atas penolakan tuntutan yang diajukan oleh PRRI. Pada saat dimulainya
pembangunan pemerintahan, PRRI mendapat dukungan dari PERMESTA dan
rakyat setempat. Dengan bergabungnya PERMESTA dengan PRRI, gerakan
kedua kelompok itu disebut PRRI/PERMESTA.
Untuk menumpas pemberontakan, pemerintah melancarkan operasi militer
gabungan yang diberi nama Operasi Merdeka, dipimpin oleh Letnan Kolonel
Rukminto Hendraningrat. Operasi ini sangat kuat karena musuh memiliki
persenjataan modern buatan Amerika Serikat. Terbukti dengan ditembaknya
Pesawat Angkatan Udara Revolusioner (Aurev) yang dikemudikan oleh Allan L.
Pope seorang warga negara Amerika Serikat. Akhirnya, pemberontakan
PRRI/Permesta baru dapat diselesaikan pada bulan Agustus 1958, dan pada tahun
1961 pemerintah membuka kesempatan bagi sisa-sisa anggota Permesta untuk
kembali Republik Indonesia.

Lampiran 2 : Media Pembelajaran


Dua Tokoh Pemberontakan PKI Madiun
Amir Sjarifuddin Musso atau Paul
Mussotte

Drs. Muhammad Hatta R.M. Soeryo Jend. Gatot Soebroto

Pasukan APRA
Dr. CH Smoukil

Pemberontakan PRRI/Permesta
Andi Aziz

Dari hasil Pemilu 1955 PKI 4 besar

Diaroma penyiksaan para jenderal Monumen Pancasila Sakti


Soeharto Soekarno dan Soeharto

Anda mungkin juga menyukai