Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang Pemberontakan PKI Madiun


Di awal kemunculannya Partai Komunis Indonesia sudah dianggap sebagai sebagai suatu
organisasi yang dicap memiliki sifat “radikal”. Sebelum berbentuk partai, para kaum komunis
mulai membangunnya melalui sebuah organisasi yang bernama Indische Sosiale Democratie
Veereningen (ISDV). Organisasi tersebut terbentuk pada zaman kolonial Hindia Belanda atau lebih
tepatnya di tahun 1913.

Sementara itu, di eropa sekitar tahun 1917 terutama negara Rusia mulai membentuk republik
dengan ideologi komunis. Dengan kehadiran paham komunis, maka bangsa-bangsa yang terjajah
akan tertarik untuk menggunakan paham ini termasuk negara Indonesia (dijajah Belanda). Paham
ini dipercaya dapat memberikan kebebasan kepada bangsa dan negara yang sedang dijajah. Dengan
alasan itu juga, maka para kaum komunis Indonesia segera membentuk sebuah Partai Komunis
Indonesia (PKI).

Terbentuknya PKI dengan tujuan untuk membangun semangat masyarakat Indonesia terutama
buruh untuk melakukan perlawanan atau pemberontakan kepada pemerintah Hindia Belanda.
Ternyata pergerakan PKI ini semakin lama semakin membesar, banyak masyarakat terutama para
buruh dan para petani yang terkena rayuan atau janji manis dari para kaum komunis atau anggota
PKI, bahkan bisa dibilang memiliki pengaruh yang cukup besar.

Pada masa itu, masyarakat yang bekerja sebagai buruh dan petani cukup banyak, seperti buruh
yang bekerja di kantor pos, kantor kereta api, pabrik, dan lain-lain. Salah satu hal yang
melatarbelakangi terjadinya pemberontakan PKI Madiun adalah perjanjian Renville yang telah
disetujui, sehingga wilayah dari Republik Indonesia semakin mengecil dan semakin berkurang.
Bahkan, kolonial Belanda memblokade jalur ekonomi Indonesia.

Perjanjian Renvile yang telah disetujui membuat Amir Syarifudin memberikan tanggung jawabnya
untuk membentuk kabinet kepada Presiden Indonesia pada saat itu, Soekarno. Akan tetapi,
Soekarno menyerahkan tugas membentuk kabinet kepada Moh. Hatta. Amanat yang telah diberikan
dari Soekarno, maka Moh. Hatta membentuk kabinet tanpa adanya campur tangan dari kaum kiri
atau kaum sosialis.

Setelah Amir Syarifudin mulai mundur dari kepengurusan kabinet, maka ia bersama kawan-kawan
paham komunis mulai menciptakan sebuah organisasi, Front Demokrasi Indonesia (FDR). Bukan
hanya membentuk FDR saja, Amir Syarifudin juga mulai melakukan kerja sama dengan organisasi-
organisasi yang memiliki paham kiri, seperti Partai Komunis Indonesia, Barisan Tani Indonesia
disingkat menjadi BTI, Pemuda Sosialis Indonesia disingkat menjadi Pesindo, dan lain-lain.

Selain itu, terbentuknya suatu kabinet yang dibentuk oleh Moh. Hatta, yaitu Rekonstruksi dan
Rasionalisasi (ReRa) juga menjadi hal yang melatarbelakangi terjadinya pemberontakan dari PKI
Madiun. Ha ini dikarenakan, paham komunis yang ingin disebarluaskan tidak maksimal, sehingga
bagi kaum komunis melakukan pemberontakan di Madiun menjadi salah satu cara agar paham
komunis di Indonesia dapat tersebar ke seluruh penjuru daerah yang ada di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN

A.Peristiwa Pemberontakan PKI Madiun


Peristiwa pemberontakan PKI Madiun bisa dibilang dimulai dari adanya perubahan gerakan
komunis internasional dan yang menjadi pemimpinnya adalah Stalin. Perubahan itu membuat
munculnya dua kubu dalam gerakan komunis. Pertama kubu imperialis dan anti dengan demokrasi
serta yang menjadi pemimpin dari kubu ini adalah Amerika Serikat. Kedua, kubu anti imperialis
tetapi demokratis, pemimpin dari kubu ini adalah negara Uni Soviet.

Dengan adanya pembagian kubu tersebut membuat negara-negara yang telah menjadi anggota
komunis mulai berganti arah. Di sisi lainnya, PKI mulai merancang sebuah strategi dengan cara
mengikuti rancangan tentara merah Uni Soviet. Rancangan tersebut digagas oleh menteri
pertahanan, Amir Syarifudin yang sekaligus orang yang ikut andil dalam kelahiran PKI. Namun,
dua Jenderal besar Indonesia, Jenderal Soedirman dan Jenderal Oerip Soemohardjo menolak
sebuah gagasan yang dikeluarkan oleh Amir Syarifudin. Mereka beranggapan bahwa tentara rakyat
dan tentara pejuang adalah Tentara Republik Indonesia (TRI) dan bukan tentara yang
menggunakan konsep dari negara luar, yaitu tentara merah.

Amir Syarifudin tak menyerah begitu saja, ia mulai mengembangkan idenya agar PKI ini
meluas dengan cara membuat suatu pendidikan politik tentara dalam bentuk sebuah lembaga.
Menteri pertahanan, Amir Syarifudin mulai memberikan ajaran dan pemahaman komunis pada
anggota tentara. Selain itu, ia juga memberikan pangkat militer agar para anggota tentara lebih
yakin untuk mengikuti pendidikan politik tentara.

Hal yang mengejutkan terjadi, sebuah rencana untuk mengembangkan PKI menjadi terganggu
karena Presiden Soekarno mulai mengeluarkan perintah tentang Tentara Republik Indonesia (TRI)
dan laskar-laskarnya untuk digabungkan menjadi satu kesatuan dan berubah nama menjadi Tentara
Nasional Indonesia (TNI). Amir Syarifudin yang mendengar perintah tersebut mulai mencari cara
untuk mengembangkan PKI. Ia mulai menciptakan TNI masyarakat serta Direktorat Jenderal
Angkatan Laut yang pusatnya ada di Lawang. Selain itu, Direktorat Jenderal Angkatan Laut mulai
menciptakan kembali sebuah tentara Laut Republik Indonesia (TLRI). Dengan kehadiran TLRI
diharapkan angkatan bersenjata dapat mengembangkan PKI di Indonesia.

Akan tetapi, paham komunis yang ingin disebarkan melalui angkatan bersenjata ternyata
digagalkan oleh dua Jenderal besar Indonesia, yaitu Jenderal Soedirman dan Jenderal Oerip
Soemohardjo.Penyebaran paham komunis, mulai mengalami kemunduran karena kabinet Amir
Syarifudin mengalami penolakan dari KNIP setelah perjanjian Renville terjadi. Dengan penolakan
tersebut, maka kabinet yang dirancang oleh Amir Syarifudin tidak mengalami kemajuan, bahkan
mendekati kata gagal. Amir Syarifudin tak menyerah untuk menyebarkan paham komunis, ia mulai
mencari partai yang pro dengan paham komunis agar bergabung ke dalam Front Demokrasi Rakyat
(FDR).

Di tengah-tengah kehadiran FDR di Indonesia, ada seorang tokoh komunis yang sudah melarikan
diri datang kembali ke Indonesia dan tokoh itu bernama Muso. Setelah kehadirannya ini, Muso
mulai memegang kendali untuk mengendalikan pemahaman komunis di Indonesia. Hingga pada
akhirnya, Muso menjadi ketua dari Comite Central Partai Komunis Indonesia (CC PKI). Jabatan
ketua di komite ini sebelumnya dijabat oleh Sardjono. Muso juga membuat sebuah struktur
kepengurusan, yaitu Amir Syarifudin yang diangkat menjadi sekretaris yang mengurus bidang
pertahanan, Suripso yang memegang kendali segala urusan luar negeri, M.H. Lukman memimpin
sekretariat agitrasi dan propaganda. D.N. Aidit yang diberikan tugas untuk mengurusi segala hal
tentang buruh, dan Njoto yang menjabat sebagai wakil PKI.

Setiap anggota yang memiliki jabatan di PKI mulai mengembangkan paham komunis dengan cara
melakukan pidato-pidato ke beberapa daerah seperti Solo, Sragen, Madiun, dan Yogyakarta. Setiap
pidato yang dilakukan oleh para kepengurusan PKI bertujuan untuk menjatuhkan derajat
pemerintah Republik Indonesia. Mereka (kaum PKI), juga mengancam kepada aparatur pemerintah
seperti kepala desa agar bergabung ke PKI. Partai Komunis Indonesia (PKI) melakukan
pemberontakan di negara Indonesia dimulai dari daerah Madiun, Jawa Timur. Mereka melakukan
pemberontakan ini dimulai dari pukul 03.00 yang ditandai dengan tembakan pistol sebanyak tiga
kali. Ketika suara tembakan tersebut, mereka (PKI) mulai melakukan gerakan non-parlementer.
Bahkan, bukan hanya gerakan non-parlementer saja yang dipimpin langsung oleh PKI, tetapi ada
gerakan pelucutan senjata. Hingga pada akhirnya PKI berhasil menguasai kota Madiun, mulai dari
kantor polisi, bank, kantor telepon, dan kantor pos.

Tak sampai disitu saja, PKI sangat berkeinginan agar seluruh Indonesia mengetahui bahwa kota
Madiun sudah dikuasai olehnya. PKI ingin mengumukan bahwa kota Madiun sudah menjadi kota
yang akan berdiri sendiri atau berpisah dari negara Republik Indonesia. Untuk melakukan hal itu,
PKI mulai menguasai Radio Republik Indonesia (RRI) dan Gelora Pemuda. Para TNI yang
mendengar kabar ini langsung bertugas agar pemahaman komunis tidak berkembang lebih luas.
Namun, pada tanggal 19 September 1948, Muso (ketua PKI) mulai membuat Front Nasional,
sehingga kota Madiun diambil alih oleh PKI. Diambilnya kota Madiun dikarenakan pasukan TNI
tidak sudah dipojokkan oleh para kaum PKI. Terlalu banyak korban jiwa atas peristiwa
pemberontakan PKI Madiun membuat pemerintah Republik Indonesia membuat suatu rencana
untuk mencari jalan tengah dari konflik ini. Maka dari itu, rakyat diberikan kesempatan untuk
memiliki kepemimpinan kepala negara, ingin dipimpin oleh Muso atau dipimpin oleh Soekarno
dan Moh. Hatta.

Pada akhirnya, masyarakat Indonesia lebih memilih Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) dipimpin oleh Soekarno dan Moh. Hatta. Dengan dipilihnya Soekarno, maka Soekarno
mengambil sikap melalui pemerintahan Indonesia untuk memberantas PKI dan antek-anteknya.
B.Tujuan Pemberontakan PKI Madiun
Terjadinya pemberontakan yang dilakukan oleh PKI di Madiun mempunyai beberapa tujuan, yaitu:

1. Bertujuan Untuk Mengubah Ideologi Pancasila Dengan Ideologi Komunis


Sesuai dengan namanya, maka paham yang digunakan oleh PKI adalah komunis. Mereka kaum
komunis sangat ingin untuk mengubah negara Indonesia yang tadinya menggunakan paham
Pancasila menjadi paham Komunis. Hal ini dikarenakan para anggota komunis yang bergabung di
dalam PKI sangat ingin menjadikan negara Indonesia sebagai negara komunis. Dengan adanya
tujuan ini, maka bangsa Indonesia terbagi menjadi dua kubu, ada yang memegang teguh Pancasila
dan ada juga yang berpindah ke paham komunis.

2. Bertujuan Meruntuhkan Kabinet Moh. Hatta (Rekonstruksi dan Rasionalisasi


(ReRa)
Tujuan kedua dari pemberontakan PKI Madiun adalah meruntuhkan kabinet Moh. Hatta
Rekonstruksi dan Rasionalisasi (ReRa). Munculnya kabinet ini dikarenakan Amir Syarifudin
menyerahkannya kepada Presiden Indonesia, Soekarno dan Soekarno memberikan tugas ini kepada
Moh. Hatta. Maka dari itu, salah satu pencetus untuk meruntuhkan kabinet Moh. Hatta adalah Amir
Syarifuddin, karena sebagian besar wilayah Indonesia sudah hilang, sehingga takut paham komunis
tidak dapat tersebar ke seluruh penjuru negeri.

3. Bertujuan Untuk Menjadikan Muso Dan Amir Syarifuddin Sebagai Presiden


Dan Perdana Menteri
Tujuan ketiga dari PKI adalah menjadikan Muso dan Amir Syarifudin sebagai Presiden dan
Perdana Menteri. Dengan tujuan ini, mereka (kaum komunis) sangat berkeinginan untuk paham
komunis menyebar ke seluruh masyarakat Indonesia. Tujuan dari PKI ini menciptakan perpecahan
antara masyarakat, sehingga terbagi menjadi dua kubu. Bahkan sampai banyak orang yang
meninggal dunia karena tujuan dari PKI ini.

Tokoh PKI Madiun


Tokoh-tokoh yang memiliki peran dalam berdirinya dan berkembangnya Partai Komunis Indonesia
(PKI) sebagai berikut.

1. Muso 4. D.N. Aidit 7. Darsono

2. Amir Syarifudin 5. Misbach 8. Semaun

3. Kolonel Dahlan 6. Alimin Prawirodirdjo 9. Henk Sneevlit

10. Abdul Latief Hendraningrat

11. Oetomo Ramelan

12. Dan sebagainya


C.Dampak Pemberontakan PKI Madiun
Tak bisa dipungkiri bahwa adanya pemberontakan pada suatu negara pasti menyebabkan dampak-
dampak yang dapat merugikan bangsa dan negara tersebut. Berikut ini dampak-dampak akibat dari
pemberontakan PKI Madiun.

1. Pembangunan Terganggu
Pembangunan yang dilakukan oleh negara Indonesia mulai terhambat, sehingga pembangunan
menjadi terganggu dan tidak maksimal. Apabila pembangunan terganggu, maka kehidupan
masyarakat menjadi kurang sejahtera.

2. Banyak Masyarakat Yang Merasa Tidak Aman


Adanya dua kubu saat terjadinya pemberontakan PKI Madiun membuat masyarakat menjadi
merasa cemas dan merasa tidak aman terutama bagi mereka yang tinggal di dekat Madiun. Rasa
tidak aman ini membuat masyarakat akan kesulitan untuk berkomunikasi dengan para tetangga dan
saudara-saudaranya.

3. Banyak Masyarakat Yang Meninggal Dunia


Pemberontakan PKI Madiun memakan banyak sekali korban jiwa, baik itu dari TNI atau dari PKI,
sehingga banyak sekali masyarakat yang merasakan kesedihan karena ditinggalkan oleh anggota
keluarganya. Selain itu, banyaknya korban jiwa ini memunculkan sejarah kelam bagi negara
Indonesia.

4. Aktivitas Terganggu
Pemberontakan PKI Madiun mengganggu aktivitas sehari-hari masyarakat Indonesia. Masyarakat
sangat takut untuk beraktivitas karena takut akan dilukai oleh PKI. Dampak yang satu ini juga
memberikan keterlambatan pada pembangunan dan memunculkan rasa trauma.
D. Pertempuran Surabaya
Pertempuran Surabaya merupakan peristiwa sejarah perang antara pihak tentara
Indonesia dan pasukan Belanda. Peristiwa besar ini terjadi pada tanggal 10 November 1945
di Kota Surabaya, Jawa Timur. Pertempuran ini adalah perang pertama pasukan Indonesia
dengan pasukan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan satu pertempuran
terbesar dan terberat dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia yang menjadi simbol
nasional atas perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme.

Situasi Surabaya Sebelum Pertempuran Surabaya


1. Situasi Indonesia Secara Umum

Pada tanggal 15 September 1945, sekutu mendaratkan tentaranya di Tanjung Priok


yang disusul dengan pendaratan tentara sekutu yang dipimpin oleh W.R. Paterrson. Untuk
menjalankan tugas di Indonesia, sekutu membentuk AFNEI denagn panglimanya Letjend
Sir Philip Christison yang membawahi 3 pasukan divisi, yaitu divisi Jakarta, Surabaya, dan
Sumatra.
Tugas AFNEI :
 Menerima kekuasaan dari Jepang
 Membebaskan tawan perang dan interniran sekutu
 Melucuti dan mengumpulkan tentara Jepang kemudian dipulangkan ke negaranya
 Menegahkan dan mempertahankan keadaan damai kemudian disahkan kepada
pemerintah sipil
 Menghimpun peperangan dan menuntut pejahat perang

Kedatangan sekutu di Indonesia awalnya diterima dengan baik oleh pemerintah dan
rakyat Indonesia. Ternyata kedatangan sekutu diboncengi NICA, hal ini yang
menimbulkan berbagai macam pertempuran di berbagai kota menghadapi tentara
jepang dan sekutu bahwa setelah jepang menyerah kepada sekutu pada diduduki sampai
kedatangan pasukan sekutu di daerah tersebut termasuk Indonesia. Jepang berusaha
menghalangi bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan. Para pemuda
Indonesia yang tergabung dalam BKR berusaha melucuti senjata pasukan Jepang dengan
alasan:
 Mendapatkan senjata untuk mempertahankan kemerdekaan

 Agar senjata pasukan Jepang tidak jatuh ke tangan Belanda

 Agar pasukan Jepang tidak menyerang demi mempertahankan “status quo”


Dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia, dilakukan melalui dua cara yaitu
dengan perjuangan fisik/bersenjata ( Pertempuran Surabaya, Pertempuran Ambarawa, dan
Peristiwa Bandung Lautan Api) dan perjuangan secara diplopmasi (Perjanjian Linggajati,
Perjanjian Renville, KMB, dan Perundingan Roem-Roeyen.

2. Situasi Surabaya
Sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch Ploegman pada sore hari
tanggal 18 September 1945, tepatnya pukul 21.00, mengibarkan bendera Belanda (Merah-
Putih-Biru), tanpa persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya, di tiang pada tingkat
teratas Hotel Yamato, sisi sebelah utara. Keesokan harinya para pemuda Surabaya
melihatnya dan menjadi marah karena mereka menganggap Belanda telah menghina
kedaulatan Indonesia, hendak mengembalikan kekuasan kembali di Indonesia, dan
melecehkan gerakan pengibaran bendera Merah Putih yang sedang berlangsung di
Surabaya.
Tak lama setelah mengumpulnya massa di Hotel Yamato, Residen Sudirman,
pejuang dan diplomat yang saat itu menjabat sebagai Wakil Residen (Fuku Syuco
Gunseikan) yang masih diakui pemerintah Dai Nippon Surabaya Syu, sekaligus sebagai
Residen Daerah Surabaya Pemerintah RI, datang melewati kerumunan massa lalu masuk ke
hotel Yamato dikawal Sidik dan Hariyono. Sebagai perwakilan RI dia berunding dengan
Mr. Ploegman dan kawan-kawannya dan meminta agar bendera Belanda segera diturunkan
dari gedung Hotel Yamato. Dalam perundingan ini Ploegman menolak untuk menurunkan
bendera Belanda dan menolak untuk mengakui kedaulatan Indonesia. Perundingan
berlangsung memanas, Ploegman mengeluarkan pistol, dan terjadilah perkelahian dalam
ruang perundingan. Ploegman tewas dicekik oleh Sidik, yang kemudian juga tewas oleh
tentara Belanda yang berjaga-jaga dan mendengar letusan pistol Ploegman, sementara
Sudirman dan Hariyono melarikan diri ke luar Hotel Yamato. Sebagian pemuda berebut
naik ke atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda. Hariyono yang semula bersama
Sudirman kembali ke dalam hotel dan terlibat dalam pemanjatan tiang bendera dan
bersama Kusno Wibowo berhasil menurunkan bendera Belanda, merobek bagian birunya,
dan mengereknya ke puncak tiang bendera kembali sebagai bendera Merah Putih.
26 Oktober 1945, tercapai persetujuan antara Bapak Suryo, Gubernur Jawa Timur
dengan Brigjen Mallaby bahwa pasukan Indonesia dan milisi tidak harus menyerahkan
senjata mereka. Sayangnya terjadi salah pengertian antara pasukan Inggris di Surabaya
dengan markas tentara Inggris di Jakarta yang dipimpin Letnan Jenderal Sir Philip
Christison.
27 Oktober 1945, jam 11.00 siang, pesawat Dakota AU Inggris dari Jakarta
menjatuhkan selebaran di Surabaya yang memerintahkan semua tentara Indonesia dan
milisi untuk menyerahkan senjata. Para pimpinan tentara dan milisi Indonesia marah waktu
membaca selebaran ini dan menganggap Brigjen Mallaby tidak menepati perjanjian tanggal
26 Oktober 1945.
28 Oktober 1945, pasukan Indonesia dan milisi menggempur pasukan Inggris di
Surabaya. Untuk menghindari kekalahan di Surabaya, Brigjen Mallaby meminta agar
Presiden RI Soekarno dan panglima pasukan Inggris Divisi 23, Mayor Jenderal Douglas
Cyril Hawthorn untuk pergi ke Surabaya dan mengusahakan perdamaian.
29 Oktober 1945, Presiden Soekarno, Wapres Mohammad Hatta dan Menteri
Penerangan Amir Syarifuddin Harahap bersama Mayjen Hawthorn pergi ke Surabaya
untuk berunding.
Pada siang hari, 30 Oktober 1945, dicapai persetujuan yang ditanda-tangani oleh
Presiden RI Soekarno dan Panglima Divisi 23 Mayjen Hawthorn. Isi perjanjian tersebut
adalah diadakan perhentian tembak menembak dan pasukan Inggris akan ditarik mundur
dari Surabaya secepatnya. Mayjen Hawthorn dan ke 3 pimpinan RI meninggalkan
Surabaya dan kembali ke Jakarta.
Pada sore hari, 30 Oktober 1945, Brigjen Mallaby berkeliling ke berbagai pos
pasukan Inggris di Surabaya untuk memberitahukan soal persetujuan tersebut. Saat
mendekati pos pasukan Inggris di gedung Internatio, dekat Jembatan merah, mobil Brigjen
Mallaby dikepung oleh milisi yang sebelumnya telah mengepung gedung Internatio.
Karena mengira komandannya akan diserang oleh milisi, pasukan Inggris kompi D
yang dipimpin Mayor Venu K. Gopal melepaskan tembakan ke atas untuk membubarkan
para milisi. Para milisi mengira mereka diserang / ditembaki tentara Inggris dari dalam
gedung Internatio dan balas menembak. Seorang perwira Inggris, Kapten R.C. Smith
melemparkan granat ke arah milisi Indonesia, tetapi meleset dan malah jatuh tepat di mobil
Brigjen Mallaby.
Granat meledak dan mobil terbakar. Akibatnya Brigjen Mallaby dan sopirnya tewas.
Laporan awal yang diberikan pasukan Inggris di Surabaya ke markas besar pasukan Inggris
di Jakarta menyebutkan Brigjen Mallaby tewas ditembak oleh milisi Indonesia. Letjen Sir
Philip Christison marah besar mendengar kabar kematian Brigjen Mallaby dan
mengerahkan 24000 pasukan tambahan untuk menguasai Surabaya.

E. Kronologi penyebab peristiwa


1. Kedatangan Tentara Jepang ke Indonesia
Tanggal 1 Maret 1942, tentara Jepang mendarat di Pulau Jawa, dan tujuh hari kemudian
tanggal 8 Maret 1942, pemerintah kolonial Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang
berdasarkan Perjanjian Kalijati. Setelah penyerahan tanpa syarat tersebut, Indonesia
secara resmi diduduki oleh Jepang.

2. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia


Tiga tahun kemudian, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu setelah dijatuhkannya
bom atom (oleh Amerika Serikat) di Hiroshima dan Nagasaki. Peristiwa itu terjadi pada
bulan Agustus 1945. Dalam kekosongan kekuasaan asing tersebut, Soekarno kemudian
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.

3. Kedatangan Tentara Inggris & Belanda


Setelah kekalahan pihak Jepang, rakyat dan pejuang Indonesia berupaya melucuti senjata
para tentara Jepang. Maka timbullah pertempuran-pertempuran yang memakan korban di
banyak daerah. Ketika gerakan untuk melucuti pasukan Jepang sedang berkobar, tanggal
15 September 1945, tentara Inggris mendarat di Jakarta, kemudian mendarat di Surabaya
pada tanggal 25 Oktober 1945. Tentara Inggris datang ke Indonesia tergabung dalam
AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) atas keputusan dan atas nama Blok
Sekutu, dengan tugas untuk melucuti tentara Jepang, membebaskan para tawanan perang
yang ditahan Jepang, serta memulangkan tentara Jepang ke negerinya. Namun selain itu
tentara Inggris yang datang juga membawa misi mengembalikan Indonesia kepada
administrasi pemerintahan Belanda sebagai negeri jajahan Hindia Belanda. NICA
(Netherlands Indies Civil Administration) ikut membonceng bersama rombongan tentara
Inggris untuk tujuan tersebut. Hal ini memicu gejolak rakyat Indonesia dan memunculkan
pergerakan perlawanan rakyat Indonesia di mana-mana melawan tentara AFNEI dan
pemerintahan NICA.

2.1. Insiden di Hotel Yamato, Tunjungan, Surabaya

Hotel Oranye di Surabaya tahun 1911.

Setelah munculnya maklumat pemerintah Indonesia tanggal 31 Agustus 1945 yang


menetapkan bahwa mulai 1 September 1945 bendera nasional Sang Saka Merah Putih
dikibarkan terus di seluruh wilayah Indonesia, gerakan pengibaran bendera tersebut makin
meluas ke segenap pelosok kota Surabaya. Klimaks gerakan pengibaran bendera di Surabaya
terjadi pada insiden perobekan bendera di Yamato Hoteru / Hotel Yamato (bernama Oranje
Hotel atau Hotel Oranye pada zaman kolonial, sekarang bernama Hotel Majapahit) di Jl.
Tunjungan no. 65 Surabaya.
Sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch. Ploegman pada malam
hari tanggal 18 September 1945, tepatnya pukul 21.00, mengibarkan bendera Belanda
(Merah-Putih-Biru), tanpa persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya, di tiang pada tingkat
teratas Hotel Yamato, sisi sebelah utara. Keesokan harinya para pemuda Surabaya melihatnya
dan menjadi marah karena mereka menganggap Belanda telah menghina kedaulatan
Indonesia, hendak mengembalikan kekuasan kembali di Indonesia, dan melecehkan gerakan
pengibaran bendera Merah Putih yang sedang berlangsung di Surabaya.
Tak lama setelah mengumpulnya massa di Hotel Yamato, Residen Soedirman,
pejuang dan diplomat yang saat itu menjabat sebagai Wakil Residen (Fuku Syuco Gunseikan)
yang masih diakui pemerintah Dai Nippon Surabaya Syu, sekaligus sebagai Residen Daerah
Surabaya Pemerintah RI, datang melewati kerumunan massa lalu masuk ke hotel Yamato
dikawal Sidik dan Hariyono. Sebagai perwakilan RI dia berunding dengan Mr. Ploegman dan
kawan-kawannya dan meminta agar bendera Belanda segera diturunkan dari gedung Hotel
Yamato. Dalam perundingan ini Ploegman menolak untuk menurunkan bendera Belanda dan
menolak untuk mengakui kedaulatan Indonesia. Perundingan berlangsung memanas,
Ploegman mengeluarkan pistol, dan terjadilah perkelahian dalam ruang perundingan.
Ploegman tewas dicekik oleh Sidik, yang kemudian juga tewas oleh tentara Belanda yang
berjaga-jaga dan mendengar letusan pistol Ploegman, sementara Soedirman dan Hariyono
melarikan diri ke luar Hotel Yamato. Sebagian pemuda berebut naik ke atas hotel untuk
menurunkan bendera Belanda. Hariyono yang semula bersama Soedirman kembali ke dalam
hotel dan terlibat dalam pemanjatan tiang bendera dan bersama Koesno Wibowo berhasil
menurunkan bendera Belanda, merobek bagian birunya, dan mengereknya ke puncak tiang
bendera kembali sebagai bendera Merah Putih.
Setelah insiden di Hotel Yamato tersebut, pada tanggal 27 Oktober 1945 meletuslah
pertempuran pertama antara Indonesia melawan tentara Inggris . Serangan-serangan kecil
tersebut di kemudian hari berubah menjadi serangan umum yang banyak memakan korban
jiwa di kedua belah pihak Indonesia dan Inggris, sebelum akhirnya Jenderal D.C. Hawthorn
meminta bantuan Presiden Sukarno untuk meredakan situasi.

2.2. Kematian Brigadir Jenderal Mallaby

Brigadir Jenderal Aubertin Mallaby

Setelah gencatan senjata antara pihak Indonesia dan pihak tentara Inggris
ditandatangani pada tanggal 29 Oktober 1945, keadaan berangsur-angsur mereda. Walaupun
begitu tetap saja terjadi bentrokan-bentrokan bersenjata antara rakyat dan tentara Inggris di
Surabaya. Bentrokan-bentrokan bersenjata di Surabaya tersebut memuncak dengan
terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, (pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur), pada
30 Oktober 1945 sekitar pukul 20.30. Mobil Buick yang ditumpangi Brigadir Jenderal
Mallaby berpapasan dengan sekelompok milisi Indonesia ketika akan melewati Jembatan
Merah. Kesalahpahaman menyebabkan terjadinya tembak menembak yang berakhir dengan
tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby oleh tembakan pistol seorang pemuda Indonesia yang
sampai sekarang tak diketahui identitasnya, dan terbakarnya mobil tersebut terkena ledakan
granat yang menyebabkan jenazah Mallaby sulit dikenali. Kematian Mallaby ini
menyebabkan pihak Inggris marah kepada pihak Indonesia dan berakibat pada keputusan
pengganti Mallaby, Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh untuk mengeluarkan
ultimatum 10 November 1945 untuk meminta pihak Indonesia menyerahkan persenjataan dan
menghentikan perlawanan pada tentara AFNEI dan administrasi NICA.

2.3. Perdebatan tentang pihak penyebab baku tembak

Mobil Buick Brigadir Jenderal Mallaby yang meledak di dekat Gedung Internatio dan
Jembatan Merah Surabaya

Tom Driberg, seorang Anggota Parlemen Inggris dari Partai Buruh Inggris (Labour
Party). Pada 20 Februari 1946, dalam perdebatan di Parlemen Inggris (House of Commons)
meragukan bahwa baku tembak ini dimulai oleh pasukan pihak Indonesia. Dia
menyampaikan bahwa peristiwa baku tembak ini disinyalir kuat timbul karena
kesalahpahaman 20 anggota pasukan India pimpinan Mallaby yang memulai baku tembak
tersebut tidak mengetahui bahwa gencatan senjata sedang berlaku karena mereka terputus
dari kontak dan telekomunikasi. Berikut kutipan dari Tom Driberg:
"... Sekitar 20 orang (serdadu) India (milik Inggris), di sebuah bangunan di sisi lain
alun-alun, telah terputus dari komunikasi lewat telepon dan tidak tahu tentang
gencatan senjata. Mereka menembak secara sporadis pada massa (Indonesia). Brigadir
Mallaby keluar dari diskusi (gencatan senjata), berjalan lurus ke arah kerumunan,
dengan keberanian besar, dan berteriak kepada serdadu India untuk menghentikan
tembakan. Mereka patuh kepadanya. Mungkin setengah jam kemudian, massa di alun-
alun menjadi bergolak lagi. Brigadir Mallaby, pada titik tertentu dalam diskusi,
memerintahkan serdadu India untuk menembak lagi. Mereka melepaskan tembakan
dengan dua senapan Bren dan massa bubar dan lari untuk berlindung; kemudian pecah
pertempuran lagi dengan sungguh gencar. Jelas bahwa ketika Brigadir Mallaby
memberi perintah untuk membuka tembakan lagi, perundingan gencatan senjata
sebenarnya telah pecah, setidaknya secara lokal. Dua puluh menit sampai setengah
jam setelah itu, ia (Mallaby) sayangnya tewas dalam mobilnya-meskipun (kita) tidak
benar-benar yakin apakah ia dibunuh oleh orang Indonesia yang mendekati mobilnya;
yang meledak bersamaan dengan serangan terhadap dirinya (Mallaby). Saya pikir ini
tidak dapat dituduh sebagai pembunuhan licik... karena informasi saya dapat
secepatnya dari saksi mata, yaitu seorang perwira Inggris yang benar-benar ada di
tempat kejadian pada saat itu, yang niat jujurnya saya tak punya alasan untuk
pertanyakan ... "

F. 10 November 1945
Setelah terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, penggantinya, Mayor Jenderal Robert
Mansergh mengeluarkan ultimatum yang menyebutkan bahwa semua pimpinan dan orang
Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang
ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas. Batas ultimatum adalah
jam 6.00 pagi tanggal 10 November 1945.
Ultimatum tersebut kemudian dianggap sebagai penghinaan bagi para pejuang dan
rakyat yang telah membentuk banyak badan-badan perjuangan / milisi. Ultimatum tersebut
ditolak oleh pihak Indonesia dengan alasan bahwa Republik Indonesia waktu itu sudah
berdiri, dan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) juga telah dibentuk sebagai pasukan negara.
Selain itu, banyak organisasi perjuangan bersenjata yang telah dibentuk masyarakat, termasuk
di kalangan pemuda, mahasiswa dan pelajar yang menentang masuknya kembali
pemerintahan Belanda yang memboncengi kehadiran tentara Inggris di Indonesia.
Pada 10 November pagi, tentara Inggris mulai melancarkan serangan berskala besar,
yang diawali dengan pengeboman udara ke gedung-gedung pemerintahan Surabaya, dan
kemudian mengerahkan sekitar 30.000 infanteri, sejumlah pesawat terbang, tank, dan kapal
perang.
Inggris kemudian membombardir kota Surabaya dengan meriam dari laut dan darat.
Perlawanan pasukan dan milisi Indonesia kemudian berkobar di seluruh kota, dengan bantuan
yang aktif dari penduduk. Terlibatnya penduduk dalam pertempuran ini mengakibatkan
ribuan penduduk sipil jatuh menjadi korban dalam serangan tersebut, baik meninggal maupun
terluka.
Bung Tomo di Surabaya, salah satu pemimpin revolusioner
Indonesia yang paling dihormati. Foto terkenal ini bagi banyak
orang yang terlibat dalam Revolusi Nasional Indonesia mewakili
jiwa perjuangan revolusi utama Indonesia saat itu.
Di luar dugaan pihak Inggris yang menduga bahwa perlawanan
di Surabaya bisa ditaklukkan dalam tempo tiga hari, para tokoh
masyarakat seperti pelopor muda Bung Tomo yang berpengaruh
besar di masyarakat terus menggerakkan semangat perlawanan
pemuda-pemuda Surabaya sehingga perlawanan terus berlanjut
di tengah serangan skala besar Inggris.
Tokoh-tokoh agama yang terdiri dari kalangan ulama serta kyai-kyai pondok Jawa
seperti KH. Hasyim Asy'ari, KH. Wahab Hasbullah serta kyai-kyai pesantren lainnya juga
mengerahkan santri-santri mereka dan masyarakat sipil sebagai milisi perlawanan (pada
waktu itu masyarakat tidak begitu patuh kepada pemerintahan tetapi mereka lebih patuh dan
taat kepada para kyai) shingga perlawanan pihak Indonesia berlangsung lama, dari hari ke
hari, hingga dari minggu ke minggu lainnya. Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan
secara spontan dan tidak terkoordinasi, makin hari makin teratur. Pertempuran skala besar ini
mencapai waktu sampai tiga minggu, sebelum seluruh kota Surabaya akhirnya jatuh di tangan
pihak Inggris.
Setidaknya 6,000 - 16,000 pejuang dari pihak Indonesia tewas dan 200,000 rakyat sipil
mengungsi dari Surabaya.. Korban dari pasukan Inggris dan India kira-kira sejumlah 600 -
2000 tentara. Pertempuran berdarah di Surabaya yang memakan ribuan korban jiwa tersebut
telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk mengusir penjajah dan
mempertahankan kemerdekaan. Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat sipil yang
menjadi korban pada hari 10 November ini kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan oleh
Republik Indonesia hingga sekarang.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Adanya pemberontakan yang terjadi di Madiun yang dilakukan oleh para anggota atau antek-
antek Partai Komunis Indonesia (PKI) membuat banyak sekali korban jiwa. Bukan hanya itu
saja, kemunculan PKI yang semakin berkembang di masa itu membuat masyarakat Indonesia
terbagi menjadi dua kubu, ada yang ingin negara Indonesia dipimpin oleh Muso dan ada juga
yang ingin dipimpin oleh Soekarno dan Moh. Hatta.

Banyaknya korban jiwa ini bukan hanya berasal dari kaum komunis saja, tetapi dari negara
Indonesia (bukan anggota PKI). Maka dari itu, pemberontakan PKI Madiun bisa dikatakan
sebagai salah satu masa kelam yang pernah dialami oleh negara Indonesia. Hingga saat ini,
peristiwa Madiun masih memunculkan luka dan kebencian bagi sebagian masyarakat Indonesia
terutama bagi mereka yang mengalami masa-masa kelam tersebut.

Pertempuran Surabaya adalah sejarah yang tidak akan pernah bisa hilang karena pada
10 Nopember terjadi pertempuran yang sangat dahsyat di Surabaya. Inggris mengerahkan kapal
perangnya, kapal udaranya dan tank-tanknya, dengan di ikuti dengan tentara bersenjata lengkap
dengan bekal pengalaman dalam Perang Dunia II. Tetapi semangat rakyat Surabaya menyala-
nyala untuk melawan Inggris walaupun dengan persenjataan yang lebih sederhana dari pada
musuh. Dalam situasi yang memanas ini muncul tokoh Bung Tomo dengan bidato- bidatonya
yang membangunkan semangat rakyat Surabaya untuk melawan musuh. Dan kini pada tanggal
10 Nopember itu di jadikan Hari Pahlawan dan di peringati setiap tahun oleh rakyat Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai