Anda di halaman 1dari 34

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada tanggal 7 Agustus 1945, panglima militer tentara Jepang untuk Asia
Tenggara, Jenderal Terauchi, menyetujui pembentukan Dokuritsu Junbi linkai atau
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Badan itu bertugas melanjutkan
hasil kerja BPUPKI dan menyiapkan pemindahan kekuasaan dari pihak Jepang
kepada banngsa Indonesia. Pada tanggal 6-9 Agustus 1945, bom atom dijatuhkan
oleh armada udara Sekutu di Hirosima dan Nagasaki. Peristiwa itu membuat
Jenderal Terauchi mengubah tanggal pemberian kemerdekaan kepada Indonesia
menjadi tanggal 24 Agustus 1945. Pada tanggal 15 Agustus 1945, Jepang
menyerah tanpa syarat kepada Sekutu secara rahasia. Namun kekalahan itu dapat
diketahui oleh sejumlah tokoh pergerakan bawah tanah dan para pemuda Indonesia
melalui siaran radio luar negeri.
PPKI merupakan langkah awal untuk mempersiapkan Kemerdekaan
Negara Republik Indonesia. Dalam mempersiapkan kemerdekaan itu, banyak
hambatan dan rintangan yang terjadi salah satunya adalah peristiwa
Rengasdengklok yang terjadi pada tanggal 16 Agustus, di mana dalam peristiwa
itu Soekarno dan Hatta diculik oleh kalangan pemuda dengan alasan untuk
membacakan teks proklamsi kemerdekaan secepatnya tanpa menunggu instruksi
dari Jepang. Karena PPKI berpandangan bahwa tanggal proklamasi Indonesia
disesuaikan dengan ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah Jepang, yakni
tanggal 24 Agustus. Mereka tidak berani melanggar ketentuan itu karena khawatir
akan ada lagi pertumpahan darah. Namun, pada keesokan harinya, yakni pada
tanggal 17 Agustus 1945 teks proklamasi akhirnya dibacakan oleh Presiden
Soekarno di depan masyarakat Indonesia.
Pada tanggal 18 Agustus 1945, disahkannya UUD dan memilih Soekarno
dan Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden serta membentuk Komite Nasional
Indonesia (KNI).
Pada tahun 1950 setelah lamanya Indonesia merdeka dan telah
ditetapkannya presiden dan wakil presiden dan lembaga-lembaga lainnya masih
ada juga pemberontakan-pemberontakan yang terjadi dalam negeri atau daerah-
daerah yang ada di Indonesia. Pemberontakan-pemberontakan yang terjadi turut

1
2

menyita perhatian dan mengganggu stabilitas keamanan di daerah-daerah yang ada


di Indonesia.
Hal lain juga yang diupayakan oleh pemerintah Republik Indonesia
adalah mengambil alih salah satu wilayah Indonesia yang masih dikuasai oleh
Belanda. Pada saat itu Indonesia mengerahkan pasukan yang begitu banyak dan
upaya Indonesia itu dikenal dengan perjuangan membebaskan Irian Barat.
Oleh karena itu, dalam makalah ini terdapat penjabaran mengenai
pemberontakan-pemberontakan yang terjadi di Indonesia setelah kemerdekaan
dan perjuangan membebaskan Irian Barat. Jadi, tepat sekali dalam makalah ini
kami sebagai penulis mengetengahkan judul “Pemberontakan yang Terjadi di
Indonesia dan Perjuangan Membebaskan Irian Barat” sebagai judul dalam
makalah ini.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam
makalah ini adalah “Bagaimanakah pemberontakan-pemberontakan yang terjadi di
Indonesia setelah kemerdekaan dan perjuangan membebaskan Irian Barat?”.

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan/pembuatan makalah ini yaitu sebagai
berikut.
1. Untuk menjelaskan atau memaparkan pemberontakan yang terjadi di Indonesia
setelah kemerdekaan dan perjuangan membebaskan Irian Barat.
2. Untuk memenuhi tugas pada mata pelajaran Sejarah.
3

BAB II
LANDASAN TEORI

A. Mengatasi Pergolakan/Pemberontakan dalam Negeri


Dalam upaya mempertahankan kemerdekaan, Republik Indonesia
menghadapi ujian berat, yaitu berbagai pergolakan dalam negeri. Pergolakan itu
mengancam keutuhan negara. Dengan susah payah, pemerintah RI bahu-membahu
dengan TNI untuk mengatasi pergolakan demi pergolakan.
1. Pemberontakan PKI Madiun
Pemberontakan PKI Madiun berawal dari upaya Amir Syarifuddin
menjatuhkan Kabinet Hatta. Untuk itu, ia membentuk Front Demokrasi Rakyat
(FDR) di Surakarta pada tanggal 26 Februari 1948. FDR terdiri atas Partai
Sosialis Indonesia, PKI, Pesindo, PBI, dan Sarbupri. Strategi yang diterapkan
oleh FDR adalah sebagai berikut.
a. Dalam parlemen, FDR mengusahakan terbentuknya Front Nasional yang
mempersatukan berbagai kekuatan sosial politik untuk menggulingkan
Kabinet Hatta.
b. FDR berupaya menumbuhkan ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintah
dengan cara melakukan pemogokan umum dan berbagai bentuk pengacauan.
c. FDR menarik pasukan pro-FDR dari medan tempur untuk memperkuat
wilayah yang dibina.
d. FDR menjadikan Madiun sebagai basis pemerintahan dan Surakarta sebagai
daerah kacau (untuk mengalihkan perhatian dan menghadang TNI).
Sejak Muso kembali dari Uni-Soviet, kegiatan FDR dikendalikan oleh
PKI. Atas anjurannya, partai yang tergabung dalam FDR meleburkan diri
dalam PKI. Kemudian PKI menyusun politbiro (dewan politik) yang kuat
dengan Muso sebagai ketua dan Amir Syafruddin sebagai sekretaris pertahanan.
Dalam rangaka menjatuhkan wibawa Pemerintah Republik Indonesia,
Muso dan Amir Syarifuddin berkeliling mempropagandakan PKI beserta
programnya ke sejumlah kota di Jawa Tengah dan Jawa timur. Sambil
menjelek-jelekkan pemerintah, mereka mempertajam persaingan antara
pasukan TNI yang pro-PKI dan Propemerintah Republik Indonesia.
Persaingan itu turut memicu meletusnya pemberontakan PKI Madiun atau
yang dikenal sebagai Madiun Affair.

3
4

Pada tanggal 11 September 1948 terjadi bentrokan berdarah di


Surakarta antara pasukan Promerintah Republik Indonesia (Divisi
Siliwangi) dan pasukan pro-PKI (Divisi IV). Untuk mengatasi keadaan,
pemerintah menunjuk kolonel Gatot Subroto sebagai Gubernur Militer yang
meliputi Daerah Surakarta, Pati, semarang, dan Madiun. Pada tanggal 17
September 1948, pasukan pro-PKI mundur dari Surakarta.
Kejadian di Surakarta ternyata untuk mengalihkan perhatian saja. Saat
kekuatan TNI terjun ke Surakarta, pada tangagl 18 September 1948 Sumarsono
dari Pesindo dan Letnan Kolonel Dahlan dari Brigade 29 yang pro-PKI
melakukan perebutan kekuasaan di Madiun. Tindakan itu disertai penengkapan
dan pembunuhan pejabat sipil, militer, dan pramuka masyarakat. Lalu,
pemberontak mendirikan pemerintahan Soviet Republik Indonesia di kota itu.
Menghadapi pemberontakan PKI di Madiun, Pemerintah Republik
Indonesia bersikap tegas. Presiden Soekarno mengajukan pilihan kepada
rakyat, yaitu ikut Muso dan PKI-nya atau ikut Soekarno-Hatta.
Madiun diserang dari dua arah, dari Bart oleh pasukan Divisi Siliwangi
dan dari Timur oleh pasukan di bawah pimpinan Kolonel Sungkono. Pada
tanggal 30 September 1948 Madiun dapat dibebaskan dari pasukan pro-PKI.
Pengejaran terhadap para tokoh pemberontak terus dilanjutkan. Muso tewas
tertembak dalam pengejaran di Ponorogo. Amir Syafruddin, Maruto Darusman,
Suripto, dan Sarjono ditangkap di Purwodadi. Peristiwa itu mengakhiri
pemberontakan PKI Madiun.
2. Pemberontakan DI/TII
Pemberontakan DI/TII merupakan suatu usaha untuk mendirikan
negara Islam di Indonesia. Persoalan DI/TII merupakan masalah politik dan
militer. Masalah politik ditimbulkan oleh upaya mengganti dasar negara
Pancasila dengan mendirikan negara Islam. Pemberontakan DI/TII terjadi di
beberapah daerah di Indonesia.
a. Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat
Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat dipimpin oleh Sekarmaji
Marjian Kartosuwiryo. Pemberontakkan itu dimulai ketika Jawa Barat
kosong akibat ketentuan hasil Perundingan Renvile yang mengharuskan
pasukan TNI ditarik mundur dari kantong gerilya ke wilayah Republik
Indonesia. Kekosongan kekuatan TNI membuka jalan bagi Kartosuwiryo
untuk menanamkan pengaruhnya. Pada bulan Maret 1948, ia membentuk
5

gerakan Darul Islam (DI). Ia pun membentuk Tentara Islam Indonesia (TII)
yang berintikan pasukan Hizbullah dan Sabilillah. Pembentukan DI/TII
bertujuan mendirikan negara sendiri yang terpisah dari Republik Indonesia.
Puncaknya adalah pada tanggal 4 Agustus 1949 Kartosuwiryo
memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII).
Usaha menumpas pemberontakkan DI/TII membutuhkan waktu
yang lama. Kesibukan TNI, terutama Divisi Siliwangi, memadamkan
pemberontakan PKI Madiun dan melawan Agresi Militer Belanda II menjadi
penyebab penumpasan DI/TII berlarut-larut. Pemberontakan itu mendapat
perlindungan dari masyarakat yang terkena hasutannya. Sejak tahun 1960-
an, pasukan Siliwangi mulai melancarkan operasi militer secara besar-
besaran. Pada tanggal 4 Juli 1962, kartosuwiryo dapat ditangkap di Gunung
Geber, daerah Majalaya (Jawa Barat). Ia kemudian dihukum mati.
b. Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah
Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah muncul setelah masa
pengakuan kedaulatan. Pemberontakan itu terjadi di sejumlah tempat
terpisah, namun saling berhubungan.
Amir Fatah diangkat oleh Kartosuwiryo menjadi komandan
pertempuran Jawa Tengah. Ia menggerakkan pemberontakan di wilayah
Brebes, Tegal dan Pekalongan.
Pemberontakan itu dapat ditumpas dengan operasi militer disebut
Gerakan Benteng Negara. Gerakan militer tersebut dipimpin oleh Letnan
Kolonel Sarbini, Letnan Kolonel M. Bahrum, dan Letnan Kolonel Ahmad
Yani.
Gerakan Angkatan Umat Islam dipelopori oleh Kiai Mahfudz
Abdurachman yang dikenal seagai Kiai Sumolangu. Ia mengadakan
pemberontakan di wilayah Kebumen. Pemberontakan dapat ditumpas oleh
pasukan Divisi Diponegoro di bawah pimpinan Letnan Kolonel Ahmad
Yani. Sisa-sisa pemberontak kemudian bergabung kepada Kelompok Amir
Fatah.
Pemberontakan Batalion 426 terjadi di Kudus dan Magelang. Para
pemberontak menyatakan diri dengan DI/TII. Untuk menumpas
pemberontakan, Divisi Diponegoro melancarkan operasi militer bernama
Operasi Merdeka Timur. Operasi itu dipimpin oleh Letnan Kolonel
Soeharto.
6

c. Pemberontakan DI/TII di Aceh


Pemberontakan DI/TII di Aceh dipimpin oleh Daud Beureueh. Ia
adalah Gubernur Militer di wilayah itu semasa perang kemerdekaan. Namun,
usai perang kemerdekaan dan Indonesia kembali dalam bentuk negara
kesatuan pada tahun 1950, Aceh yang sebelumnya menjadi daerah istimewa
diturunkan statusnya menjadi keresidenan di bawah Provinsi Sumatra Utara.
Kebijakan pemerintah pusat tersebut ditentang oleh Daud Beureueh. Pada
tanggal 20 September 1953, Daud Beureueh mengeluarkan maklumat
tentang penyatuan Aceh ke dalam Negara Islam Indonesia pimpinan
Kartosuwiryo.
Guna menumpas pemberontakan itu, Pemerintah Republik
Indonesia mengadakan dua pendekatan, yaitu pendekatan persuasif dan
operasi militer. Pendekatan persuasif dilakukan dengan mengembalikan
kepercayaan rakyat kepada pemerintah. Operasi militer untuk
menghancurkan kekuatan bersenjata DI/TII.
Kedua pendekatan itu berhasil memulihkan kepercayaan rakyat dan
menciptakan keamanan rakyat Aceh. Pada tanggal 17-21 Desember 1962
diadakan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh. Musyawarah itu merupakan
gagasan Pangdam I/Iskandar Muda, Kolonel M. Yasin. Gagasan itu
memperoleh dukungan dari tokoh Pemerintah Daerah dan masyarkat Aceh.
Berdasarkan hasil musyawarah, pemerintah menawarkan amnesti kepada
Daud Beureueh asalkan ia bersedia kembali ke tengah masyarakat.
Kembalinya Daud Beureueh ke tengah masyarakat menendai berakhirnya
pemberontakan DI/TII di Aceh.
d. Pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan
Pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan dipimpin oleh Kahar
Muzakar. Pemberontakan itu meletus sejak tahun 1951. Pada bulan Agustus
1951, ia memimpin pasukannya mengadakan perang gerilya terhadap
Republik Indonesia. Latar belakang pemberontakan itu adalah kekecewaan
Kahar Muzakar karena keinginannya mengabungkan Komando Gerilya
Sulawesi Selatan (KGSS) menjadi APRI ditolak oleh pemerintah. Alasan
pemerintah anggota KGSS yang ingin bergabung dengan APRI harus
melalui ujian penyaringan terlebih dahulu.
Sebetulnya pemerintah telah menunjukan niat baik dengan melantik
Kahar Muzakar sebagai Komandan Korps Cadangan Nasional dengan
7

pangkat letnan kolonel. Namun, niat baik itu ditolak oleh Kahar Muzakar.
Pada saat pelantikan, ia bersama pasukannya mengundurkan diri ke hutan
lengkap dengan persenjataan yang dimiliki. Pada bulan Januari 1952, Kahar
Muzakar menyatakan wilayah Sulawesi Selatan sebagai bagian dari NII di
bawah pimpinan Kartosuwiryo. Oleh Kartosuwiryo, ia diangkat menjadi
panglima Divisi TII. Sejak saat itu, selama hampir 14 tahun, pasukan Kahar
Muzakar melakukan teror dan pengacauan di Sulawesi selatan.
Guna mengatasi pemberontakan itu, pemerintah Republik Indonesia
bertindak tegas dengan mengadakan operasi militer. Pemerintah
memberangkatkan pasukan dari Divisi Siliwangi. Seperti di Jawa Barat,
penumpasan pemberontakan memakan waktu lama. Pada bulan Februari
1965, Kahar Muzakar tewas dalam suatu penyergapan. Pada bulan Juli 1965,
Gerungan, orang kedua setelah Kahar Muzakar dapat ditangkap. Peristiwa
itu mengakhiri pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan.
e. Pemberontakan DI/TII di Kalimantan Selatan
Pemberontakan DI/TII di Kalimantan Selatan dipimpin oleh Ibnu
Hajar, mantan letnan dua APRI. Ia menggalang gerakan yang bernama
Kesatuan Rakyat Yang Tertindas (KRYT). Ia menyatakan gerakan itu
sebagai bagian dari DI/TII pimpinan Kartosuwiryo. Sejak pertengahan bulan
Oktober 1950, KRYT menyerang pos APRI dan mengacau sejumlah wilayah
di Kalimantan Selatan.
Pemerintah Republik Indonesia bertindak tegas dengan
melaksanakan operasi militer. Pada bulan Juli 1963, Ibnu Hajar dapat
ditangkap. Dua tahun kemudian ia diadili oleh Mahkama Militer. Mahkama
Militer kemudian menjatuhinya hukuman mati.
3. Pemberontakan APRA
Gerakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) muncul di kalangan
KNIL. Gerakan itu dipimpin oleh Kapten Westerling. Selanjutnya, gerakan itu
dipelopori kalangan kolonialis Belanda yang ingin mengamankan kepentingan
ekonominya di Indonesia. Untuk itu, mereka bermaksud mempertahankan
kedudukan negara Pasundan. Agar memperoleh dukungan rakyat, mereka
memanfaatkan isu ratu adil, seperti yang pernah diramalkan Jayabaya.
Untuk menumpas pemberontakan APRA, pemerintah RIS menempuh
dua cara, yaitu melakukan tekanan terhadap pimpinan tentara Belanda dan
melekukan operasi militer. Tekanan terhadap pimpinan pasukan Belanda
8

dilakukan oleh Letnan Kolonel Eri Sadewo, Kepala Staf Divisi Siliwangi. Ia
mendesak Mayor Jenderal Engells agar melarang pasukannya meninggalkan
kesatuan dan memaksa APRA meninggalkan kota Bandung.
Melalui penyelidikan intelijen, APRIS dapat diketahui bahwa dalam
pemberontakan APRA berada di Jakarta, yakni Sultan Hamid. Kemudian,
terungkap pula bahwa APRA bermaksud menyerang Jakarta. Tujuannya adalah
menahan para menteri RIS serta membunuh Menteri Pertahanan Sri Sultan
Hamengkubuwono IX, Sekjen Kementrian Pertahanan Mr. Budiarjo dan Kepala
Staf APRIS Kolonel T.B. Simatupang.
4. Pemberontakan Andi Azis
Pemberontakan ini terjadi di Sulawesi Selatan di bawah pimpinan
Kapten Andi Azis, seorang mantan perwira KNIL. Pemberontakan ini bertujuan
mempertahankan Keutuhan Negara Indonesia Timur (NIT). Pemberontakan
berawal dari gerakan yang menuntut hanya pasukan APRIS dari unsur KNIL
yang bertanggung jawab atas keamanan NIT. Mereka menolak masuknya
pasukan APRIS dari unsur TNI.
Sementara itu, suasana Makasar diliputi oleh ketegangan karena
maraknya demonstrasi yang mendukung negara kesatuan di satu pihak dan
negara serikat di lain pihak. Untuk memelihara keamanan di Makasar,
pemerintah RIS mendatangkan batalion TNI di bawah pimpinan Mayor
H.V.Worong. Tindakan itu menyulut ketidakpuasan di kalangan KNIL
pimpinan Andi Azis. Pada tanggal 5 April 1950, pasukan Andi Azis bergerak
menduduki tempat penting, seperti lapangan terbang dan kantor telekomunikasi.
Pada tanggal 8 April 1950, pemerintah memerintahkan Andi Azis
melaporkan diri ke Jakarta untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Andi Azis diberi waktu 4x24 jam. Ia juga diperintahkan untuk menarik
pasukannya, menyerahkan semua senjata, dan membebaskan tawanan. Andi
Azis kemudian melapor ke Jakarta meskipun melewati batas waktu yang telah
ditentukan.
Kedatangan Andi Azis ke Jakarta tidak langsung menyurutkan
pemberontakan. Pemberontakan itu dilanjutkan oleh pasukan KNIL dengan
bantuan pasukan dari pasukan KL (Angkatan Darat Belanda) yang masih ada di
Makasar. Untuk menumpas pemberontakan, pemerintah RIS menggelar operasi
militer yang dipimpin oleh Kolonel A.E. Kawilarang. Pasukannya didukung
oleh kesatuan dari tiga angkatan dan kepolisian. Secara berangsur-angsur,
9

pasukan APRIS dapat merebut Makasar dan wilayah yang dikuasai


pemberontakan. Pada akhir bulan Agustus 1950, Makasar dan sekitarnya dapat
dibersihkan dari pasukan KNIL.
5. Pemberontakan Republik Maluku Selatan
Republik Maluku Selatan (RMS) diproklamasikan pada tanggal 25
April 1950 oleh Dr. Mr. Ch.R.S. Soumokil, mantan jaksa Agung Negara
Indonesia Timur. Soumokil sebenarnya ikut mendalangi pemberontakan Andi
Azis. Ketika tanda-tanda kegagalan muncul, ia melarikan diri ke ke Maluku
Tengah. Ia menjadikan Ambon sebagai pusat gerakannya. Upaya penyelesaian
mula-mula dilaksanakan dengan pendekatan persuasif melalui misi Dr.
Leimena. Akan tetapi, misi damai itu ditolak oleh Soumokil. Penolakan itu
mendorong pemrintah RIS untuk bertindak tegas.
Pemrintah RIS memutuskan untuk menggelar operasi militer yang
dipimpin oleh Kolonel A.E. Kawilarang. Pendaratan pertama dilakukan di
Pulau Buru pada tanggal 14 Juli 1950 di bawah lindungan KRI Pati Unus.
Kemudian, pendaratan dilanjutkan bertuturut-turut di Pulau Sera, Kai,
Tanimbar, dan Aru. Dengan didudukinya pulau-pulau tersebut, pusat kekuatan
MRS semakin terkepung.
Pada tanggal 28 September 1950, pasukan APRIS mendarat di Ambon.
Pendaratan itu berlangsung dalam tiga gelombang seperti berikut ini.
a. Gelombang pertama dipimpin oleh Mayor Ahmad Wiranatakusumah.
b. Gelombang kedua oleh Letnan Kolonel Slamet Riyadi.
c. Gelombang ketiga dipimpin oleh Maryo Suryo Subandrio.
Pada bulan November 1950, kota Ambon dapat dikuasai oleh pasukan
APRIS. Karena medan tempur yang sangat berat, Soumokil baru dapat
ditangkap pada tanggal 12 Desember 1963. Ia kemudian dihadapkan pada
Mahkama Militer Luar Biasa di Jakarta dan dijatuhi hukuman mati.
6. Pemberontakan PRRI/Permesta
Pemberontakan PRRI dan Permesta muncul di tengah keadaan politik
yang sedang bergolak, yaitu berupa kondisi pemerintahan yang tidak stabil,
seperti berganti-gantinya kabinet, masalah korupsi, perdebatan yang berlarut-
larut dalam Konstituante, serta pro dan kontra mengenai konsepsi presiden
tentang Demokrasi Terpimpin.
Penyebab langsung pemberontakan PRRI dan Permesta adalah
hubungan yang tidak harmonis antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah,
10

terutama di Sumatra dan Sulawesi. Para panglima militer itu kemudian


membentuk dewan daerah seperti berikut ini.
a. Dewan Benteng di Sumatra Barat dibentuk oleh Letnan Kolonel Ahmad
Husein pada tanggal 20 Desember 1956.
b. Dewan Gajah di Sumatra Utara dibentuk oleh Kolonel Maludin Simbolon
pada tanggal 22 Desember 1956.
c. Dewan Garuda di Sumatra Selatan dibentuk oleh Letnan Kolonel Barlian
pada pertengahan bulan Januari 1957.
d. Dewan Manguni di Manado dibentuk oleh Mayor Sombah pada tanggal 17
Februari 1957.
Pada Tanggal 9 januari 1958, para tokoh Militer dan Sipil dari Daerah
yang bergolak mengadakan pertemuan rahasia di sungai Dare, kota kecil di
perbatasan Sumatra Barat dan Jambi. Para tokoh Militer tersebut antara lain
Kolonel Simbolon, Letnan Kolonel Ahmad Husein, Letnan Kolonel Barlian,
dan Letnan Kolonel Vence Sumual. Sedangkan tokoh Sipilnya antara lain M.
Natsir Burhanuddin Harahap, Syafruddin Prawiranegara, dan Sumitro
joyohadikusumo. Sebulan setelah pertemuan itu, mereka sepakat mendirikan
gerakan perjuangan menyelamatkan Negara Republik Indonesia.
Pada tanggal 15 Februari 1958, Letnan Kolonel Ahmad Husein
memproklamasikan berdirinya Pemerintah Refolusioner Republik Indonesia
(TRRI) dan Syafruddin Prawiranegara dipercaya sebagai Perdana Menteri.
Pusat PRRI berkedudukan di Padang. Proklamasi itu disertai dengan pemutusan
hubungan dengan Pemerintah Republik Indonesia.
Sementara itu, setelah pembentukan Dewan Manguni, para tokoh
Militer di Sulawsi Memproklamasikan perjuangan Rakyat semesta yang
disingkat Permesta. Proklamasi dipelopori oleh Letnan Kolonel Vence Sumual,
Panglima Wirabhuana. Dua hari setelah PRRI diproklamasikan, para tokoh
Permesta menyatakan bergabung dan sekaligus memutuskan hubungan dengan
pemerintah Republik Indonesia.
Operasi penumpasan Permesta sangat berat, karena musu memiliki
persenjataan modern buatan Amerika Serikat. Hal itu terbukti dengan
ditembaknya pesawat Angkatan Udara Refolusioner (AURE) yang di
kemudikan oleh Alang L. Pope, seorang warga Negara Amerika Serikat.
Pesawat itu ditembak di atas Kota Ambon pada tanggal 18 mei 1958.
11

Pemberontak permesta akhirnya dapat ditumpas pada bulan Agustus


1958. Pada tahun 1961, Pemerintah membuka kesempatan kepada sisa-sisa
pendukung Permesta untuk kembali ke pangkuan ibu pertiwi.

B. Masa Demokrasi Parlementer


Pada masa parlementer, berlaku sistem multipartai dan penyelenggaraan
pemilihan umum yang demokratis. Tetapi, kabinet yang berkuasa silih berganti
dan di konstituante selalu ada perdebatan yang berkepanjangan.
1. Sistem Multipartai
Pemberlakuan sistem multipartai dirintis oleh Badan Pekerja Komite
Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP). Atas usul lembaga tersebut, pemerintah
Negara Republik Indonesia mengeluarkan Maklumat Wakil Presidren No. X
pada tanggal 3 November 1945. Dalam kabinet parlementer, Dua partai yang
amat menonjol adalah Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Majelis Syuro
Muslimin Indonesia (Masyumi).
Sisi positif multipartai seperti berikut ini.
a. Menghidupkan suasana demokratis di Indonesia kerena setiap warga berhak
untuk berpartisipasi dalam politik, antara lain mengkritik pemerintah,
menyampaikan pendapat, dan mendirikan partai politik.
b. Mencegah kekuasaan Presiden yang terlalu besar, karena wewenang
pemerintah dipegang oleh partai yang berkuasa.
c. Menempatkan kalangan sipil sebagai pelaksana kedaulatan rakyat dan
pemerintahan. Ketika itu, kalangan militer belum terjun ke kancah politik.
Sisi negatif dari sistem multipartai seperti berikut ini.
a. Sejumlah partai cenderung menyuarakan kepentingan kelompoknya sendiri,
bukan rakyat banyak.
b. Ada kecenderungan terjadi persaingan yang tidak sehat di parlemen maupun
kabinet. Persaingan itu berupa tindakan saling menjatuhkan.
2. Percobaan Demokrasi
Kecenderungan partai politik untuk saling menjatuhkan mengakibatkan
masa demokrasi parlementer ditandai dengan kabinet yang berumur pendek.
Kabinet yang pernah memerintah selama demokrasi parlementer adalah sebagai
berikut.
12

a. Kabinet Natsir (September 1950-Maret 1951)


Kabinet ini dipimpin oleh Muhammad Natsir sebagai perdana
menteri. Kabinet mulai goyah sejak kegagalan dalam perundingan dengan
Belanda mengenai Irian Barat. Kabinet ini jatuh setelah PNI mengajukan
mosi tidak percaya menyangkut pencabutan Peraturan Pemerintah tentang
DPRD dan DPRDS.
b. Kabinet Sukiman (April 1951-1952)
Kabinet ini dipimpin oleh Sukiman Wiryosanjoyo sebagai perdana
menteri. Kabinet itu merupakan koalisi PNI dan koalisi Masyumi. Kabinet
mulai goyah akibat adanya kesepakatan antara Menteri Luar Negeri
Subandrio dan Duta Besar Amerika serikat, Merle Cochran, tentang bantuan
ekonomi dan militer. Kabinet Sukiman dianggap telah menyelewengkan
Indonesia dari pollitik luar negeri bebas dan aktif. Setelah PNI dan Masyumi
menarik dukungannya, kabinet ini pun jatuh.
c. Kabinet Wilopo (April 1952-Juni 1953)
Kabinet ini dipimpin oleh Mr. Wilopo, sebagai perdana menteri.
Kabinet itu merupakan zaken kabinet karena terdiri atas para pakar yang ahli
di bidangnya. Kabinet mengalami tantangan berat, yaitu gerekan separatisme
di sejumlah daerah. Ujian paling berat adalah Peristiwa 17 Oktober 1952 dan
Peristiwa Tanjung Morawa. Peristiwa itu disorot tajam oleh parlemen dan
media massa. Peristiwa 17 Oktober 1952 adalah gerakan sejumlah perwira
Angkatan Darat yang menekan Presiden Soekarno agar membubarkan
parlemen. Sedangkan peristiwa Tanjung Morawa di Sumatra Utara
merupakan bentrokan antara aparat kepolisian dan para petani liar. Peristiwa
itu disorot tajam oleh parlemen dan media massa. Kedua peristiwa itulah
yang membuat kabinet jatuh.
d. Kabinet Ali Sastroamijoyo I (Juli 1953-1955)
Kabinet ini dipimpin oleh Ali Sasrtoamijoyo sebagai perdana
menteri. Kabinet ini merupakan koalisi PNI dan NU. Kabinet menghadapi
ujian ketika terjadi kemelut dalam tubuh Angkatan Darat. Namun, kabinet
ini berhasil menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika pada tahun 1955.
Memuncaknya krisis ekonomi dan perseturuan antara PNI dan NU membuat
NU menarik dukungannya terhadap kabinet sehingga kabinet ini pun jatuh.
e. Kabinet Burhanuddin Harahap (Agustus 1955-Maret 195)
13

Kabinet ini dipimpin oleh Burhanuddin Harahap sebagai Ketua


Menteri. Prestasi yang menonjol dari kabinet itu adalah Penyelenggaraan
pemilihan umum yang amat demokratis pada tahun 1955. Selain itu, kabinet
ini menunjukkan keunggulan Indonesia dalam perjuangan diplomasi
mengenai masalah Irian Barat, yaitu dengan pembubaran Uni Indonesia-
Belanda. Namun, pemilihan umum tahun1955 tidak menghasilkan dukungan
yang cukup terhadap kabinet sehingga kabinet ini jatuh.
f. Kabinet Ali Sastroamijoyo II (Maret 1956-1957)
Kabinet ini dipimpin oleh Ali Sastroamijoya, sebagai perdana
menteri kabinet yang merupakan koalisi PNI, Masyumi, dan NU itu adalah
kabinet pertama setelah pemilihan umum tahun 1955. Mundurnya ssejumlah
menteri yang berasal dari Masyumi, menjadikan kabinet jatuh.
g. Kabinet Karya atau Juanda (April 1957-juli 1959)
Kabinet ini dipimpin oleh Juanda sebagai perdana menteri. Kabinet
itu terdiri atas pakar di bidangnya sehinnga disebut zaken kabinet. Kabinet
ini memiliki program bernama Panca Karya sehingga memperoleh sebutan
Kabinet Karya. Kabinet menjadi demisioner saat Presiden Soekarno
mencanangkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

C. Pemilihan Umum Tahun 1955


Pemilihan umum adalah salah satu syarat agar sistem pemerintahan yang
demokratis berfungsi. Pemilihan umum tercantum sebagai salah satu program dari
kabinet parlementer Republik Indonesia pada waktu itu. Persiapan pemilihan
umum dapat terselesaikan di masa pemerintahan Kabinet Ali Sastroamijoyo I.
Pada tanggal 31 Juli 1954, Panitia Pemilihan Umum Pusat dibentuk.
Panitia ini diketuai oleh Hadikusumo dari PNI. Pada tanggal 16 April 1955,
Hadikusumo mengumumkan bahwa pemilihan umum untuk parlemen akan
diadakan pada tanggal 29 September 1955.
1. Perencanaan Pemilihan Umum Tahun 1955
Pada tanggal 15 Juli 1955, Wakil Presiden Mohammad Hatta
mengumumkan tiga orang formatur untuk membentuk kabinet baru. Ketiga
formatur itu terdiri atas Sukiman (Masyumi), Wilopo (PNI), dan Asaat
(nonpartai). Pada waktu itu Presiden Soekarno sedang pergi ke tanah suci untuk
menunaikan ibadah haji. Kabinet baru itu bertugas untuk melaksanakan hal-hal
berikut ini:
14

a. Mengembalikan kewibawaan pemerintah, yaitu mengembalikan kepercayaan


Angkatan Darat dan masyarakat kepada pemerintah;
b. Melaksanakan pemilihan umum menurut rencana yang sudah ditetapkan dan
mempercepat terbentuknya parlemen baru.
Ketiga formatur itu sepakat menempatkan Mohammad Hatta seabagai
perdana menteri dan menteri pertahanan. Namun, kesulitan muncul karena
Mohammad Hatta menjabat sebagai wakil presiden. Mohammad Hatta
kemudian menunjuk Burhanuddin Harahap (Masyumi) untuk membentuk
kabinet. Dalam program kabinet Burhanuddin Harahap masalah pemilihan
umum masih menjadi perhatian.
2. Pelaksanaan Pemilihan Umum Tahun 1955
Didorong oleh kesadaran untuk menciptakan demokrasi yang sejati,
masyarakat menuntut diadakan pemilihan umum. Persiapan pemilihan umum
dirintis oleh kabinet Ali Sastroamijoyo I. Pemeririntah membentuk Panitia
Pemilihan Umum pada bulan Mei 1945. Panitia tersebut merencanakan
pelaksanaan pemilihan umum dalam dua tahap, seperti berikut ini.
a. Pemiilihan umum tahap pertama akan dilaksanakan pada tanggal 29
September 1955 untuk memilih anggota DPR.
b. Pemilihan umum tahap kedua akan dilaksanakan pada tanggal 15 Desember
1955 untuk memilih anggota Konstituante (dewan pembuat undang-undang
dasar).
Pemilihan umum yang pertama di Indonesia dilaksanakan pada tahun
1955. Sekitar 39 juta rakyat Indonesia datang ke bilik suara untuk memberikan
suaranya dan Bapak presiden Soekarno turut memberikan hak suaranya dalam
pemilihan umum 1955. Pemilihan umum saat itu berjalan dengan tertib,
disiplin, serta tanpa politik uang dan tekanan dari pihak mana pun. Oleh karena
itu, banyak pakar politik menilai bahwa pemilihan umum tahun 1955 sebagai
pemilihan umum paling demokratis yang terlaksana di Indonesia sampai
sekarang ini.
3. Hasil Pemilihan Umum Tahun 1955
Hasil pemilihan umum tahun 1955 memunculkan empat partai
terkemuka yang meraih kursi terbanyak di DPR dan Konstituante. Keempat
partai tersebut adalah:
a. Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi),
b. Partai Nasional Indonesia (PNI),
15

c. Nahdlatul Ulama (NU), dan


d. Partai Komunis Indonesia (PKI).
Dominasi keempat partai tersebut tampak dari perimbangan kursi di
DPR yang terdiri atas 272 kursi dan di Konstituante 520 kursi. Pertimbangan
kursi DPR hasil Pemilihan Umum 1955 adalah sebagai berikut.
a. Masyumi : 60 kursi,
b. PNI : 58 kursi,
c. NU : 47 kursi,
d. PKI : 32 kursi dan
e. Partai lain memperebutkan sisa 75 kursi.
Sedangkan perimbangan kursi Konstituante hasil Pemilihan Umum
1955 adalah sebagai berikkut.
a. Masyumi : 119 kursi,
b. PNI : 112 kursi,
c. NU : 91 kursi,
d. PKI : 80 kursi dan
e. Partai lain memperebutkan sisa 118 kursi.
4. Perkembangan Pemerintahan Setelah Pemilihan Umum Tahun 1955
Setelah pemilihan umum tahun 1955, terjadi ketegangan dalam
pemerintahan. Ketegangan tersebut akibat banyaknya mutasi yang dilakukan di
beberapa kementrian, seperti Kementrian Dalam Negeri, Kementrian Luar
Negeri, dan Kementrian Perekonomian. Hal itu menjadi salah satu faktor
adanya desakan agar perdana menteri mengembalikan mandatnya. Akhirnya
pada tanggal 8 Maret 1956, Kabinet Burhanuddin Harahap jatuh. Pada tanggal
8 Maret 1956, Presiden menunjuk Ali Sastroamijoyo untuk membentuk kabinet
baru. Kabinet yang dibentuk itu adalah kabinet koalisi tiga partai, yaitu PNI,
Masyumi, dan NU.
Pada tanggal 20 Maret 1956, secara resmi diumumkan terbentuknya
kabinet baru yang disebut Kabinet Ali Sastroamijoyo II. Kabinet itu mendapat
tentangan dari PKI dan PSI karena kedua partai itu tidak diikutsertakan.
Jumlah menteri dalam Kabinet Ali Sastroamijoyo II adalah 24 orang.
Program kabinet itu disebut dengan Rencana Lima Tahunan yang memuat
program jangka panjang, misalnya memperjuangkan masalah Irian Barat,
melaksanakan pembentukan daerah otonom, dan mempercepat pemilihan
anggota DPRD.
16

Inet yang baru berdiri itu mendapat kepercayaan penuh dari Presiden
Soekarno. Hal itu terlihat dari pidatonya di depan parlemen pada tanggal 26
Maret 1956 yang menyebutkan bahwa kabinet itu sebagai titik tolak periode
plannning dan investmen. Namun, pada saat itu berkobar semangat anti-Cina di
masyarakat dan adanya kekacauan di beberapa daerah.
Sementara itu, dengan dijalankannya Undang-Undang Pembatalan
KMB oleh Presiden Soekarno pada tanggal 3 Mei 1956 timbul persoalan baru,
yaitu tentang nasib modal Belanda yang ada di Indonesia. Ada anjuran untuk
menasionalisasikan atau mengindonesianisasi perusahaan milik Belanda.
Namun, sebagian besar anggota kabinet menolak tindakan tersebut.
5. Kegagalan Penyusunan Undang-Undang Dasar Baru
Konstituante mempunyai tugas untuk merumuskan UUD yang baru
sebagai pemgganti UUDS 1950. Dewan itu mulai bersidang pada tamggal 10
November 1958, dewan itu mulai menunjukkan kemampuan apa pun.
Sidang diwarnai oleh perdebatan yang berkepanjangan sehingga
kesepakatan merumuskan UUD selalu menemukan jalan buntu. Kenyataan itu
menimbulkan krisis politik di dalam negeri. Krisis itu oleh gejala
pembangkangan di daerah, seperti pemberontakkan PRRI dan Permesta.
Situasi negara kian genting tidak membuat Konstituante tergerak untuk
merampungkan tugasnya. Dewan itu masih saja larut dalam debat yang alot
mengenai UUD yang akan diberlakukan di Indonesia. Masalah yang paling
penting adalah mengenai dasar negara.
Pada tanggal 22 April 1959, Presiden Soekarno berpidato di depan
sidang Konstituante. Dalam pidatonya itu, ia mengajukan agar dalam rangka
Demokrasi Terpimpin, Konstituante menetapkan UUD 1945 menjadi udang-
udang dasar Republik Indonesia yang tetap.
Menanggapi usul presiden itu, Konstituante melakukan pemungutan
suara untuk menentukan apakah akan menerima atau menolak usul tersebut.
Sidang pemungutan suara pada tanggal 29 Mei tidak mencapai kuorum karena
banyak anggota yang tidak hadir. Keadaan itu menimbulkan kemacetan lagi
dalam sidang Konstituante. Pemungutan suara yang terakhir dilakukan pada
tanggal 2 Juni 1959. Akan tetapi, kuorum tidak juga terpenuhi.
Bagi kalangan militer, terutama Angatan Darat, kegagalan
Konstituante dalam merumuskan UUD dapat menjerumuskan negara dalam
bahaya perpecahan. Pendapat itu memang berasal karena negara sedang
17

menghadapi masalah keamanan yang amat berat. Atas dasar pertimbangan


menyelamatkan negara, kepala staf Angkatan Darat, Letnan Jenderal A.H.
Nasution mengeluarkan larangan semua kegiatan politik mulai tanggal 3 Juni
1959. Larangan itu dikeluarkan atas nama pemerintah dan Penguasa Perang
Pusat (Peperpu)
Larangan itu ditindaklanjuti oleh Presiden Soekarno dengan
mengeluarkan suatu dekrit. Dekrit tersebut berakibat pembubaran Konstituante
dan pemberlakuan kembali UUD 1945. Tindakan presiden tersebut mendapat
sambutan dari kalangan militer, sejumlah polisi dan masyarakat.

D. Kebijakan Ekonomi Nasional Pada Masa Demokrasi Parlementer Sampai


Tahun 1965
Pemerintah Republik Indonesia yang beru berdiri mewarisi kondisi
ekonomi yang sangat kacau dari pemerintah pendudukan Jepang. Keadaan itu
diperparah lagi dengan adanya berbagai gangguan dan pemberontakan di berbagai
daerah. Guna mengatasi kesulitan ekonomi tersebut, pemerintah berupaya
melakukan perbaikan dengan melakukan kebijakan ekonomi seperti berikut ini.
1. Gunting Syafruddin
Guna menanggulangi defisit anggaran sebesar Rp.5,1 miliar, Menteri
Keuangan Syafruddin Prawiranegara, berdasarkan surat keputusan Menteri
Keuangan RIS Nomor PU 1 tanggal 19 Maret 1950, mengambil tindakan
pemotongan uang. Tindakan itu dilakukan dengan cara mengubah uang yang
nilainya Rp.2,50 ke atas menjadi separuhnya. Dengan demikian, rakyat kecil
tidak dirugikan karena yang memiliki uang Rp.2,50 ke atas hanya orang kelas
atas. Tindakan pemerintah itu terkenal dengan gunting Syafruddin. Kebijakan
itu dapat mengurangi jumlah uang yang beredar dan pemerintah mendapat
kepercayaan dari pemerintah Belanda dengan mendapat pinjaman sebesar
Rp.200 Juta.
2. Sistem Ekonomi Gerakan Benteng
Usaha pemerintah Republik Indonesia untuk mengubah struktur
ekonomi yang berat sebelah dilakukan pada masa Kabinet Natsir. Dr. Sumitro
Joyohadikusumo yang menjabat sebagai menteri perdagangan berpendapat
bahwa di kalangan bangsa Indonesia harus segera ditumbuhkan kelas
pengusaha. Para pengusaha Indonesia yang pada umumnya bermodal lemah
perlu diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi
nasional. Mereka harus dibimbing dan diberikan bantuan kredit karena
18

pemerintah menyadari pada umumnya mereka tidak mempunyai modal cukup.


Dengan usaha bertahap pengusaha pribumi akan berkembang dan maju.
Tujuannya adalah mengubah struktur ekonomi kolonial ke struktur ekonomi
Nasional. Program sumitro dikenal dengan nama Gerakan Benteng.
Akan tetapi, program tersebut tidak berhasil mencapai tujuan karena
para pengusaha pribumi sangat bergantung pada Pemerintah.
3. Nasionalisasi De Javasche Bank
Seiring dengan meningkatnya rasa Nasionalisme, pada akhir tahun
1991 Pemerintah Republik Indonesia melakukan Nasionalisasi De Javasche
Bank menjadi Bank Indonesia. Tujuan Nasionalisasi itu ialah untuk menaikan
pedapatan dan menurunkan biaya eksport serta melakukan penghematan secara
drastis.
4. Sistem Ekonomi Ali-Baba
Pada masa Pemerintahan Kabinet Ali Sastroamijoyo I, Menteri
Perekonomian Mr. Iskaq Cokrohadisuryo Memprakarsai Sistem Ekonomi baru
yang dikenal dengan sistem Ali-Baba. Sistem itu ditujukan untuk memajukan
Pengusaha Pribumi. Ali menggambar pengusaha Pribumi Sedangkan Baba
menggambarkan Pengusaha Nonpribumi, khususnya Cina. Sistem tersebut
dimaksudkan agar pengusaha Pribunidan Nonpribumi bekerjasama untuk
memajukan Ekonomi Indonesia.
Pemerintah menyediakan bantuan berupa kredit melalui Bank. Namun,
Sistem tersebut mengalami kegagalan karena pengusaha Nonpribumi lebih
berpengalaman dari pada pengusaha pribumi untuk memperoleh bantuan kredit.
Karena Indonesia melaksanakan sistem liberal maka persaingan bebas lebih
diutamakan. Dalam persaingan bebas tersebut pengusaha pribumi belum bisa
bersaing.
5. Persetujuan Finansial Ekonomi (Finek)
Pada masa pemerintahan Kabiner Burhanuddin Harahap dikirim suatu
delegasi ke jenewa untuk merundingkan masalah ekonomi antara pihak
Indonesia dan pihak Belanda. Misi itu dipimpin oleh Anak Agung Gede Agung.
Pada tanggal 7 Januari 1956, dicapai kesepakatan rencana persetujuan Finek
sebagai berikut.
a. Persetujuan Finek hasil KMB dibubarkan.
b. Hubungan Finek Indonesia dan Belanda didasaekan atas hubungan bilateral
c. Hubungan Finek didasarkan pada undang-undang nasional dan tidak boleh
19

diikat oleh perjanjian lain di antara kedua belah pihak.


Karena pemerintah Belanda tidak bersedia menandatangani rencana
persetujuan itu, pemerintah Republik Indonesia mengambil langkah sepihak.
Pada tanggal 13 Februari 1956, Kabinet Burhanuddin Harahap melakukan
pembubaran Uni Indonesia-Belanda secara sepihak. Hal itu dimaksudkan untuk
melepaskan diri dari keterkaitan ekonomi dengan Belanda sebagai tindak lanjut
dari pembubaran uni tersebut, pada tanggal 3 Mei 1956 Presiden Soekarno
menandatangani Undang-Undang pembatalan KMB. Akibatnya banyak
pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya, sedangkan pengusaha
pribumi belum mampu mengambil alih perusahaan Belanda tersebut.
6. Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT)
Masa kerja kabinet pada masa Demokrasi Parlementer yang relatif
singkat dan program yang berganti-ganti menimbulkan ketidakstabilan politik
dan ekonomi. Ketidakstabilan itu menyebabkan kemerosotan dalam bidang
ekonomi seperti inflasi dan lambatnya pelaksanaan pembangunan. Kabinet ini
pada masa Demokrasi Parlementer hanya menekankan program pembangunan
jangka pendek. Pada masa Kabinet Ali Sastroamijoyo II, pemerintah
membentuk badan perencanaan pembangunan nasional yang disebut Biro
Perancang Negara. Pembiayaan RPLT itu diperkirakan berjumlah Rp.12,5
Miliar. RPLT itu tidak dapat berjalan dengan baik disebabkan oleh hal-hal
sebagai berikut.
a. Adanya depresi ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa Barat pada akhir
tahun 1957 dan awal tahun 1958 yang mengakibatkan ekspor dan
pendapatan negara merosot.
b. Perjuangan pembebasan Irian Barat dengan melakukan nasionalisasi
perusahaan Belanda di Indonesia menimbulkan gejolak ekonomi.
c. Aadanya ketegangan antara pemerintah pusat dan daerah, sehingga banyak
daerah yang melaksanakan kebijakan ekonominya masing-masing.
7. Musyawarah Nasional Pembangunan
Ketegangan antara pusat dan daerah pada masa Kabinet Juanda untuk
sementara waktu dapat diredakan dengan diadakannya Munap sebagai perdana
menteri, Ir. Juanda memberi kesempatan kepada Munap untuk mengubah
rencana pembangunan itu agar dapat menghasilkan rencana pembangunan
yang menyeluruh dalam jangka panjang. Akan tetapi, rencana pembangunan
itu tidak dapat dilaksanakan dengan baik karena kesulitan dalam menentukan
20

prioritas. Sementara itu, ketegangan politik antara Indonesia dan Belanda


menyangkut Irian Barat juga memuncak menuju konfrontasi bersenjata.
8. Pengambilalihan Perusahaan Belanda
Setelah melakukan berbagai kebijakan ekonomi yang belum juga
membawa hasil nyata, pemerintah tetap meneruskan usaha untuk untuk
perbaijkan ekonomi. Langkah yang diambil pemerintah adalah dengan
menasionalisasikan perusahaan Belanda yang berjumlah sekitar 700 buah. Hal
itu dilakukan setelah terjadi pemogokan buruh secara menyeluruh pada
perusahaan Belanda. Hal itu dilakukan berdasarkan Peraturan Pemerintah No.
23 Tahun 1958. Sebagai akibat dari kebijakan tersebut, pusat lelang tembakau
Indonesia di Amsterdam dipindah.
9. Sistem Ekonomi Terpimpin
Pada masa Demokrasi Terpimpin kedaan ekonomi dan keuangan
Indonesia suram. Guna menanggulangi keadaan ekonomi yang sangat suram
tersebut, pemerintah kemudian mengeluarkan serangkaian kebijakan di bidang
ekonomi dan keuangan. Kebijakan tersebut antara lain Undang-Undang No. 80
Tahun 1958 dan Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1958 tentang Pembentukan
Dewan Perancang Nasional (Depernas). Dewan tersebut diketuai oleh Mr.
Muhammad Yamin dengan tugas sebagai berikut.
a. Mempersiapkan rancangan Undang-Undang Pembangunan Nasional yang
terencana dengan baik.
b. Menilai pelaksanaan pembangunan.
Dalam rangka membendung inflansi dan mengurangi jumlah uang
yang beredar di masyarakat, pemerintah mengumumkan penurunan nilai uang
(devaluasi). Peraturan yang disosialisasikan pada tanggal 25 Agustus 1959
berisi sebagai berikut ini.
a. Uang kertas pecahan Rp.500,00 nilainya diturunkan menjadi Rp.50,00.
b. Uang kertas pecahan Rp.1.000,00 nilainya diturunkan menjadi Rp.100,00.
c. Semua simpanan di bank yang nilainya lebih dari Rp. 25.0000, 00 yang
dibekukan.
Usaha yang dilakukan pemerintah tersebut tidak mampu mengatasi
kemerosotan ekonomi yang semakin parah. Oleh karena itu, pada tanggal 28
Maret 1963, dikeluarkan landasan baru perbaikan ekonomi secara menyeluruh
yang diberi nama Deklarasi Ekonomi (Dekon) beserta 14 aturan pokoknya.
Tujuan dibentuknya Dekon adalah menciptakan sistem ekononomi yang
21

bersifat nasional, demokratis, dan bebas dari sisa-sisa imperialisme untuk


mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara terpimpin. Namun
dalam pelaksanaannya, Dekon mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian
Indonesia, antara tahun 1961-1962 harga barang-barang secara umum naik
400%.
Pada tanggal 13 Desember 1965, melalui Penetapan Presiden No. 27
Tahun 1965, pemerintah melakukan devaluasi dengan menjadikan uang senilai
Rp.1.000,00 menjadi Rp.100,00. Sehingga uang rupiah baru yang semestinya
bernilai 1.000 kali lipat uang rupiah lama, dalam masyarakat hanya dihargai 10
kali lipat uang rupiah lama. Kebijakan moneter pemerintah yang ditujukan
untuk menekan angka inflasi justru meningkatkan angka inflasi.
Kegagalan dalam berbagai kebijakan moneter itu semakin
mempengaruh dengan pelaksanaan proyek-proyek mercusuar, seperti
pembangunan gedung-gedung untuk Game of the New Emerging Force
(Ganefo) dan Conference of the New Emerging Force (Cone-fo). Akibatnya,
pemerintah menanggung beban pengeluaran yang semakin besar sehingga
inflasi membumbung tinggi. Pada tahun 1966, inflasi di Indonesia telah
mencapai 600%.
Dalam rangka pelaksanaan ekonomi terpimpin, pada tanggal 11 Mei
1965, Presiden Soekarno mengeluarkan Penetapan Presiden No. 8 Tahun 1965
tentang Bank Sentral. Bank-bank pemerintah menjadi unit-unit dari Bank
Negara Indonesia. Kebijakan ini menyebabkan timbulnya spekulasi dan
penyelewengan penggunaan uang negara karena tidak adanya kontrol.
Secara umum sistem ekonomi terpimpin mengalami kegagalan. Hal
tersebut disebabkan oleh faktor-faktor sebaagai berikut.
a. Penanganan masalah ekonomi tidak rasional dan lebih bersifat politis.
b. Tidak ada ukuran yang objektif dalam menilai suatu usaha atau hasil orang
lain.

E. Pelaksanaan Demokrasi Terpimpin


Pelaksanaan Demokrasi Terpimpin di Indonesia dimulai dengan
berlakunya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit
tersebut sebagai upaya untuk menyelesaikan masalah negara yang semakin
mengkhawatirkan.
1. Dekrit Presiden 5 Juli 1959
22

Kegagalan Konstituante dalam menetapkan undang-undang dasar


membawa Indonesia ke jurang kehancuran. Keadaan negara yang dirongrong
sejumlah pemberontakan bertambah gawat. Atas dasar pertimbangan untuk
menyelamatkan negara dari bahaya, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit
yang dikenal sebagai Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Isi dari Dekrit 5 Juli 1959
seperti berikut ini.
a. Konstituante dibubarkan.
b. UUD 1945 berlaku kembali sebagai UUD Republik Indonesia.
c. Membentuk MPRS dan DPAS dalam waktu singkat.
Sisi-sisi positif dari berlakunya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah
sebagai berikut.
a. Menyelamatkan negara dari perpecahan dan krisis politik berkepanjangan.
b. Memberikan pedoman yang jelas, yaitu UUD 1945 bagi kelangsungan hidup
negara.
c. Merintis pembentukan lembaga tertinggi negara, yaitu MPRS dan lembaga
tinggi negara berupa DPAS yang selamah masa Demokrasi Parlementer
tertunda pembentukannya.
Sisi-sisi negatif dari berlakunya Dekrit Presiden 1959 adalah
sebagai berikut.
a. Memberi kekuasaan yang besar kepada Presiden, MPR, dan lembaga tinggi
negara. Hal ini tampak semasa Demokrasi Terpimpin dan berlanjut semasa
Orde Baru.
b. Memberi peluang bagi militer untuk terjun dalam bidang politk. Sejak dekrit
presiden, militer terutama Angkatan Darat tampil menjadi kekuatan politik
yang disegani. Hal ini semakin terlihat pada masa Orde Baru.
2. Pelaksanaan Demokrasi Terpimpin
Demokrasi Terpimpin berlaku di Indonesia antara tahun 1959-1966.
Masa itu berawal dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan berakhir dengan
kejatuhan rezim Soekarno. Disebut terpimpin karena demokrasi Indonesia
ketika itu amat mengandalkan kepemimpinan presiden Soekarno.
Demokarasi Terpimpin merupakan reaksi terhadap Demokrasi
Parlementer. Semasa Demokrasi Parlementer, kekuasaan presiden hanya
terbatas sebagai kepala negara. Sedangkan kekuasaan pemerintah dilaksanakan
oleh partai. Semasa Demokrasi Terpimpin, kebebasan partai dibatasi,
sedangkan presiden cenderung berkuasa mutlak, yaitu sebagai kepala negara
23

dan sekaligus kepala pemerintah. Perbedaan yang berlawana itu berpengaruh


terhadap perkembangan politik dan pemerintah.
Demokrasi Parlementer mewariskan ketidakstabilan politik yang
cukup parah. Untuk mengembalikan kehidupan bernegara pada posisi politik
yang mantap, pemrintah pada masa Demokrasi Terpimpin berusaha menata
kehidupan politik sesuai dengan UUD 1945. Akan tetapi, upaya tersebut
ditentukanoleh satu tangan, yaitu presiden sendiri.
a. Pembentukan PMRS
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dibentuk
berdasarkan Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959. Para anggota MPRS
ditunjuk dan diangkat oleh presiden dengan sejumlah persyaratan, yaitu
sebagai berikut.
1) Setuju kembali pada UUD 1945.
2) Setia kepada perjuangan Republik Indonesia.
3) Setuju kepada manifesto politik.
Keanggotaan MPRS terdiri atas 61 orang anggota DPR, 94 orang
utusan daerah, dan 200 orang wakil golongan. Tugas PMRS terbatas pada
menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN)
Antara tahun 1959-1965, MPRS melaksanakan tiga kali sidang
umum. Ketiganya dilaksanakan di Gedung Merdeka, Bandung. Hasil sidang
umum itu memperlihatkan bekuasanya presiden. Hal itu tampak dari
ditetapkannya hal-hal sebagai berikut.
1) Manifesto politik sebagai GBHN.
2) Pengangkatan Ir. Soekarno sebagai presiden seumur hidup.
3) Pidato presiden yang berjudul “Berdiri di Atas Kaki Sendiri” sebagai
pedoman revolusi dan politik luar negeri.
Pembentukan MPRS yang dilakukan oleh Presiden Soekarno
berdasarkan penetapan presiden No. 2 Tahun 1959 itu bertentangan dengan
UUD 1945. Sebab dalam UUD 1945 telah ditetapkan bahwa pengangkatan
anggota MPR sebagai lembaga tertinggi negara harus melalui pemilihan
umum. Sehingga hanya partai yang memiliki suara banyak yang berhak
menempatkan anggotanya di MPR. Berdasarkan UUD 1945, kedudukan
presiden berada di bawah MPR. Akan tetapi, kenyataannya MPRS tunduk
kepada presiden. Hal itu terlihat jelas dari tindakan presiden dalam
pengangkatan ketua MPRS yang dirangkap oleh Wakil Perdana Menteri III
24

dan pengankatan Wakil Ketua MPRS yang dipilih dari pimpinan partai besar
(PNI, NU, dan KPKI) seta Wakil ABRI yang masing-masing diberi
kedudukan sebagai menteri yang tidak memimpin departemen.
Bentuk pelaksanaan lainnya dalam sistem demokrasi terpimpin
adalah pidato presiden tanggal 17 Agustus 1959 yang berjudul “Penemuan
Kembali Revolusi Kita”. Pidato itu lebih dikenal sebagai manifesto politik
Republik Indonesia yang kemudian ditetapkan sebagai GBHN atas usul DPA
yang bersidang pada tanggal 23-25 September 1959. Inti manipol adalah
USDEK (UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi
Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia).
b. Pembubaran DPR dan Pembentukan DPR GR
Pembubaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hasil pemilihan
umum tahun 1955 disebabkan oleh penolakan lembaga itu terhadap RAPBN
tahun 1960 yang diajukan pemerintah. Presiden kemudian mengeluarkan
penetapan presiden yang menyatakan bahwa DPR dibubarkan. Sebagai
gantinya, presiden membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong
(DPR GR). Karena bukan hasil pemilihan umum maka semua anggota DPR
GR ditunjuk oleh Presiden. Peraturan maupun tata tertib DPR GR,
ditentukan oleh Presiden. Akibatnya, DPR GR mengikuti kehendak serta
kebijkan pemerintah. Tugas DPR GR adalah sebagai berikut.
1) Melaksanakan manifesto politik,
2) Mewujudkan amanat penderitaan rakyat, dan
3) Melaksanakan demokasi terpimpin.
c. Pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara
Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) dibentuk
berdasarkan penetapan Presiden NO. 3 Tahun 1959. Lembaga tinggi negara
tersebut diketahui oleh presiden sendiri. Keanggotaan DPAS tersiri atas satu
orang wakil ketua, 12 orang wakil partai politik, 8 orang utusan daerah, serta
24 orang wakil golongan. Tugas DPAD, antara lain, memberi jawaban atas
pertanyaan presiden dan mengajukan usul kepada pemeintah.
Seperti MPRS dan DPR GR, DPAS menetapkan diri di bawah
pemerintah. Alasannya adalah DPAS yang mengusulkan agar pidato
presiden yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” dijadikan
sebagai GBHN yang kemudian disebut manifesto politik Republik
Indonesia.
25

d. Pembentukan Kabinet Kerja


Pada tanggal 9 Juli 1959, pesiden membenuk Kabinet Kerja. Karena
tidak ada Wakil Presiden maka presiden mengadakan jabatan menteri
pertama. Ir. Juanda kemudian ditunjuk untuk memegang jabatan itu. Sampai
dengan tahun 1964, Kabinet Kerja mengalami tiga kali perombakan
(reshuffle). Program dari kabinet adalah sebagai berikut.
1) Mencukupi kebutuhan sandang pangan,
2) Menciptakan keamanan negara, dan
3) Mengembalikan Irian Barat.
e. Pembentukan Front Nasional
Front Nasional dibentuk berdasarkan penetapan Presiden No.13
Tahun 1959. Tujuannya adalah menyatukan seluruh potensi nasional agar
menjadi kekuaatan untuk menmenyukseskan pembangunan. Front Nasional
dipimpin oleh Presiden Soekarno sendiri. Tugas dari Front Nasional adalah
sebagai berikut.
1) Menyelesaikan revolusi nasional,
2) Melaksanakan pembangunan, dan
3) Mengembalikan Irian Barat
f. Pembentukan Dewan Perancang Nasional (Depernas)
Tugas Depernas adalah menyiapkan rancangan undang-undang
pembangunan nasional dan sekaligus menilai pelaksanaannya. Depernas
beranggotakan 50 orang dengan Mohammad Yamin sebagai ketuanya. Pada
tahun 1963, Depenas mengganti nama menjadi Badan Perancang
Pembangunan Nasional (Bappenas). Ketua Bappenas dijabat oleh presiden.
Tugas Bappenas adalah sebagai berikut
1) Menyusun rencana pembangunan jangka panjang dan jangka pendek,
2) Mengawasi pelaksanaan pembangunan, dan
3) Menilai hasil kerja mandataris MPRS.
3. Permasyarakatan Ajaran Nasakom
Pada masa Demokrasi Parlementer persatuan Indonesia porak-poranda.
Hal itu terjadi karena belum terbentuknya pemahaman yang sama mengenai
kehidupan berbangsa dan bernegara. Keragaman pemahaman itu disebabkan
oleh perbedaan ideologi dari partai-partai yang pada waktu itu.
Menyadari hal itu, Presiden Soekarno berupaya membentuk
pemahaman yang sama semasa Demokrasi Tepimpin. Pemahaman kehidupan
26

berbangsa dan bernegara itu terdapat dalam ajaran yang disebut Nasakom
(Nasionalis, Agama, dan Komunis). Bagi Presiden Soekarno, Nasakom
merupakan cerminan paham dari berbagai golongan dalam masyarakat. Dengan
menerima dan melaksanakan Nasakom, persatuan Indonesia akan terwujud.
Gencarnya permasyarakatan Nasakom dimanfaatkan oleh PKI. Partai
tersebut menyebut diri sebagai barisan terdepan pembela Nasakom.
Keterlibatan PKI tersebut membuat Nasakom menyimpan dari ajaran kehidupan
berbangsa dan bernegara, serta menggeser kedudukan pancasila.
4. Permasyarakatan Ajaran Resopim
Bila Nasakom ditujukan untuk menggalang persatuan bangsa, ajaran
Resopim (revolusi, sosialisme Indonesia, dan pimpinan nasional) jelas
ditujukan untuk memperkuat Presiden Soekarno. Resopim mulai diumumkan
pada peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia ke-16. Ajaran itu
menekankan bahwa seluruh unsur kehidupan berbangsa dan bernegara harus
dicapai melalui revolusi, dijiwai oleh sosialisme, dan dikendalikan oleh satu
pimpinan nasional yang disebut Panglima Besar Revolusi (PBR), yaitu Presiden
Soekarno.
Akibat pemasyarakatan Resopim, lembaga tinggi dan teringgi negara
ditempatkan di bawah presiden. Hal itu dari pemberian pangkat menteri kepada
pimpinan lembaga tersebut. Padahal menteri berkedudukan sebagai pembantu
presiden.
5. Pembatasan Patai-Partai
Semasa Demokrasi Parlementer, partai dapat melakukan kegiatan
politik secara leluasa. Semasa Demokrasi Terpimpin, kedudukan partai dibatasi
oleh penetapan presiden. Partai yang tidak memenuhi syarat akan dibubarkan.
Akibatnya, dai 28 partai yang ada sisa 11 partai.
Pembatasan gerak-gerik partai semakin memperkuat kedudukan
presiden. Kuatnya kedudukan presiden itu tampak dari tindakan pembubaran
dua partai yang pernah berjaya semasa Demokrasi Parlementer. Kedua partai
itu adalah Masyumi dan Partai Sosialis indonesia (PSI). Keduanya resmi
dibubarkan pada tanggal 17 Agustus 1960. Pertimbangan pembubaran adalah
keterlibatan sejumlah anggota kedua partai tersebut dalam pemberontakan
PRRI dan permesta.
27

F. Pertentangan Antara PKI dan Angkatan Darat


Ideologi dan kepentingan yang berbeda antara PKI dan Angkatan Darat
menyebabkan keduanya bersaing satu sama lain. Sesuai dengan ideologi yang
dianutnya, PKI berkepentingan merintis berdirinya negara komunis. Sedangkan
sebagai kekuatan pertahanan negara, Angkatan Darat berkepentingan
mengamankan pancasila sebagai dasar negara. Pada akhir tahun 1963, PKI
melancarkan aksi sepihak di pulau Jawa, Sumatra Utara, dan Bali. Kader PKI
meghasut kaum tani dan buruh untuk mengambil alih tanah milik para tuan tanah
atau millik perkebunan.
Pada bulan Januari 1965, PKI mengajukan gagasan pembentukan
Angkatan Kelima. Gagasan itu berisi tuntutan agar kaum buruh dan tani
dipersenjatai. Hal itu dilakukan untuk menggalang kekuatan menghadapi
neokolonialisme (neokolim) Inggris dalam rangka Dwikora.
Pada bulan Mei 1965, PKI melempar isu adanya Dewan Jenderal dalam
tubuh Angkatan Darat. Angkatan Darat secara tegas menolak gagasan pembentkan
Angkatan Kelima. Letnan Jenderal Ahmad Yani menyatakan bahwa pembentukan
Angkatan Kelima tidak efisien dan merugikan revolusi Indonesia.
Di tengah persaingan antara PKI dan Angkatan Darat, muncul berita
tentang semakin memburuknya kesehatan Presiden Soekarno. Berita pada bulan
Juli 1965 tersebut menimbulkan ketegangan politik.

G. Tregedi Kemanusiaan 30 September 1965


Isu dewan Jenderal yang akan mengadakan perebutan kekuasaan dari
tangan Presiden Soekarano semakin menguat. PKI menganggap perlu adanya
sebuah gerakan militer untuk mendahului rencana Dewan Jenderal tersebut.
1. Persiapan
Pada bulan Juli sampai September 1965, PKI mengadakan pelatihan
militer di Lubang Buaya, Pondok Gede, Jakarta. Mereka yang dilatih adalah
para kader dan simpatisan PKI, seperti Serikat Buruh Angkatan Udara, Barisan
Tani Indonesia, Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia, dan
sebagainya.
Dalam rapat koordinasi di tingkat pusat diputuskan hal-hal berikut.
a. Susunan strktur organisasi dan pengendalian perebutan kekuasaan.
b. Sasaran utama gerakan Pasukan Pasopati adalah para perwira tinggi
Angkatan Darat, seperti Jenderal A.H. Nasution, Letnan Jenderal Ahmad
28

Yani, Jenderal Haryono, Jenderal Suprapto, Jenderal S. Parman, Brigadir


Jenderal Panjaitan, dan Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomiharjo. sedangkan
sasaran Pasukan Bima Sakti adalah objek vital seperti gedung RRI Jakarta,
gedung Telekomunikasi, dan daerah penting di sekitar Monumen Nasional
(Monas).
2. Aksi
Setelah persiapan dinilai cukup, PKI mulai bergerak. Malam hari
tanggal 30 September 1965, sepasukan militer melakukan penculikan dan
pembunuhan terhadap sejumlah perwira tiggi Angkatan Darat. Kelompok itu
menamakan diri Gerakan 30 September, di bawah pimpinan Letnan Kolonel
Untung, Komandan Batalion 1 Cakrabirawa (Pasukan Pengawal Presiden).
Dalam penculikan itu, Jenderal A.H. Nasution selamat, namun putrinya
Ade Irma Suryani dan ajudannya yang bernama Letnan Satu Pierre Tendean
menjadi korban. Para korban penculikan yang masih hidup maupun yang sudah
meninggal di bawah ke Lubang Buaya. Para korban yang masih hidup adalah
Jenderal Suprapto, Jenderal S. Paraman, Jenderal Sutoyo Siswomiharjo, dan
Letnan Satu Pierre Tandean. Sedangkan korban yang sudah dalam keadaan
meninggal adalah Jenderal Ahmad Yani, Jenderal Haryono, dan Jenderal
Panjaitan. Keempat korban yang masih hidup kemudian ditembak mati.
Selanjutnya seluruh korban dimasukkan ke dalam Lubang Buaya. Para perwira
Angkatan Darat korban Gerkan 30 September di Jakarta adalah sebagai berikut.
a. Letnan Jenderal Ahmad Yani, Men/Pangad.
b. Mayor Jenderal S. Parman, Asisten Imen/Pangad.
c. Mayor Jenderal R. Suprapto, Deputi II Men/Pangad.
d. Mayor Jenderal M.T. Haryono, Deputi III Men/Pangad.
e. Brigadir Jenderal D.I. Panjaitan, Asisten IV Men/Pangad.
f. Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomiharjo, Inspektur Kehakiman/Oditur
Jenderal Angkatan Darat.
g. Letnan Satu Pierre Tendean, Ajudan Jenderal A.H. Nasution.
3. Penumpasan
Karena Men/Pangad belum diketahui nasibnya, sementara negara dalam
keadaan gawat, akhirnya pimpinan Angkatan Darat diambil alih oleh Panglima
Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad), Mayor Jenderal Soeharto.
Setelah berhasil menghimpun pasukan yang setia kepada pemerintah, operasi
penumpasan terhadap Gerakan 30 September segera dilakukan. Selanjutnya,
29

operasi diarahkan untuk merebut Studio RRI Jakarta dan Gedung


Telekomunikasi. Usaha tersebut beehasil, bersamaan dengan itu diperoleh
laporan bahwa daerah di sekitar Pangkalan Uadara Halim Perdanakusuma
digunakan sebagai basis Gerakan 30 September. Setelah terjadi kontak tembak
singkat, akhirnya pasukan dari Batalion 454/Diponegoro yang berada di sekitar
Lubang Buaya mundur ke arah Bekasi. Dengan demikian, wilayah itu berhasil
dikuasai oleh pasukan yang setia tehadap pancasila.
Operasi dilanjutkan untuk mengetahui nasib para perwira Angkatan
Darat yang menjadi korban penculikan. Sukitman, anggota polisi yang
ditangkap pasukan penculik pada saat penculikan Jenderal Panjaitan berhasil
meloloskan diri. Ia kemudian melaporkan kepada pasukan keamanan tempat
penguburan jenaza para perwira Angkatan Darat yang diculik oleh Gerakan 30
September.

H. Perjuangan Membebaskan Irian Barat


Dalam mengembalikan Irian Barat (sekarang Papua) ke pangkuan ibu
pertiwi, Indonesia memilih tiga bentuk perjuangan, yaitu diplomasi, konfrontasi
politik dan ekonomi, serta konfrontasi militer. Pejuangan diplomasi menunjukkan
niat baik Indonesia untuk selalu mendahulukan cara damai dalam menyelesaikan
persengketaan. Perjuangan itu dilakukan dengan perundingan. Konfrontasi politik
dan ekonomi menunjukkan kesungguhan Indonesia untuk memperjuangkan apa
pun yang memang menjadi haknya. Sedangkan konfrontasi militer menunjukkan
sikap tidak kenal menyerah dalam merebut Irian Barat.
1. Perjuangan Diplomasi
Perjuangan diplomasi menempuh dua tahap. Pada tahap pertama
Indonesia berupaya menyelesaikan masalah Irian Barat secara bilateral, yaitu
melalui perundingan langsung dengan Belanda. Karena cara itu gagal,
Indonesia menempuh tahap kedua, yaitu membawa masalah Irian Barat ke
sidang PBB.
a. Perundingan dengan Balanda
Dalam KMB masalah Irian Barat akan diselesaikan melalui
perundingan setahun sesudah pengakuan kedaulatan. Menurut pengertian
pihak Indonesia, Belanda akan menyerahkan Irian Barat pada waktu yang
telah ditentukan. Padahal, pihak Belanda mengartikan lain. Menurut
Belanda, Irian Barat hanya dibicarakan sebatas perundingan, bukan
30

diserahkan. Berdasarkan pengertian sepihak itu, Belanda mempunyai alasan


untuk tetap menguasai Irian Barat.
Pada bulan Maret 1950, RIS dan Belanda membenruk komite
bersama untuk Irian Barat. Namun, komite itu tidak membuahkan hasil.
Kegagalan itu disebabkan oleh munculnya sikap anti-Indonesia yang
diletupkan oleh para pegawai dan tentara Belanda yang mengalami
kepahitan selama perang kemerdekaan. Menghadapi sikap keras kepala
Belanda dalam mempertahankan Irian Barat Kabinet Natsir menempuh sikap
lunak. Diharapkan sikap seperti itu mengundang simpati internasional,
terutama Amerika Serikat, sikap seperti itu dilakukan juga oleh dua kabinet
berikutnya, yaitu Kabinet Sukiman dan Wilopo. Bahkan pada bulan Agustus
1952, pemerintah Belanda dengan persetujuan parlemennya memasukkan
Irian Barat ke dalam wilayah Kerajaan Belanda. Indonesia membalas
tindakan Belanda itu dengan menghapuskan misi militer Belanda pada bulan
April 1953.
b. Diplomasi dalam Forum PBB
Setelah perjuangan diplomasi secara bilateral mengalami kegagalan,
Indonesia melibatkan PBB dalam penyelesaian Irian Barat. Tindakan itu
dilakukan sejak tahun 1945. Tindakan itu dimulai dengan pembatalan Uni
Indonesia-Belanda secara sepihak.. Alasan pihak Indonesia adalah karena
masalah itu menunjukkan adanya penindasan suatu bangsa terhadap hak
bangsa lain.
Pihak Belanda menanggapi usaha Indonesia itu dengan meyakinkan
PBB bahwa masalh Irian Barat adalah masalah bilateral antara Indonesia dan
Belanda, yakni dalam lingkup Uni Indonesia-Belanda pernyataan Belanda
itu mendapat dukungan dari negara Eropa Barat, terutama sesama anggota
NATO. Akibatnya, resolusi pengembalian Irian Barat gagal memperoleh
mayoritas suara.
2. Perjuangan Konfrontasi
Karena perjuangan diplomasi baik bilateral maupun dalam forum PBB
belum menunjukan hasil, Indonesia meningkatkan perjuangan dalam bentuk
konfrontasi.
Indonesia menempuh dua jenis konfrontasi, yaitu konfrontasi politik
dan konfrontasi ekonomi serta konfrontasi militer. Konfrontasi militer terpaksa
dilakukan setelah Belanda tidak mau berkompromi dengan Indonesia.
31

a. Konfrontasi Politik dan Ekonomi


Pada tahun 1956, secara sepihak Indonesia membatalkan hasil
KMB yang dikukuhkan menjadi UU No. 13 tahun 1956. Pada tahun 1956,
Indonesia meresmikan Provinsi Irian Barat. Peresmian dilakukan tepat pada
saat kemerdekaan Republik Indonesia ke-11. Provinsi Irian Barat waktu itu
meliputi Irian, Tidore, Oba, Weda, Patani, dan Wasile.Ibu kotanya terletak di
Soa Sio, Tidore. Gubenur Irian Barat pertama adalah Sultan Tidore. Zaenal
Abidin Syah, yang dilantik pada tanggal 23 September 1956.
Pada tanggal 18 November berlangsung rapat umum pembebasan
Irian Barat di Jakarta. Rapat tersebut berlanjut dengan pemogokan
umumyang dilancarkan oleh para buruh yang bekerja di perusahaan Belanda.
Bunker mengusulkan agar Belanda menyerahkan Irian Barat kepada
Indonesia dengan perantaraan PBB dalam jangka waktu dua tahun. Pihak
Indonesia menyetujui usul itu dengan catatan jangka waktu diperpendek.
Akan tetapi, pihak Belanda tidak menindahkan usul itu. Bahkan, Belanda
mengajukan usul lain untuk menyerahkan Irian Barat di bawah pengwasan
PBB. Kemudian, PBB membentuk negara Papua dalam jangka waktu enam
belas tahun.
Usul Belanda tersebut merupakan pukulan bagi perjuangan
diplomasi Indonesia. Tampak bahwa Belanda tidak ingin Irian Barat menjadi
bagian dari Indonesia.
b. Konfrontasi Militer
Tindakan Belanda terhadap Irian Barat merupakan tantangan untuk
memperlemah nyali Indonesia. Ternyata pihak Indonesia tidak gentar dengan
tantangan tersebut. Pada tanggal 19 Desember 1961, Presiden Soekarno
mengumumkan Tri Komando Rakyat (Trikora) di Yogyakarta. Isi dari
Trikora adalah sebagai berikut.
1) Gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan Belanda.
2) Kibarkan sang merah putih di Irian Barat tanah air Indonesia.
3) Bersiaplah untuk memobilisasi umum guna mempertahankan
kemerdekaan dan kesatuan tanah air bangsa.
Selanjutnya, diadakan rapat Dewan Pertahanan Nasional dan
Gabungan Kepala Staf, serta Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat.
Mengasilkan hal-hal sebagai berikut.
1) Membentuk Provinsi Irian Barat gaya baru dengan putra Irian sebagai
32

gubernurnya.
2) Membentuk Komando Mandala yang langsung di bawah ABRI dengan
tugas merebut Irian Barat.
Untuk melaksanakan Trikora tersebut, pada tanggal 11 Januari
1962, Presiden Soekarno membentuk Komando Mandala Pembebasan Irian
Barat yang berkedudukan di Makassar. Selaku Panglima Mandala ditunjuk
Brigadir Jenderal Soeharto.
Susunan Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat adalah
sebagai berikut.
 Panglima Besar : Presiden/Panglima teringgi Seokarno
 Wakil Panglima Besar : Jenderal A.H. Nasution
 Kepala Staf : Mayor Jenderal Ahmad Yani
Sedangkan susunan Komando Mandala sebagai berikut.
 Panglima Mandala : Mayor Jenderal Soeharto
 Wakil Panglima I : Kolonel Laut Subono
 Wakil Panglima II : Kolonel Udara Leo Wattimena
 Kepala Staf Umum : Kolonel Achmad Taher
Tugas Komando Mandala adalah sebagai berikut.
1) Menyelenggarakan operasi militer untuk membebaskan Irian Barat.
2) Menggunakan segenap kekuatan dalam lingkungan Republik Indonesia
untuk membebaskan Irian Barat.
Sementara itu, pada tanggal 15 Januari 1962 terjadi pertempuran di
Laut Aru. Dalam pertempuran itu Deputi KSAL, Komodor (Laksamana
Pertama) Yos Sudarso gugur.
Sesuai dengan perkembangan situasi, Trikora diperjelas dengan
Instruksi Panglima Besar, Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat No. 1
kepada Panglima Mandala yang isinya sebagai berikut.
1) Merencanakan, mempersiapkan dan menyelenggarakan operasi militer
dengan tujuan mengembalikan wilayah Provinsi Irian Barat dalam
kekusaan negara Republik Indonesia
2) Mengembangkan situasi di Provinsi Irian Barat sesuai dengan taraf
perjuangan di bidang diplomasi dan dalam waktu yang sesingkat-
singkatnya di wilayah Provinsi Irian Barat dapat secara de facto
diciptakan daerah bebas atau ada unsur kekuasaan/pemerintahan daerah
Republik Indonesia.
33

Guna melaksanakan instruksi itu, Panglima Mandala menyusun


strategi dengan tahap-tahap sebagai berikut.
1) Tahap Infiltrasi (penyusupan), yaitu dengan memasukkan sepuluh kompi
di sekitar sasaran tertentu untuk menciptakan daerah bebas de facto yang
kuat sehingga sulit dihancurkan oleh musuh.
2) Tahap eksploitasi, yaitu dengan mengadakan serangan terbuka terhadap
militer lawan dan menduduki pos pertahanan musuh yang penting.
3) Tahap konsolidasi, yaitu dengan mendudukkan kekuasaan Republik
Indonesia secara mutlak di seluruh Irian Barat.
Dengan menyaksikan kesungguhan Indonesia, Ellsworth Bunker
mengajukan usul yang dikenal dengan Rencana Bunker. Isi usulannya adalah
sebagai berikut.
1) Pemerintahan di Irian Barat harus diserahkan kepada Republik Indonesia.
2) Setelah sekian tahun, rakyat irian Barat harus diberi kesempatan untuk
menentukan pendapat, apakah tetap berada dalam negara Republik
Indonesia atau memisahkan diri.
3) Pelaksanaan penyelesaian masalah Irian Barat akan selesai dalam jangka
waktu dua tahun.
4) Guna menghindari bentrokan fisik antara pihak yang bersengketa
diadakan peralihan di bawah pengawasan PBB selama satu tahun.

3. Akhir Perjuangan
Perjuangan Indonesia terhadap Irian Barat diakhiri dengan perjanjian
New York. Proses pengembalian Irian Barat menempuh tahap sebagai berikut.
a. Mulai tanggal 11 Oktober 1962 kekuasaan Belanda atas Irian Barat berakhir.
b. Mulai tanggal 1 Oktober 1962-1 Mei 1963, Irian Barat berada di bawah
pengawasa pemerintah sementara PBB yang disebut United Nations
Temporary Executive Authority (UNTEA).
c. Mulai tanggal 31 Desamber 1963 secara resmi PBB menyerahkan Irian
Barat kepada Pemerintah Republik Indonesia.
Sesuai dengan perjanjian New York, pada tahun 1969 pemerintah
Republik Indonesia mengadakan Pemungutan Pendapat Rakyat (Pepera).
Melalui Pepera, rakyat Irian Barat diberi kesempatan untuk memilih, apakah
tetap bergabung dengan Republik Indonesia atau merdeka. Dewan Musyawarah
Pepera memutuskan untuk tetap bergabung dengan Republik Indonesia. Hasil
34

Pepera kemudian dibawah oleh diplomat PBB,Ortis, Sanz untuk dilaporkan


dalam Sidang Majelis Umum PBB ke-24.

Anda mungkin juga menyukai