Pada 30 September 1948, Madiun dapat diduduki lagi oleh RI. Beberapa petinggi
PKI melarikan diri ke Tionghoa dan Vietnam seperti D.N Aidit dan Lukman. Muso
tertembak dalam pertempuran kecil di Ponorogo. Amir Sjarifuddin ditangkap dan
ditembak mati.
2.Pemberontakan DI/TII
Dia bersama kurang lebih 2 ribu orang pengikut yang terdiri dari laskar Hizbullah
dan Sabilillah, menolak berpindah dan memulai usaha mendirikan Negara Islam
Indonesia (NII). Proklamasi NII dilaksanakan pada 7 Agustus 1949.
C.DI/TII Aceh
3.Pemberontakan APRA
Pada saat itu, Westerling berusaha untuk mempertahankan bentuk negara federal
dan menolak Republik Indonesia Serikat (RIS). Westeling menilai, RIS di bawah
Soekarno dan Hatta terlalu fokus pada wilayah Jawa atau Jawa sentris.
Pasukan KL dan KNIL merasa dirugikan dengan keputusan KMB. Pasukan KNIL
takut mengalami hukuman atau ancaman saat menyatu dengan TNI kelak.
Westeling kemudian menggunakan nama Ratu Adil dari kitab Jangka Jayabaya
tentang datangnya "Sang Ratu Adil". Westerling pun menamai gerakan ini dengan
Angkatan Perang Ratu Adil (APRA).
Pemberontakan APRA
Target pemberontakan APRA adalah Jakarta dan Bandung. Jakarta menjadi target
sasaran sebab pada awal Januari 1950 sedang ramai dilakukan Sidang Kabinet RIS
untuk membahas kembalinya Indonesia ke bentuk negara kesatuan.
23 Januari 1950 pagi, pasukan yang menamakan diri APRA bergerak dari Cimahi
menuju pusat kota Bandung, utamanya ke Markas Divisi Siliwangi di Jalan Oude
Hospitaalweg (sekarang Jalan Lembong). Sepanjang jalan menuju markas Divisi
Siliwangi, pasukan APRA menembaki tentara Siliwangi yang terlihat tak
bersenjata.
Akhirnya, pertempuran tak seimbang 800 APRA melawan 100 tentara Siliwangi
yang tersisa di markas terjadi. Pertempuran ini menewaskan Letkol Adolf
Lembong. Akhirnya, APRA menguasai markas Siliwangi.
Dalam penyerbuan itu, Hamid juga memerintahkan agar semua menteri ditangkap,
sedangkan Menteri Pertahanan Sultan Hamengku Buwono IX, Sekretaris Jenderal
Ali Budiardjo, dan Kepala Staf Angkatan Perang RIS (APRIS) Kolonel T.B.
Simatupang harus ditembak mati.
Drs. Moh. Hatta turun langsung untuk berunding dengan Komisaris Tinggi
Belanda. Akhirnya, Mayor Jenderal Engels yang merupakan Komandan Tinggi
Belanda di Bandung mendesak Westerling untuk meninggalkan Kota Bandung.
Berkat hal itu, APRA pun berhasil dilumpuhkan oleh pasukan APRIS.
Pemberontakan Andi Azis adalah salah satu gerakan perlawanan yang menentang
rencana penyatuan Negara Indonesia Timur (NIT) ke bagian NKRI. Peristiwa ini
terjadi pada masa kepemimpinan Kapten Andi Azis di Makassar, Sulawesi Selatan.
Kala itu, Andi Azis merupakan mantan perwira tentara kerajaan Hindia Belanda
atau Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger (KNIL) yang baru diterima
sebagai anggota Angkatan Perang RIS (APRIS).
Andi Azis menuntut agar para pasukan APRIS bekas KNIL yang bertanggung
jawab atas keamanan di daerah NIT. Waktu itu ia sangat menentang dan
menghalangi masuknya pasukan APRIS dari TNI yang dipimpin oleh Mayor
Worang. Menurutnya, Negara Indonesia Timur harus tetap dipertahankan.
Singkatnya, latar belakang dari pemberontakan ini adalah penolakan Andi Azis
terhadap rencana penyatuan NIT ke dalam bagian Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Kala itu, Andi Azis merupakan golongan federalis yang
menolak penyatuan tersebut.
Andi Azis bersama dengan pasukan yang ia pimpin menyandera Letkol Achmad
Yusuf Mokoginta (Pejabat Panglima Teritorium Indonesia Timur) beserta seluruh
stafnya.
Kemudian pada bulan April 1950, Andi Azis menyerahkan diri kepada pemerintah
RIS dan diadili di Yogyakarta.
Hal ini menyebabkan Andi Azis dan mantan anggota KNIL menentang hal tersebut
terutama rencana kedatangan APRIS pada 5 April ke wilayah Makassar. Pasalnya,
mereka khawatir akan diperlakukan diskriminatif oleh pimpinan APRIS/TNI.
Semangat Belajar !