Anda di halaman 1dari 5

PERJUANGAN MENGHADAPI PERGOLAKAN DALAM NEGERI

A. Pemberontakan PKI Madiun Tahun 1948

Akibat Persetujuan Renville, Kabinet Amir Syarifuddin jatuh karena dianggap terlalu
menguntungkan Belanda. Persetujuan Renville dianggap tidak menjamin secara tegas kedudukan dan
kelangsungan hidup Republik Indonesia. Hasil persetujuan Renville membuat posisi Indonesia
bertambah sulit. Wilayah Republik Indonesia juga semakin berkurang sehingga wilayah kekuasaan
Republik Indonesia menjadi sempit. Ditambah lagi dengan adanya blokade ekonomi yang dilakukan
oleh Belanda. Oleh karena itu, pada tanggal 23 Januari 1948 Amir Syarifuddin menyerahkan
mandatnya kepada Presiden Republik Indonesia. Presiden kemudian menunjuk Moh. Hatta untuk
membentuk kabinet. Hatta menyusun kabinet tanpa campur tangan golongan sayap kiri atau sosialis.

Setelah menyerahkan mandatnya kepada pemerintah Republik Indonesia, Amir Syarifuddin menjadi
opsisi dari pemerintahan Kabinet Hatta. Ia menyusun kekuatan dalam Front Demokrasi Rakyat
(FDR), yang mempersatukan semua golongan sosialis kiri dan komunis. Mereka mengadakan
pengancaman ekonomi dengan cara menghasut kaum buruh untuk melancarkan pemogokan di pabrik
karung Delangu pada tanggal 5 Juli 1948. Pada saat Front Demokrasi Rakyat melakukan ofensif,
tampillah Muso seorang tokoh PKI dari zaman sebelum Perang Dunia II.

Puncak gerakan yang dilakukan oleh PKI pada tanggal 18 September 1948 yaitu dengan pernyataan
tokoh-tokoh PKI tentang berdirinya Sovyet Republik Indonesia yang bertujuan mengganti dasar
negara Pancasila dengan Komunis. Para pemberontak PKI melancarkan aksinya dengan menguasai
seluruh Karesidenan Pati. PKI juga melakukan pembunuhan dan penculikan secara besar-besaran
terhadap setiap golongan yang dianggap musuhnya.

Pemberontakan PKI yang terjadi di Madiun mendorong pemerintah Republik Indonesia untuk
melakukan tindakan tegas. Presiden Soekarno memusatkan seluruh kekuasaan negara berada di
tangannya. Panglima Besar Soedirman memerintahkan Kolonel Gatot Subroto (Panglima Divisi II
Jawa Tengah bagian Timur) dan Kolonel Sungkono (Panglima Divisi Jawa Timur) untuk
mengerahkan kekuatan TNI serta Polisi dalam menghadapi gerakan pemberontakan PKI.

Dengan bantuan rakyat, pada tanggal 30 September 1948 Madiun berhasil direbut kembali oleh
pasukan TNI. Dalam pelariannya, Musso dan Amir Syarifuddin tewas tertembak. Selanjutnya
dilakukan operasi pembersihan di daerah-daerah lain. Pada awal bulan Desember 1948, operasi itu
dinyatakan selesai.

B. Gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII)

Di Daerah Jawa Barat Pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia melawan Belanda,


Sekarmadji Maridjan (SM) Kartosuwiryo telah mempunyai cita-cita untuk mendirikan Negara Islam
Indonesia.

Tindakan Kartosuwiryo merupakan penyimpangan dari cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17


Agustus 1945 dan merupakan pemberontakan terhadap pemerintahan Republik Indonesia yang sah.
Akhirnya pada tahun 1960 dilaksanakan Operasi Pagar Betis di Gunung Geber oleh pasukan TNI
bersama rakyat. Pasukan Kartosuwiryo semakin terdesak dan bertambah lemah, sehingga banyak
yang menyerah. Kartosuwiryo sendiri terkurung dan kemudian tertangkap di puncak Gunung Geber
pada tanggal 4 Juni 1962 dan selanjutnya dijatuhi hukuman mati.

Di Daerah Sulawesi Selatan Kemunculan gerakan DI/TII pimpinan Kahar Muzakar di Sulawesi


disebabkan Kahar Muzakar menempatkan laskar-laskar rakyat Sulawesi Selatan ke dalam lingkungan
APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat). Selain itu, Kahar Muzakar berkeinginan
untuk menjadi pimpinan APRIS di daerah Sulawesi Selatan.

Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah bersama dengan pimpinan APRIS tidak memuaskan
Kahar Muzakar. Akhirnya pada tanggal 17 Agustus 1951, Kahar Muzakar bersama dengan
pasukannya melarikan diri ke hutan. Pada tahun 1952, ia menyatakan bahwa wilayah Sulawesi
Selatan menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia pimpinan Kartosuwiryo di Jawa Barat.
Penumpasan gerakan Kahar Muzakar itu mengalami berbagai kesulitan. Tetapi akhirnya pada bulan
Februari 1965 Kahar Muzakar berhasil ditembak mati oleh satuan-satuan pasukan TNI. Dengan
demikian, pemberontakan yang dipimpinnya itu berakhir.

Di Aceh Gerakan DI/TII yang terjadi di Aceh dipimpin oleh Daud Beureueh. Setelah perang
kemerdekaan berakhir dan negara Indonesia kembali ke dalam bentuk Negara Kesatuan Republik
Indonesia tahun 1950, daerah Aceh yang sebelumnya menjadi daerah istimewa diturunkan statusnya
menjadi daerah karesidenan di bawah provinsi Sumatera Utara. Kebijakan pemerintah itu ditentang
oleh Daud Beureueh,dan sebagai realisasinya pada tanggal 21 September 1953 ia mengeluarkan
Maklumat tentang penyatuan Aceh ke dalam Negara Islam Indonesia pimpinan Kartosuwiryo.

Di Kalimantan Selatan Di daerah Kalimantan Selatan juga muncul pemberontakan di bawah


pimpinan Ibnu Hajar. Mereka menamakan gerakannya dengan sebutan Kesatuan Rakjat Jang
Tertindas (KRJT). Untuk memperkuat kedudukan KRJT, mereka meminta bantuan kepada Kahar
Muzakar dan Kartosuwiryo. Pada akhir tahun 1954, Ibnu Hajar membulatkan tekadnya untuk
bergabung dengan Negara Islam Indonesia. Ibnu Hajar diangkat menjadi Panglima TII untuk wilayah
Kalimantan.

Pemerintah akhirnya berhasil mengatasi gerakan yang dilakukan oleh Ibnu Hajar pada tahun 1963.
Ibnu Hajar bersama dengan anak buahnya akhirnya menyerahkan diri secara resmi. Pada bulan Maret
1965 pengadilan militer menjatuhkan hukuman mati kepada Ibnu Hajar.

C. Gerakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA)

Gerakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) dipimpin oleh Kapten Westerling. Gerakan ini didasari
adanya kepercayaan rakyat akan datangnya seorang Ratu Adil yang akan membawa mereka ke
suasana yang aman dan tentram serta memerintah dengan adil dan bijaksana, seperti yang terdapat
dalam ramalan Jayabaya.

Tujuan gerakan APRA yang sebenarnya adalah untuk mempertahankan bentuk negara federal di
Indonesia dan memiliki tentara tersendiri pada negara-negara bagian RIS. Pada tanggal 23 Januari
1950, pasukan APRA menyerang kota Bandung. Pasukan APRA melakukan pembantaian dan
pembunuhan terhadap setiap anggota TNI yang ditemuinya. Markas Divisi Siliwangi berhasil
didudukinya. Pasukan APRA membunuh setiap regu jaga termasuk Letkol Lembong.

Kemudian diketahui, bahwa dalang gerakan APRA adalah Sultan Hamid II, seorang Menteri Negara
pada Kabinet RIS. Rencana sebenarnya dari gerakan itu adalah menculik Menteri Pertahanan
Keamanan, Sri Sultan Hamengku Buwono IX; Sekjen Pertahanan Mr. Ali Budiardjo; dan pejabat
Kepala Staf Angkatan Perang, Kolonel T.B. Simatupang. Dengan keberhasilan pasukan APRIS
menumpas Gerakan APRA, maka keamanan di wilayah Jawa Barat berhasil dipulihkan kembali.

D. Gerakan Republik Maluku Selatan (RMS)

Gerakan Republik Maluku Selatan dipelopori oleh Mr. Dr. Christian Robert Steven Soumokil
(mantan Jaksa Agung Negara Indonesia Timur) dibantu oleh Manusama. Soumokil tidak setuju atas
terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bahkan, ia sendiri tidak menyetujui
penggabungan daerah-daerah negara Indonesia Timur menjadi wilayah kekuasaan Republik
Indonesia. Ia berusaha melepaskan wilayah Maluku Tengah dari NIT (Negara Indonesia Timur) yang
menjadi bagian dari RIS. Manusama menghasut para rajapati (kepala desa) untuk setuju mendirikan
RMS, melalui rapat umum di Kota Ambon tanggal 18 April 1950.

Kemudian, pada tanggal 24 April 1950, Soumokil memproklamasikan berdirinya Republik Maluku
Selatan. Berita berdirinya RMS itu tentu merupakan suatu ancaman bagi keutuhan Negara Republik
Indonesia Serikat. Untuk mengatasi gerakan itu, pemerintah RIS menempuh cara damai dengan
mengirim Dr. J. Leimena. Namun, misi itu ditolak oleh Soumokil.

Ketika jalan damai tidak menghasilkan apa-apa, pemerintah RIS memutuskan untuk melaksanakan
ekspedisi militer. Pimpinan ekspedisi adalah Kolonel A.E. Kawilarang (Panglima Tentara dan
Teritorium Indonesia Timur). Melalui ekspedisi militer itu secara perlahan wilayah-wilayah gerakan
RMS berhasil dikuasai kembali oleh pasukan APRIS. Beberapa anggotanya melarikan diri ke negeri
Belanda. Gerakan RMS berhasil diatasi sehingga keamanan di wilayah Maluku Tengah pulih
kembali.

E. Gerakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Rakyat Semesta


(PRRI/Permesta)

Gerakan PRRI/Permesta muncul di tengah keadaan politik yang sedang tidak stabil dalam
pemerintahan. Hubungan yang tidak mesra antara pemerintah pusat dengan beberapa daerah menjadi
salah satu pemicu timbulnya gerakan ini. Keadaan itu disebabkan oleh ketidakpuasan beberapa
daerah di Sumatera dan Sulawesi terhadap alokasi biaya pembangunan dari pemerintah pusat. Sikap
dan rasa tidak puas itu mendapat dukungan dari beberapa panglima militer. Beberapa panglima
militer membantu dewan-dewan daerah seperti Dewan Banteng di Sumatera Barat yang dibentuk
oleh Letkol Achmad Husein pada tanggal 20 Desember 1956, Dewan Gajah yang dibentuk oleh
Kolonel Simbolon di Medan pada tanggal 22 Desember 1956 dan Dewan Garuda di Sumatera
Selatan dan Dewan Manguni di Manado yang dibentuk oleh Letkol Ventje Sumual pada tanggal 18
Februari 1957.
Sementara itu, proklamasi PRRI yang diumumkan pada tanggal 15 Februari 1958 di Padang
mendapat sambutan dari Indonesia Timur. Dalam rapat raksasa yang digelar di beberapa tempat di
daerah-daerah Komando Daerah Militer Sulawesi Utara dan Tengah (KDMSUT), Kolonel D.J.
Somba mengeluarkan pernyataan bahwa pada 17 Februari 1958, daerah Sulawesi Utara dan Tengah
memutuskan hubungan dengan pemerintah pusat serta mendukung Pemerintah Revolusioner
Republik Indonesia (PRRI). Pernyataan yang dikeluarkan oleh D.J. Somba merupakan pernyataan
Piagam Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta).

Untuk menghadapi kekuatan Permesta, pemerintah melancarkan Operasi Sapta Marga pada bulan
April 1958. Ternyata gerakan Permesta mendapat bantuan dari pihak asing. Terbukti dengan
tertembak jatuhnya pesawat asing yang dikemudikan oleh A.L. Pope (warga negara Amerika
Serikat), pada tanggal 18 Mei 1958 di kota Ambon. Gerakan Permesta baru dapat dilumpuhkan
sekitar bulan Agustus 1958, tetapi sisa-sisanya baru dapat ditumpas secara keseluruhan tahun 1961.

F. Gerakan 30 September 1965/PKI

a.       Sebab-sebab Munculnya Gerakan 30 September 1965/PKI

Setelah PKI merasa cukup kuat, dihembuskan isu bahwa pimpinan TNI Angkatan Darat membentuk
Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta terhadap Presiden Soekarno pada saat peringatan Hari
Ulang Tahun ABRI tanggal 5 Oktober 1965. PKI juga menyebutkan bahwa anggota Dewan Jenderal
itu adalah agen Nekolim (Amerika Serikat atau Inggris). Tuduhan itu ditolak oleh Angkatan Darat,
bahkan Angkatan Darat langsung menuduh PKI yang akan melakukan perebutan kekuasaan. Namun
dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun ABRI pada tanggal 5 Oktober 1965, puluhan ribu
tentara telah berkumpul di Jakarta sejak akhir bulan September 1965, sehingga dugaan-dugaan akan
terjadinya kudeta semakin bertambah santer.

b.      Gerakan 30 September 1965/PKI (G30S/PKI)

PKI menetapkan bahwa Gerakan 30 September 1965/PKI secara fisik dilakukan dengan kekuatan


militer yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung, Komandan Batalyon I Resimen Cakrabirawa
(Pasukan pengawal Presiden) yang bertindak sebagai pimpinan formal seluruh gerakan.

Letnan Kolonel Untung memerintahkan kepada seluruh anggota gerakan untuk siap dan mulai
bergerak pada dini hari 1 Oktober 1965 untuk melakukan serangkaian penculikan dan pembunuhan
terhadap enam perwira tinggi dan seorang perwira pertama dari Angkatan Darat. Para korban dibawa
ke Lubang Buaya, (terletak di sebelah selatan pangkalan udara utama Halim Perdana Kusuma).
Kemudian mereka dimasukkan ke dalam sebuah sumur tua, dan ditimbun dengan sampah dan tanah.
Ketujuh korban dari TNI-Angkatan Darat adalah sebagai berikut:

1.      Letnan Jenderal Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat atau Men Pangad).

2.      Mayor Jenderal R. Soeprapto (Deputy II Pangad).


3.      Mayor Jenderal Haryono Mas Tirtodarmo (Deputy III Pangad).

4.      Mayor Jenderal Suwondo Parman (Asisten I Pangad).

5.      Brigadir Jenderal Donald Izacus Panjaitan (Asisten IV Pangad).

6.      Brigadir Jenderal Soetojo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur).

7.      Letnan Satu Pierre Andreas Tendean (Ajudan Jenderal A.H. Nasution).

c.       Penumpasan Gerakan 30 September 1965/PKI

Langkah pertama yang dilakukan untuk menumpas Gerakan 30 September 1965/PKI adalah
menetralisasi pasukan yang berada di sekitar Medan Merdeka yang dimanfaatkan oleh kaum Gerakan
30 September 1965/PKI.

Untuk menentramkan kegelisahan masyarakat dan menyadarkan pasukan yang terlibat dalam
Gerakan 30 September/PKI, Mayjen Soeharto selaku pimpinan sementara Angkatan Darat melalui
siaran RRI mengumumkan adanya usaha kudeta yang dilakukan gerombolan “Gerakan 30
September” dan telah menculik enam perwira Angkatan Darat. Namun, usaha kudeta itu gagal dan
presiden dalam keadaan selamat dan sehat.

Karena basis utama G30S/PKI berada di sekitar lapangan udara Halim Perdana Kusuma, maka
langkah berikutnya adalah beupaya membebaskan pangkalan tersebut dari tangan G30S/PKI.
Presiden Soekarno diimbau untuk meninggalkan daerah Halim Perdana Kusuma.

Dalam gerakan pembersihan ke kampung-kampung di sekitar Lubang Buaya, Ajun Brigadir Polisi
(Abriptu/Kopral Satu) Sukitman yang sempat ditawan oleh regu penculik Brigjen D.I. Pandjaitan
berhasil meloloskan diri. Kemudian pada tanggal 3 Oktober 1965 berhasil ditemukan jenazah para
perwira tinggi Angkatan Darat yang dikuburkan dalam sebuah sumur tua. Pengangkatan jenazah
dilaksanakan pada tanggal 4 Oktober 1965 oleh anggota RPKAD dan KKOAL (mariner). Seluruh
jenazah dibawa ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (sekarang RSPAD Gatot Subroto) untuk
dibersihkan dan kemudian disemayamkan di Markas Besar Angkatan Darat. Keesokan harinya
bertepatan dengan HUT ABRI tanggal 5 Oktober 1965, jenazah mereka dimakamkan di Taman
Makam Pahlawan Kalibata. Mereka dianugrahi gelar Pahlawan Revolusi, serta diberi kenaikan
pangkat setingkat lebih tinggi, anumerta.

Anda mungkin juga menyukai