Dampak pemberontakan DI/TII di Indonesia adalah tahun 1951 sampai dengan tahun
1961 pasukan DI/TII cukup intensif dalam melaksanakan setiap aksi-aksinya terutama di
wilayah Maros (para penduduk mengidentifikasi dengan “geromboan”) yang telah
menimbulkan kesengsaraan, keresahan, ketidak-amanan dan ketidak-kenyamanan. Aksi-
aksi penculikan terutama dialamatkan kepada tokoh-tokoh masyarakat yang berpengaruh
di suatu kampung dengan harapan (mereka itu tadi) menjadi kaki tangan DI/TII dalam
mobilissi gerakan massa. Pasukan DI/TII juga melakukakn perampokkan barang-barang
(tanpa kecuali barang-barang yang mereka dapati ketika beraksi) kepunyaan penduduk
hampir dalam setiap kali aksi memasuki kampung-kampung.
Pemberontakan bersenjata yang berlangsung selama 13 tahun itu telah menghalangi
pertumbuhan ekonomi masyarakat, ribuan ibu-ibu menjadi janda dan ribuan anak-anak
menjadi yatim piatu. Dalam hal ini diperkirakan ada sekitar 13.000 rakyat Sunda, anggota
organisasi keamanan desa “OKD” serta tentara gugur.
Resume :
Pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) adalah pemberontakan
yang hendak mendirikan negara dengan dasar syariat Islam di Indonesia, yang disebut
dengan Negara Islam Indonesia. Pemberontakan ini dipimpin oleh Sekarmadji Maridjan
Kartosoewirjo pada tahun 1948 dan berusaha mendirikan negara berpaham Islam di Jawa
Barat. Pemberontakan ini kemudian diikuti oleh pemberontakan serupa di Aceh,
Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan dan Jawa Tengah. Pemberontakan dikalahkan
dengan kombinasi diplomasi di Aceh dan penumpasan oleh TNI. Pemberontakan DI/TII
memiliki tujuan untuk membentuk Negara Islam Indonesia atau NII secara berdaulat dan
diakui oleh negara lain serta hukum internasional, baik secara de jure ataupun de
facto,menjadikan Indonesia sebagai negara dengan dasar syariat Islam,menjadikan hukum
Islam sebagai hukum negara Indonesia, yakni dengan menggunakan dua sumber utama
dari al-quran dan juga hadist,mengubah undang-undang dan konstitusi yang sudah ada
agar berbasis syariat Islam dan menolak ideologi dan hukum lain selain al-quran dan
hadist, selain kedua itu maka termasuk dalam ideologi kafir dan tidak boleh diikuti.
Anak Agung Gde Agung dan Adil Puradireja bertugas untuk mendekatkan BFO dengan RI,
sedangkan Sultan Hamid II dan T. Mansoer berusaha agar BFO tetap mengikuti rencana yang
dibuat Belanda.
Berdirinya BFO atau Majelis Permusyawaratan Federal ini juga didasari oleh adanya
pembentukan negara federasi di Indonesia. Pejabat Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Van
Mook, berencana membentuk negara federasi di Indonesia yang mengharuskan dirinya
mengubah ketatanegaraan di Indonesia. Namun rencana untuk mengubah ketatanegaraan ini
mengalami kendala karena di Indonesia telah berdiri Republik Indonesia. Van Mook
kemudian mengawali rencana pembentukan negara federal melalui sebuah konferensi yang
digunakan untuk menyebarluaskan federalisme di Indonesia. Tetapi rencana Van Mook
kembali gagal karena hal tersebut bertentangan dengan keinginan Belanda yang juga ingin RI
masuk dalam persemakmuran di bawah Belanda. Van Mook menggelar konferensi di Malino
pada 15 Juli sampai 25 Juli 1946 dan menghasilkan keputusan bahwa peserta konferensi
menyetujui pengubahan ketatanegaraan di Indonesia menjadi federasi. Setelah Konferensi
Malino, Van Mook juga mengadakan konferensi Pangkal Pinang dan Denpasar. Konferensi
tersebut menjadi pemicu awal pembentukan negara federal di Indonesia, yaitu Negara
Indonesia Timur, sebagai negara bagian yang pertama berdiri.
Upaya yang dilakukan pemerintah untuk menumpas persoalan negara federal ini adalah
dengan pembubaran negara-negara boneka federal bentukan Belanda, yang berakibat
pembubaran Republik Indonesia Serikat (RIS) dan kembalinya bentuk negara menjadi
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Upaya pecah belah Belanda ini tidak berhasil sepenuhnya. Setelah perlawanan besar dari para
pejuang, serta dengan adanya tekanan diplomatis dari PBB dan Amerika Serikat, Belanda
setuju untuk berunding dengan Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag.
Sebagai hasil konferensi ini, Belanda secara resmi mengakui kemerdekaan Indonesia dalam
bentuk Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tanggal 27 Desember 1949. Negara-negara
boneka tadi dijadikan negara bagian dan daerah otonom dari RIS.
Upaya pembentukan RIS dan negara-negara boneka ini dianggap sebagai bentuk pecah belah
atau devide et impera oleh Belanda. Akibatnya, RIS berlangsung kurang dari setahun, karena
negara-negara bagian dan daerah-daerah otonomnya membubarkan diri dan berkambung
kembali kepada Indonesia.
Pada konferensi negara federal kedua yang dilaksanakan pada tanggal 19 Mei 1950, akhirnya
menyetujui bahwa pembubaran Republik Indonesia Serikat (RIS) dan pembentukan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang sesuai dengan proklamasi kemerdekaan Republik
Indonesia.
Resume :
Gejolak yang terjadi antara negara-negara Republik Indonesia Serikat (RIS) membawa
dampak negatif dan juga dampak positif. Dampak negatifnya tentu saja menimbulkan
perpecahan/disintegrasi bagi bangsa. Dampak positifnya dari aspek ketidakpuasan terhadap
pemerintahan RIS muncul dari dari beberapa negara yang tergabung dalam BFO. Bukan
hanya merasa tidak puas, rakyat di negara-negara bagian tersebut pun menyatakan ingin
bergabung dengan Republik Indonesia dan membentuk negara kesatuan.