Anda di halaman 1dari 6

Tokoh yang terlibat dalam peristiwa pemberontakan DI/TII yaitu

a) Sekarmaji Marijan Karto Suwiryo di Jawa Barat


b) Amir Fatah di Jawa Tengah
c) Daud Beureueh di Aceh
d) Ibnu Hajar di Kalimantan Selatan
e) Kahaz Muzakar di Sulawesi

Penyebab terjadinya peristiwa pemberontakan atau pergolakan DI/TII adalah

a) Pemberontakan Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo, di Jawa Barat


Pemberontakan ini dilancarkan mulai tahun 1948. Penyebab pemicu pemberontakan
Kartosuwiryo adalah penolakan Perjanjian Renville, yang menempatkan daerah Jawa
Barat di wilayah kekuasaan Belanda. Namun demikian, sekembalinya pemerintahan
Indonesia ke Jawa Barat, terutama Divisi Siliwangi, Kartosuwiryo terus melakukan
perlawanan dan serangan yang memakan banyak korban. Kartosuwiryo bahkan
memerintahkan percobaan pembunuhan atas Presiden Soekarno pada 30 November
1957 di Peristiwa Cikini. Pemberontakan ini baru berakhir setelah Kartosuwiryo
tertangkap pada Juni 1962
b) Pemberontakan Daud Beureueh, di Aceh
Alasan mendasar yang menjadi latar belakang terjadinya Pemberontakan DI/TII di
Aceh yaitu kekecewaan yang dirasakan oleh para tokoh pimpinan masyarakat di
Aceh. Waktu itu, Provinsi Aceh dilebur ke Provinsi Sumatera Utara yang ber-ibu
kota di Medan. Keputusan peleburan dianggap mengabaikan jasa baik dari
masyarakat Aceh saat berjuang mempertahankan kedaulatan Negara Republik
Indonesia pada masa revolusi. Kekesalan Daud Beureueh semakin membara karena
pada 1948 Presiden Soekarno pernah berjanji bahwa Aceh boleh menerapkan syariat
Islam dan tetap menjadi salah satu provinsi di Indonesia. Karena merasa dibohongi,
Daud pun memantapkan diri untuk melakukan pemberontakan dengan menyatakan
bahwa dirinya bergabung dengan DI/TII yang dipelopori oleh Kartosoewirjo.
c) Pemberontakan Amir Fatah, di Jawa Tengah
Pemicu pemberontakan ini adalah kekecewaan Amir Fatah akan dominasi “kaum kiri”
(sosialis dan komunis) di Tegal dan sekitarnya, wilayah basis kekuatan Amir Fatah.
Akibatnya, Amir Fatah memberontak pada tahun 1950. Pemberontakan dipatahkan
setelah operasi militer di wilayah Banyumas mengalahkan pasukan Amir Fatah.
d) Pemberontakan Ibnu Hadjar, di Kalimantan Selatan
Pemicu pemberontakan ini adalah kegagalan para mantan pejuang kemerdekaan asal
Kalimantan Selatan untuk diterima di tentara Indonesia saat itu, APRIS (Angkatan
Perang Republik Indonesia Serikat). Kebanyakan bekas pejuang ini tidak bisa masuk
tentara karena tidak bisa baca tulis, termasuk Ibnu Hadjar sendiri. Mereka juga
kecewa dengan adanya bekas tentara KNIL (Tentara Hindia Belanda) di APRIS. Ibnu
Hadjar membentuk “Kesatuan Rakjat Jang Tertindas” (KRJT), dan menyerbu pos
tentara di Kalimantan Selatan pada bulan Oktober 1950. Pemerintah Indonesia
awalnya berupaya menyelesaikan dengan cara damai, namun Ibnu Hadjar yang
sempat tertangkap dan dilepaskan untuk membujuk pemberontak lain menyerah
malah kabur dan meneruskan pemberontakannya.
e) Pemberontakan Kahar Muzakar, di Sulawesi Selatan
Pemicu pemberontakan ini adalah tuntutan agar para milisi Kesatuan Gerilya
Sulawesi Selatan (KGSS) yang dipimpin oleh Kahar Muzakkar bisa diterima sebagai
tentara. Namun mereka tidak lolos syarat dinas militer, dan hanya ditempatkan
sebagai Corps Tjadangan Nasional (CTN). Akibatnya, Kahar Muzakkar memberontak
dan menyatakan sebagai bagian dari DI/TII Kartosuwiryo pada tanggal 7 Agustus
1953.

Upaya yang dilakukan pemerintah dalam menumpas pemberontakan DI/TII :

1. Upaya Pemerintah dalam menumpas pemberontakan DI/TII di Jawa Barat


adalah dengan melancarkan operami militer tanggal 17 Agustus tahun 1949. Karena
usaha ini tidak berhasil maka dilakukan operasi Bharatayuda dengan menggunakan
taktik bernama Pagar Betis.
2. Upaya Pemerintah dalam menumpas pemberontakan DI/TII di Aceh adalah
dengan mengerahkan kekuatan senjata. Namun upaya ini kemudian diubah atas saran
Kol. M. Yasin. Kemudian terjadilah Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh dimana
wilayah ini mendapat keistimewaan. Keistimewaan ini berhasil meredam
pemberontakan DI/TII.
3. Upaya Pemerintah dalam menumpas pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah
adalah dengan membentuk pasukan khusus yang dinamai Banteng Raiders. Pasukan
ini menjalankan operasi militer ketat yang dinamakan GBN atau Gerakan Banteng
Negara.
4. Upaya Pemerintah dalam menumpas pemberontakan DI/TII di Kalimantan
Selatan adalah dengan memberi kesempatan pada Ibnu Hajar kembali ke pasukan,
namun karena jalan damai ini gagal maka pemerintah melaksanakan operasi militer.
5. Upaya Pemerintah dalam menumpas pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan
adalah dengan melaksanakan operasi militer yang menyeluruh untuk menghadapi
taktik gerilya Kahar Muzakkar.

Dampak pemberontakan DI/TII di Indonesia adalah tahun 1951 sampai dengan tahun
1961 pasukan DI/TII cukup intensif dalam melaksanakan setiap aksi-aksinya terutama di
wilayah Maros (para penduduk mengidentifikasi dengan “geromboan”) yang telah
menimbulkan kesengsaraan, keresahan, ketidak-amanan dan ketidak-kenyamanan. Aksi-
aksi penculikan terutama dialamatkan kepada tokoh-tokoh masyarakat yang berpengaruh
di suatu kampung dengan harapan (mereka itu tadi) menjadi kaki tangan DI/TII dalam
mobilissi gerakan massa. Pasukan DI/TII juga melakukakn perampokkan barang-barang
(tanpa kecuali barang-barang yang mereka dapati ketika beraksi) kepunyaan penduduk
hampir dalam setiap kali aksi memasuki kampung-kampung.
Pemberontakan bersenjata yang berlangsung selama 13 tahun itu telah menghalangi
pertumbuhan ekonomi masyarakat, ribuan ibu-ibu menjadi janda dan ribuan anak-anak
menjadi yatim piatu. Dalam hal ini diperkirakan ada sekitar 13.000 rakyat Sunda, anggota
organisasi keamanan desa “OKD” serta tentara gugur.

Resume :
Pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) adalah pemberontakan
yang hendak mendirikan negara dengan dasar syariat Islam di Indonesia, yang disebut
dengan Negara Islam Indonesia. Pemberontakan ini dipimpin oleh Sekarmadji Maridjan
Kartosoewirjo pada tahun 1948 dan berusaha mendirikan negara berpaham Islam di Jawa
Barat. Pemberontakan ini kemudian diikuti oleh pemberontakan serupa di Aceh,
Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan dan Jawa Tengah. Pemberontakan dikalahkan
dengan kombinasi diplomasi di Aceh dan penumpasan oleh TNI. Pemberontakan DI/TII
memiliki tujuan untuk membentuk Negara Islam Indonesia atau NII secara berdaulat dan
diakui oleh negara lain serta hukum internasional, baik secara de jure ataupun de
facto,menjadikan Indonesia sebagai negara dengan dasar syariat Islam,menjadikan hukum
Islam sebagai hukum negara Indonesia, yakni dengan menggunakan dua sumber utama
dari al-quran dan juga hadist,mengubah undang-undang dan konstitusi yang sudah ada
agar berbasis syariat Islam dan menolak ideologi dan hukum lain selain al-quran dan
hadist, selain kedua itu maka termasuk dalam ideologi kafir dan tidak boleh diikuti.

Persamaan dari setiap pemberontakan daerah DI/TII adalah sama-sama mendukung


pemberontakan Kartosuwiryo dan memproklamirkan gerakannya sebagai bagian dari
Negara Islam Indonesia. Setiap pemberontakan daerah juga mendukung syariat Islam
sebagai dasar negara. Namun, perbedannya, setiap pemberontakan daerah memiliki
pemimpin sendiri-sendiri dan alasan pemicu pemberontakan. Sebelum melakukan
penumpasan dengan cara militer pemerintah selalu mendahuluinya dengan suatu
musyawarah untuk mencapai jalan keluar untuk menghindari pertumpahan darah
mengingat bangsa Indonesia adalah negara yang beragam budaya, rasnya sehingga
Indonesia merupakan negara yang paling majemuk yang harus kita hargai perbedaan
antara satu daerah dengan daerah yang lain agar tidak timbul masalah yang mampu
menimbulkan disintegrasi bangsa. Akhirnya Gerakan DI/TII terpecah belah, akan tetapi
tetap eksis secara diam-diam walaupun sudah dinyatakan sebagai organisasi yang ilegal
dan terlarang oleh pemerintah Indonesia.
Tokoh yang terlibat dalam persoalan negara federal adalah adalah Dr. Hubertus Johanes Van
Mook. Selain itu, Sejak BFO (Badan Permusyawaratan Federal) berdiri, sudah terdapat
tokoh-tokoh yang dominan dalam setiap rapat/persidangan yang diadakan. Mereka adalah:

a) Tengku Bahriun dari 7 Juli 1943 sampai 13 Januari 1949 (Ketua)


b) Sultan Hamid II dari 13 Januari 1949 sampai 17 Agustus 1950 (Ketua)
c) Anak Agung Gde Agung (Negara Indonesia Timur)
d) R.T. Adil Puradireja (Pasundan)
e) Sultan Hamid II (Borneo Barat)
f) T. Mansoer (Sumatera Timur)

Anak Agung Gde Agung dan Adil Puradireja bertugas untuk mendekatkan BFO dengan RI,
sedangkan Sultan Hamid II dan T. Mansoer berusaha agar BFO tetap mengikuti rencana yang
dibuat Belanda.

Latar belakang persoalan negara federal dan konferensi pembenutkan Badan


Permusyawaratan Federal (BFO) pada 27 Mei 1948 dilatarbelakangi oleh sikap Belanda yang
tidak mau mengakui kedaulatan Negara Republik Indonesia, meskipun dalam hal ini
Indonesia telah menyatakan merdeka melalui Proklamasi 1945.

Berdirinya BFO atau Majelis Permusyawaratan Federal ini juga didasari oleh adanya
pembentukan negara federasi di Indonesia. Pejabat Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Van
Mook, berencana membentuk negara federasi di Indonesia yang mengharuskan dirinya
mengubah ketatanegaraan di Indonesia. Namun rencana untuk mengubah ketatanegaraan ini
mengalami kendala karena di Indonesia telah berdiri Republik Indonesia. Van Mook
kemudian mengawali rencana pembentukan negara federal melalui sebuah konferensi yang
digunakan untuk menyebarluaskan federalisme di Indonesia. Tetapi rencana Van Mook
kembali gagal karena hal tersebut bertentangan dengan keinginan Belanda yang juga ingin RI
masuk dalam persemakmuran di bawah Belanda. Van Mook menggelar konferensi di Malino
pada 15 Juli sampai 25 Juli 1946 dan menghasilkan keputusan bahwa peserta konferensi
menyetujui pengubahan ketatanegaraan di Indonesia menjadi federasi. Setelah Konferensi
Malino, Van Mook juga mengadakan konferensi Pangkal Pinang dan Denpasar. Konferensi
tersebut menjadi pemicu awal pembentukan negara federal di Indonesia, yaitu Negara
Indonesia Timur, sebagai negara bagian yang pertama berdiri.

Upaya yang dilakukan pemerintah untuk menumpas persoalan negara federal ini adalah
dengan pembubaran negara-negara boneka federal bentukan Belanda, yang berakibat
pembubaran Republik Indonesia Serikat (RIS) dan kembalinya bentuk negara menjadi
Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Belanda berusaha merebut kembali wilayah


jajahannya. Mereka melakukan serangan ke wilayah Indonesia dan karena keunggulan
persenjataan dan teknologi, berhasil merebut banyak wilayah Indonesia. Setelah menguasai
kembali wilayah-wilayah ini, Belanda mendirikan negara-negara federal, seperti Negara
Pasundan, Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatra Timur, dengan total sebanyak 15
negara bagian dan daerah otonom. Pembentukan negara bagian ini adalah upaya Belanda
mempertahankan kekuasaannya. Dengan negara-negara bagian kecil, Belanda lebih mudah
mengatur wilayah Indonesia yang diduduki. Belanda mengumpulkan para pemimpin negara
federal ini dalam suatu lembaga yang mereka sebut Bijeenkomst voor Federaal Overleg
(BFO).

Upaya pecah belah Belanda ini tidak berhasil sepenuhnya. Setelah perlawanan besar dari para
pejuang, serta dengan adanya tekanan diplomatis dari PBB dan Amerika Serikat, Belanda
setuju untuk berunding dengan Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag.
Sebagai hasil konferensi ini, Belanda secara resmi mengakui kemerdekaan Indonesia dalam
bentuk Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tanggal 27 Desember 1949. Negara-negara
boneka tadi dijadikan negara bagian dan daerah otonom dari RIS.

Upaya pembentukan RIS dan negara-negara boneka ini dianggap sebagai bentuk pecah belah
atau devide et impera oleh Belanda. Akibatnya, RIS berlangsung kurang dari setahun, karena
negara-negara bagian dan daerah-daerah otonomnya membubarkan diri dan berkambung
kembali kepada Indonesia.

Pada konferensi negara federal kedua yang dilaksanakan pada tanggal 19 Mei 1950, akhirnya
menyetujui bahwa pembubaran Republik Indonesia Serikat (RIS) dan pembentukan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang sesuai dengan proklamasi kemerdekaan Republik
Indonesia.

Dampak yang ditimbulkan dari adanya persoalan negara federal ini,yaitu :

1. Menimbulkan perpecahan dan disintegrasi bagi bangsa Indonesia


2. Angkatan bersenjata Indonesia akan menghentikan semua aktivitas Gerilya
3. Pemerintah Republik Indonesia akan menghadiri Konferensi Meja Bundar
4. Pemerintah Republik Indonesia dikembalikan ke Yogyakarta
5. Angkatan bersenjata Belanda akan menghentikan semua operasi militer dan
membebaskan semua tawanan perang.
6. Adanya keinginan negara-negara federal/negara-negara bagian bergabung dengan RI
membentuk negara kesatuan.

Resume :

Indonesia menyatakan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Setelah merdeka,


Belanda tidak lantas benar-benar “melepaskan” Indonesia. Belanda tetap berusaha
membangun kekuasaan di Indonesia, melalui pembentukan negara-negara boneka. Apa itu
negara boneka? Negara boneka merupakan negara yang merdeka dan kedaulatannya diakui
akan tetapi secara de-facto dikendalikan oleh negara lain. Tujuan pembentukan negara-negara
boneka ini tidak adalah untuk mengintimidasi Indonesia agar wilayah kekuasaan Indonesia
semakin sempit. Belanda membentuk suatu Badan Permusyawaratan Federal atau
Bijeenkomst Federal Overlag (BFO) pada tanggal 29 Mei 1948. Adapun negara-negara
boneka tersebut terdiri: Negara Indonesia Timur (NIT), Negara Sumatera Utara, Negara
Sumatera Selatan, Negara Jawa Timur, Negara Pasundan, Negara Madura, dan terdapat
beberapa lagi di daerah-daerah. Dalam perjalanannya BFO mengalami pergolakan dengan
puncaknya mengalami perpecahan dan terbentuklah dua kelompok. Adapun kelompok yang
pertama tidak mau kerjasama dengan Belanda. Kelompok ini lebih memilih Republik
Indonesia (RI) namun dengan tujuan mengajak RI bekerja sama untuk membentuk Negara
Indonesia Serikat. Kelompok ini dikenal dengan kelompok unitaris. Kelompok yang kedua
menginginkan BFO tetap pada tujuan awal yakni berkerja sama dengan Belanda dan dikenal
kelompok federalis. Dalam masa ini terjadi Perjanjian Roem-Royen yang menyatakan tiga
keputusan yakni pengembalian pemerintahaan Indonesia ke Yogyakarta, setelah pemerintah
RI kembali ke Yogyakarta perang gerilya akan dihentikan, dan akan dilaksanakannya
Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda. Setelah KMB, pergolakan antara
dua kelompok yakni federalis dan unitaris ini semakin menjurus pada konflik secara terbuka.

Gejolak yang terjadi antara negara-negara Republik Indonesia Serikat (RIS) membawa
dampak negatif dan juga dampak positif. Dampak negatifnya tentu saja menimbulkan
perpecahan/disintegrasi bagi bangsa. Dampak positifnya dari aspek ketidakpuasan terhadap
pemerintahan RIS muncul dari dari beberapa negara yang tergabung dalam BFO. Bukan
hanya merasa tidak puas, rakyat di negara-negara bagian tersebut pun menyatakan ingin
bergabung dengan Republik Indonesia dan membentuk negara kesatuan.

Anda mungkin juga menyukai