Anda di halaman 1dari 8

Pemerintahan Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin

a. Pengertian Integrasi dan Integrasi nasional


Dalam Kamus Bahasa Indonesia integrasi adalah pembauran hingga menjadi kesatuan yang utuh
atau bulat. Integrasi bisa juga diartikan penyatuan bangsa atau suku yang berbeda di masyarakat menjadi
satu kesatuan yang utuh untuk menjadi suatu bangsa. Integrasi akan semakin kukuh apabila tercapai dua hal
yaitu pertama, sebagian masyarakat bersepakat mengenai batas-batas teritorial negara sebagai suatu wilayah
politik. Kedua, sebagaian besar masyarakat bersepakat mengenai struktur pemerintahan serta aturan-aturan
proses politik, ekonomi, sosial, yang berlaku di masyarakat. Sedangkan apabila diteropong dengan
kewilayahan muncul istilah integrasi nasional atau integrasi bangsa. Kata bangsa (nation) merupakan
sekelompok manusia yang sifatnya heterogen (majemuk) tetapi mereka sebenarnya memiliki kehendak
yang sama dengan menempati daerah tertentu secara permanen. Untuk itulah integrasi bangsa dapat
diartikan usaha atau proses untuk mempersatukan perbedaan-perbedaan dalam suatu negara berdasarkan
bahasa, sejarah, adat istiadat dengan tujuan yang sama yang hendak dicapai suatu bangsa.
b. Pengertian Disintegrasi Nasional
Disintegrasi dapat mengancam suatu masyarakat yang sudah mengalami proses integrasi seperti
Indonesia karena Indonesia terdiri dari banyak perbedaan suku, agama, budaya, adat istiadat, ras, dan lain
sebagainya. Faktor yang mengancam integrasi bangsa adalah sikap yang tidak sesuai dengan masyarakat
yang majemuk dan heterogen. Misalnya sikap etnosentrisme, sikap primordialisme, dan sikap fanatisme
yang berlebihan. Bagaimana caranya jika bangsa mengalami disintegrasi nasioanl? Langkah utama yang
dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat adalah reintegrasi. Reintegrasi bangsa adalah proses
pembentukan integrasi kembali agar sesuai daengan nilai-nilai, kaidah-kaidah dan kesepakatan bersama
pada suatu bangsa. Reintegrasi bangsa adalah salah satu cara untuk menyelesaikan atau memecahkan
konflik pada bangsa yang mengalami konflik diantara anggota masyarakatnya.
c. Disintegrasi Pada masa Revolusi Fisik
1.1 Pemberontakan PKI Madiun 1948

Pemberontakan PKI Madiun terjadi di Kabupaten Madiun Jawa Timur. Pemberontakan ini
dipimpin oleh Musso. Dia merupakan tokoh Partai Komunis Indonesia yang pernah belajar di Uni Soviet
untuk mendalami idiologi Komunis. Musso ingin mendirikan Republik Soviet Indonesia. Selain Musso
pemberontakan ini juga melibatkan tokoh nasional mantan perdana menteri, Amir Syarifuddin.
Pada 10 Agustus 1948 Musso kembali ke Indonesia. Dia sebenarnya tokoh PKI yang pada tahun
1926 melakukan pemberontakan kepada pemerintah Kolonial Belanda. Tetapi karena pemberontakan itu
gagal dia melarikan diri ke Uni Soviet. Kedatangan Musso disambut baik oleh Amir Syarifuddin sehingga
mereka membentuk organisasi Politbiro pada tanggal 1 September 1948. Dalam organisasi itu ketuanya
Mussso sedangkan Amir Syarifuddin menempati jabatan sekretariat pertahanan dan tokoh-tokoh lain yang
terlibat dalam organisasi itu misalnya DN. Aidit, Lukman dan Nyoto.
Situasi politik dalam negeri memanas karena terjadi pemogokan buruh dimana-mana karena
memang diorganisir oleh PKI. Anggota serikat buruh, pemuda dan rakyat dihasut dan digerakkan untuk
menentang pemerintah yang sah. Pada 19 September 1848 FDR bersama PKI di bawah pimpinan Musso
dan Amir Syarifuddin mengumumkan berdirinya Negara Republik Soviet Indonesia. Dengan mengerahkan
ribuan anggota satuan TNI yang memihak komunis yang merupakan korban dari program rasionalisasi
kabinet Hatta. Mereka kemudian menduduki Madiun dan membasmi tokoh-tokoh setempat yang tidak
tunduk dan sepaham dengan PKI. Dalam waktu satu hari saja TNI berhasil dapat memukul mundur PKI/
FDR. Di bawah komando Kolonel Gatot Subroto yang memimpin divisi Siliwangi, pada 30 September
1948 PKI berhasil ditumpas. Kota Madiun dan sekitarnya dapat dibebaskan dari para pemberontak. Musso
akhirnya tertembak mati dalam pelariannya pada 31 Oktober 1948 di Samandang, Ponorogo Jawa Timur.
Amir Syarifuddin ditangkap dan ditempak mati di Purwodadi pada tanggal 29 Nopember 1948.
2.1 DI/ TTI (Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia)
Pemberontakan DI/TTII merupakan pemberontakan yang bukan ingin merebut kekuasaan dan
mengganti ideologi seperti halnya PKI tetapi pemberontakan yang berupaya ingin memisahkan diri dari
NKRI. Mereka ingin mendirikan sendiri negara di bawah bendera Negara Islam Indonesia. Penggagasnya
adalah Kartosuwiryo seorang tokoh Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII). Pada tanggal 7 Agustus 1949
Kartosuwiryo memproklamasikan berdirinya DI/TII di Jawa Barat, yang kemudian muncul DI/ TII
diberbagai daerah di Indonesia. Daerah-daerah tempat munculnya DI/ TII itu adalah di Jawa Tengah
dibawah pimpinan Amir Fatah, Di Sulawesi Selatan dipimpin Kahar Muzakar, di Aceh dipimpin oleh Daud
Beureuh, dan di Kalimantan Selatan dipimpin oleh Ibnu Hajar.
Setelah terjadi Agresi Belanda II di Yogyakarta yang mengakibatkan Ibukota jatuh ketangan
Kolonial Belanda Kartosuwiryo menganggap bahwa RI sudah habis. untuk itu dia segera memperkuat
tentaranya di Jawa Barat karena menganggap Jawa Barat masuk dalam wilayahnya. Dengan strategi perang
pagar betis akhirnya DI/ TII Kartosuwiryo dapat didesak. Pada tanggal 4 Juni 1962 Kartosuwiryo dapat
ditangkap di Gunung Geber, Majalaya, Jawa barat oleh pasukan divisi Siliwangi. Pada 5 September 1962
Kartosuworyo dihukum mati.
DI/TII di Jawa Tengah dipimpin oleh Amir Fatah. Dia adalah komandan laskar Hisbullah di
Tulangan dan Mojokerto. Mereka kecewa dan tidak sepakat dengan hasil perjanjian Renville yang harus
memaksa laskar-laskar dan tentara RI untuk hijrah ke Yogyakarta. Karena sepaham dengan Kartosuwiryo
maka Amir Fatah ditunjuk Kartosuwiryo memimpin Darul Islam di Jawa Tengah. Pada 23 Agustus 1949
Amir Fatah memproklamasikan berdirinya Negara Islam Jawa Tengah sebagai Negara Islam pimpinan
Kartosuwiryo. Untuk mengawali gerakannya pasukan Amir Fatah menyerang pos-pos TNI termasuk juga
pos TNI di Pekalongan. Di bawah komando Letnan Kolonel Sarbini pada tahun 1950 TNI membentuk
Gerakan Banteng Negara (GBN). Operasi ini berhasil memisahkan DI Jawa Tengah dan DI Jawa Barat
sehingga pada 22 Desember 1950 Amir Fatah dapat ditangkap.
Setelah Daud Beureuh tidak menjadi gubernur, kemudian dia menghimpun kekuatan untuk
menentang pemerintah. Agar pemberontakan mendapat pengakuan dan legitimasi rakyat, dia membuat
sentimen agama sebagai basis perjuangan yaitu mendirikan Negara Islam. Untuk memuluskan jalannya dia
menjalin komunikasi dengan Kartosuwiryo di Jawa Barat. Pada tanggal 21 September 1953 Daud Beureuh
memproklamasikan DI/ TII di Aceh di bawah kekuasaan Kartosuwiryo. Setelah itu kemudian mereka
menguasai kota-kota di Aceh dan melakukan propaganda kepada rakyat Aceh agar tidak mendukung
pemerintahan sah Republik Indonesia. Pada 17 Desember 1962 diadakan Musyawarah Kerukunan Rakyat
Aceh yang digagas pangdam Kolonel Yasin secara bertahap DI/TII di Aceeh akhirnya dapat diselesaikan
dan Aceh kembali aman. Sedangkan Daud Beureuh kembali ke masyarakat sehingga keamanan Aceh
sepenuhnya aman kembali.
Pada 16 Agustus 1951 karena tuntutan Kahar Muzakkar tidak dipenuhi pemerintah maka dia
mengajak anak buahnya masuk hutan dengan membawa senjata. Selanjutnya dua tahun berikutnya pada 7
Agustus 1953 dia memperoklamasikan bahwa daerah Sulawesi Selatan bagian dari wilayah Darul Islam
pimpinan Kartosuwiryo dan pasukannya berganti nama menjadi Tentara Islam Indonesia (TII). Setelah
proklamasi itu kemudian pemerintah melakukan operasi militer di Sulawesi Selatan. Kahar Muzakkar sulit
ditangkap karena bersembunyi di hutan-hutan dan gunung-gunung. Baru pada tanggal 3 Februari 1965
Kahar Muzakkar dapat ditembak dalam sebuah operasi militer yang dilancarkan TNI.
3.1 APRA (Angkatan Perang Ratu Adil)
Pemberontakan APRA ini sebenarnya pemberontakan yang dilakukan bekas tentara KNIL yang
dikomandoi oleh Raymond Westerling. Tujuannya mempertahankan berdirinya negara Pasundan dan
APRA sebagai pasukan yang resmi. Pada 23 Januari 1950 Westerling menggerakkan pasukan APRA yang
sebagian besar dari KNIL berkekuatan 500 pasukan untuk menyerang kota Bandung. Selain di Bandung
APRA merencanakan serangan di Jakarta. Gerakan APRA di Jakarta akan dibantu Sultan Hamid II yang
akan dilaksaakan pada tangga 24 Januari 1950. Tujuannya menyerang gedung tempat kabinet bersidang.
Rencana mereka juga akan membunuh menteri kabinet seperti menteri pertahanan Sultan Hamengku
Buwono IX. Akhirnya rencana mereka gagal karena tercium aparat intelejen, operasi militer dilanjutkan di
Jakarta sehingga pada tanggal 4 April 1950 Sultan Hamid II dapat ditangkap. Raimond Westeling dapat
melarikan diri menggunakan pesawat Catalina ke luar negeri pada 2 Februari 1950.
4.1 Pemberontakan Andi Aziz
Pemberontakan Andi Aziz berlangsung di Makassar yang dipimpin oleh Andi Aziz. Dia
merupakan mantan perwira KNIL yang tergabung dalam APRIS. Dia juga mantan ajudan presiden Negara
Indonesia Timur (NIT). Pada tahun 1950 kondisi di Makassar memang tidak kondusif karena banyak rakyat
yang menginginkan kembali menuju NKRI. Mereka sering melakukan demonstrasi kepada negara federal
agar kembali kepangkuan RI. Keadaan semakin parah karena masyarakat yang setuju negara federal juga
melakukan demonstrasi. Pada 5 April 1950 pasukan Andi Azizz yang dibantu pasukan KNIL menyerang
markas APRIS di Makassar. Mereka berhasil menguasai markas APRIS dan juga kota Makassar. Pada 8
April 1950 pemerintah pusat mengultimatum agar pasukan Andi Aziz menyerah dan
mempertanggungjawabkan perbuatannya dalam waktu 2 x 24 jam. Akhirnya Andi Aizi bersedia datang ke
Jakarta pada 15 April 1950 setelah didesak oleh presdien NIT, Sukawati. Setelah sampai di Jakarta dia
ditangkap dan diadili sebagai pemberontak. Semetara itu pasukan sisa-sisa Andi Aziz diserang oleh TNI
sebagai upaya penumpasan.
5.1 Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS)
Pemberontakan RMS dipimpin oleh Dr. Christian Robert Steven Soumokil, mantana Jaksa Agung
Negara Indonesia Timur (NIT). Pemberontakan ini menolak bergabung dengan NKRI dan membentuk
negara sendiri yang lepas dari NKRI. Pada 25 April 1950 Soumokil memproklamasikan berdirinya RMS
dan menetapkan Kota Ambon sebagai ibukota RMS. Proklamasi itu ternyata mendapat sambutan hangat
dari orang-orang Maluku yang pro-Belanda dan para mantan anggota KNIL yang sudah terkena hasutan.
Rakyat yang menolak ajakan mereka dan mendukung NKRI ditangkap dan dipenjarakan. Akhirnya
pemerintah melakukan operasi militer dengan komando Kolonel Kawilarang yang menjabat sebagai
panglima tentara dari teritorium Indonesia Timur. Pada 14 Juli 1950 Kolonel Kawilarang menumpas
gerakan separatis tersebut. Pada pertempuran itu Letkol Slamet Riyadi gugur tetapi pada 28 September
1950 pasukan APRIS dapat menguasai kembali Kota Ambon. Banyak tokoh RMS melarikan diri ke pulau
Seram dan selama beberapa tahun kelompok ini melakukan teror.
d. Disintegrasi Pada Masa Demokrasi Liberal
Pemberontakan PRRI/ Permesta
Pemberontakan ini terjadi pada masa kabinet Ali Sastroamidjojo II. Pergolakan yang muncul di
Sumatera dan Sulawesi ini dipicu oleh ketidakpuasan terhadap alokasi dana pembangunan yang diterima
dari pemerintah pusat. Ketidak puasan ini memunculkan rasa ketidakpercayaan terhadap pemerintah. Selain
itu mereka susah menyampaikan aspirasinya melalui parlemen dalam mengubah kebijakan. Sementara itu
pimpinan Dewan Manguni di Manado yang bernama Letnan Kolonel Ventje Sumual memproklamirkan
berdirinya Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) pada 2 Maret 1957. Pendirian organisasi yang akan
memisahkan diri dari NKRI itu ditandatangani oleh 51 tokoh masyarakat Indonesia Timur. Tidak beberapa
lama di Sumatera diproklamasikan juga Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) oleh Kolonel
Ahmad Husain yang merupakan pimpinan Dewan Banteng pada 15 Februari 1958. Untuk menumpas
pemberontakan itu pemerintah melakukan operasi militer yang diberi nama Operasi 17 Agustus itu
dipimpin oleh Kolonel Ahmad Yani. Tujuan operasi adalah menumpas segala bentuk gerakan separatis dan
mencegah campur tangan kekuatan asing yang sering kali berdalih melindungi bisnis warga negaranya di
Pekanbaru. Akhirnya tokoh-tokoh PRRI termasuk Ahmad Husain menyerahkan diri setelah terdesak oleh
operasi militer. Sementara itu untuk menumpas gerakan Permesta pemerintah melancarkan operasi militer
yang diberi nama Operasi Merdeka pada bulan April 1958 di bawah komando Letnan Kolonel Rukminto
Hendraningrat. Satu persatu TNI berhasil merebut daerah yang dikuasai Permesta dan pada pertengahan
tahun 1961 para pemimpin gerakan ini menyerah kepada pemerintah NKRI.
e. Disintegrasi Pada Masa Demokrasi Terpimpin
Pemberontakan G30S/ PKI
Pada pemilu 1955 PKI ternyata keluar sebagai pemenang bersama dengan PNI, NU dan
Masyumi. Untuk itulah PKI mulai diperhitungkan dalam perpolitikan nasional pada saat itu. Pada saat itu
memang ada 3 kekuatan besar yaitu PKI yang beravialiasi komunis, Masyumi yang beraviliasi agama dan
TNI sebagai alat negara. Ketiganya mempunyai kekuatan yang besar dalam percaturan politik nasional. PKI
melancarkan aksi kudetanya pada 1 Oktober 1965 di bawah pimpinan Letnan Kolonel Untung. Sasaran dari
gerakan itu adalah perwira-perwira Angkatan Darat yang dianggap sebagai penghalang bagi PKI dalam
mencapai tujuannya. Upaya penculikan dan pembunuhan terhadap perwira itu berjalan sesuai rencana hanya
saja satu perwira yang berhasil lolos yaitu Jenderal AH Nasution. Walaupun AH. Nasution lolos tetapi Ade
Irma Suryani putrinya gugur bersama dengan ajudannya Pierre Tendean. PKI melancarkan serangan tidak
hanya di Jakarta tetapi juga di Yogyakarta. Perwira yang menjadi korban adalah Komandan Korem 072
Kolonel Katamso dan kepala staf Korem 072 Letnan Kolonel Sugiyono. Setelah berhasil menculik
sasarannya kemudian pada tanggal 1 Oktober PKI menguasai RRI dan kantor negara telekomunikasi di
Jakarta. PKI menyiarkan berita mengenai G30S/ PKI yang telah berhasil menangkap perwira-perwira
Angkatan Darat anggota Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta terhadap pemerintahan yang sah.
Di bawah komando Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto operasi penumpasan dilakukan
dengan cepat. Adapun dilakukan langkah-langkah: Pada 1 Oktober 1965 pasukan RPKAD di bawah
komando Kolonel Sarwo Edhie Wibowo berhasil merebut kembali studio RRI dan Kantor Negara
Telekomunikasi di Jakarta. Pada 3 Oktober 1965 pasukan RPKAD menemukan sumur yang menjadi lokasi
pembuangan jenazah perwira AD yang diculik atas bantuan seorang perwira polisi Sukitman. Panjaitan.
Sukitman tidak terbunuh karena berhasil lolos dari Lubang Buaya. Pada 4 Oktober 1965 Panglima Kostrad
Mayor Jenderal Suharto memerintahkan untuk melakukan penggalian dan pengangkatan jenazah kepada
para perwira AD untuk selanjutnya disemayamkan dahulu di markas besar Angkatan Darat, Jakarta. Pada 5
Oktober 1965 jenazah para perwira Angkatan Darat dimakamkan ditaman Makam pahlawan Kalibata.
Operasi penumpasan G30S/PKI terus dilanjutkan dengan menangkap tokoh-tokoh PKI dan membekukan
semua kegiatan PKI dan ormas-ormasnya. Pada 9 Oktober 1965 Kolonel Latief berhasil ditangkap di
Jakarta dan pada 11 Oktober 1965 Letnan Kolonel Untung berhasil ditangkap di Tegal Jawa Tengah. Pada
tanggal 12 Januari 1966 Front Pancasila mendatangi gedung Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong
(DPR-GR) dan mengajuka 3 Tuntutan Rakyat (Tritura) yang berisi: Bubarkan PKI dan ormas-ormasnya.
Bersihkan kabinet dan unsur-unsur PKI .Turunnya harga BBM.
Pada 11 Maret 1966, Presiden Sukarno menandatangani Surat Perintah 11 Maret 1966
(Supersemar). Sebagai pemegang Supersemar Jenderal Suharto bekerja dengan cepat yaitu: Pada 12 Maret
1966 Jenderal Suharto mengumumkan bahwa PKI dan ormas-ormasnya dibubarkan dan dilarang di wilayah
seluruh Indonesia, Pada 18 Maret 1966 dilakukan penangkapan terhadap 15 menteri yang terlibat dalam
G30S/ PKI, Jenderal Suharto segera membentuk kabinet Ampera pada 28 Juli 1966 untuk mengganti
kabinet 100 menteri. Pada 23 Februari 1967 Presiden Sukarno sebagai Panglima Tertinggi Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia meyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada Jenderal Suharto pemegang
ketetapan MPRS NO. IX/MPRS/1966. Dengan demikian berakhir semua kekuasaan Presiden Sukarno.
Peristiwa ini sekaligus manandai berakhirnya demokrasi terpimpin dan lahirnya orde baru.
f. Tokoh-tokoh Pejuang Mempertahankan Integrasi Bangsa
Berikut tokoh-tokoh pejuang integrasi bangsa:
1. Sukarno
Presiden pertama Republik Indonesia tidak diragukan lagi perannya dalam mempertahankan keutuhan
bangsa. Peran yang sangat fenomenal adalah ketika Sukarno memberlakukan Dekrit Presiden 5 Juli 1959
sehingga bangsa ini kembali ke UUD 1945. Dengan demikian bangsa ini tidak terpecah-pecah dalam
kepentingan politik dan ideologi. Selama hidupnya Sukarno berpimpi agar Indonesia bersatu di bawah
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sehingga tidak mengherankan bahwa orang yang berpaham
nasionalis ini mengerahkan segala upaya apabila bangsa Indonesia terancam disintegrasi.
2. Mohammad Hatta
Hatta berjuang untuk Indonesia merdeka sejak menjadi mahasiswa. Dalam peristiwa disekitar proklamasi
Hatta juga ikut dibawa pemuda ke Rengasdengklok bersama Sukarno agar segera memproklamasikan
kemerdekaan. Hatta dikenal sebagai pemimpin yang tenang, bijaksana dan hati-hati dalam setiap
pengambilan keputusan. Hatta juga dikenal sebagai bapak koperasi Indonesia karena segala pemikiran
tentang perekonomian rakyat dituangkan dalam pasal 33 UUD 1945. Tidak itu saja Hatta juga dikenal
sebagai bapak peletak dasar politik luar negeri yang bebas aktif tidak condong ke blok manapun.
3. Abdul Haris Nasution
Nasution merupakan tentara yang profesional. Dia salah satu tokoh pejuang integrasi. Hal ini terlihat ketika
terjadi pemberontakan PKI Madiun 1948. Dengan bergerak cepat di bawah komandonya selaku Panglima
Komando Jawa dapat menumpas pemberotakan hanya butuh waktu satu hari untuk penumpasan. Nasution
juga berjasa dalam penumpasan pemberontakan PRRI dan Permesta yang ingin menggoyang kewibawaan
NKRI.
4. Ahmad Yani
Yani tergabung dalam Peta dalam memulai kiriernya sebagai tentara. Yani sangat berjasa dalam
penumpasan pemberontakan DI/ TII di Jawa Tengah. Keberhasilan itu ikut mengangkat namanya menjadi
perwira tinggi yang diperhitungkan untuk mempertahankan bangsa dari berbagai ancaman dan gangguan
untuk keutuhan NKRI.
5. Sultan Hamengku Buwono IX (9)
Sultan Hamengku Buwono IX tidak diragukan lagi perannya dalam mempertahankan keutuhan NKRI.
Disaat Jakarta kacau balau sejak kedatangan tentara Belanda dan NICA pada 4 Januari 1946 Sultan
menawarkan agar ibukota pindah ke Yogyakarta sebagai upaya agar para pemimpin bangsa dan bangsa
selamat dari rongrongan kolonial yang ingin menjajah kembali. Selama revolusi fisik antara 1946-1950
Sultan dan para pemimpin bangsa seperti Sukarno, Hatta, Syahrir dll di Yogyakarta berjung bahu membahu
agar Indonesia tetap berdiri kokoh tidak tergoyahkan walaupun terus digempur tentara Belanda. Dalam
Serangan 1 Maret 1949 Sultan juga sangat berperan penting sehingga peristiwa itu dapat menyadarkan
dunia Internasional bahwa Indonesia masih ada karena selama ini digembar-gemborkan Belanda bahwa
Indonesia sudah terhapus karena pemimpinnya sudah ditangkap dan diasingkan. Perannya sebagai menteri
pertahanan ikut memelihara keutuhan bangsa baik memperhankan NKRI dari penjajahan Belanda maupun
keutuhan NKRI dari setiap pemberontakan-pemberotakan yang pernah terjadi di tanah air.
g. Perkembangan Politik Pada Masa Awal Kemerdekaan
Setelah proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, tanggal 18 Agustus 1945
melalui sidang PPKI Sukarno dan Hatta ditetapkan sebagai presiden dan wakil presiden Republik
Indonesia. Dalam revolusi fisik antara 1946-1950 itu tantangan politik dan ekonomi masih terasa sangat
berat bangi bangsa Indonesia. Untuk menjaga agar pemerintahan berjalan dengan baik Sukarno membentuk
kabinet yang pertama yang dinamakan kabinet presidensial. Kabinet ini diketuai oleh Presiden Sukarno
dengan masa jabatan 4 September sampai dengan 14 Nopember 1945. Kabinet pertama tidak berlangsung
lama. Pada 14 November 1945 dibentuk kabinet Republik Indonesia yang kedua dengan Sutan Syahrir
sebagai perdana menterinya. Selama ibukota RI dan para pemimpin bangsa pindah ke Yogyakarta sejak 4
Januari 1946 Sutan Syahrir tetap di Jakarta untuk mempermudah hubungan dengan dunia Internasional.
Kemudian pemerinta membuat kabinet Syahrir II, kabinet ini berakhir pada 2 Oktober 1946. Selanjutnya
dibentuk kabinet keempat yaitu Kabinet Syahrir III yang berlangsung 2 Oktober 1946 sampai dengan 3 Juli
1947. Pada tanggal yang sama presiden mengeluarkan maklumat Nomor 6/1947 yang isinya menetapkan
kekuasaan sepenuhnya berada ditangan presiden. Melalui maklumat tersebut akhirnya kabinet Syahrir III
masuk masa demesioner. Pada 3 Juli 1947 dibentuk kabinet yang kelima yang berlangsung 3 Juli 1947
sampai dengan 11 Nopember 1947 dengan Amir Syarifuddin sebagai perdana menterinya. Program kabinet
ini sebenarnya melanjutkan program kabinet sebelumnya.
Pada 11 Nopember 1947 dibentuk kabinet yang keenam dengan Amir Syarifuddin tetap sebagai
perdana menterinya. Akhirnya kabinet dinyatakan demesioner setelah pada 29 Januari 1948 mundurnya 5
orang menteri dari Masyumi. Pada 29 Januari 1948 dibentuk kabinet ketujuh dengan Moh. Hatta sebagai
perdana menterinya. Kabinet ini akhirnya berakhir pada 4 Agustus 1948. Ketika terjadi Agresi militer
Belanda II di Yogyakarta dan para pemimpin ditangkap dan diasingkam dibentuk Pemeritahan Darurat
Republik Indonesia (PDRI) yang berkedudukan di Bukittinggi. Maka dibentuklah kabinet PDRI berdasar
intruksi presiden kepada Syarifuddin Prawiranegara yang dikirim dari Yogyakarta sesaat sebelum tentara
menawan para pemimpin. Kabinet PDRI ini dipimpin oleh Syarifuddin Parwiranegara dan berakhir pada 13
Juli 1949.
Pada 13 Juli 1949 dibentuk kabinet yang kedelapan dengan Hatta sebagai perdana menterinya.
Program kabinet ini menyesuikan dengan situasi dan kondisi pada saat itu yang baru menghadapi agresifitas
Belanda yang ingin menguasai kembali Indonesia. Pada 20 Desember 1949 sampai dengan 21 Januari 1950
dibentuk kabinet ke sembilan yang dipimpin oleh Mr. Susanto Tirtiprojo. Dia adalah seorang kepala kabinet
yang berperan penting dalam trasisi RI ke RIS. Kabinet ini bekerja di bawah perdana menteri Moh. Hatta.
Ketika Indonesia menjadi bagian dari RIS dibentuk kabinet yang kesepuluh di bawah kepemimpinan dr. A.
Halim. Kabinet ini bertugas 21 Januari sampai dengan 6 September 1950. Akhirnya usia kabinet ini
berakhir seiring dengan kembalinya negara kesatuan Republik Indonesia pada bulan September 1950.
h. Perkembangan Politik dan ekonomi Pada Masa Demokrasi Liberal
Hasil perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB) adalah salah satunya terbentuknya negara
RIS (Republik Indonesia Serikat). Pada 15 Agistus 1950 perdana menteri kabinet RIS, Moh. Hatta
menyerahkan mandatnya sebagai perdana menteri kepada Presiden Sukarno dan pada 17 Agustus 1950 dan
Indonesia kembali menjadi negara kesatuan. Setelah berakhirnya pemerintahan RIS pada 1950 sebenarnya
Indonesia masih menggunakan model pemerintahan demokrasi parlementer yang liberal. Kabinet dipimpin
oleh seorang perdana menteri dan bertanggung jawab kepada parlemen. Saat itu presiden hanya
berkedudukan sebagai kepala negara. Pada kurun waktu pemerintahan antara tahun 1950 sampai dengan
1959 memang sering terjadi pergantian kabinet.Adapun kabinet yang pernah memerintah pada masa
demokrasi liberal sebagai berikut: Kabinet Natsir (Masyumi) memerintah 6 September 1950 sd. 21 Maret
1951. Kabinet Sukiman (Masyumi) memerintah 27 April 1951 sd. 3 April 1952. Kabinet Wilopo (PNI)
memerintah 3 April 1952 sd. 3 Juni 1953. Kabinet Ali Sastraamidjojo I (k oalisi PNI dan NU) memerintah
31 Juli 1953 sd. 12 Agustus 1955. Kabinet Burhanuddin Harahap (Masyumi) memerintah 12 Agustus 1955
sd. 3 Maret 1956. Kabinet Ali Sastraamidjojo II (koalisi PNI,Masyumi, NU) memerintah 20 Maret 1956 sd.
4 Maret 1957. Kabinet Juanda (non politik) memerintah 9 April 1957 sd. 5 Juli 1959.
Demokrasi terpimpin adalah sistem demokrasi yang semua keputusan dan pemikiran terpusat
pada pemimpin yakni Presiden Sukarno. Masa demokrasi terpimpin berlangsung mulai 1959 sampai dengan
1965 saat kekuasaan Sukarno tumbang ditangan Orde Baru. Perkembangan ekonomi pada masa demokrasi
liberal suungguh lambat karena berbagai permasalahan yang dihadapi. Permasalahan yang muncul tidak
lepas dari beberapa hal yaitu: Setelah pengakuan kedaulatan, bangsa Indonesia menanggung beban ekonomi
dan keuangan yang ckup besar seperti yang diputuskan dalam Konferensi Meja Bundar diantaranya bangsa
Indonesia harus menutup kerugian perang dari pihak Belanda selama perang revolusi fisik. Ketidakstabilan
politik akibat jatuh bagunnya kabinet menyedot banyak anggaran disamping untuk mengatasi biaya
anggaran operasional dalam penumpasan pemberontakan di daerah-daerah. Ekspor hanya tergantung
kepada perkebunan sedangkan angka pertambahan penduduk semakin tajam.
i. Perkembangan Politik dan Ekonomi Pada Masa Demokrasi Terpimpin
Landasan adanya demokrasi terpimpin ditafsirkan dari sila ke-empat Pancasila. Menurut
ketetapan MPRS demokrasi terpimpin adalah demokrasi kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan yang berintikan musyawarah untuk mufakat secara
gotong royong diantara semua kekuatan nasional yang progresif-revolusioner dengan berposros pada
nasionalisme, agama dan komunis (Nasakom) sebagai kekuatan nasional. Ada tiga hal yang
melatarbelakangi Presiden Sukarno menerapkan demokrasi terpimpin yaitu: Dari sudut pandang politik,
Konstituante dianggap gagal dalam menyusun UU baru untuk menggantikan UUD Sementara 1950. Dari
sudut pandang keamanan nasional, pada masa demokrasi liberal banyak terjadi gerakan sparatis di berbagai
daerah yang mengancam integrasi bangsa dan ketidakstabilan keamanan negara. Dari sudut pandang
perekonomian nasional, sering terjadinya pergantian kabinet menyebabkan program-program yang telah
dirancang kabinet tidak bisa dijalankan secara maksimal. Akibatnya pembangunan ekonomi tidak lancar.
Berdasar dari tiga hal tersebut maka pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Sukarno membubarkan
parlemen sekaligus menyatakan kembali pada UUD 1945. Sukarno kemudian membentuk kabinet kerja
dengan dirinya bertindak sebagai perdana menteri. Kabinet ini kemudian dilantik pda 10 Juli 1959 dengan
program kerjanya tri program kabinet kerja. Tugas kabinet ini adalah mengatasi masalah sandang, pangan
serta meningkatkan keamanan di dalam negeri dan mengembalikan beberapa wilayah negara ke pangkuan
NKRI misalnya Irian Barat. Dalam demokrasi terpimpin itu, Presiden Sukarno menerapkan sistem politik
keseimbangan. Hal ini diterapkan di lingkungan partai-partai politik dan pertahanan negara. Presiden juga
mengambil langsung pimpinan tertinggi angkatan militer dengan membentuk komando operasi tertinggi
(Koti).
Pada masa demokrasi terpimpin perekonomian diatur langsung oleh pemerintah. Kegiatan
perekonomian yang diatur itu banyak mengabaikan prinsip ekonomi. Akibatnya terjadi defisit keuangan
negara yang meningkat tajam dari tahun ketahun. Contohnya pada Januari sampai dengan Agustus 1965
pengeluaran negara tercatat sebesar 11 miliar rupiah, sedangkan penerimaan negara sebesar 3,5 miliar
rupiah. Bahkan pada tahun 1961 sampai 1962 harga-harga barang pada umumnya mengalami kenaikan
hingga 400%. Kondisi ini semakin diperparah dengan berlangsungnya konfrontasi dengan Malaysia dan
negara-negara Barat yang semakin mempercepat kemerosotan perekonomian Indonesia. Salah satu solusi
pemerintah mengatasi kemerosotan ekonomi diantaranya menerapkan kebijakan dalam bidang moneter.
Pada 13 Desember 1965 melalui penetapan Presiden Nomor 27 tahun 1965 pemerintah mengambil langkah
devaluasi, yaitu kebijakan untuk menekan inflansi. Pemerintah menggunting uang senilai Rp. 1.000 menjadi
Rp.1. Dampak dari kebijakan ini bukan menambah baik tetapi semakin meningkatkan infansi. Kebijakan ini
semakin parah setelah nilai ekspor rendah sedangkan kegiatan impor dibatasi karena lemahnya devisa
negara. Akibatnya perekonomian menjadi limbung sehingga menambah penderitaan rakya.
j. Perbandingan Kebijakan Politik Pada Masa Demokrasi Liberal dan Terpimpin
Ada beberapa perbedaan antara demokrasi liberal dengan demokrasi terpimpin yaitu: Masalah
Kedaulatan Negara, pada masa demokrasi liberal kedaulatan negara ada ditangan DPR atau parlemen.
Bahkan DPR dapat membubarkan dan membentuk pemerintahan dan cabinet (eksekutif). Sedangkan pada
demokrasi terpimpin kedaulatan negara sepenuhnya ditangan presiden. Bahkan seorang presiden dapat
membentuk MPRS dan DPR Gotong Royong. Masalah pembagian kekuasaan, pada masa demokrasi liberal
kekuasan DPR (Legislatif) lebih kuat jika dibandingkan dengan kekuasaan pemerintah/ kabinet (eksekutif).
DPR dapat membubarkan dan menghentikan pemerintah/ kabinet. Sementara itu fungsi presiden hanya
sebagai kepala negara. Sedangkan dalam demokrasi terpimpin kekuasaan presiden (eksekutif) menjadi
sangat dominan sehingga mampu membubarkan dan membentuk DPR. Disamping itu jabatan presiden
ditetapkan seumur hidup sehingga tidak dapat diberhentikan oleh MPRS. Masalah pengambilan keputusan,
pada masa demokrasi liberal semua pengambilan keputusan berada ditangan DPR dengan mekanisme
keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak. Sedangkan pada masa demokrasi terpimpin pengambilan
keputusan dilaksanakan oleh MPRS dan DPR-GR serta berdasarkan suara bulat.

Anda mungkin juga menyukai