Anda di halaman 1dari 13

PERJUANGAN MENGHADAPI

ANCAMAN DISINTEGRASI BANGSA (1948-1965)

NAMA KELOMPOK:
Silviana Dewi
Islamiyatul .H
Ajeng Restu .T
Siti Nasiroh
Rifky Hanani .A

KELAS XII-MIPA 4
SMA NEGERI 3 BANGKALAN
TAHUN PELAJARAN 2016-2017
DI BIDANG IDEOLOGI
1. PKI DI MADIUN
Peristiwa Madiun (atau Madiun Affairs) adalah sebuah konflik kekerasan yang tejadi di Jawa
Timur bulan September – Desember 1948. Peristiwa ini diawali dengan diproklamasikannya
negara Soviet Republik Indonesia pada tanggal 18 September 1948 di Madiun oleh Muso,
seorang tokoh Partai Komunis Indonesia dengan didukung pula oleh Menteri Pertahanan saat
itu, Amir Sjarifuddin.Pada saat itu hingga era Orde Lama peristiwa ini dinamakan Peristiwa
Madiun (Madiun Affairs), dan tidak pernah disebut sebagai pemberontakan Partai Komunis
Indonesia (PKI). Baru di era Orde Baru peristiwa ini mulai dinamakan pemberontakan PKI.

Latar belakang Pemberontakan PKI Madiun 1948


Pemberontakan PKI di Madiun tidak bisa lepas dari jatuhnya Kabinet AMIR Syarifuddin
tahun 1948, yaitu tertanda-tanganinya perundingan Renville yang merugikan Indonesia
sehingga Amir Syarifuddin turun dari Kabinetnya dan digantikan oleh Kabinet Hatta. Sejak
saat itu ia merasa kecewa kemudian ia membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) tanggal
28 Juni 1948. FDR ini didukung oleh Partai Sosialis Indonesia, PKI, SOBSI. Pada tanggal 11
Agustus 1948, Muso tiba dari Moskow. Semenjak kedatangan Muso bersatulah kekuatan PKI
dan FDR, dibawah pimpinan Muso dan Amir Syarifuddin gerakan PKI ini memuncak pada
tanggal 18 September 1948.

Proses pemberontakan yang dilakukan oleh PKI di Madiun tahun 1948


Pemberontakan PKI di Madiun tersebut dimulai pada jam 3.00 setelah terdengar
tembakan pestol tiga kali sebagai tanda dimulainya gerakan non parlementer oleh kesatuan
komunis yang disusul dengan gerakan perlucutan senjata, kemudian kesatuan PKI menduduki
tempat-tempat penting di kota Madiun, seperti Kantor Pos, Gedung Bank, Kantor Telepon,
dan Kantor Polisi. Lalu berlanjut dengan penguasaan kantor radio RRI dan Gelora Pemuda
sebagai alat bagi mereka untuk mengumumkan ke seluruh negeri tentang penguasaan kota
Madiun yang akan memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan akan
mendirikan Sovyet Republik Indonesia serta pembentukan Pemerintahan Front Nasional.
Puncak gerakan yang dilakukan PKI pada tanggal 18 september 1948 yaitu dengan
pernyataan tokoh-tokoh PKI tentang berdirinya Sovyet Republik Indonesia yang bertujuan
mengganti dasar negara pancasila dengan Komunis. Yang menarik adalah ketika Sovyet
Republik Indonesia diproklamirkan Amir Syarifuddin dan Muso yang selanjutnya di usung
sebagai presiden dan wakil presiden malah berada di luar Madiun.
Dalam gerakan ini kesatuan PKI telah melakukan pembunuhan terhadap dua orang
pegawai pemerintah dan menangkap empat orang militer. Perebutan kekuasaan ini berjalan
lancar, kemudian mereka mengibarkan bendera merah di depan Balai Kota. Pasukan-pasukan
komunis yang dipimpin oleh Sumarsono, Dahlan dan Djokosujono dengan cepat telah
bergerak menguasai seluruh kota Madiun, karena sebagian besar tentara di kota itu tidak
mengadakan perlawanan. Disamping itu pertahanan kota Madiun sebelumnya praktis sudah
dikuasai oleh Pasukan Brigade 29.121 Perebutan kekuasaan tersebut pada jam 07.00 pagi
telah berhasil sepenuhnya menguasai Madiun.
Upaya Bangsa Indonesia Menumpas PKI Madiun
Presiden Soekarno dan Moh Hatta segera melancarkan operasi penumpasan dengan GOM
(Gerakan Operasi Militer). Panglima Jendral Soedirman kemudian mengeluarkan perintah
harian yang berisi menunjuk Kolonel Gatot Soebroto sebagai Gubernur Jateng dan Kolonel
Sungkono Gubernur Militer Jatim diperintahkan untuk memimpin dan menggerakkan
pasukan untuk menumpas pemberontakan PKI di Madiun dan sekitarnya. Pada tanggal 10
September 1948 keadaan di Madiun segera dapat dikendalikan oleh pemerintah Indonesia.
Muso tewas di Ponorogo, Amir Syarifuddin tertangkap di Purwodadi.

Muso, Dalang Pembrontakan PKI Madiun 1948


Muso dilahirkan di desa Pagu (Kediri) pada tahun 1897. Ia dididik di sekolah guru di Jakarta
dan bersahabat dengan Alimin. Dia adalah salah satu pemimpin PKI di awal 1920-an. Dia
adalah pengikut Stalin dan anggota dari Internasional Komunis di Moskwa. Musso adalah
dalang pemberontakan terjadi di Madiun, Jawa Timur ketika beberapa militan PKI menolak
untuk dilucuti. PKI memproklamasikan berdirinya "Republik Soviet Indonesia" di Madiun
pada tanggal 18 September 1948 dan mengangkat Musso sebagai presiden dan Amir
Sjarifuddin sebagai perdana menteri. Akan tetapi pemberontakan dapat dipadamkan oleh
pihak militer.

2. DI/TII
A. DI/TII Jawa Barat 
Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat berawal dengan ditandatanganinya Persetujuan
Renville pada 17 Januari 1948 .Sekar Marijan Kartosuwiryo mendirikan Darul Islam (DI)
bersama pasukannya yang terdiri atas Hizbullah dan Sabillah(kurang lebih sebanyak 4000
orang . Ia menolak untuk membawa pasukannya ke Jawa Tengah dan tidak mengakui lagi
keberadaan RI. dan tujuannya juga menentang penjajah Belanda di Indonesia. Akan tetapi,
setelah makin kuat, S.M.Kartosuwiryo memproklamasikan berdirinya Negara Islam
Indonesia (NII) pada tanggal 17 Agustus 1949 di Desa Cisayong,Jawa Barat dan tentaranya
dinamakan Tentara Islam Indonesia (TII) saat itu lah tidak sedikit rakyat yang menjadi
korban. Upaya pemerintah untuk menghadapi gerakan DI/TII pemerintah bekerja sama
dengan rakyat setempat.Dan dijalankan lah taktik dan strategi baru yang disebut Perang
Wilayah.Pada 1 April 1962 dilancarkan Operasi Bharatayuda yaitu operasi penumpasan
gerakan DI/TII. Dengan taktis Pagar Betis. Pada tanggal 4 juni 1962, S.M.Kartosuwiryo
beserta para pengikutnya berhasil ditanggap oleh pasukan Siliwangi di Gunung Geber,
Majalaya, Jawa Barat.Ia sempat mengajukan grasi kepada Presiden,tetapi di tolak. Akhirnya
S.M.Kartosuwiryo dijatuhi hukuman mati di hadapan regu tembak dari keempat angkatan
bersenjata RI 16 Agustus 1962.
B. DI/TII Jawa Tengah 
Gerakan DI/TII di Jawa Tengah yang dipimpin oleh Amir Fatah dan Kyai Sumolangu
di bagian utara, yang bergerak di daerah Tegal, Brebes dan Pekalongan. Inti kekuataanya
adalah pasukan Hizbullah yang dibentuk di Tegal,1946 dan pada 23 Agustus 1949, Amir
Fatah memproklamasikan berdirinya Darul Islam dan menyatakan brgabung dengan DI/TII
S.M.kartosuwiryo.Pasukannya dinamakan Tentara Islam Indonesia (TII) dengan sebutan
Batalion Syarif Hidayat Widjaja Kusuma(SHWK).Untuk menghancurkan gerakan ini, Januari
1950 dibentuk Komando Gerakan Banteng Negara (GBN) dibawah Letkol Sarbini.
Pemberontakan di Kebumen dilancarkan oleh Angkatan Umat Islam (AUI) yang dipimpin
oleh Kyai Moh. Mahfudh Abdurrahman (Kyai Sumolanggu) Gerakan ini berhasil
dihancurkan pada tahun 1957 dengan operasi militer yang disebut Operasi Gerakan Banteng
Nasional dari Divisi Diponegoro. Gerakan DI/TII itu pernah menjadi kuat karena
pemberontakan Batalion 426 di Kedu dan Magelang/ Divisi Diponegoro. Didaerah Merapi-
Merbabu juga telah terjadi kerusuhan-kerusuhan yang dilancarkan oleh Gerakan oleh
Gerakan Merapi-Merbabu Complex (MMC). Gerakan ini juga dapat dihancurkan. Untuk
menumpas gerakan DI/TII di daerah Gerakan Banteng Nasional dilancarkan operasi Banteng
Raiders.

C. DI/TII Sulawesi Selatan 


Gerakan DI/TII di Sulawesi Selatan dipimpin oleh Kahar Muzakar.Latar belakang
pemberontakan ini berbeda dari yang terjadi di Jawa barat dan Jawa tengah. Pada tanggal 30
April 1950 Kahar Muzakar mengirim surat kepada Pemerintah pusat untuk membubarkan
Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) dan anggotanya disalurkan ke dalam APRIS.
Tenyata Kahar Muzakar menuntut agar Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan dan kesatuan
gerilya lainnya dimasukkan delam satu brigade yang disebut Brigade Hasanuddin di bawah
pimpinanya. Tuntutan itu ditolak karena banyak diantara mereka yang tidak memenuhi syarat
untuk dinas militer. Pemerintah mengambil kebijaksanaan menyalurkan bekas gerilyawan itu
ke Corps Tjadangan Nasional (CTN). Pada saat dilantik sebagai Pejabat Wakil Panglima
Tentara dan Tetorium VII, Kahar Muzakar beserta para pengikutnya melarikan diri ke hutan
dengan membawa persenjataan lengkap dan mengadakan pengacauan serta pada tahun 1952,
ia menyatakan bahwa wilayah Sulawesi Selatan menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia
pimpinan S.M.Kartosuwiryo di Jawa Barat pada tanggal 7 Agustus 1953. Penumpasan
pemberontakan Kahar Muzakar memakan waktu lebih dari 14 tahun. Faktor yang menjadi
penyebab lamanya adalah rasa kesukuan yang ditanamkan dan gerombolan ini telah berakar
di Hati rakyat Kahar Muzakar dan gerombolannya mengenal sifat rakyat dan memanfaatkan
lingkungan alam yang sangat dikenalnya. Tanggal 3 Februari 1965, Kahar Muzakar
tertembak mati dalam sebuah kontak senjata dengan pasukan RI.

D. DI/TII Aceh
Adanya berbagai masalah antara lain masalah otonomi daerah, pertentangan
antargolongan, serta rehabilitasi dan modernisasi daerah yang tidak lancar menjadi penyebab
meletusnya pemberontakan DI/TII di Aceh.Daerah Aceh sebelumnya menjadi daerah
istimewa diturunkan statusnya menjadi daerah Karasidenan di bawah provinsi Sumatera
Utara. Gerakan DI/TII di Aceh dipimpin oleh Tengku Daud Beureueh yang pada tanggal 21
September 1953 memproklamasikan daerah Aceh sebagai bagian dari Negara Islam
Indonesia dibawah pimpinan S.M.Kartosuwiryo dan memutuskan hubungan dengan Jakarta.
Pemberontakan DI/TII di Aceh diselesaikan dengan diadakannya musyawarah Kerukunan
Rakyat Aceh pada tanggal 17 – 28 Desember 1962 atas inisiatif Pangdam I Bukit Barisan,
Kolonel Jasin. Dalam musyawarah ini, dibicarakan berbagai permasalahan yang dihadapi dan
kesalahpahaman yang terjadi.Akhirnya dari musyawarah bersama tersebut ialah pulihnya
kembali keamanan di daerah Aceh.

E. DI/TII Kalimantan Selatan


Pada akhir tahun 1950,Kesatuan Rakyat Jang Tertindas(KRJT) melakukan penyerangan
ke pos-pos TNI di Kalimantan Selatan. KRJT dipimpin seorang mantan Letnan dua TNI yang
bernama Ibnu Hadjar alias Haderi alias Angli.Ibnu Hadjar sendiri kemudian menyerahkan
diri. Akan tetapi , setelah merasa kuat dan memperoleh peralatan perang, ia kembali membuat
kekacauan dengan bantuan Kahar Muzakar dan S.M.kartosuwiryo. Pada tahun 1954, Ibnu
Hadjar diangkat sebagai panglima TII wilayah Kalimantan. Akhirnya, Pemerintah melalui
TNI berhasil mengatasi gerakan yang dilakukan oleh Ibnu Hadjar pada tahun 1959 dan Ibnu
Hadjar berhasil ditangkap dan pada 22 maret 1965 dan ia dijatuhkan hukuman mati oleh
pengadilan militer.

3. G30S/PKI
Gerakan 30 September (dahulu juga disingkat G 30 S PKI, G-30S/PKI), Gestapu
(Gerakan September Tiga Puluh), Gestok (Gerakan Satu Oktober) adalah sebuah peristiwa
yang terjadi selewat malam tanggal 30 September sampai di awal 1 Oktober 1965 di mana
enam perwira tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu
usaha percobaan kudeta yang kemudian dituduhkan kepada anggota partai komunis.

Sebab-sebab G30S/PKI
a. PKI merupakan partai terbesar di Indonesia
b. Politik luar negeri Indonesia yang lebih condong pada blok timur
c. Konsep Naskom (Nasionalis, Agama, Komunis)

PELAKSANAAN G30S/PKI 1965


Pada 1 Oktober 1965 dini hari, enam jenderal senior dan beberapa orang lainnya
dibunuh dalam upaya kudeta yang disalahkan kepada para pengawal istana (Cakrabirawa)
yang dianggap loyal kepada PKI dan pada saat itu dipimpin oleh Letkol. Untung. Panglima
Komando Strategi Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto kemudian mengadakan
penumpasan terhadap gerakan tersebut. Tahunya Aidit akan jenis sakitnya Sukarno
membuktikan bahwa hal tersebut sengaja dihembuskan PKI untuk memicu ketidakpastian di
masyarakat. Keributan antara PKI dan islam (tidak hanya NU, tapi juga dengan Persis dan
Muhammadiya) itu pada dasarnya terjadi di hampir semua tempat di Indonesia, di Jawa
Barat, Jawa Timur, dan di propinsi-propinsi lain juga terjadi hal demikian, PKI di beberapa
tempat bahkan sudah mengancam kyai-kyai bahwa mereka akan disembelih setelah tanggal
30 September 1965 (hal ini membuktikan bahwa seluruh elemen PKI mengetahui rencana
kudeta 30 September tersebut). 

PENUMPASAN G30S/PKI 1965


Dalam bulan-bulan setelah peristiwa ini, semua anggota dan pendukung PKI, atau
mereka yang dianggap sebagai anggota dan simpatisan PKI, semua partai kelas buruh yang
diketahui dan ratusan ribu pekerja dan petani Indonesia yang lain dibunuh atau dimasukkan
ke kamp-kamp tahanan untuk disiksa dan diinterogasi. Berapa jumlah orang yang dibantai
tidak diketahui dengan persis - perkiraan yang konservatif menyebutkan 500.000 orang,
sementara perkiraan lain menyebut dua sampai tiga juga orang. Namun diduga setidak-
tidaknya satu juta orang menjadi korban dalam bencana enam bulan yang mengikuti kudeta
itu. Dihasut dan dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi
muslim sayap-kanan seperti barisan Ansor NU dan Tameng Marhaenis PNI melakukan
pembunuhan-pembunuhan massal, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada laporan-
laporan bahwa Sungai Brantas di dekat Surabaya menjadi penuh mayat-mayat sampai di
tempat-tempat tertentu sungai itu "terbendung mayat". Pada akhir 1965, antara 500.000 dan
satu juta anggota-anggota dan pendukung-pendukung PKI telah menjadi korban pembunuhan
dan ratusan ribu lainnya dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi, tanpa adanya perlawanan
sama sekali. Sewaktu regu-regu militer yang didukung dana CIA menangkapi semua anggota
dan pendukung PKI yang terketahui dan melakukan pembantaian keji.
DI BIDANG KEPENTINGAN PRIBADI
1. APRA
Peristiwa Kudeta Angkatan Perang Ratu Adil atau Kudeta 23 Januari adalah peristiwa
yang terjadi pada 23 Januari 1950 di mana kelompok milisi Angkatan Perang Ratu Adil
(APRA) yang ada di bawah pimpinan mantan Kapten KNIL Raymond Westerling yang juga
mantan komandan Depot Speciale Troepen (Pasukan Khusus) KNIL, masuk ke kota Bandung
dan membunuh semua orang berseragam TNI yang mereka temui. Aksi gerombolan ini telah
direncanakan beberapa bulan sebelumnya oleh Westerling dan bahkan telah diketahui oleh
pimpinan tertinggi militer Belanda.

Latar Belakang APRA


APRA merupakan pemberontakan yang paling awal terjadi setelah Indonesia diakui
kedaulatannya oleh Belanda. Hasil Konferensi Meja Bundar yang menghasilkan suatu bentuk
negara Federal untuk Indonesia dengan nama RIS (Republik Indonesia Serikat). Suatu bentuk
negara ini merupakan suatu proses untuk kembali ke NKRI, karena memang hampir semua
masyarakat dan perangkat-perangkat pemerintahan di Indonesai tidak setuju dengan bentuk
negara federal. Tapi juga tidak sedikit yang tetap menginginkan Indonesia dengan bentuk
negara federal, hal ini menimbulkan banyak pemberontakan-pemberontakan atau kekacauan-
kekacauan yang terjadi pada saat itu. Pemberontakan- pemberontakan ini dilakukan oleh
golongan- golongan tertentu yang mendapatkan dukungan dari Belanda karena merasa takut
jika Belanda meninggalkan Indonesia maka hak-haknya atas Indonesia akan hilang.
Westerling memahami bahwa sebagian rakyat Indonesia yang telah lama menderita
karena penjajahan, baik oleh Belanda atau Jepang, mendambakan datangnya suatu masa
kemakmuran seperti yang terdapat dalam ramalan Jayabaya. Menurut ramalan itu akan
datang seorang pemimpin yang disebut Ratu Adil, yang akan memerintah rakyat dengan adil
dan bijaksana, sehingga keadaan akan aman dan damai dan rakyat akan makmur dan
sejahtera.

Pelaksanaan APRA
Tentara APRA juga mengadakan aksi di depan Hotel Preanger. Mereka menyerang
sebuah truk berisi tiga orang TNI. Perlawanan dari TNI baru terjadi di Jalan Merdeka,
sekalipun tidak seimbang. Setelah tembak-menembak sekitar 15 menit, 10 orang TNI
gugur. Tentara APRA juga menyerang truk yang dikendarai 7 orang serdadu TNI di
perempatan Suniaraja-Braga. Truk itu ditembaki dari depan dan belakang.
Perlawanan yang  cukup hebat terjadi di Kantor Kwartir Divisi Siliwangi Oude
Hospitaalweg.  Satu regu stafdekking TNI terdiri dari 15 orang dipimpin Letkol (Overste )
Sutoko  dikepung tentara APRA yang jumlahnya lebih banyak.  Benar-benar pertempuran
sampai peluru terakhir. Letkol Sutoko,  Letkol Abimanyu dan seorang opsir lainnya dapat
menyelamatkan diri.  Lainnya tewas. Markas itu diduduki dan tentara APRA merampok
brandkas sebesar F150.000.
Pertempuran juga terjadi di kantor stafkwartier Divisi Siliwangi Jalan Lembang. Satu
rgu stafdekking TNI terdiri dari 15 orang dipimpin Overste Sutoko dengan tiba2 dikerubungi
oleh ratusan APRA. Pertempuran berlangsung kurang lebih setengah jam. Pertempuran
dilakukan hingga peluru terakhir. Everste Sutoko, Abimanyu, dan seorang opsir lainnya dapat
menyelamatkan diri, lainnya tewas. APRA kemudian berhasil menduduki stafkwartier dan
membongkar brandkast yang isinya Rp. 150.000, jumlah yang cukup besar untuk saat itu.
Selain itu, mayat-mayat dari TNI dan sipil pun bergelimpangan antara jalan Braga hingga
jalan Jawa. Di antara orang-orang sipil yang tewas, kabarnya menjadi korban karena mereka
berani menjawab “Jogja”, ketika ditanyakan “Pilih Pasundan atau Jogja?” oleh pasukan
APRA.

2.3 Penumpasan APRA


Sisa pasukan Wasterling di bawah pimpinan Van der Meulen yang bukan anggota
KNIL Batujajar dan polisi yang menuju Jakarta,  pada  24 Januari 1950 dihancurkan Pasukan
Siliwangi dalam pertempuran daerah Cipeuyeum dan sekitar Hutan Bakong dan dapat disita 
beberapa truk dan pick up, tiga pucuk bren, 4 pucuk senjata ukuran 12,7 dan berpuluh
karaben. Di kota Bandung juga diadakan pembersihan dan penahanan terhadap mereka yang
terlibat, termasuk beberapa orang tokoh Negara Pasundan. Wasterling merencanakan suatu
gerakan untuk menangkap semua Menteri RIS yang sedang menghadiri sidang kabinet.
Gerakan tersebut dapat digagalkan dan kemudian diketahui bahwa otaknya adalah Sultan
Hamid II, yang juga menjadi anggota Kabinet RIS sebagai Menteri tanpa portofolio. Sultan
Hamid II dapat segera ditangkap, sedangkan Westerling sempat melarikan diri ke luar negeri
pada 22 Februari 1950 dengan menumpang pesawat Catalina milik Angkatan Laut Belanda.
Dengan kaburnya Wasterling, maka gerakannya pun jadi bubar.

2. RMS
Republik Maluku Selatan (RMS) adalah daerah yang diproklamasikan merdeka pada
25 April 1950 dengan maksud untuk memisahkan diri dari Negara Indonesia Timur (saat itu
Indonesia masih berupa Republik Indonesia Serikat). Namun oleh Pemerintah Pusat, RMS
dianggap sebagai pemberontakan dan setelah misi damai gagal, maka RMS ditumpas tuntas
pada November 1950. Sejak 1966 RMS berfungsi sebagai pemerintahan di pengasingan,
Belanda.

Latar Belakang Terjadinya Republik Maluku Selatan


Republik Maluku Selatan (RMS) adalah daerah yang diproklamasikan merdeka pada
25 April 1950 dengan maksud untuk memisahkan diri dari Negara Indonesia Timur (saat itu
Indonesia masih berupa Republik Indonesia Serikat). Namun oleh Pemerintah Pusat, RMS
dianggap sebagai pemberontakan dan setelah misi damai gagal, maka RMS ditumpas tuntas
pada November 1950. Sejak 1966 RMS berfungsi sebagai pemerintahan di pengasingan,
Belanda.

Jalannya Pemberontakan Republik Maluku Selatan


Pada 25 April 1950 RMS hampir/nyaris diproklamasikan oleh orang-orang bekas
prajurit KNIL dan pro-Belanda yang di antaranya adalah Dr. Chr.R.S. Soumokil bekas jaksa
agung Negara Indonesia Timur yang kemudian ditunjuk sebagai Presiden, Ir. J.A. Manusama
dan J.H. Manuhutu. Pemerintah Pusat yang mencoba menyelesaikan secara damai, mengirim
tim yang diketuai Dr. J. Leimena sebagai misi perdamaian ke Ambon. Tapi kemudian, misi
yang terdiri dari para politikus, pendeta, dokter dan wartawan, gagal dan pemerintah pusat
memutuskan untuk menumpas RMS, lewat kekuatan senjata. Dibentuklah pasukan di bawah
pimpinan Kolonel A.E. Kawilarang.
Pada 14 Juli 1950 Pasukan ekspedisi APRIS/TNI mulai menumpas pos-pos penting
RMS. Sementara, RMS yang memusatkan kekuatannya di Pulau Seram dan Ambon, juga
menguasai perairan laut Maluku Tengah, memblokade dan menghancurkan kapal-kapal
pemerintah. Pemberontakan ini berhasil digagalkan secara tuntas pada bulan November 1950,
sementara para pemimpin RMS mengasingkan diri ke Belanda. Pada 1951 sekitar 4.000
orang Maluku Selatan, tentara KNIL beserta keluarganya (jumlah keseluruhannya sekitar
12.500 orang), mengungsi ke Belanda, yang saat itu diyakini hanya untuk sementara saja.
RMS di Belanda lalu menjadi pemerintahan di pengasingan. Pada 29 Juni 2007
beberapa pemuda Maluku mengibarkan bendera RMS di hadapan Presiden Susilo Bambang
Yudhono pada hari keluarga nasional di Ambon. Pada 24 April 2008 John Watilette perdana
menteri pemerintahan RMS di pengasingan Belanda berpendapat bahwa mendirikan republik
merupakan sebuah mimpi di siang hari bolong dalam peringatan 58 tahun proklamasi
kemerdekaan RMS yang dimuat pada harian Algemeen Dagblad yang menurunkan tulisan
tentang antipati terhadap Jakarta menguat. Tujuan politik RMS sudah berlalu seiring dengan
melemahnya keingingan memperjuangkan RMS ditambah tidak adanya donatur yang
bersedia menyisihkan dananya, kini hubungan dengan Maluku hanya menyangkut soal sosial
ekonomi. Perdana menteri RMS (bermimpi) tidak menutup kemungkinan Maluku akan
menjadi daerah otonomi seperti Aceh Kendati tetap menekankan tujuan utama adalah meraih
kemerdekaan penuh.

Berakhirnya Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS)


Pemberontakan Republik Maluku Selatan sudah berakhir tetapi masih ada beberapa
orang yang masih mengakui RMS dan sampai detik ini RMS masih tetap eksis dan
mempunyai presiden transisi bernama Simon Saiya.

3. PEMBERONTAKAN ANDI AZIZ


Pemberontakan di bawah naungan Andi Azis ini terjadi di Makassar yang diawali
dengan adanya konflik di Sulawesi Selatan pada bulan April 1950. Kekacauan yang
berlangsung di Makassar ini terjadi karena adanya demonstrasi dari kelompok masyarakat
yang anti federal, mereka mendesak NIT supaya segera menggabungkan diri dengan RI.
Sementara itu di sisi lain terjadi sebuah konflik dari kelompok yang mendukung terbentuknya
Negara Federal. Keadaan tersebut menyebabkan terjadinya kegaduhan dan ketegangan di
masyarakat.

LATAR BELAKANG
 Menuntut bahwa keamanan di Negara Indonesia Timur hanya merupakan tanggung
jawab pasukan bekas KNIL saja.
 Menentang campur tangan pasukan APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia
Serikat) terhadap konflik di Sulawesi Selatan.
 Mempertahankan berdirinya Negara Indonesia Timur.

PELAKSANAAN
Kedatangan pasukan pimpinan Worang kemudian disusul oleh pasukan ekspedisi
yang dipimpin oleh Kolonel A.E Kawilarang pada tanggal 26 April 1950 dengan kekuatan
dua brigade dan satu batalion di antaranya adalah Brigade Mataram yang dipimpin oleh
Letnan Kolonel Suharto. Kapten Andi Azis dihadapkan ke Pengadilan Militer di Yogyakarta
untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya dan dijatuhi hukuman 15 tahun penjara dan
ada pula yang mengatakan bahwa andi aziz telah meninggal dunia karena di tembak oleh
Suharto tetapi untuk sebahagian masyarakat Sulawesi Selatan ada pula yang mempercayai
bahwa beliau tidak di tangkap dan tidak di tembak mati.
Dengan anggapan sudah merasa kuat pada tanggal 5 April 1950, setelah menangkap
dan menawan Letnan kolonel Mokoginta, Panglima Territorium Sulawesi, Kapten Andi Aziz
mengeluarkan pernyataan yang ditujukan kepada pemerintah pusat di Jakarta. Adapun isi
pernyataan itu adalah sebagai berikut :
         Negara Indonesia Timur harus tetap dipertahankan agar tetap berdiri menjadi bagian dari
RIS.
         Tanggung jawab keselamatan daerah NIT agar diserahkan kepada pasukan KNIL yang
telah masuk menjadi anggota APRIS. TNI yang bukan berasal dari KNIL tidak perlu turut
campur.
         Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Hatta supaya tidak mengizinkan NIT dibubarkan
dan bersatu dengan Republik Indonesia.

    
Upaya Pemerintahan Mengatasi Pemberontakan Andi Azis
1. Memberikan ultimatum kepada Andi Azis untuk ke Jakarta guna mempertanggung
jawabkan perbuatannya, namun ultimatum tersebut tidak dilaksanakan.
2. Setelah ultimatum kepada Andi Azis untuk meghadap ke Jakarta guna
mempertanggung jawabkan perbuatannya tidak dipenuhi maka pemerintah mengirim
pasukan untuk menupas pemberontakan tersebut. pemerintah mengirimkan ekspedisi
dibawah Kolonel Alex Kawilarang dan terdiri dari berbagai kesatuan dari ketiga
angkatan dan kepolisian.
DI BIDANG SISTEM PEMERINTAHAN

1. PPRI DAN PERMESTA


Penyebab langsung terjadinya pemberontakan adalah pertentangan antara pemerintah
pusat dan beberapa daerah mengenai otonomi serta perimbangan keuangan antara pusat dan
daerah. Semakin lama pertentangan itu semakin meruncing. Sikap tidak puas tersebut
didukung oleh sejumlah panglima angkatan bersenjata. Pada tanggal 9 Januari 1958,
diadakan suatu pertemuan di Sungai Dareh, Sumatera Barat. Pertemuan itu dihadiri tokoh-
tokoh militer dan sipil.
Tokoh-tokoh militer yang hadir, antara lain: Letkol Achmad Husein, Letkol Sumual,
Kolonel Simbolon, Kolonel Dachlan Djambek, dan Kolonel Zulkifli Lubis. Tokoh-tokoh sipil
yang hadir antara lain: M. Natsir, Sjarif Usman, Burhanuddin Harahap, dan Sjafruddin
Prawiranegara. Dalam pertemuan tersebut dibicarakan masalah pembentukan pemerintah
baru dan hal-hal yang berhubungan dengan pemerintah baru itu.
Pada tanggal 10 Februari 1958 diadakan rapat raksasa di Padang. Letkol Achmad
Husein memberi ultimatum kepada pemerintah pusat. Ultimatum tersebut ditolak. Letkol
Achmad Husein, Kolonel Zulkifli Lubis, Kolonel Dachlan Djambek, dan Kolonel Simbolon
dipecat. Pada tanggal 15 Februari 1958, Achmad Husein memproklamirkan berdirinya
Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Proklamasi itu diikuti dengan
pembentukan kabinet. Kabinet itu dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara sebagai Perdana
Menteri. Pusat PRRI berkedudukan di Padang. Dengan proklamasi itu, PRRI memisahkan
diri dari pemerintah pusat. Proklamasi PRRI diikuti Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah.
Penumpasan Pemberontakan PRRI
Untuk mengatasi gerakan ini, TNI melancarkan operasi gabungan AD, AL, dan AU
dikenal dengan nama Operasi 17 Agustus. Operasi ini dipimpin oleh Kolonel Akhmad Yani.
Di Sumatera Utara, Operasi Sapta Marga dilaksanakan di bawah pimpinan Brigadir Jenderal
Jatikusumo. Di Sumatera Selatan, Operasi Sadar dipimpin Letnan Kolonel Dr. Ibnu Sutowo.
Tujuan operasi militer ini adalah menghancurkan kekuatan pemberontak dan mencegah
campur tangan asing. Berangsur-angsur wilayah pemberontak dapat dikuasai. Pada tanggal
29 Mei 1958, Achmad Husein dan pasukannya secara resmi menyerah. Penyerahan diri itu
disusul para tokoh PRRI lainnya.

Pemberontakan Permesta
Para tokoh militer di Sulawesi mendukung PRRI di Sumatera. Pada tanggal 17 Februari
1958, Letkol D.J. Somba (Komandan Daerah Militer Sulawesi Utara dan Tengah)
memutuskan hubungan dengan pemerintah pusat dan mendukung PRRI. Para tokoh militer di
Sulawesi memproklamasikan Piagam Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta). Pelopor
Permesta adalah Letkol Vence Sumual. Pemberontak Permesta menguasai daerah Sulawesi
Tengah dan Sulawesi Utara. Untuk menghancurkan gerakan ini pemerintah membentuk
Komando Operasi Merdeka. Misi ini dipimpin oleh Letkol Rukminto Hendraningrat. Pada
bulan April 1958, Operasi Merdeka segera dilancarkan ke Sulawesi Utara. Ternyata dalam
petualangannya, Permesta mendapat bantuan dari pihak asing. Hal ini terbukti saat ditembak
jatuhnya sebuah pesawat pada tanggal 18 Mei 1958 di atas Ambon. Ternyata pesawat itu
dikemudikan A. L. Pope seorang warga negara Amerika Serikat.
Di bulan Agustus 1958 pemberontakan Permesta dapat dilumpuhkan walaupun sisa-
sisanya masih ada sampai tahun 1961. Pemerintah memberi kesempatan kepada pengikut
PRRI/Permesta untuk kembali ke pangkuan ibu pertiwi.

2. NEGARA FEDERAL DAN BFO


Konsep Negara Federal dan “Persekutuan” Negara Bagian (BFO/ Bijeenkomst Federal
Overleg) mau tidak mau menimbulkan potensi perpecahan di kalangan bangsa Indonesia
sendiri setelah kemerdekaan. Persaingan yang timbul terutama adalah antara golongan
federalis yang ingin bentuk negara federal dipertahankan dengan golongan unitaris yang
ingin Indonesia menjadi negara kesatuan.
Dalam konferensi Malino di Sulawesi Selatan pada 24 Juli 1946 misalnya, pertemuan
untuk membicarakan tatanan federal yang diikuti oleh wakil dari berbagai daerah non RI itu,
ternyata mendapat reaksi keras dari para politisi pro RI yang ikut serta. Mr. Tadjudin Noor
dari Makasar bahkan begitu kuatnya mengkritik hasil konferensi. Perbedaan keinginan agar
bendera Merah-Putih dan lagu Indonesia Raya digunakan atau tidak oleh Negara Indonesia
Timur (NIT) juga menjadi persoalan yang tidak bisa diputuskan dalam konferensi. Kabinet
NIT juga secara tidak langsung ada yang jatuh karena persoalan negara federal ini (1947).
Dalam tubuh BFO juga bukan tidak terjadi pertentangan. Sejak pembentukannya di
Bandung pada bulan Juli 1948, BFO telah terpecah ke dalam dua kubu. Kelompok pertama
menolak kerjasama dengan Belanda dan lebih memilih RI untuk diajak bekerjasama
membentuk Negara Indonesia Serikat. Kubu ini dipelopori oleh Ide Anak Agung Gde Agung
(NIT) serta R.T. Adil Puradiredja dan R.T. Djumhana (Negara Pasundan). Kubu kedua
dipimpin oleh Sultan Hamid II (Pontianak) dan dr. T. Mansur (Sumatera Timur). Kelompok
ini ingin agar garis kebijakan bekerjasama dengan Belanda tetap dipertahankan BFO. Ketika
Belanda melancarkan Agresi Militer II-nya, pertentangan antara dua kubu ini kian sengit.
Dalam sidang-sidang BFO selanjutnya kerap terjadi konfrontasi antara Anak Agung dengan
Sultan Hamid II. Dikemudian hari, Sultan Hamid II ternyata bekerjasama dengan APRA
Westerling mempersiapkan pemberontakan terhadap pemerintah RIS.
Setelah Konferensi Meja Bundar atau KMB (1949), persaingan antara golongan
federalis dan unitaris makin lama makin mengarah pada konflik terbuka di bidang militer,
pembentukan Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) telah menimbulkan
masalah psikologis. Salah satu ketetapan dalam KMB menyebutkan bahwa inti anggota
APRIS diambil dari TNI, sedangkan lainnya diambil dari personel mantan anggota KNIL.
TNI sebagai inti APRIS berkeberatan bekerjasama dengan bekas musuhnya, yaitu KNIL.
Sebaliknya anggota KNIL menuntut agar mereka ditetapkan sebagai aparat negara bagian dan
mereka menentang masuknya anggota TNI ke negara bagian.
Namun selain pergolakan yang mengarah pada perpecahan, pergolakan bernuansa
positif bagi persatuan bangsa juga terjadi. Hal ini terlihat ketika negara-negara bagian yang
keberadaannya ingin dipertahankan setelah KMB, harus berhadapan dengan tuntutan rakyat
yang ingin agar negaranegara bagian tersebut bergabung ke RI.

Anda mungkin juga menyukai